23 November 2009

Kinarya Lan Makarya Sesarengan: "Kampanye 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan" ala PKBI DIY


Kinarya lan Makarya Sesarengan adalah sebuah pekan seni budaya yang mengusung kampanye 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan - 25 November, Hari AIDS Sedunia - 1 Desember, Hari Hak Azasi Manusia Sedunia - 10 Desember).
Menggandeng komunitas seni tradisi, Solidaritas Peduli AIDS Yogyakarta (SPAY), Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Kota Yogyakarta, serta lembaga-lembaga lain memiliki kepedulian pada isu tersebut, PKBI DIY mengadakan serangkaian acara:


1. Opening Carnival “Stop AIDS: Akses Untuk Semua”
Tanggal : 1 Desember 2009
Jam : 14.00 - 16.00 WIB
Tempat : Taman Parkir Abu Bakar Ali Monumen SO 1 Maret
Peserta : 500 orang (LSM, organisasi masyarakat, institusi pendidikan, kelompok seni, dan masyarakat umum)

Opening carnival adalah pembuka dari Pekan Seni Budaya. Selain sebagai media sosialisasi adanya Pekan Seni Budaya, acara ini juga mengikuti tradisi longmarch Hari AIDS Sedunia yang biasa diadakan oleh lembaga-lembaga yang peduli pada isu HIV & AIDS di Yogyakarta, namun dengan format carnival sehingga peserta dapat mengekspresikan dirinya melalui kostum atau atribut lainnya.


2. Jogja Update “Diskusi Publik: Pemenuhan Hak Kesehatan Reproduksi”
Tanggal : 2 Desember 2009
Jam : 14.00 - 17.00 WIB
Tempat : Gedung Radyo Suyoso, Kompleks Kepatihan

Adalah sebuah diskusi publik yang akan membahas isu-isu terkini seputar Kesehatan Reproduksi dengan pembicara dari instansi-instansi terkait seperti BKKBN, Dinas Kesehatan, Dinas Sosial, dan lembaga lain yang bergelut di isu tersebut.


3. Pertunjukan Teater dan Gamelan Kontemporer 'Bukan Aku yang...'
Tanggal : 5 Desember 2009
Jam : 19.00 - 23.00 WIB
Tempat : Concert Hall, Taman Budaya Yogyakarta

Kepedulian remaja sekolah terhadap isu HIV & AIDS ditampilkan oleh siswa-siswa SMA TMIP yang tergabung dalam TeMA melalui pertunjukan teater dan gamelan kontemporer.


4. Festival Seni
Tanggal : 4 - 6 Desember 2009
Jam : 15.00 - 23.00 WIB
Tempat : Monumen SO 1 Maret

Mengambil tempat di Monumen SO 1 Maret, Festival Seni Budaya ini adalah inti acara Pekan Seni Budaya. Acara ini akan diisi oleh penampilan dari pekerja seni-pekerja seni lokal Yogyakarta, terutama yang berbasis budaya tradisional seperti tari, ketoprak, gamelan, wayang. Festival akan dibuka oleh Sri Sultan Hamengkubuwono X pada 4 Desember 2009 pukul 18.30 WIB dengan pertunjukan tari dari UKM Swagayugama UGM dan Sanggar Seni Waria Kotagede, dilanjutkan dengan penampilan seni tradisi dari Kulon Progo dan Sleman. Pada 5 Desember 2009, 19.00, komunitas seni tradisi dari Kabupaten Gunung Kidul dan Kota Yogyakarta akan mengambil bagian. Kemudian ditutup pada 6 Desember 2009 dengan penampilan dari Kabupaten Bantul dan penampilan seni tradisi dari KNPI DIY.
Selain seni tradisi, Pekan Seni Budaya juga tetap mengakomodir komunitas-komunitas seni non-tradisi seperti band, paduan suara, musikalisasi puisi, teater, dan sebagainya di pukul 15.00 – 18.00


5. Family Day
Tanggal : 6 Desember 2009
Jam : 09.00 - 12.00 WIB
Tempat : Monumen Serangan Oemoem 1 Maret
Peserta : Masyarakat umum

Family Day adalah sebuah hari yang dikhususkan untuk keluarga. Beberapa acara akan digelar pada satu hari penuh, yaitu:

  • Lomba lukis dan mewarnai (usia TK dan SD)
  • Penampilan seni oleh anak-anak
  • Dolanan anak
  • Diskusi Santai ”Kesehatan Reproduksi dan Seksual [HIV & AIDS] dan Keluarga”
  • Klinik gratis



6. Pameran Foto “Nyawang”
Tanggal : 30 November - 6 Desember 2009
Jam : 10.00 - 19.00 WIB
Tempat : Griya Lentera [Jl. Gandekan Lor No. 42 B]
Peserta : Komunitas remaja jalanan, gay, waria, perempuan pekerja seks

Griya Lentera sebagai bagian dari PKBI DIY akan melaunching sebuah ruang budaya yang terbuka bagi siapapun. Pameran Seni dan Foto digelar selain untuk sosialisasi awal, juga untuk menunjukkan kreativitas komunitas-komunitas yang selama ini termarginalkan.


7. Movie Screening
Tanggal : 30 November - 6 Desember 2009
Jam : 15.00 - 18.00 WIB
Tempat : Griya Lentera [Jl. Gandekan Lor No. 42 B]

Movie screening adalah ruang untuk memutar film dan berdiskusi mengenai film-film yang berkaitan dengan isu-isu kesehatan reproduksi dan seksual (HIV & AIDS), gender, dan HAM. Film yang diputar adalah film pendek, dokumenter, dan karya komunitas. Setiap harinya akan diangkat 1 tema besar yaitu: remaja, HIV & AIDS, LGBTIQ, gender, kesehatan reproduksi, dan perjuangan identitas
baca selengkapnya

29 September 2009

Kondom Sang Kontroversi


KONDOM2


Kondom. Tidak sulit menemukannya di apotek, toko, bahkan warung pinggir jalan. Benda berbahan latex -beberapa terbuat dari polyurethane- itu kini tersedia juga dengan warna beragam, aroma buah, bahkan dengan aneka aksesoris. Kelebihan lainnya adalah mudah digunakan, efek samping yang sedikit, murah harganya, juga tidak hanya efektif sebagai alat kontrasepsi namun juga ampuh dalam mencegah penularan beberapa infeksi menular seksual, termasuk HIV.
Namun, kehebatan alat yang sudah digunakan manusia sejak 400 SM itu ternyata memicu kontroversi tiada henti karena beberapa pihak menganggap kondom justru dapat meningkatkan angka hubungan seksual di luar nikah. Masih hangat di ingatan kita bagaimana Paus Benediktus XVI mengecam pemakaian kondom saat berkunjung ke Afrika, Maret 2009 silam. Paus mengatakan bahwa kondom bukan solusi untuk kasus HIV & AIDS tapi justru akan menambah persoalan. Tak ayal, pernyataannya ini menuai kritik tidak hanya dari para aktivis yang giat mengkampanyekan penggunaan kondom untuk mencegah penularan HIV, tapi juga dari petinggi negara-negara Eropa.

Kondom dan HIV & AIDS
Saat ini kondom memang menjadi alternatif pencegahan penularan HIV, jika memang seseorang tidak bisa tidak aktif secara seksual, plus tidak bisa melakukan hubungan seksual hanya setia dengan satu pasangan. Efektivitas kondom dalam pencegahan transmisi HIV ini mencapai 60.0 sampai 95.8% (Family Planning Perspectives, 1999). Pun demikian WHO dan UNAIDS melaporkan bahwa kondom efektif memberikan perlindungan dari penularan HIV sebesar 90%, tentu dengan syarat digunakan secara benar dan konsisten.

Pihak yang tidak menyetujui kampanye kondom biasanya datang dari kaum fundamentalis agama yang menganggap kondom adalah alat yang bisa disalahgunakan untuk melakukan perbuatan yang dilarang oleh ajaran agama: zina. Mereka yang lebih fanatik bahkan meyakini penggunaan kondom, pada fungsi kontrasepsi, adalah haram sama seperti penggunaan alat kontrasepsi lain karena dianggap menolak berkah dari Tuhan. Pola pikir magis ini juga terkait dengan persepsi bahwa HIV & AIDS adalah kutukan yang diberikan kepada orang-orang yang dianggap melakukan perbuatan dosa. Tidak heran memang, karena di awal sejarahnya, HIV & AIDS seringkali dikaitkan dengan isu homoseksual, pekerja seks, dan NAPZA yang tidak bisa ditolerir dalam agama.

Mereka melakukan serangan dengan memberikan alibi bahwa selain bisa merusak mental generasi muda, kondom juga dianggap tidak efektif mencegah penularan HIV karena pori-pori kondom yang bisa ditembus HIV dan kemungkinan kondom bocor. Aktivis HIV & AIDS tentu memberikan jawaban atas hal ini. Pertama, kampanye kondom jelas bukan solusi final dari pencegahan penularan HIV. Prinsip ABCDE menempatkan kondom di urutan ketiga (C = condom use). Ini mengindikasikan bahwa hal yang pertama kali didorong kepada masyarakat agar terhindar dari penularan HIV adalah dengan Abstinence (A) alias tidak melakukan hubungan seksual, yang tentu saja sejalan dengan apa yang diajarkan oleh agama. Prinsip Be Faithful (B), atau saling setia dengan pasangan, juga diyakini tidak keluar dari dogma agama. Namun kita tentu tidak bisa menutup mata berapa banyak orang yang dengan teguh menjalankan iman pada agamanya dan berapa yang tidak.

Isu bahwa kondom berpori dan mungkin saja bocor memang bukan sekadar mitos. Kondom berpori adalah kondom yang terbuat dari bahan alami (usus domba). Sementara kondom berbahan latex tetap mampu memberikan perlindungan terhadap mikroorganisme, seperti HIV dan sperma (Centers for Disease Control and Prevention, USA, 2000). Beberapa peneliti juga melaporkan bahwa HIV harus masuk melalui perantara cairan untuk bisa masuk ke tubuh orang lain. Sementara kebocoran kondom mungkin saja terjadi karena kesalahan penyimpanan dan penggunaan.

Tanpa mengesampingkan statistik kasus HIV & AIDS yang terus meningkat karena kemungkinan tumbuhnya kesadaran untuk melakukan VCT, sebenarnya sudah berhasilkah kampanye kondom di Indonesia mengingat jumlah kumulatif kasus AIDS menurut faktor risiko hubungan seksual (heteroseksual, homo-biseksual) dari tahun ke tahun justru meningkat. Pada 2005, penularan karena hubungan seksual sebesar 44.2% menjadi 44.5% pada 2006, 45.8% pada 2007, 51.7% pada 2008, dan data terakhir sampai Maret 2009 mencapai 52.1%. Bandingkan dengan penularan karena penggunaan napza yang menunjukan penurunan dari 50.3% pada 2006 menjadi 42.1% pada Maret 2009 (Ditjen PPM & PL Depkes RI). Mungkin kesimpulan yang tergesa-gesa jika kita hanya melihat angka-angka tersebut, tanpa adanya analisa yang lebih dalam.

Kondom dan Perempuan
Program distribusi kondom kepada pekerja seks di Bali telah meningkatkan penggunaan kondom dari 18% hingga 75% di satu daerah studi dan dari 29% hingga 62% di daerah lain (Population Reports,1999). Sementara itu, bercermin dari negara tetangga, Program 100% Kondom di Thailand dianggap sebagai program kampanye kondom paling sukses di dunia. Dari 1989 hingga 1994, penggunaan kondom di kalangan pekerja seks telah meningkat 25-90% dan berhasil mengurangi angka penularan HIV hingga 83%. Pemerintah Thailand telah berhasil mendorong pekerja seks untuk mampu melakukan negosiasi kondom kepada klien, jika klien menolak maka pekerja seks berhak menolak dan mengembalikan uangnya. Tidak tanggung-tanggung, pemerintah bahkan menutup tempat lokalisasi yang menolak program tersebut.

Setelah lebih dari dua dekade isu HIV & AIDS ramai diperbincangkan, kini banyak pihak yang mulai menyadari bahwa isu ini tidak hanya berkutat pada masalah medis-biologis, namun lebih luas meliputi sosial, budaya, ekonomi, dan politik. Keberhasilan kampanye kondom di Thailand perlu dilihat bukan hanya dari bagaimana sosialisasi yang dilakukan oleh pemerintah dan lembaga-lembaga yang peduli pada isu HIV & AIDS, namun juga kemampuan negosiasi yang dilakukan oleh pekerja seks kepada kliennya. Memang belum ada temuan apakah hal tersebut dimudahkan oleh pola relasi gender ataukah ada intervensi lain kepada laki-laki di Negeri Gajah Putih tersebut?

Mitos yang berkembang di masyarakat, terutama di kelompok laki-laki, bahwa penggunaan kondom dapat mengurangi kenikmatan hubungan seksual membuat kampanye kondom seperti jalan di tempat. Iklan-iklan kondom kemudian dibuat sedemikian rupa untuk mendobrak secara halus mitos tersebut alih-alih mengkampanyekan secara tegas upaya pencegahan penularan HIV. Tapi, ketabuan masyarakat Indonesia mengenai seksualitas masih menjadi tembok bagi kampanye anti-mitos seputar kondom. Bisa dibayangkan bagaimana reaksi masyarakat yang kontra terhadap kondom jika iklan yang ditayangkan lebih eksplisit menonjolkan efek nikmat dari penggunaan kondom walaupun tujuan sebenarnya untuk mendongkrak pemakaian kondom bagi upaya pencegahan penularan HIV.

Selain itu, program-program kampanye kondom seringkali menembak perempuan pekerja seks sebagai targetnya karena dianggap beresiko tinggi dari penularan HIV. Budaya patriarki jugalah yang akhirnya memainkan peran besar yang menyebabkan posisi tawar perempuan pekerja seks ini menjadi rendah untuk meminta kliennya memakai kondom. Kondisi-kondisi ini tidak hanya terjadi di Indonesia dan karena itulah pada 1990 Badan Kesehatan Dunia, WHO, mengkampanyekan kondom perempuan (femidom) sebagai alternatif solusi bagi perlindungan terhadap tubuh perempuan dari penularan HIV.
Meskipun data yang dilaporkan sampai Maret 2009 jumlah kasus AIDS yang dialami oleh perempuan hanya sekitar 25%, namun trend dari tahun ke tahun ternyata menunjukkan adanya peningkatan. Pada 2005, perempuan AIDS sebanyak 18%, kemudian meningkat pada 2006 sebanyak 18.66%, pada 2007 sebanyak 19.88% dan pada 2008 sebanyak 24.64%.

Nafsiah Mboi, Sekretaris Komisi Penanggulangan AIDS Nasional mengatakan pada 2007 bahwa tingkat kerentanan remaja putri usia 15-19 tahun terhadap penularan HIV adalah empat sampai enam kali lebih tinggi dibandingkan dengan laki-laki. Nafsiah menuding peningkatan penularan HIV pada perempuan dan anak-anak disebabkan oleh ketimpangan gender dan faktor ekonomi. Beberapa pihak yang lain menganggap struktur tubuh biologis perempuan menjadikan mereka lebih rentan terhadap penularan HIV.
Perempuan memang seringkali diabaikan dalam sistem kesehatan sosial. Statistik kasus HIV & AIDS selama ini bisa saja merepresentasikan bahwa selama ini perempuan tidak mendapatkan akses, baik layanan maupun informasi mengenai HIV & AIDS, sehingga mereka tidak melakukan VCT. Lantas, apakah kondom perempuan memang bisa memperbaiki keadaan?

Kontroversi (Lagi): Kondom PerempuanKondom perempuan memang menawarkan solusi baik itu fungsinya sebagai pencegah penularan HIV maupun sebagai fungsi kontrasepsi. Gampangnya, ya jika laki-laki memang susah disuruh memakai kondom, perempuan juga bisa! Harganya yang mahal agaknya bisa menjadi alasan beberapa orang untuk tidak memilih kondom jenis ini selain cara pakainya yang dianggap lebih ribet dan ketersediaannya yang terbatas dibandingkan dengan kondom laki-laki.

Beberapa kalangan feminis lalu bersuara bahwa kondom perempuan menunjukkan adanya dan bisa memunculkan bentuk baru pola ketimpangan gender. Kondom perempuan dianggap sebagai alat kontrol agar perempuan tidak hanya bisa menjaga tubuhnya sendiri tapi juga tubuh pasangannya. Dampak pertama, tanggung jawab laki-laki akan semakin hilang. Pemakaian alat kontrasepsi selama ini lebih banyak dilakukan oleh perempuan. Jika kita bandingkan alat-alat kontrasepsi seperti susuk, pil, IUD, tubektomi, vasektomi dari sisi ekonomi maupun cara pakai, kondomlah yang paling mudah dan murah tanpa kehilangan efektifitasnya. Untuk itu saja, laki-laki tetap enggan memakainya dan lebih memilih merogoh kocek lebih dalam agar pasangannya mendapatkan alat kontrasepsi lain sambil seakan-akan tidak mau tahu dampaknya pada perubahan hormon, alergi, dan sebagainya yang dialami perempuan.

Lebih jauh, jika kondom perempuan ini memang bisa didistribusikan secara luas dan merata, namun ternyata kasus HIV & AIDS tetap tinggi, kesalahan akan dituduhkan kepada perempuan. Laki-laki bisa melemparkan tanggung jawab jika terjadi penularan HIV dengan menuding perempuannya tidak mau memakai kondom. Kondisi saat ini saja masih sering memposisikan perempuan pekerja seks sebagai penular HIV padahal mereka sudah dibekali informasi HIV & AIDS, termasuk cara pemakaian kondom, namun harus mengalah karena posisi laki-laki.

Agaknya akan menjadi PR kita bersama agar kondom perempuan bisa berfungsi maksimal dalam upaya pencegahan penularan HIV namun tetap meminimalisir dampak sosial yang lebih besar bagi perempuan. Kondom perempuan bisa menjadi alternatif, pilihan dengan penuh kesadaran akan hak milik tubuh perempuan, jika ketimpangan gender dapat kita hancurkan terlebih dahulu.

Kondom, si karet kecil multi fungsi, masih akan menjadi kontroversi.
baca selengkapnya

8 September 2009

Gila!


Saya dikenalkan dengan seorang perempuan, pada suatu sore di kantor saya. Awalnya ia hanya ingin mencari informasi tentang seseorang yang kebetulan saya sedikit tahu track record-nya. Berbalut celana jeans dan kaos longgar, serta jaket jeans yang kebesaran membuat saya terbayang sosok Kugy di Perahu Kertas, hanya yang ini versi tinggi dan nyata. Gaya bicara dan penampilannya sangat santai, kalau tidak saya sebut gila. Sesekali ia menghisap rokok, yang membuat suaranya terdengar berat.


Ia sahabat lama kawan saya. Entah profesi atau hobby, dari ceritanya saya menyimpulkan ia tergila-gila melukis. Setelah urusan soal track-record seseorang itu selesai, mereka lalu terlibat perbincangan seru soal masa lalu mereka, kegilaan mereka. Otomatis, saya hanya jadi pendengar. Cerita-cerita menarik termasuk soal basecamp mereka, sebuah garasi yang disulap menjadi kamarnya, namun nuansa yang muncul malah seperti gudang, lengkap dengan kasur butut, botol-botol kosong, sepeda yang dipasang di dinding, dan lebih gila lagi, lengkap dengan peliharaan: kecoa, tikus, dan kawan-kawan.


Satu cerita yang membuat saya tertarik sekaligus tertegun adalah, karena keterbukaannya, banyak orang yang sering menginap di kamar-gudang nya itu. Teman atau saudara sudah biasa, bahkan sampai tinggal berbulan-bulan. Yang luar biasa adalah tukang becak dan orang (yang dianggap) gila juga sempat ikut-ikutan menghuni kamar itu. Gila!


“Eh, ternyata kalau diajak ngobrol ya masih nyambung tuh! Walau kadang-kadang sih... Malah kamarku dia bersihin, sambil ngenasehatin aku biar gak males hahaha...” katanya polos.


Saya segera paham, teman saya sama sekali tidak punya bekal pengetahuan soal gangguan psikis. Tapi justru itu membuat saya semakin miris. 


Perempuan ini luar biasa gila. Saya belajar gila-gilaan dan lulus dari psikologi, tapi tetap saja masih takut-takut jika berhadapan dengan orang yang karena entah mengalami gangguan psikis apa sampai orang lain menyebutnya gila. Mungkin teman-teman saya juga sebelas dua belas. Sementara teman saya itu, dia malah mendekati orang yang terganggu mentalnya (istilah ini walau agak panjang, tapi buat saya lebih sopan dibandingkan orang gila). Diajaknya mengobrol, sampai-sampai ia tahu sejarah singkat orang itu.


Kemanusiaan. Mungkin itu yang ia miliki dalam jumlah gila. Rasa kemanusiaan saya saat bertemu orang yang terganggu mentalnya paling menthok ya cuma rasa kasihan tho. Iba dengan keadaannya. Malah kadang agak memalingkan muka jika saya merasa jijik dengan penampilannya. Namun tak mampu menggiring saya untuk mendekatinya, bahkan mengajaknya berbicara.


Saya ingat betul saat mengambil mata kuliah psikiatri waktu kuliah dulu. Karena sang dosen adalah psikiater yang bekerja di rumah sakit, maka kuliah tersebut pun diadakan di rumah sakitnya, tepatnya di bangsal jiwa, selama satu semester. Pengalaman yang tidak bisa saya lupakan adalah ketika seorang residen membawa salah satu pasiennya ke dalam kelas. Kemudian ia diminta menceritakan pengalamannya. Di tengah-tengah cerita, tiba-tiba sang residen memotong: “Stop! Ya, apa yang ia katakan barusan adalah gejala gangguan bla bla bla...”, yang intinya ingin menunjukan bahwa apa yang diceritakan pasien tidak sama dengan kenyataan yang ada. Gila! Apa-apaan ini? Pikir saya. Kok tidak manusiawi ya... bagaimana kalau si pasien bisa menangkap kata-kata sang residen? Bagaimana coba rasanya harus berdiri di depan sekian banyak kepala, diminta bercerita, lalu ceritanya dipatahkan begitu saja sambil dicap mengalami gangguan ini itu? Ternyata, tidak hanya saya yang merasakan itu, temen-teman saya juga mengatakan pendapatnya setelah kelas berakhir.


Saya memang tidak memiliki kemampuan untuk menangani gangguan mental seberat itu. Toh saya juga tidak ingin betul-betul punya kemampuan itu. Saya hanya ingin punya empati seperti teman perempuan saya. Empati yang juga bisa saya ungkapkan dalam tindakan. Tidak hanya kepada orang yang dianggap sehat mentalnya, seperti apa yang selama ini saya usahakan. Bisa nggak ya?
baca selengkapnya

8 April 2009

"Kemarin-kemarin Kemana Aja?"





"Lho, gak pulang, Ga?" tanya teman kost saya ketika kami berpapasan di parkiran, Rabu malam.
"Nggak," jawab saya pendek.
"Nggak nyontreng donk?" tanyanya lagi.
"Hehehe.. aku doain aja deh!" jawab saya kemudian yang lalu disambut tawa.

golput
Ya.. saya memutuskan golput di pemilu kali ini, alasannya? Pertama, saya tidak dapat undangan karena KTP saya bukan Jogja, sementara sudah hampir 7 tahun ini saya menetap di kota gudeg ini. Ya ya ya.. undangannya mungkin sampai ke rumah saya di Majalengka sana, tapi ya iya masak saya harus merelakan minimal 250 ribu buat ongkos perjalanan hanya untuk memberikan suara saya (yang saya aja nggak tahu siapa-siapa, apa programnya, apa caleg di sana). Ya ya ya.. kalau emang niat dan merasa sebagai warga negara yang baik ya diurus lah gimana caranya biar bisa ikut berpartisipasi di pesta demokrasi (pesta? masak... demokrasi?? yang bener aja!). Pemilu 2004, saya gak urus sana sini , KTP juga masih sama, tapi saya dapet kartu pemilu. Heran, kok sekarang nggak ada ya? Ternyata saya tak sendiri. Ada yang niat mau ikutan nyontreng, eh udah kelewatan tanggalnya. Yang lain dari saya juga ada. Udah almarhum, tapi masih terdaftar sebagai pemilih. Dimana lagi pemilu macam gini kalau nggak di Indonesia? Negara ku cihuy banget. Nah itu alasan pertama...

Alasan kedua, yang lebih idealis (atau maksa) adalah karena dari sekian caleg, parpol, dan tetek bengeknya, belum ada yang sreg tuh. Masak tetep dipaksa milih? Haram mana gak milih atau milih tapi gak ikhlas? Parpolnya buanyaaak betul, sampai saya kadang-kadang masih kaget kalau nemu media kampanye (yang bikin polusi mata) dari partai kecil nyelip di antara spanduk dan banner yang guede-guede, "Eh ada partai itu tho?" Selama ini kemana aja tuh partai? Jangankan yang masih bau kencur itu, partai-partai gede aja kalau pas lagi gak kampanye ya gak keliatan tuh. Mana yang katanya ngasih pendidikan politik buat rakyat sebagai tugas utama partai politik? Ya gak heran kalo kata ahli-ahli neh, golput di 2009 ini bakal mencapai 40-50% atau mungkin lebih. Buseeet.. Bikin partai baru bisa juara tuh! Alasannya ya paling karena rakyat udah muak sama janji-janji politik, udah gak ada yang percaya. Hayo, siapa yang gak bete kalau ada orang yang ngingkari janjinya ke kita? Giliran ada bencana, rame bikin tenda dan tak lupa mengibarkan bendera masing-masing. Terus juga soal sosialisasi, heboh dari coblos ke contreng aja gak kelar-kelar. Saya nggak tahu nih kok kesannya KPU tidak siap dengan pemilu tahun ini. Ketularan parpol kali ya hebohnya cuma pas menjelang pemilu. Empat tahun lebih sedikitnya dilupakan begitu saja.

Saya ingat betul beberapa hari sebelum parpol-parpol heboh kampanye, datang ke kantor saya seorang kader partai X pada Sabtu sore. Mencari direktur buat dimintain opininya soal politik. Saya bilang aja kalau direkturnya tidak berkantor yang sama dengan saya, jadi salah alamat. Salah jadwal jelas, Sabtu sore gitu lho.. Nggak dapet direkturnya, sang kader masih minta siapa aja orang yang ada yang bisa mewakili lembaga untuk berbicara. Kesan terburu-buru ngejar deadline langsung bisa saya baca. Sebentar... meskipun lembaga kami pra pemilu ini juga ikut heboh dengan kontrak politik, pendidikan politik untuk pemula, pelatihan ini itu buat caleg dan parpol, tapi kami tidak berafiliasi dengan salah satu partai pun. Saya akhirnya bilang, 

"Lho, kemarin-kemarin kemana aja?" Dia langsung pamit deh hehehe..

Selain spanduk yang ganggu mata, dengan tingkah caleg yang macem-macem (saya dikirimkan by email foto kampanye caleg dari yang mulai gaya artis, artis beneran, bawa-bawa anaknya yang artis, bawa silsilah keluarganya, berfoto bersama hewan kesayangan: macan, monyet, gaya pahlawan, gaya Obama, gaya petinju, sampai yang sok-sok an bilang: Jangan Pilih Saya.. huh, capek deh), segala jurus digunakan para caleg dan parpol buat menggaet massa. Tengok facebook, dipikirnya masyarakat kita yang terkoneksi internet berapa banyak sih, dari yang terkoneksi itu, berapa banyak yang punya dan rajin buka facebook, dan yang punya plus rajin facebookan itu berapa banyak juga yang tertarik. Gak tanggung-tanggung, sekitar 7-8 trilyun rupiah berputar dalam bisnis perkampanyean ini (buat auditnya aja ngabisin 1 trilyun, duit semua) Tadi siang lain lagi, saya dapat kampanye via SMS! Saya pikir cuma KPU yang punya modal sosialisasi macam itu. SMS yang saya terima bernada pantun mengajak memilih partai yang iklannya pernah dikritik karena bawa-bawa tokoh panutan partai lain, dan terakhir dianggap munafik oleh kawan-kawan di milis karena menampilkan pluralisme tapi banyak yang curiga partai itu punya hidden agenda menjadikan Indonesia negara dengan landasan satu agama. Saya bales aja (kurang kerjaan juga sih): 

"Emang partai anda bisa ngasih apa?"
baca selengkapnya

1 Maret 2009

Oleh-oleh Workshop Kantor Berita


Dua hari yang lalu, saya ikut workshop. Rencananya lembaga tempat saya kerja mau mengembangkan kantor berita. Agak menyesal saya datang terlambat karena harus memfasilitasi sebuah forum dulu, karena begitu saya nongol,  sesi sudah mulai dengan pembicara Bang Ashadi Siregar. Tak apalah.. Kantor berita yang akan kami kembangkan adalah kantor berita dengan perspektif HAM, kesehatan reproduksi, seksualitas, dan gender. Yah.. karena kami kecewa dengan pemberitaan di media mainstream yang kebanyakan bias gender, diskriminatif, melanggengkan stigma, dan macam-macam lainnya. Di akhir sesi hari pertama kami diberikan masing-masing sebuah berita yang diambil dari berbagai macam sumber, yang dianggap masih stigmatif dan diskriminatif. Tugas kami adalah menganalisa berita tersebut.

Saya kebagian berita dengan judul "106 ABG Diciduk Polisi" (Buset.. dari judulnya aja udah ketahuan tuh berita kayak gimana). Ceritanya, di berita itu, ada sebuah cafe yang diduga sedang melangsungkan pesta miras. Datanglah polisi. Gak dapet bukti ada pesta miras, ujung-ujungnya, remaja (ABG? Baru Gede mulu kapan gede benernya?) ini dimintain kartu identitas. Karena pada gak bawa, ditangkaplah mereka. Lha.. ya kontradiksi.. katanya ABG, tapi kok mesti punya kartu identitas? Kartu pelajar maksudnya? Ada aja... Kesannya tuh polisi emang nyari-nyari..  Nah kok ya jurnalisnya juga tetep aja nulis berita kayak gitu. Ganti kek pake judul "Tidak Jadi Operasi Miras, Polisi Razia Kartu Identitas Biar Ada Kerjaan" (judul apaan nih panjang betul), terus jadiin cerita dodolnya para polisi itu buat berita. Tapi ya.. tar jurnalisnya yang malah ditangkap. Atau nggak, belum-belum redakturnya udah mencak-mencak gara-gara beritanya gak "seksi". Susah ya para jurnalis itu..

Kalau ingat prinsip pertama dari 9 Prinsip Jurnalisme yang berbunyi: Kewajiban pertama jurnalisme adalah pada kebenaran. Sayangnya, kebanyakan jurnalis memaknai point ini dari sisi kebenaran empiris dan legalitas saja (begitu kata Bang Ashadi). Artinya, jurnalis melihat bahwa ada sebuah fakta dan bagaimana kaitan dengan hukum positif yang ada. Padahal, ada kebenaran lain yang lebih universal, yaitu kemanusiaan. Ketika berita tentang razia terhadap perempuan pekerja seks, misalnya, jurnalis melihat bahwa ada fakta tentang razia tersebut, dan bagaimana pekerja seks telah melakukan pelanggaran hukum dan norma sosial. Akhirnya berita yang muncul  semakin memojokkan posisi perempuan pekerja seks, tidak berusaha untuk menampilkan sisi yang lebih manusiawi. Secara teknis, kemanusiawian ini bisa ditampilkan dari pemilihan kata yang tidak bias, tidak menghakimi, dan sebagainya. Lebih dalam lagi, tentu bagaimana membuat pemberitaan menjadi berimbang, dari sisi narasumber, dari aspek yang digali, dan semacamnya (wah wah.. berasa gampang aja jadi jurnalis itu..). Bukan hanya mencari narasumber dari pelaku razia (polisi, satpol PP, dkk) dan melihat dari cara pandang mereka saja.  Toh, prinsip kedua jurnalisme adalah: Loyalitas pertama jurnalisme adalah kepada warga masyarakat, yang berarti bukan pada pihak tertentu, apalagi penguasa.

Saya sempat berpikir, mungkin ada banyak jurnalis yang mencoba menulis dari sisi ini, sisi yang lebih manusiawi. Tapi mungkin nanti dianggap beritanya tidak netral, lebih memihak kelompok tertentu, tidak sesuai norma, dan lainnya. Atau ada yang berusaha netral tapi kesulitan melepaskan diri dari doktrin yang sudah berkembang di masyarakat. Sama kasusnya dengan  ilmu pengetahuan. Sepertinya, tidak ada yang bisa benar-benar netral. Para ilmuwan misalnya, tetap saja senetral-netralnya menyusun teori tetap ada pengaruh lingkungan sosialnya. Ujung-ujungnya, teorinya malah menguntungkan beberapa pihak dan merugikan lebih banyak pihak lainnya.
baca selengkapnya

28 Februari 2009

"Bu, Aku Payu KR Siji!"


Siang itu saya sedang terburu-buru mengendarai motor menuju kantor. 8.. 7.. 6.. countdown lampu hijau di perempatan Galleria Mall membuat saya semakin buas demi tak tertahan lampu merah. Tiba-tiba motor di depan saya ngerem mendadak. Beruntung, saya juga sigap, segera mengerem, dengan dongkol dalam hati. Geram rasanya karena saya akan ketinggalan lampu hijau dan siap-siap nongkrong di lampu merah dengan sengatan matahari. Sial. 

Rasa kesal saya segera sirna begitu tahu alasan si pengendara motor depan saya itu ngerem mendadak. Seorang anak kecil, berusia kira-kira 4 tahun, tiba-tiba nongol di depan motornya sambil membawa beberapa lembar koran, sambil berkata pada seorang ibu yang sedang duduk di trotoar.

"Bu, aku payu KR siji!" (Bu, aku berhasil ngejual KR -koran di Jogja- satu!)

Deg. Beruntung saya tidak jadi mengumpat-umpat. Beruntung saya berhasil ngerem. Beruntung saya dulu tidak harus bertelanjang kaki berjualan koran di jalanan saat matahari sedang terik-teriknya.
Bagi si anak, berhasil menjual satu koran saja mungkin sudah menjadi hal yang membahagiakan.

Enak sekali si ibu (entah ibu kandungnya atau ibu apanya), tinggal menyuruh anaknya jualan koran, dia ambil untungnya. Eh, tapi bagaimana kalau sebenarnya si ibu yang jualan koran cuma karena tiba-tiba kakinya pegal, si anak lalu merasa mendapat "mainan baru" jualan koran? Atau bagaimana jika ternyata si ibu itu pelaku trafficking? Bagaimana jika ia adalah seorang ibu yang tidak tahu soal hak anak, yang penting bisa nyari duit buat makan sambil bawa anak, syukur-syukur anaknya bantu...

Saya mendukung ketika hidup di jalanan adalah pilihan, bagi mereka yang sudah bisa memilih. Remaja dan orang dewasa saya asumsikan sudah memiliki kemampuan ini. Kesalahan Negara adalah pada perlindungan bagi mereka yang memang memutuskan untuk hidup di jalanan. Yang terjadi kan justru mereka dianggap mengganggu ketertiban atau apalah.. yang katanya itu dipermasalahkan oleh masyarakat (masyarakat yang mana?) Lalu mereka ramai-ramai ditangkap, katanya mau dibina segala macam, tapi yang terjadi justru kekerasan.

Ketika saya melihat anak-anak hidup dan bekerja di jalanan, kekesalan saya terhadap Negara makin menjadi-jadi. Awalnya, seperti kebanyakan orang, saya salahkan orang tua mereka. Kok ya ada orang tua yang tega membiarkan anaknya bekerja di jalanan saat teman-teman sebayanya asik menggambar di kelas terus main ayunan saat istirahat? Kok ya ada orang tua yang tega minjemin anaknya buat digendong kemana-mana demi mengetuk hati para pemakai jalanan? Tapi kemudian, saya sadar bahwa ada sistem sosial (mulai nih...) yang membentuk pola seperti ini. Pemiskinan yang dilakukan oleh Negara telah membuat individu-individu mengambil jalan pintas penuh resiko, bekerja dan mempekerjakan anak-anak mereka di jalanan. Pemiskinan ini ya bisa dilihat dari bagaimana Negara tidak bisa menyediakan lapangan kerja, Negara tidak bisa menyediakan pendidikan gratis yang adil dan merata. Parahnya, mungkin tidak sadar bahwa kondisi ini hasil karya mereka,  selain mengebiri hak-hak mereka yang lainnya (hak layanan kesehatan misalnya), Negara malah dengan angkuhnya membuat serangkaian aturan yang mendiskriminasi mereka, yang tidak mengijinkan mereka menjejakan kaki di jalanan lagi. Misalnya dalam KUHAP Pasal 505, ada  ancaman kurungan maksimal 3 bulan untuk orang yang melakukan penggelandangan di tempat-tempat umum.

Lha.. kalau mengutip kata-kata dalam Untitled (Video Komunitas Remaja Jalanan Minority, 2008),

"Negara miskin kok ngelarang rakyatnya miskin?!"

Kalau Negara pinter, para orang tua yang mencari nafkah di jalan ya gak cuma dikasih ceramah ini itu, tapi coba deh dikasih keterampilan. Tidak berhenti sampai di sana, ajarin juga cara pemasaran, cara memutar modal, mengelola keuangan. Nah, anak-anaknya disekolahin pakai uang Negara yang banyak dikorup itu. Katanya "Fakir miskin dan anak terlantar dipelihara oleh Negara (UUD 45 Pasal 34 ayat 1)" ? Kalau saya sih pengalamannya melihara kucing, saya kasih makan rutin pagi siang malam (untungnya saya nggak budek, jadi kalau saya lupa ngasih makan saya bisa dengar kucing saya mengeong-ngeong kelaparan), saya belai-belai (dijewer sedikit kalau maling ikan), saya kejar kucing lain yang suka ganggu kucing saya (bukan saya kejar kucing saya sendiri, kecuali lagi kalau kucing saya berhasil maling ikan), pernah suatu kali punggungnya robek gara-gara berantem, saya juga yang bawa dia ke dokter, ngobatin lukanya tiap hari sampai si kucing bisa main-main lagi. Senakal apapun kucing saya, karena biasanya saya melihara kucing anaknya kucing-kucing saya sebelumnya, atau saya ambil kucing lain, dua-duanya jelas bukan keinginan si kucing, jadi ya saya merasa bertanggung jawab atas kehidupan peliharaan saya
baca selengkapnya

26 Februari 2009

Apa Jenis Kelamin Anda?


Pertanyaan status jenis kelamin kita biasa kita temukan saat mengisi hampir semua formulir yang harus kita isi. Tentu yang dimaksud ya berdasarkan alat kelamin alias organ reproduksi kita. Yang berpenis, bertestis ya berarti laki-laki, yang bervagina, berovarium, ya silakan menuliskan Perempuan atau melingkari huruf "P".
Sesederhana itukah? Bagi sebagian besar orang, iya. Tapi tidak bagi yang lainnya. Ada yang berpenis dan bertestis tapi merasa dirinya perempuan, demikian sebaliknya. Ujung-ujungnya, "ya sebutkan saja sesuai dengan alat kelamin yang dimiliki!" Eits, ternyata bagi sebagian yang lain hal ini juga masih menjadi sesuatu yang membingungkan ketika tidak disediakan pilihan yang sesuai dengan kondisi fisiknya.

Kita mengenal istilah hermaphrodite. Walaupun sering kali istilah ini lebih banyak dibahas dalam pembahasan dunia fauna, hermaphrodite juga berlaku bagi manusia.

Secara sederhana, hermaphrodite berarti memiliki dua alat kelamin. Bisa jadi salah satunya tidak berkembang secara sempurna, atau mungkin keduanya. Baru sore tadi saya dapat informasi kalau istilah hermaphrodite terdiri dari 3 jenis, pertama Herma, yang digunakan untuk mereka yang memiliki testis dan ovarium. Kedua (istilah lain yang baru saya dengar), adalah Verma, yang digunakan untuk mereka yang memiliki ovarium dan organ reproduksi laki-laki selain testis. Ketiga (istilah yang juga baru saya dengar) adalah Merma, yang digunakan untuk mereka yang memiliki testis dan organ reproduksi perempuan selain ovarium. Yang menjadi pertimbangan adalah adanya testis dan ovarium, bukan penis atau vagina (saya sendiri masih mencari informasi yang akurat mengenai hal ini, karena sepengetahuan saya, istilah hermaphrodite sudah diganti dengan istilah Intersex yang selain bermakna lebih positif, juga melingkupi keunikan seksualitas manusia secara fisik, baik itu yang tampak dari organ reproduksi maupun keunikan kromosom. Bagi yang punya informasi lebih dalam, jangan sungkan berbagi hehe..)

Saya lalu berkata pada kawan saya, "Wah, kalau istilah itu besok diterima universal, berarti pilihannya: P/V/H/M/L, gak cuma P/L ya? Seru tuh!" (Atau mungkin P/I/L jika istilah Intersex dianggap cukup mewakili keberagaman lain seperti yang sudah saya sebutkan di atas) Kawan saya tersenyum geli. Ia lalu mengomentari pencantuman identitas Waria dalam pilihan jenis kelamin di KTP. Istilah Waria yang dianggap sebagai kelompok Transgender ini diakui sebagai sebuah identitas di Papua pada tahun 1998 dengan dicantumkannya "Waria" dalam kolom di KTP. Transgender bukanlah isu tentang jenis kelaminmu apa, tapi apa identitas gendermu. Gender tidak sama dengan Seks, walaupun kedua istilah itu sering dipertukarkan secara salah kaprah . Jika yang dimaksud di KTP dengan Jenis Kelamin adalah Seks, pengakuan identitas Waria jadi nggak nyambung donk? "Berarti di KTP ditambahin lagi: Identitas Gender, ada P/L/W.. dan.. transgender FtoM." Saya lalu berkomentar, "jadinya KTP kita penuh banget! Kalau kayak gitu mending di KTP nggak usah pake jenis kelamin aja kali ya.."

Tanpa menafikan bahwa perjuangan pengakuan identitas Waria di KTP adalah untuk menunjukkan pengakuan Negara terhadap eksistensi waria dan menunjukkan seksualitas itu tidak biner laki-laki dan perempuan, saya pribadi jadinya memang menganggap pencantuman jenis kelamin di KTP menjadi tidak penting karena begitu beragamnya seksualitas manusia, sementara KTP (dan otak di baliknya) tidak bisa mengakomodir keberagaman tersebut. Hal yang sama juga terjadi pada pencantuman agama, di Indonesia jelas hanya dibatasi agama-agama tertentu. Agama lain? Silakan pilih yang mendekati, suka-suka deh, atau sebut saja aliran kepercayaan. Pokoknya pilih yang sudah-kami-cantumkan-di-formulir! Di negara lain yang lebih maju seperti apa sih KTP nya? Apa jenis kelamin dan agama juga masih dicantumkan?

"KTP? Di negaraku tidak ada kartu identitas seperti itu," kata kawan saya dari New Zealand, Emily, saat saya dan kawan-kawan dulu juga pernah mendiskusikan hal ini.
baca selengkapnya

16 Februari 2009

Saat Hujan...


Saya masih di kantor..


Biasa, jadi penghuni terakhir.


Tiba-tiba hujan deras sekali dan saya repot mesti tutup pintu dan jendela takut ruangan kecipratan air. Eh, ternyata, di parkiran samping ruangan saya ada seorang ibu yang sedang berteduh bersama sepeda tuanya. Deg.. entah, setiap melihat perempuan paruh baya seperti itu, saya lalu teringat perempuan yang sudah melahirkan dan membesarkan saya yang saya panggil "mama".


Tidak, mama saya tidak bersepeda tua kemana-mana.


Tapi mungkin ia pernah berteduh entah dimana saat hujan deras di perjalanan.


Yang pasti ia yang selalu saya cari saat hujan deras disertai sambaran petir.


Yang selalu saya cari saat listrik tiba-tiba mati dan saya menangis ketakutan.


Yang membawakan lilin kecil walaupun tanpa nyanyian nina bobo.


Kok saya kangen?


Saat saya silau dengan keadaan orang lain, Ia  selalu mengingatkan... "Jangan lihat ke atas, lihat ke bawah kamu.. sekeliling kamu.."


Saat saya berkeluh kesah tentang nasib,  Ia selalu mengatakan, "Hidup itu selalu berputar.. Kalau sudah pernah di atas, ya sekarang saatnya di bawah.."


Saat saya menentukan nasib, Ia selalu memberi semangat, "Ya, Mama cuma bisa mendoakan..."


Biasa menjadi tak biasa karena orang yang mengucapkannya bukan orang biasa-biasa, setidaknya bagi saya, Ia adalah orang yang luar biasa.
(lho kok lama-lama blog saya isinya curhat...)
baca selengkapnya

14 Februari 2009

Kerja di LSM (?)


"Kerja dimana?"


"LSM."


"Kerja kok di LSM?"


Beberapa kali pertanyaan tersebut dilontarkan kepada saya. Dari teman, keluarga, atau orang yang baru saya kenal di dalam kereta. Biasanya saya jawab, ya karena saya juga harus masuk tiap hari (meskipun gampang buat bolos), ada yang saya kerjakan (kadang lembur, kadang hanya becanda dengan kawan-kawan di kantor), dan ada pendapatan juga (walaupun sering merasa iri dengan teman yang kerja dengan gaji berjuta-juta).


Pertanyaan selanjutnya, "Kenapa kerja di LSM?" Untuk menghemat perbincangan, saya jawab saja, "Malas kerja kantoran." Hehe.. Saya dulu pernah membuat list enaknya kerja di kantoran, salah satunya adalah kelenturan kerja di LSM. Mana bisa kerja kantoran (eh, saya juga kantoran dink.. maksudnya kantoran di pemerintah atau perusahaan) masuk kerja jam 11 siang, pake kaos oblong dan sendal jepit? Haha..


Idealisme. Sebenarnya, mungkin itu yang mendorong saya untuk kerja di LSM (saya tegaskan, "mungkin", karena saya sendiri kadang masih menempatkan alasan "malas kerja kantoran" di urutan pertama). Di sini, mata saya terbuka begitu banyak orang yang tertindas karena sistem (stop! malah jadi diskusi berat). Bagi saya, yang ideal adalah, semua orang mendapatkan haknya. Dan cara mewujudkan idealisme tersebut ya dengan bekerja di LSM.


Baru kemarin-kemarin saya berpikir, kalaupun saya ingin melakukan sesuatu yang berguna bagi masyarakat, apa iya saya harus kerja di LSM? Bisa juga tho saya bekerja di tempat lain, sambil menyebarkan isme saya, dan melakukan sesuatu yang ada gunanya buat masyarakat? Saya coba membayangkan, saya bekerja kantoran, berangkat jam 8 pagi, pulang jam 4-5 an.. mungkin masih lembur.. apa saya masih sempat?


Beberapa hari lalu saya SMS an dengan relawan baru, soal idealisme dan amanah (hah??).  Kami berbeda pendapat soal "amanah".  Saya bilang, kalau ideologi itu ya berhubungan juga dengan cara kita melihat amanah tuh seperti apa. Bagi saya, menjalankan amanah ya melakukan apa yang bisa saya lakukan untuk menolong orang lain yang masih tertindas. Kalau tidak salah, yang saya pelajari dulu, amanah bagi manusia adalah menebarkan kebajikan dan kebenaran di muka bumi. Bajik dan benar menurut siapa? Kalau kata kaum fundamental mungkin ya, "Menurut Tuhan, seperti ada dalam Kitab!" 


Nah, saya balik lagi.. Memangnya, kitabmu berbicara tentang apa? Benarkah penafsirannya selama ini? Apakah memang itu yang Tuhan inginkan? Belum lagi kalau urusannya sama kaum Agnostik dan Atheis.. walah.. tambah repot. Maka, bajik dan benar menurut saya ya yang tidak saling menyakiti, merugikan satu sama lain, semua orang dapat hidup dengan nyaman.
baca selengkapnya

Twinkle Little Star

….I was sitting on the grass when the star came to me.

“I’ve been waiting for you for one hour! Where have you been?”

The star didn’t answer my question, he jumped to the top of tree and began to sing. I was so annoyed, but on the other hand, I adored his shining. It was so bright and I feel warm and comfort.

He said, “So, what’s going on? You look so terrible…”

I sighed, “It’s happen again. I’ve lost a lot of friends.”

“Have you ever counted how many friends you’ve lost?” the star said.

“No, it doesn’t matter, does it?” I answered.

“Yeah, it doesn’t matter. So, what’s the problem?” the star smiled at me.

“I feel so empty. I don’t have a friend that I can share with anymore…”

“Hoo… so what am I?” the star acted like a child.

I laughed, “You are a star. We are different, right? I mean.. I don’t have a human - friends anymore. It’s impossible to ask you hang out in a coffee shop or discuss some movie that we have watched together, isn’t it?” I saw his face. He was thinking about something. Suddenly I realized that he didn’t know what coffee shop and movie are, but I didn’t care.

“I want to be like you, to be a star. There are many stars in the dark of night. You are never alone…” I continued.

“Let me tell you something and look at the sky. We seem together, but actually we are separated so far away. I know that I will never meet again with a star that I’ve ever met. For example, when I was going to this Earth, I met a beautiful star from Jupiter. We talked much about Mars, Saturn, and Black Hole. He was a great friend. But I realized that even I could get the same way to turn back, that beautiful star perhaps have crushed to some planets or some asteroids, or perhaps he banged because he got older. There is no mortality in this world. Something may and have to disappear, and a new one will come to you. It’s so natural. I think, you knew about this kind of universal law…” the star finished his words with a hard sigh.

“Yea… I know. But the hard thing is how to let your friend away from you… We have done many things together.” I remembered the last friend that gone. The star didn’t give a responsive word. He continued to sing his song… 


“twinkle… twinkle little star…”
…..

baca selengkapnya

31 Januari 2009

Masih tentang Isu Perempuan

Saya baru pulang dari Jakarta, mengikuti sebuah workshop. Tapi bukan  workshopnya yang ingin saya ceritakan. Pada malam terakhir saya di Jakarta, kawan-kawan mengajak makan di daerah Kemang. Karena background kami semua dari NGO, obrolan pun tidak lepas dari topik hak azasi manusia, isu universal yang mengaitkan perbedaan ranah juang masing-masing lembaga. Perbincangan bergulir dari isu orang (di)hilang(kan), homoseksualitas, layanan kesehatan, dan macam-macam. Sampai pada topik yang sangat menarik, karena bagi beberapa orang, termasuk saya, informasi tersebut tergolong baru.


Seorang kawan dari Stigma, lembaga yang concern pada isu harm reduction NAPZA, menceritakan pengalamannya saat bekerja di lembaga lain. Job desc nya adalah mengunjungi lapas-lapas yang ada di Jakarta. Sudah rahasia umum (atau hanya beberapa gelintir orang saja yang tahu?) peredaran NAPZA di dalam penjara justru didukung oknum sipir yang mencari keuntungan dari para tahanan.


"Temen gw sampai ada yang nyolong sendal jepit terus ngotot minta dikasusin. Setelah gw tanya, alasan dia adalah: kan lebih enak di penjara, nyari barangnya gampang!" Penjara akhirnya menjadi solusi dari pengguna NAPZA untuk mendapatkan 'barang' dengan cara yang mudah! Gila! Itu alasan mengapa penjara memang tidak menjadi solusi bagi para korban pengguna NAPZA.


Perlakuan oknum polisi, yang katanya mengabdi pada masyarakat, jangan ditanya bagaimana bejatnya, terutama bagi para korban NAPZA. Korban NAPZA laki-laki (masih beruntung) mendapatkan kekerasan fisik dan verbal. Dipukul. Disulut rokok. Macem-macem..  Yang perempuan? Tragis.. Kawan saya menceritakan kisahnya sendiri ketika ia ditangkap polisi atas tuduhan pengguna NAPZA. Ia ditelanjangi di sebuah lapangan terbuka dan tidak boleh menutupi bagian tubuhnya. Selesai dipermalukan di depan banyak orang, ia digiring ke kantor polisi, ditelanjangi lagi!  Vaginanya dikorek-korek karena dianggap menjadi tempat menyembunyikan barang bukti. Punggungnya jadi asbak. Belum pukulan dan serangkaian kata-kata 'mutiara' dari mulut sang polisi. Polwan? Bukan. Polisi laki-laki. Polwan ada, hanya duduk-duduk. Dan tidak ada satupun yang mengenakan badge nama di bajunya, kecuali polisi yang bertugas membuat laporan. Aparat yang jelas-jelas perpanjangan tangan Negara kan seharunya menjamin hak azasi ya? Lha ini kok...


Kasus kawannya lebih parah lagi. Sang kawan tertangkap bersama pacar laki-lakinya. Sang polisi lalu menawarkan solusi: tukar badan alias, "lo mau cowok lo bebas,  lo harus berhubungan seks sama gw." Kasus ini kemudian dibawa ke Komnas Perempuan, yang kemudian hanya ditanggapi angin-anginan ("Malah diceramahi..") Perempuan rupanya masih dilihat parsial bahkan oleh orang atau lembaga yang mengaku peduli pada isu perempuan.


Masuk penjara, tahanan perempuan di lapas khusus perempuan nasibnya tambah ngenes. Contohnya untuk masalah pembalut. Di sebuah lapas, tahanan perempuan hanya mendapatkan handuk kecil (oya.. masih dipotong dibagi dua) sebagai pembalut saat mereka menstruasi. Handuk itu yang dipakai selama mereka dalam tahanan. Tidak diganti. Lho, memang tidak ada pembalut? Ada, harganya 3 kali lipat dari harga di luar lapas. Untuk urusan hubungan seksual, di lapas laki-laki biasanya diberikan waktu khusus bagi mereka yang sudah memiliki istri untuk melakukan hubungan seksual di dalam penjara. Di lapas perempuan? Tidak ada aturan itu. Perempuan masih dianggap aseksual, objek seksual.


Selipan aja, ada kasus juga belum lama ini di Jogja ketika seorang remaja jalanan perempuan yang hamil di luar nikah, meminta perlindungan hukum dari lembaga yang katanya concern pada isu perempuan. Hasilnya: ditolak karena dia tinggal di jalanan


Huff.. hanya ingin mengetuk orang-orang yang katanya pejuang isu perempuan.. Lesbian, korban NAPZA, perempuan jalanan, perempuan pekerja seks, perempuan difabel, transseksual male to female, buruh perempuan, perempuan Tionghoa, apakah harus dipisah-pisahkan jika memang terjadi kekerasan terhadap mereka?
baca selengkapnya