14 Januari 2013

Indoktrinasi

Beberapa hari lalu, saya bersama dua orang teman makan di restoran vegetarian. Bagi pecinta daging seperti saya, restoran tersebut cukup membawa angin surga karena kehadiran 'daging-dagingan' dari kedelai atau jamur, bisa membantu saya menyuapkan lebih banyak sayuran untuk tubuh saya.

Walaupun saya belum merasa pengen jadi seorang vegetarian (atau gak bakal pernah), saya mengagumi beberapa orang vegetarian, bahkan vegan, yang saya tahu. Entah mungkin memang bawaannya sudah seperti itu, atau karena bawaannya seperti itu yang membuat mereka memutuskan menjadi vegetarian atau vegan, atau memang benar teori yang mengatakan daging merah itu juga punya pengaruh besar pada emosi seseorang, saya menemukan orang-orang vegetarian dan vegan itu lebih tenang dan kalem (atau karena perbandingannya saya? Entah). Ya, konsep vegetarian dan vegan mau tak mau membawa saya pada pandangan terhadap agama tertentu yang salah satu ajarannya adalah berpantang makan daging dan melihat para pemuka agama tersebut tampak lebih tenang dan lebih halus dibandingkan pemuka agama lain.

Sayang, jembatan keledai yang sudah terbangun di otak saya soal vegetarian dan kedamaian runtuh saat saya makan di restoran tersebut dan menonton film dokumenter (atau propaganda?) yang setiap saat diputar di sana. Sebelum-sebelumnya saya tidak pernah terlalu memperhatikan video tersebut. Tapi, terakhir saya ke sana, saya menyimak cukup lama dan sampailah pada satu tayangan dimana ada seorang perempuan yang menjadi Supreme Master dari entah ajaran apa yang sedang memberikan wejangan. Caranya dia berceramah memang menarik, tenang tapi tegas. Namun ada satu hal yang mengganggu pikiran saya. Yaitu saat dia menceritakan kisah jaman dulu dimana (katanya) Tuhan pernah memberikan hukuman bagi orang-orang yang memakan daging dengan cara menjatuhkan daging-daging dari langit kepada orang-orang tersebut! Maka, terkutuklah saya!

Kenapa pikiran saya terganggu oleh cerita si Supreme Master? Apa karena posisi saya sebagai omnivor? Bukan. Bukan tentang itu. Toh saya fine-fine saja dengan para herbivor. Saya terusik dengan caranya menyampaikan pesan dan mengajak pendengar untuk tidak makan daging. Terlalu... mengindoktrinasi. Lucunya, dua hari setelah itu, saat saya pindah-pindah channel TV, saya berhenti pada satu acara FTV yang menampilkan sekelompok laki-laki yang sedang mendengarkan ceramah yang berapi-api dari seseorang, kira-kira begini isinya:

"...kita jangan sampai terpengaruh oleh doktrin-doktrin karena bla bla..."

Untung itu cuma film. Kalau nyata, mungkin orang-orang yang mendengarkan itu langsung bubar jalan sambil bilang, "Ok, fine, saya pergi saja kalau begitu!" Lha yang dilakukan si penceramah bukannya juga indoktrinasi?

Doktrin. Dalam KBBI artinya adalah ajaran tentang asas suatu aliran politik atau agama. Terdengar netral. Awalnya saya pikir kalau diubah menjadi kata kerja cukup ditambahkan awalan me- jadi mendoktrin, tapi karena kata ini serapan dari bahasa asing, kata kerjanya diambil dari kata benda lain yang masih satu akar, indoktrinasi, jadilah mengindoktrinasi. (Lalu kenapa saya mengindoktrinasi dengan asas bahasa ini hahaha... belajar bersama lah ya). Indoktrinasi sendiri diartikan sebagai 'pemberian ajaran secara mendalam (tanpa kritik) atau penggemblengan mengenai suatu paham atau doktrin tertentu dengan melihat suatu kebenaran dari arah tertentu saja'.

Urusan doktrin indoktrinasi ini bikin saya gerah. Sesuatu yang tidak saya sukai. Ow ow... tidak berkaca, Mas? Ya, saya ngakulah. Selain pernah diindoktrinasi pastinya (siapa manusia yang tidak pernah), saya juga pernah mengindoktrinasi nilai-nilai yang saya anggap ideal. Orang yang berlawanan pahamnya dengan saya, tidak saya anggap teman apalagi karib. Nah, apa bedanya dengan fundamentalis yang identik bersenjatakan doktrin?

Saya pernah berbincang dengan seorang teman yang dulu sama-sama tumbuh di sebuah organisasi. Setelah lepas dari organisasi tersebut, dengan cara berbeda (ia kemudian semakin larut dalam dunia akademisi, namun tetap bergelut dalam bidang sosial), kami sampai di satu titik kesadaran bahwa fundamentalis tidak hanya monopoli orang-orang berjubah agama atau berjas politik. Fundamentalis juga sedang akan, atau mungkin sudah, tumbuh dalam gerakan-gerakan sosial yang ironisnya sering berteriak soal kesetaraan, penghargaan atas keberagaman dan semacamnya. Pendidikan orang dewasa, pendidikan kritis, pendidikan partisipatif kemudian hanya menjadi buih. Entah karena alasan target atau kejemuan, indoktrinasi menjadi alat yang dianggap efektif untuk mempercepat perubahan. Kenyataan ini membuat saya dan teman saya pusing sendiri.

Sebagai manusia, kita memang dituntut untuk berada pada satu sisi saja. Berpihak. Berada di tengah-tengah bisa dianggap gak jelas, lemah, klemak-klemek. Kenyataan bahwa lebih banyak orang yang berdiri di tengah, bahwa kebenaran itu relatif, dihiraukan begitu saja. Biseksualitas adalah contoh dari bagaimana wilayah abu-abu tersebut lebih sering dilihat sebelah mata. Agnostisisme adalah contoh dari bagaimana area semu tersebut lebih sering dianggap tak berpendirian, bukan sebagai pilihan.

Well, memang tidak ada salahnya, bahkan diyakini oleh sebagian orang bahwa ini adalah keharusan, untuk menyiarkan kebenaran. Tapi indoktrinasi, menurut saya, bukan hal yang bijak untuk dilakukan, apalagi dengan cara ditakut-takuti macam hujan daging itu. Indoktrinasi seolah-olah menganggap otak manusia hanyalah gelas-gelas kosong yang harus terus diisi. Mengenyahkan kenyataan bahwa manusia punya potensi, untuk berpikir dan berproses.

Kenapa minggu-minggu begini saya jadi sok serius ya? Ah, sudahlah... Selamat menyambut Senin!

4 komentar:

  1. lah ini kamu lagi ndoktrin mas -..-

    BalasHapus
    Balasan
    1. Wakakakak iya ya? Masih tampak seperti ndoktrin ya? Nah kan, niat hati hanya share isi otak wkwkwk

      Hapus
  2. aku ki ora mangan daging tapi tetap emosi tinggi link. haha...

    BalasHapus
    Balasan
    1. hahaha.. yang kaya gini nih yang bikin bayangan saya tentang vegetarian jadi berantakan

      Hapus