25 November 2012

Kenapa Kerja di LSM


Lima tahun lalu, saya dan seorang kawan dikirim ke sebuah pertemuan di Jakarta yang membahas isu pemiskinan. Pesertanya adalah remaja-remaja dari beberapa daerah di Indonesia dan dari beberapa negara di Asia Pasifik. Meskipun isunya luar biasa, tapi ada dua hal yang  saya dan kawan saya tidak bisa lupakan dari pertemuan tersebut. Pertama, saat di hari terakhir kami diajak melakukan field visit ke bantaran Kali Ciliwung yang ujung-ujungnya cuma arak-arakan peserta naik perahu di kali tersebut. Memalukan. Saya dan kawan saya mungkin saat itu terlalu berharap. Namanya field visit ya bersosialisasi dan menggali permasalahan di sana, tidak bisa kami lakukan.

Kedua, adalah percakapan kami dengan satu peserta dari Jakarta di sarapan hari pertama. Saya dan kawan saya memperkenalkan diri, dan si peserta ini juga memperkenalkan diri sebagai seorang aktivis. Dengan gaya sangat bangga, menyebutkan satu organisasi internasional yang bergerak di isu lingkungan. Saya lalu bertanya, apa saja kegiatannya. Jawabnya: (kira-kira saja, soalnya buka memori 5 tahun lalu itu butuh energi luar biasa hehe..)

"Belum banyak sih... Ya bagi-bagi leaflet, ikut aksi, gitu-gitu lah..."

Saya dan kawan saya terdiam. Hening. Saya yakin saat itu kawan saya berpikiran sama dengan saya. Dan terbukti benar, karena belakangan, kami berdua tertawa terbahak-bahak membicarakan sang aktivis tersebut. Gayanya selangit, ngaku aktivis, kerjaannya bagi leaflet di jalan! Aktif bagiin leaflet, maksudnya? Maklumlah, saat itu, saya dan kawan saya sudah cukup lama bekerja di LSM dan masih merasa tidak pantas menyandang predikat aktivis.

Saya mulai berkecimpung di dunia LSM sejak saya kuliah. Dan baru berhenti beberapa bulan lalu. Bertahun-tahun di LSM, saya tidak hanya jadi tahu soal berbagai isu, tapi juga jadi tahu macam-macam LSM dan orang-orang yang terlibat di dalamnya. Ada LSM yang kerjaannya nyari donor tapi nggak ada hasil, ada LSM yang luar biasa mandiri dan mampu menjadi agen perubahan sosial, ada  LSM yang sangat profesional, ada LSM yang penuh dengan kekeluargaan, ada juga LSM yang cuma plangnya doang. Demikian juga orang-orangnya. Ada yang cuma nongol setahun sekali terus udah ngaku aktivis itu tadi, ada yang kerja bertahun-tahun sampai jadi pimpinan tapi masih disangka office boy sama tamu baru, ada yang lebih sibuk koar-koar, ada juga yang lebih suka main di belakang panggung.

Well, kenapa saya menulis ini? Akhir-akhir ini pandangan orang terhadap LSM mulai berubah. Kalau dulu dianggapnya masuk LSM itu seperti ikut organisasi (beginilah ayah saya berpikir tentang LSM), sekarang berkegiatan di LSM juga sudah dianggap sebagai bekerja. Apa pasal? Belakangan, kerja di LSM itu sudah seperti kerja di kantoran. Beberapa LSM mulai dikelola dengan sangat profesional. Ada jenjang karir dan sebagainya. Tapi tentu saja, tidak ketinggalan intrik-intriknya, baik di dalam organisasi maupun antar organisasi (isunya beragam, dari mulai pergulatan idealisme sampai ke masalah sesepele tai kuku: rebutan lahan).

Perubahan pandangan ini membuat banyak orang lantas memutuskan untuk bekerja di LSM.  Dan, orang yang sudah pernah bekerja di LSM juga mungkin akan berubah pandangannya terhadap LSM hehe..

Ada beberapa pertimbangan yang bisa anda lakukan sebelum mengambil keputusan bekerja di LSM. Ini murni hasil kreativitas saya, hanya berdasarkan observasi tanpa dukungan data-data sahih, jadi silakan kalau ada yang merasa tidak terima. Sesuai dengan judul postingannya, pertimbangan ini didasarkan pada kenapa kerja di LSM.

  1. Kalau niat anda bekerja untuk mencari uang, ya jangan di LSM. Beberapa orang yang saya tahu aktif berkegiatan di LSM, punya usaha sampingan yang jauh dari isu LSM nya. Atau ada juga yang sebaliknya, punya usaha sendiri dan menjadikan berkegiatan di LSM sebagai sampingan untuk menyalurkan sisi sosialnya. Realistis saja, perut perlu diisi, demikian juga dompet, pulsa, ruang tamu dan garasi. Bagi orang-orang yang saya sebut itu, kondisi nyata ini diakali dengan punya usaha sendiri itu tadi. Tapi bagi beberapa yang lain, punya cara mengakalinya sendiri: bergabung dengan satu LSM, bikin proposal, lalu setelah proposal diterima dan selesai urusan tanda tangan, sebelum menjalankan proyek, potong dulu budgetnya, sisakan untuk rekening pribadi dan tim sambil memikirkan bagaimana cara melaporkannya nanti ke sang donor. Tidak manusiawi? Ah, niatnya kan buat cari uang... Buka-bukaan sajalah, toh nyatanya, masih banyak orang yang menganggap negatif orang-orang yang bekerja di LSM, dianggap cuma jualan proposal atau jualan nasib orang lain. Tak ada asap kalau tidak ada api, nyatanya memang ada yang seperti itu. Tapi tentu, tidak semua. 
  2. Kalau niat anda bekerja untuk cari pengalaman, ikut seminar dan konferensi di luar kota dan luar negeri, anda perlu usaha ekstra. Setahun dua tahun bekerja di LSM saja tidak cukup dijadikan modal untuk mengantarkan anda berkeliling nusantara dan dunia. Sadarlah, ada banyak orang yang sudah bekerja bertahun-tahun di LSM  yang pastinya lebih layak kirim, kecuali anda bisa menunjukkan prestasi yang luar biasa dalam waktu cepat. Oya, semakin besar LSM anda, semakin kesempatan kemana-mana ini lebih besar, apalagi jika anda bergabung di organisasi internasional. Lagi, organisasi internasional selain mengandalkan referensi, juga akan melihat pengalaman anda bekerja di LSM lokal sebelumnya.
  3. Kalau niat anda bekerja untuk menyalurkan kemampuan anda, sah-sah saja. Biasanya, ini dilakukan oleh orang-orang yang punya kepedulian cukup terhadap permasalahan sosial, tidak terlalu peduli isu spesifiknya apa, tapi punya kemampuan teknis yang ingin disalurkan. Saya kenal beberapa orang seperti ini, bisa berpindah-pindah isu tapi konsisten pada bidangnya.
  4. Kalau niat anda bekerja untuk menjadi aktivis, gampang, bagi-bagiin aja leaflet di jalan dan ikut aksi (hehehe... tetep ya dibahas). Di otak saya, aktivis itu identik dengan popularitas. Label aktivis diberikan oleh orang lain. Jadi ya kalau ini memang tujuan anda, bukalah jaringan sebanyak mungkin dan konsisten dengan isu yang anda perjuangkan. Tentu, harus aktif. Namanya juga aktivis.
  5. Kalau niat anda bekerja adalah agar mendapatkan lingkungan yang nyaman, jam kantor yang lebih fleksibel dan pakaian bebas, maka selamat bergabung di LSM. Tapi ingat ya, jam fleksibel memang artinya anda tidak masuk kantor dari jam 8 sampai jam 4, namun konsekuensinya adalah anda bisa lembur sampai mampus atau weekend anda terganggu dengan pelatihan ini, pertemuan itu, belum lagi saat ada kasus atau event khusus.
  6. Kalau niat anda bekerja untuk mengabdi kepada masyarakat, tidak usah bekerja di LSM, tapi jadilah pegawai negeri. Eh? Bukannya PNS itu abdi masyarakat ya? Terserahlah... Tapi ini serius, kalau memang niatnya untuk melakukan sesuatu bagi banyak orang, LSM memang bisa memberikan jalan, tapi tidak melulu. Fenomena (cieh..) yang saya lihat adalah begini, banyak orang bergabung di LSM memang awalnya karena tertarik dengan isunya dan merasa terpanggil untuk berjuang di isu tersebut, tapi lama kelamaan, asiknya dunia LSM melarutkan mereka (halaah..), lebih sibuk ngurus laporan buat donor, lebih sibuk meeting dan konferensi, sampai yang paling parah, lebih sibuk ngumpulin duit, lupalah niat awalnya. Kalau anda sering nonton Kick Andy, kita bisa melihat banyak orang yang melakukan sesuatu bagi orang lain dengan jalan mereka sendiri-sendiri, bukan? Mereka bisa kita jadikan contoh bagaimana melakukan sesuatu untuk masyarakat tanpa terlibat dengan suatu organisasi atau LSM. Lebih tidak ribet mungkin iya, tapi modal yang diperlukan tentu lebih banyak, dari mulai waktu, tenaga bahkan dana karena kita akan lebih banyak bekerja sendiri.

Kesimpulan tulisan ini: Tidak ada. Sekian, terima kasih.
baca selengkapnya

3 November 2012

Ayo Bersepeda!

"Wah muka kamu kok bersihan? Perawatan?"

Itu kata teman saya, semalam, saat kami sudah sekitar 10 bulanan tidak bertemu. Ini bukan kali pertama saya dapat komentar yang sama dari teman lain. Tentu saya senang karena teman saya bilang saya sekarang lebih bersih. Tapi tersinggung juga kalau disangka perawatan. Tersinggung karena boro-boro buat rawat muka, ngurusin perut aja masih morat-marit. 

Saya jawab saja, sedikit asal tapi masih masuk akal:

"Mungkin karena olah raga, jadi peredaran darahnya bagus."

Saya olah raga? Nah, itu baru berita. Setelah lulus sekolah, saya hampir tidak pernah olah raga kecuali jalan kaki ke kampus, nyuci pakaian setumpuk, dorong motor yang kehabisan bensin di tengah jalan atau melemas-lemaskan otot saat bangun tidur. Saat sekolah saja, saya olah raga cuma sekali seminggu pas ada pelajarannya, dan saya lebih senang kalau gurunya tidak masuk, membebaskan murid untuk beraktivitas fisik, yang artinya saya akan memilih nongkrong di kantin.

Lalu, olah raga yang saya lakukan sekarang apa? Saat saya pindah ke Jogja, saya memutuskan untuk beli sepeda. Tanpa motor. Jujur dari hati yang paling dalam (dan tidak banyak yang percaya), saya sedang mencoba untuk lebih 'hijau', nggak nambah-nambahin asap di jalan. Dan mengandalkan transportasi umum yang nyaman di Jogja itu sama seperti mengandalkan Donald Bebek untuk jadi konselor saya. Alasan lainnya, tentu saja soal dana. Hahaha.. terdengar lebih realistis.


Well, soal bersepeda, saya mau berbagi keuntungan yang saya dapat dengan bersepeda, berdasarkan pengalaman saya menjadi pesepeda selama kurang lebih dua bulan ini. Mungkin bisa menjadi inspirasi bagi anda yang juga ingin bersepeda =)

Pertama ya itu tadi, lebih sehat. Peredaran darah lancar dan efeknya ke muka lebih cling cling hehe... Tapi bener lho, badan saya juga terasa lebih segar, jarang pegal-pegal kayak dulu (kiranya diperlukan penelitian lanjutan untuk membuktikan apakah karena saya bersepeda saja, atau karena stress saya berkurang, tapi perlu dicatat kalau pola makan saya masih sama, pembersih muka saya juga masih sama dan saya masih hobi begadang dan merokok). Cuma, baca-baca di beberapa sumber, bersepeda memang baik buat kesehatan tapi harus diimbangi dengan olah raga lain karena bersepeda hanya fokus pada tubuh bagian pinggang ke bawah. Okelah, saya angkat barbel besok-besok. Catatan saja, kalau memang anda sangat peduli dengan kesehatan: pemakaian masker bisa jadi penting kalau anda tidak ingin paru-paru anda terkotori asap kendaraan lain saat bersepeda!

Kedua, bikin udara lebih hijau. Polusi yang muncul dari sepeda paling parah ya bau keringat yang terlalu menyengat, itupun kalau kita jorok hehe... Ya silakanlah dibandingkan antara sepeda, motor, mobil dan truk reyot, mana yang lebih sering berasap dan bikin udara pengap. Point ini mungkin sangat cocok bagi anda yang merasa peduli soal lingkungan.

Ketiga, lebih irit. Tidak harus beli bensin, pertamax atau solar. Dan yang paling penting, lebih banyak yang ngasih parkir gratis untuk sepeda hehehe... Tapi pastikan kalau sepeda kita terkunci dengan aman. Perawatan sepeda juga tidak mahal, tidak perlu ganti oli rutin (kecuali ngoliin rantai) dan nggak ada istilah turun mesin. Plus, tidak perlu takut kena cegatan polisi atau tiba-tiba ada operasi SIM, STNK dan sebagainya yang mengharuskan anda mengocek uang. Oya, catatan, bisa jadi sepeda menjadi tidak lebih irit kalau anda memutuskan untuk membeli sepeda yang harganya 40 juta ke atas. Pas, point ini cocok bagi para ekonomis hehe..

Keempat, lebih hafal nama jalan dan lingkungan sekitar. Kecepatan sepeda paling banter berapa sih. Itu memungkinkan kita untuk lebih bisa tengok kanan kiri. Ya asal tidak terlalu lama dan terlalu sering kalau tidak mau celaka. Saat saya dulu naik motor, seringnya saya tidak punya kesempatan untuk bisa melihat lebih rinci jalan yang saya lalui. Yang penting: cepet sampe.

Kelima, lebih fleksibel. Untuk yang satu ini, perlu dispesifikan, yaitu fleksibel dengan aturan jalan dan urusan parkir kendaraan, karena jelas sekali kalau bagi pesepeda amatir seperti saya, menjadi sangat tidak fleksibel untuk menempuh jalur lebih dari 20 km! Yang saya maksud fleksibel dengan aturan jalan adalah bisa nyelip-nyelip saat macet, bisa ngelawan jalan satu jalur/ one way (tidak direkomendasikan, tapi banyak dilakukan, asal aman hehe..), tetap melaju walau lampu masih merah tanpa takut disemprit pak polisi (juga tidak direkomendasikan, tapi juga banyak dilakukan. Pastikan anda tahu benar situasi lalu lintasnya. Saya juga ikut berhenti di lampu merah yang saya tahu sangat ramai, tapi bisa meluncur tanpa beban di perempatan yang sepi) atau seperti yang saya lakukan tadi sore: naik ke trotoar yang tidak ada orangnya karena jalur untuk motor tergenangi air (beruntungnya di Indonesia, trotoarnya multi fungsi). Bentuk sepeda yang ramping juga membuat urusan parkir tidak ribet. Ada celah sedikit yang kira-kira muat untuk sepeda tapi tertutup kendaraan lain, gampang: angkat saja sepedanya, taruh di tempat tersebut.

Yang terakhir, saya tidak tahu apakah  fenomena ini terjadi di Jogja saja atau di kota lain juga. Para pesepeda di kota ini, kebanyakan ramah dengan pesepeda lainnya. Keramahannya ditunjukkan dengan tersenyum dan menganggukkan kepala saat berpapasan atau bahkan beberapa kali saya disapa pesepeda lain yang mendahului saya, sama seperti kebiasaan jaman dulu kalau kita sedang berjalan dan harus mendahului orang lain. Ah tentramnya... Para pesepeda memang banyak yang bergabung di komunitas-komunitas sepeda, itu akan menambah nilai plus bersepeda, lebih sehat secara sosial.

Masuk ke gang-gang kecil juga tidak masalah, orang-orang tidak terganggu. Saya cukup bilang, "Permisi, Bu, Pak!" dan orang-orang akan menjawab, 'Nggiiiiih...". Memang saat bermotor juga kebiasaan ini dilakukan, tapi saat bersepeda saya merasa lebih yakin kalau saya tidak menganggu dengan suara mesin atau asap knalpot kendaraan saya.

Ada yang mau menambahkan?

Oya, saat bersepeda juga ada beberapa hal yang harus diperhatikan, terutama masalah keamanan. Bukan hanya kita sendiri yang memakai jalan, dan kebanyakan, 'saingan' pesepeda itu lebih besar dan cepat. Di Jogja, hampir di semua perempatan sudah ada ruang sepeda, maksudnya untuk pesepeda berhenti saat lampu merah. Tapi lebih seringnya para pesepeda berhenti di depan ruang tersebut agar lebih cepat mengayuhkan pedalnya saat lampu menyala hijau (karena harus bersaing dengan pengendara motor yang begitu lihat lampu hijau seperti banteng lihat kain merah). Di sepanjang jalan juga, beberapa ada jalur sepedanya. Tapi saya jarang pakai karena justru bagian jalan itu yang laing jelek, begajulan, dan banyak lubang-lubang serapan. Kebanyakan pemakai jalan lain, maklum dengan hal-hal ini dan menghargai pesepeda. Tapi ya ada juga motor dan mobil yang dengan entengnya berhenti di ruang sepeda.

Helm bisa jadi hal yang penting untuk mengindari cedera di kepala, kalau-kalau kita, semoga tidak, terjatuh karena tersenggol kendaraan lain atau kelalaian kita sendiri. 

Lalu, berikan kode, biasanya dengan lambaian tangan, jika kita meminta kesempatan untuk menyeberang atau akan berbelok dan kita tahu kalau di belakang kita cukup banyak kendaraan lain. Selain 'saingan' yang lebih besar, ada juga pengguna jalan yang lain yang harus kita utamakan, yaitu pejalan kaki. Berhentilah kalau ada dari mereka yang akan menyeberang.

So... Ayo bersepeda!

baca selengkapnya