6 Januari 2013

Saya Si Manusia-Sentris


Alkisah saya akan pergi sarapan tadi pagi. Ya tumben-tumbenan saya sarapan. Baru beberapa kayuhan sepeda, saya berjumpa dengan seekor pacet alias lintah darat. Kami pun berpelukan melepas rindu. Lho? Tidak... Tidak seperti itu. Pacet sebesar ibu jari anak kecil itu hampir saya gilas. Untung saja, kulit hitamnya yang mengkilat cukup kontras dengan kerikil abu-abu di jalan depan rumah.

Saya lalu teringat dengan novel yang sedang saya baca, Buddha, karya Deepak Chopra. Dalam buku tersebut, Suddodhana, ayah Siddharta, menjalani terapi yang dianggap baru pada masa itu, yaitu terapi dengan menempelkan lintah pada beberapa titik tubuh manusia dan membiarkan binatang tersebut menghisap darah, sekaligus racun-racun yang mengganggu tubuh. Suddodhana yang seorang raja pun merasa jijik, walaupun tetap menyerahkan tubuhnya, ditempeli beberapa ekor lintah. Apalagi saya! (parno saya muncul, jangan-jangan saya sempat menggilas pacet di jalan itu, nempel di roda sepeda saya dan terpental ke tubuh saya. Hiiiiy!)

Pacet dan lintah tersebut membuat saya tak henti berpikir selama saya mengayuh sepeda. Untung saja, saat bubur ayam terhidang di hadapan saya, bayangan lintah dan pacet sudah hilang. Apa yang saya pikirkan? Awalnya, saya berpikir bahwa binatang kecil yang bentuknya saja sudah bisa membuat bulu kuduk berdiri dan warnanya yang sama sekali tidak menarik, ternyata masih ada gunanya untuk manusia. Ya itu, untuk terapi tadi. Lalu saya berpikir, apa semua binatang itu ada gunanya ya buat manusia? Seketika saya ingat dua serangga yang sangat tidak saya sukai: kecoa dan nyamuk. Apa coba gunanya buat manusia? Nggak ada mereka juga kita nggak rugi! Kayaknya cuma para pengusaha obat anti nyamuk dan kecoa saja yang diuntungkan. Tapi, keyakinan saya yang lain mengingatkan saya bahwa segala sesuatu yang ada di dunia ini pasti ada gunanya.

Bertekadlah saya untuk berkonsultasi dengan Mbah Google. Walaupun pada akhirnya, untuk keperluan tulisan ini, saya tetap searching juga dan menemukan ternyata kecoa juga bermanfaat bagi kehidupan manusia (silakan search sendiri deh), saya sebelumnya tersadarkan akan satu hal. Saat saya berpikir, 'Oh, lintah dan pacet juga ada gunanya ya buat manusia!' kemudian bertanya, 'Lalu apa ya gunanya nyamuk dan kecoa bagi manusia?', saya sadar bahwa saya sedang menjadi makhluk yang sangat egois. Mengapa semua saya ukur dengan ada atau tidaknya manfaat bagi saya, bagian dari spesies bernama manusia? Manusia-sentris sekali saya ini!

Saya melupakan satu hal. Spesies saya hanyalah satu dari ribuan spesies lain yang berbagi ruang di planet ini. Spesies saya hanya diuntungkan oleh dua hal, kecerdasan dan ambisi, yang membawa kami menjadi makhluk dominan di antara makhluk lainnya. Lantas semuanya dilihat sebagai mana yang bisa mendukung keberlangsungan eksistensi kami dan mana yang tidak, tanpa menghiraukan bahwa makhluk-makhluk lain pun memiliki kebutuhan yang sama, untuk tetap eksis. Karena itu mereka juga, seperti kita, punya sistem reproduksi dan mekanisme untuk menarik pasangan lawan jenis agar bisa meneruskan keturunan. Mereka juga, seperti kita, punya kebutuhan untuk mendapatkan makanan dan hidup tenang, jauh dari hal-hal yang bisa menganggu keselamatannya.

Bedanya, penting bagi kami mana makanan yang bisa dikonsumsi dan mana yang tidak, bukan hanya karena tubuh kami begitu lemahnya, tapi juga karena soal tradisi kami membolehkannya atau tidak dan cukup atau tidaknya uang kami. Untuk urusan beranak pinak juga kami berbeda, karena melibatkan pandangan orang-orang terdekat dan budaya.

Kembali ke soal nyamuk dan kecoa. Jentik-jentik nyamuk adalah makanan bagi beberapa spesies lain, termasuk beberapa tumbuhan. Nyamuk dewasa adalah santapan yang lezat bagi cicak dan beberapa reptil lainnya. Jadi itu gunanya? Menjadi bagian dari rantai makanan? Ya. Mungkin ada, tapi saya sendiri merasa tidak perlu ribet-ribet cari guna lainnya yang lebih njlimet seperti apakah jentik nyamuk memiliki senyawa kimia yang bisa menetralisir karbondioksida dan sebagainya hehe... Kita juga memelihara ratusan ayam dan sapi untuk kemudian berakhir di atas piring tanpa memikirkan lagi apa ayam dan sapi itu punya manfaat lain selain diambil bagian-bagian tubuhnya? Karena posisi manusia yang mendominasi sajalah yang menempatkan dirinya sendiri di atas puncak rantai makanan. Coba saja taruh manusia di hutan belantara, siapa yang akan berada di puncaknya nanti? Hehehe...

Keegoisan saya sebagai manusia yang hanya mengukur ada tidaknya manfaat makhluk lain bagi keberlangsungan hidup spesies saya menjadi berlipat-lipat karena saya sendiri tidak berkaca. Jika pacet, lintah, nyamuk dan kecoa mendatangkan manfaat bagi makhluk-makhluk lain, termasuk manusia, sudah sejauh mana ya manusia juga bermanfaat bagi kehidupan makhluk-makhluk lainnya? Apakah yang saya lakukan sudah memberi manfaat atau justru seringnya menggiring makhluk-makhluk lain menuju kepunahan? Let's think about it! And act soon...





Tidak ada komentar:

Posting Komentar