23 Februari 2012

Kelamin Bahasa

Sudah agak lama sebetulnya ingin menulis tentang ini, tapi seringnya muncul ide lain yang tak kalah menarik. Barulah saat saya mengintip status teman-teman saya di jejaring sosial, saya menemukan salah satu kawan memasang landscape Jakarta di sore hari. Fotonya memang bagus, tapi yang lebih menarik perhatian saya adalah status teman saya untuk mengomentari foto tersebut, "senja yang ganteng". Saya tidak tahu alasan sang pemilik status tidak mengikuti arus yang memadankankan senja dengan kata cantik atau indah, kata-kata yang sebetulnya bermakna mirip dengan ganteng, namun dianggap lebih feminin, tapi ini menggelitik saya untuk menulis tentang kaitan isu gender dan bahasa.


Saya memang bukan pakar di isu gender, tapi ada beberapa hal menarik yang saya pelajari terkait isu ini. Salah satunya adalah bahasa dan makna yang punya peran penting dalam sosialisasi peran gender dalam masyarakat (ah, saya juga bukan ahli semiotika, saya tidak tahu apa istilah untuk ini). Dalam isu gerakan sosial, bahasa adalah salah satu alat yang digunakan untuk mereproduksi nilai-nilai. Bahasa bisa menunjukkan perspektif kita dan atau bagaimana kita menyusun strategi yang sesuai dengan idealisme yang diusung. Contohnya, kalau langsung dikaitkan dengan isu gender, adalah penggunaan istilah untuk perempuan yang ada dalam prostitusi. Bagi mereka yang melihat perempuan-perempuan tersebut sebagai manusia asusila dan semacamnya istilah yang dipakai biasanya WTS (Wanita Tuna Susila). Sementara bagi mereka yang ingin menunjukkan keberpihakannya kepada perempuan-perempuan ini, ada dua istilah yang dipakai, perempuan pekerja seks (dengan perspektif bahwa setiap orang memiliki kedaulatan penuh atas tubuh dan seksualitasnya) atau perempuan yang dilacurkan (berangkat dari fakta bahwa perempuan-perempuan ini 'dilacurkan' oleh sistem yang tidak berpihak). Subjeknya tetap sama, perempuan dalam prostitusi, tapi bahasa yang digunakan berbeda untuk menunjukkan cara pandang dan sikap kita terhadap mereka.


Para aktivis dan lembaga yang peduli dan berpihak pada hak-hak perempuan, biasanya menggunakan kata perempuan alih-alih wanita apalagi betina. Bagi beberapa orang, mungkin ini perkara sepele, tapi tidak bagi sebagian lain yang menganggap istilah perempuan dan wanita punya nilai politis dan historis di dalamnya. Anda bisa googling dan menemukan banyak artikel dan blog yang menjelaskan tentang ini (saya link-kan satu yang singkat tapi padat). Itu baru contoh istilah-istilah. Kalau kembali ke status teman saya itu, yang saya ingat adalah saat saya ikut diskusi dengan seorang aktivis gender dan saat saya berguru sambil membuat panduan membuat tulisan berperspektif gender.


Pembakuan peran gender disosialisasikan juga lewat bahasa, selain melalui alat budaya lain, dimulai bahkan saat kita pertama kali diajarkan membaca di sekolah dasar. Ya, pelajaran Bahasa Indonesia telah cukup sukses menanamkan nilai-nilai keperempuanan dan kelelakian (semoga kurikulum sekarang sudah lebih baik). Masih ingatkah kalimat-kalimat ini: "Bapak pergi ke kantor", "Ibu memasak di dapur"? Ada yang salah dengan kalimat ini? Salah mungkin tidak, tapi secara tidak langsung telah berhasil mengajarkan kepada kita kalau bapak -yang notabene laki-laki- itu tempatnya di kantor, bekerja di luar rumah. Sedangkan ibu, yang perempuan, ya memasak di dapur. Demikian saat kita diajarkan tentang macam-macam pekerjaan, masih ingat bagaimana gambar yang ditampilkan untuk orang yang bekerja sebagai suster, insinyur, pilot?


Kemudian soal penempatan urutan. Mungkin ini sepele bagi sebagian orang, tapi tidak bagi yang lain. Contoh yang paling sering ditemukan adalah dalam istilah suami-istri. Kenapa suami selalu diletakkan di awal? Juga saat menyebutkan dalam kalimat "...laki-laki dan perempuan..." Kalau kita berpendapat 'toh tidak ada bedanya menulis mana yang pertama duluan', tidak sulit untuk sedikit mengubah kebiasaan tersebut, bukan?


Ada juga istilah-istilah terkait profesi dengan akhiran -wan atau -wati atau akhiran -a dan -i pada kata-kata benda tertentu. Seperti sudah kita ketahui, akhiran-akhiran tersebut menunjukkan jenis kelamin si empunya. Ada wartawan dan karyawan, ada wartawati dan karyawati. Ada mahasiswa dan pemuda, ada mahasiswi dan pemudi. Sayangnya, yang berakhiran -wati dan -i lebih sering tidak digunakan. Bahkan untuk beberapa istilah tertentu terdengar tidak lazim (atau memang tidak ada?), seperti hartawati, bangsawati, jutawati, seniwati? Istilah jurnalis kemudian digunakan oleh beberapa orang untuk lebih menetralkan istilah yang menunjukkan orang yang bekerja mencari dan menulis berita. Istilah pekerja seni juga digunakan untuk menggeser istilah seniman. Apa lagi ya contohnya? Di Bahasa Inggris, penetralan istilah juga mulai digunakan seperti mengganti istilah cameraman dengan camera person, stewardess dengan flight attendant, bellboy dengan bellhop atau room service (bisa klik di sini untuk lebih banyak istilah)


Beruntung, Bahasa Indonesia bisa dibilang lebih netral gender dibandingkan bahasa lain. Misalnya, kita punya kata penunjuk orang ketiga tunggal tanpa spesifikasi gender: dia atau ia. Bandingkan dengan Bahasa Inggris dengan she dan he (jika subjeknya tidak pasti, beberapa pengguna Bahasa Inggris yang kritis pada isu gender kadang menggunakan s/he). Pun kita menyebut manusia dan orang, yang juga netral. Sementara dalam Bahasa Inggris, seringkali kata man digunakan untuk menunjuk manusia secara umum. Sekarang, beberapa orang mulai menggunakan istilah yang lebih netral: human, person, human being. Bahasa Perancis agaknya yang paling ribet soal gender ini karena mereka punya genderisasi kata benda bukan hanya karena jenis kelamin yang ditunjuk oleh kata tersebut namun semata karena pelekatan sifat maskulin dan femininpada kata-kata benda tersebut. (Silakan yang jago Bahasa Perancis mungkin bisa lebih menjelaskan hal ini hehe...)


Terakhir yang menjadi sorotan saya adalah di media massa paling sering kita temukan dalam pemberitaan kriminal perkosaan terhadap perempuan yang mengaliaskan korban dengan nama Mawar, Melati atau nama bunga lainnya. Kesan yang muncul adalah, bunga itu identik dengan perempuan. Beberapa feminis bahkan mengkritisi bahwa hal ini bisa menimbulkan persepsi lebih lanjut: karena perempuan itu bunga, menjadi maklum untuk 'menikmati'nya, memaklumkan tindak perkosaan yang terjadi.

Mungkin itu baru sedikit hubungan antara bahasa dan gender. Ya, mungkin juga kita menganggap ini adalah hal yang sepele. Tapi bagi yang percaya bahwa bahasa itu adalah kesepakatan umum, sementara kita menggugat beberapa kesepakatan umum yang cenderung bias dan merugikan pihak tertentu, maka mengubah kebiasaan kita berbahasa adalah juga merupakan alat untuk menunjukkan gugatan kita pada kesepakatan umum tersebut.


Bacaan menarik:
Bahasa Indonesia Bahasa Lelaki? Telaah Ketimpangan Gender dalam Bahasa Indonesia
baca selengkapnya

20 Februari 2012

Kita Makhluk Seksual, Kenali Hak Kita

Seksualitas adalah bagian penting dari kehidupan manusia. Tidak perlu buru-buru membuka ritsleting celana untuk membuktikannya (ya hal itu mungkin perlu dilakukan jika memang ada keluhan di daerah kelamin anda), karena toh seksualitas bukan hanya soal penis dan vagina. Seksualitas memiliki dimensi yang lebih luas dari melulu persoalan biologis. Ia berdimensi psikologis, sosial dan budaya. Ia ada sejak manusia baru saja dilahirkan, “Anaknya perempuan atau laki-laki?”, bahkan sampai sang jasad sudah mewujud humus, “Kami yang berduka cita: anak dan cucu”. Lalu di mana pentingnya?


Persoalan anak dan cucu itu yang penting. Atau kasarnya, urusan beranak pinak. Tanpa yang satu itu, tak mungkin planet ini sekarang dipenuhi oleh manusia (sebetulnya sih nggak sesak-sesak banget) dengan segala kreativitasnya. Dari yang awalnya sesederhana yaitu meneruskan keturunan, persoalannya menjadi rumit saat garis keturunan menjadi hal penting demi menunjukkan kepemilikan harta waris dan kebanggaan kelompok tertentu. Alasannya apalagi kalau bukan untuk melindungi sumber daya. Maka munculah pembagian peran perempuan dan laki-laki, aturan pernikahan, undang-undang perkawinan. Tidak cukup sampai di situ, karena seksual adalah dorongan alami manusia yang kadang-kadang kurang bisa dikelola dengan baik (sama seperti dorongan lapar yang kalau tidak dikelola dengan baik, apapun yang ada di depan mata kita lahap juga, punya orang diembat juga), muncul juga aturan ini itu untuk membatasi ekspresi seksual, yang sayangnya seringkali merugikan pihak tertentu, terutama perempuan.


Sudah menjadi rahasia umum juga kalau di balik politik dunia, seksualitas punya peranan yang tidak kecil. Dari yang soal anak selir diangkat menjadi raja, penguasa Eropa yang takluk karena cintanya pada seorang Ratu di Afrika Utara, seorang diktator yang membantai jutaan etnis tertentu dan dikabarkan berpenis mini (dalam psikologi ada aliran yang percaya kalau hal ini bisa membentuk kepribadian ingin ‘menguasai’, salah satu bentuk pertahanan diri), mantan perdana menteri yang dituduh melakukan pelecehan seksual sesama jenis pada bawahannya, dan sebagainya. Dari sisi ekonomi, seksualitas bermain dari mulai yang kasat mata seperti prostitusi, perdagangan manusia dan bisnis seks lainnya, sampai ke yang tidak kasat mata seperti menjual produk dengan menampilkan tubuh-tubuh yang dianggap seksi, meskipun produknya tidak ada kaitannya sama sekali dengan tubuh yang dianggap seksi tersebut.


Masih hangat di benak kita soal maraknya kasus perkosaan di angkutan umum beberapa waktu lalu. Juga tentang pembunuhan berantai yang sebetulnya bisa dilakukan oleh siapapun, tapi media menganggap beritanya akan lebih seksi jika orientasi seksual si pelaku yang leboh disorot. Pelecehan, kekerasan, diskriminasi berbasis jenis kelamin, orientasi seksual dan identitas gender masih banyak ditemukan. Belum lagi soal kontroversi lateks bernama kondom, kasus infeksi menular seksual, kematian ibu saat melahirkan, pernikahan di bawah umur, sunat perempuan, aborsi, dan yang terakhir soal hubungan perdata anak dengan bapaknya tanpa memandang status perkawinan orang tuanya dan banyak isu lain yang silang sengkarut dengan urusan moral, ilmu pengetahuan dan kekuasaan.


Nah, karena kompleksnya isu seksualitas, sampai-sampai sebuah lembaga payung besar yang berpusat di London perlu mendeklarasikan hak seksual, yang menjamin terpenuhinya hak asasi manusia dalam hal seksualitas. Ugh, mungkin di benak kita muncul pikiran, “Lagi-lagi kebarat-baratan, HAM lah, hak ini lah, hak itulah,” Tapi tak ada salahnya tho kita tahu, toh tujuannya baik, untuk memberikan perlindungan bagi manusia sebagai makhluk seksual. Syukur-syukur, hak-hak ini bisa diadopsi negara-negara di dunia, diterjemahkan lewat ratifikasi atau dimasukkan sebagai penunjang kebijakan yang sudah ada atau akan dikembangkan.


Adalah IPPF (International Planned Parenthood Federation), lembaga yang fokus pada isu kesehatan reproduksi dan seksual dan memiliki jaringan di 170 negara termasuk Indonesia, yang menyusun kemudian sepakat medeklarasikan hak-hak seksual ini pada Mei 2008. Diawali dengan menjadikan deklarasi ini sebagai alat advokasi internal yang mengikat lembaga-lembaga yang bergabung di lembaga tersebut, IPPF juga secara terus menerus membuat lobi dan merekomendasikan hak-hak ini kepada lembaga-lembaga PBB dan dalam pertemuan-pertemuan internasional.


Secara garis besar, terdapat 7 prinsip dasar dan 10 pasal yang termuat dalam deklarasi tersebut dengan tujuan untuk menghormati, melindungi dan memajukan hak dan kesehatan setiap orang, tanpa ada diskriminasi.  Sepuluh hak-hak seksual tersebut adalah:

  1. Hak kesetaraan, perlindungan yang sama di muka hukum dan bebas dari semua bentuk diskriminasi yang berdasarkan jenis kelamin, seksualitas dan gender
  2. Hak berpartisipasi bagi semua orang tanpa memandang jenis kelamin, seksualitas dan gender
  3. Hak hidup, merdeka dan terjamin keamanan (dan kenyamanan) dirinya secara utuh
  4. Hak atas privasi
  5. Hak otonomi pribadi dan pengakuan hukum
  6. Hak berpikir bebas, berpendapat, berekspresi dan berserikat
  7. Hak sehat dan manfaat kemajuan ilmu pengetahuan
  8. Hak pendidikan dan informasi
  9. Hak menetapkan pernikahan, merencanakan keluarga dan memutuskan tentang anak
  10. Hak pertanggungjawaban dan ganti rugi

Untuk lebih lengkapnya, anda bisa mendownload deklarasi tersebut di sini. Tersedia juga dalam Bahasa Indonesia (meskipun terjemahannya kurang baik dan banyak typo).


Setuju atau tidak setuju pada deklarasi tersebut, hal paling dasar soal seksualitas ini adalah kita menyadari bahwa kita adalah makhluk seksual yang punya hak atas seksualitas kita, namun tentu saja, memiliki kewajiban untuk mengelola seksualitas kita agar tidak menghalangi terpenuhinya hak orang lain. Negara diperlukan untuk menjamin terpenuhinya hak-hak ini bagi seluruh warganya, tanpa kecuali.
baca selengkapnya

Halangan Kita, Mimpi Orang Lain



Akhir pekan ini saya habiskan dengan: tidak kemana-mana. Keluar kamar hanya untuk cari makan. Nah saat kemarin saya hendak mencari makan siang, saya baru sadar, di atas rumah tetangga-tetangga saya banyak sekali antena TV kabel. Ckckck... Butuh sekali rupanya mereka pada hiburan yang disajikan lewat kotak elektronik itu. Teman kos sebelah saya juga baru pasang sebulan lalu. Kalau dihitung-hitung memang langganannya tidak terlalu mahal. Saya lalu melihat diri saya sendiri yang akhir pekan ini kehausan hiburan tapi malas bukan main mau melangkahkan kaki. TV kabel mungkin bisa jadi solusi ya. Tapi setelah dipikir matang-matang lagi, PC yang saya pasangi TV tuner juga sudah cukup. Apalagi kemarin saya akhirnya bisa nonton film Up yang ditayangkan salah satu stasiun swasta, tanpa harus langganan TV kabel. 


Film animasi ini memang ingin sekali saya tonton. Rumah yang terbang dengan ribuan balon bikin saya penasaran. Tapi karena kesibukan, hilanglah kesempatan menontonnya di bioskop. Film ini mengisahkan Fredricksen yang ingin meraih mimpinya melihat alam Amerika Selatan dengan menerbangkan rumahnya dengan balon-balon. Tiba saat ia menerbangkan rumahnya tersebut, muncul anak kecil di depan rumahnya, yang sudah terbang, bernama Russell, seorang pramuka. Maka dimulailah petualangan mereka berdua menuju Amerika Selatan.


Saya tidak akan menceritakan bagaimana detail film tersebut, namun bagaimana film ini memberikan pelajaran bagi saya, mengingatkan kepada saya tentang usaha kita dalam menggapai apa yang kita harapkan, mimpi kita. Saat kita berupaya meraih mimpi kita, dengan rencana-rencana yang sudah kita susun matang, tak jarang ada saja hal-hal di luar dugaan yang kita temui di tengah jalan atau bahkan di awal kita mulai menjalankan rencana. Kita lantas menyebutnya penghambat, halangan, kerikil (kalau tampak kecil), atau batu besar (kalau tampak bisa menciutkan nyali). Beberapa orang menyebutnya tantangan agar terdengar lebih positif dan memicu diri agar lebih berani menghadapinya. Apapun istilahnya, kita anggap hal-hal itu bisa menunda bahkan menggagalkan rencana kita.


Saya memang bukan orang yang percaya bahwa sudah ada garis pasti untuk kehidupan saya.  Jadi, saya akan mencoba menghindari pembicaraan seputar takdir di sini. Saya hanya ingin berbagi soal bagaimana halangan atau tantangan berperan dalam hidup kita, belajar dari Up yang karena animasinya seringkali diremehkan tapi mengandung nilai-nilai pembelajaran yang luar biasa.


Halangan atau tantangan adalah media belajar kita, dan jika kita percaya bahwa belajar adalah proses seumur hidup, halangan dan tantangan akan terus kita hadapi sampai ajal nanti. Dalam Up, proses tanpa henti ini diilustrasikan dengan tokoh utamanya, Fredricksen, seorang laki-laki yang tak lagi muda, berusia 78 tahun. Namun, sebenarnya apa sih halangan atau tantangan itu? Kalau menurut otak saya, yang masih sering sulit membedakan mana bulan dan mana kue chip, halangan atau tantangan itu sebetulnya wujud lain dari mimpi. Lha kok bisa? Iya bisa... Kita jangan hanya melihat penghuni planet ini cuma kita sendiri atau orang-orang yang punya mimpi yang sama dengan kita saja. Selain anda dan saya, masih ada hampir 7 milyar orang lain yang hidup di luar sana (akan pas 7 milyar pada Oktober 2012 nanti, menurut perkiraan PBB). Tujuh milyar itu bukan cuma angka. Ia mewakili 7 milyar kepala dengan isinya, 7 milyar perut dengan rasa laparnya. Sekarang kita coba bertanya pada diri sendiri, apakah kita hanya punya satu mimpi selama hidup kita? Kalau jawabannya iya, silakan ganti popoknya dulu. Karena kita manusia yang setiap hari berkembang (setelah berhenti tumbuh pada usia remaja akhir), mimpi kita seringkali juga bertambah, melengkapi yang sudah ada dengan meningkatkan level mimpinya atau menambah dengan mimpi yang baru. Jadi bisa dibayangkan ada berapa milyar mimpi manusia penghuni Bumi pada waktu yang bersamaan. 


Mimpi yang sama bisa menimbulkan kerja sama yang baik, dan hasil yang dicapai juga bisa maksimal. Misalnya saja, mimpi untuk melanjutkan kuliah membuat F dan D bekerja sama membangun usaha untuk biaya kuliahnya. Kesal dengan aturan perusahaan X, mimpi pekerja untuk mendapatkan lingkungan kerja yang lebih kondusif bisa diakomodir dengan menyatukan mimpi mereka dalam sebuah serikat.


Namun tak jarang, mimpi yang sama juga justru menimbulkan pertikaian. Terutama jika tampak jelas terbatasnya orang-orang untuk bisa meraih mimpi tersebut. Misalnya saja, S dan W sama-sama memimpikan bisa menjadi direktur lembaga R di kota N. Atau Y, H dan P yang sama-sama memimpikan bisa menikah dengan Z, anak ibu Q yang tinggal di jalan U. Ada sih kemungkinan kalau lembaga R tiba-tiba punya direktur atau Z memutuskan untuk menikahi Y, H dan P pada waktu yang sama, tapi seberapa besar sih kemungkinan itu?


Mimpi yang sama saja bisa menimbulkan ketidakakuran ya, apalagi mimpi yang berbeda. Perlu saya kasih contoh lagi? Boleh. K yang baru lulus SMA bermimpi untuk menjadi desainer grafis, sedangkan sang ayah menghendakinya menjadi dokter (klasik banget ya) karena sang ayah memimpikan kelak ia bisa membanggakan anaknya di depan teman-temannya. Nah, uniknya, mimpi yang berbeda seperti ini juga bisa membuat kita bekerja sama dengan orang lain. Film Up memberi contoh yang bagus untuk hal ini. Seperti sudah saya ceritakan soal mimpi Fredricksen yang ingin pergi ke Amerika Selatan dengan menggunakan rumah berbalonnya, muncul tokoh Russell yang datang ke rumah Fredrickson sebetulnya dalam rangka mendapatkan medali pramuka "menolong orang tua". Akhir ceritanya bisa ditebak, keduanya mendapatkan mimpinya masing-masing. Namun proses untuk mendapatkannya yang membutuhkan keharmonisan luar biasa, kelapangan hati, keinginan untuk membantu dan kemauan untuk belajar. 


Fredricksen menunjukkan kepada saya, saat kita membantu orang lain mencapai mimpinya (dalam hal ini, Russell punya mimpi baru, menyelamatkan Kevin, burung langka di Amerika Latin) bukan berarti kita akan meninggalkan mimpi kita, mungkin hanya tertunda untuk beberapa waktu. Dan selama beberapa waktu itu, selama kita membantu orang lain itu (bahkan mungkin menyerap mimpi orang itu sebagai mimpi kita juga) kita belajar hal-hal baru yang selama ini tak pernah kita bayangkan. Di sanalah kita belajar, bukan hanya bagaimana caranya bekerja bersama orang lain, tapi juga bagaimana bersabar dan menimbang ulang sepenting apakah mimpi kita. Apakah jika kita tidak mendapatkan mimpi tersebut, akan kiamat dunia kita?


Jadi apa sih inti tulisan saya ini? Hehehe... Untuk pribadi saya ya saya akan belajar kalau di balik halangan atau tantangan yang saya hadapi saat sedang berusaha menggapai mimpi itu sebetulnya ada mimpi-mimpi orang lain. Saya tidak suka mimpi saya diganggu orang lain, demikian saya akan berusaha untuk tidak mengganggu mimpi orang. Kalau bisa bareng-bareng jalan, ayo mari. Kalau misalnya kita berseberangan, asal gak tabrakan saja sudah syukur, tapi akan lebih baik kalau bisa saling membantu mendapatkan mimpi masing-masing.



baca selengkapnya

16 Februari 2012

Perempuan dan Prostitusi

Beberapa tahun lalu, saya pernah diajak berdiskusi oleh seorang kawan tentang bagaimana merancang pelatihan atau workshop untuk menumbuhkan penghayatan yang mendalam akan identitas diri bagi komunitas-komunitas yang selama ini termarginalkan. Tujuannya untuk meningkatkan greget perjuangan mereka atas identitas mereka sendiri.


Saat itu saya merasa, lebih mudah melakukan pelatihan semacam itu untuk komunitas gay dan waria. Alasan saya adalah untuk komunitas gay dan waria adalah karena saya percaya kalau orientasi seksual dan identitas gender itu given, tapi kemudian dipelintirkan oleh sebagian orang melalui doktrin dan kekuasaan sehingga muncul istilah penyimpangan dan sebagainya dan akhirnya nilai-nilai ini yang terinternalisasi. Pelatihannya bisa dirancang dengan memberikan kesadaran akan hal ini.


Baru saat mendiskusikan bagaimana merancang pelatihan semacam ini untuk perempuan-perempuan yang ada dalam prostitusi, kami kebingungan. Saat itu, organisasi kami percaya bahwa pekerjaan mereka adalah profesi. Saya mengamini pandangan tersebut karena mimpi besarnya adalah agar perempuan-perempuan tersebut mendapatkan perlindungan selayaknya profesi lain. Namun jujur saja, di hati kecil saya masih ada yang mengganjal. Bukan, bukan ukuran moral yang membuat amin saya tidak seratus persen. Saya tidak punya hak menghakimi orang yang satu lebih bermoral dari yang lainnya. Tapi fakta yang sering saya temukan saat saya berkomunikasi dengan perempuan-perempuan ini adalah kebanyakan dari mereka sebetulnya tidak menginginkan apa yang sedang mereka kerjakan. Bisa dibayangkan, bukan, bagaimana sulitnya membuat orang yang tidak ingin melakukan sesuatu kemudian kita ajak untuk merasa bangga pada apa yang mereka lakukan itu?


Saya masih belajar tentang feminisme. Sebagian feminis berpendapat bahwa bekerja dalam prostitusi adalah hak manusia (dus, membeli seks juga adalah hak). Klaimnya adalah setiap manusia berhak untuk mengekspresikan dirinya dan berdaulat penuh atas tubuhnya atau yang lebih dikenal dengan istilah hak otonomi tubuh. Pekerjaan seks adalah pilihan yang valid bagi perempuan dan laki-laki yang memilih untuk terlibat di dalamnya. Dalam pandangan ini, prostitusi harus dibedakan dari pelacuran paksa, dan feminis harus mendukung kegiatan-kegiatan pekerja seks yang menentang baik itu industri seks maupun sistem hukum. Pandangan ini yang kemudian saya jadikan pegangan untuk memperjuangkan diakuinya pekerja seks sebagai profesi. Namun tetap saja, dialog-dialog dengan perempuan-perempuan ini, seringkali membuat otak saya bergelut sendiri. Masih ada yang mengganjal. 


Ganjalan itu berlubang kunci pada kata “pilihan”. Benarkah ada perempuan-perempuan yang dengan penuh kesadaran memilih untuk terlibat dalam prostitusi? Ya saya tidak bisa menutup mata mungkin saja memang ada yang seperti itu, tapi apakah mayoritas memang seperti itu? Alasan tidak punya skill dan pendidikan adalah yang paling banyak saya dengar, dengan latar belakang keluarga miskin atau pernah mengalami kekerasan. Dengan kondisi-kondisi tersebut, seberapa bebas kita bisa memilih? Ya, orang bisa gampang saja bilang, “Kenapa tidak jadi pekerja rumah tangga saja atau tukang cuci atau ini atau itu!” Nyonya dan Tuan yang berani bilang seperti itu, silakan merekrut pekerja rumah tangga sebanyak mungkin yang anda bisa. Lapangan pekerjaan tidak semudah didapat seperti yang Nyonya dan Tuan yang punya pendidikan bisa dapatkan.


Kembali ke soal perspektif, dari temuan-temuan saya, dan diskusi-diskusi pada bulan-bulan terakhir tentang isu ini, saya mulai memegang cara pandang lain. Masih feminisme juga, tapi alih-alih mendukung prostitusi, perspektif ini melihat prostitusi sebagai bentuk eksploitasi perempuan dan dominasi laki-laki atas perempuan, dan praktek yang merupakan hasil dari tatanan sosial yang ada: patriarkal. Kelompok feminis di jalur ini berpendapat bahwa prostitusi memiliki efek yang sangat negatif, baik pada perempuannya maupun masyarakat secara keseluruhan, karena memperkuat pandangan stereotip tentang perempuan, yang dipandang sebagai obyek seks yang dapat digunakan dan “disalahgunakan” oleh laki-laki. Saya juga mulai mempelajari sumber dan akar prostitusi perempuan.


Pandangan ini memperkuat apa yang saya temukan di lapangan, kebanyakan perempuan yang dilacurkan (begitu istilah yang kemudian akan banyak saya gunakan) berasal dari kelompok yang dirugikan secara sistem: miskin dan berpendidikan rendah. Soal kenapa mereka miskin dan berpendidikan rendah, ya balik lagi, sudah setarakah kesempatan bagi perempuan dan laki-laki untuk mendapatkan pendidikan dan pekerjaan? 


Setelah perempuan ini masuk ke dalam prostitusi, keadaannya tidak serta merta baik-baik saja. Perlu diingat saat anda membayangkan perempuan yang dilacurkan jangan melulu dibayangkan perempuan berpakaian mini, dengan make up tebal, memakai high heels, tubuh terawat dan gaya hidup mewah. Ya mungkin bisa anda temukan yang seperti itu, termasuk di sinetron dan film. Tapi ada lebih banyak yang kondisinya jauh dari yang anda bayangkan. Uang tak seberapa yang mereka dapat, setelah dibagi dengan mucikari dan keamanan lokal, tak sedikit pula yang dikirim ke keluarganya (saya pernah tahu, ada yang cerita uangnya digunakan untuk pendidikan anak-anaknya sampai bisa kuliah). Belum lagi kalau tahu-tahu ada razia dimana mereka ujung-ujungnya harus membayar sekian rupiah. Itu baru dari sisi ekonomi. Pelecehan dan kekerasan kerap terjadi, baik dari pembeli bahkan aparat, yang rata-rata laki-laki. Jarang pula kan kita dengar ada razia laki-laki pembeli seks? Oya, tambahan lagi, untuk urusan kesehatan, mungkin sudah ribuan pelatihan dilakukan bagi perempuan yang dilacurkan soal kondom dan bagaimana benda tersebut bisa melindungi tubuhnya dari infeksi menular seksual. Tapi kalau laki-laki menolak memakainya, apa bisa buat? Memaksa laki-laki ini tapi si laki-laki malah lari cari perempuan lain yang mau bertransaksi tanpa kondom, yang artinya bekurang pendapatan bagi perempuan yang mempromosikan kondom? Kalau sudah seperti ini, apakah perempuan ini punya hak berekspresi dan punya kedaulatan penuh atas tubuhnya?


Karena itu saya sekarang berani bilang, perempuan yang berada dalam prostitusi adalah korban, mereka dilacurkan oleh sistem yang ada: pemiskinan dan ketimpangan gender. Tentu saja, bukan berarti saya tidak mendukung jika prostitusi akan diperjuangkan sebagai profesi karena alasan otonomi tubuh. Saya akan mendukung, tapi dengan syarat: jika kondisi perempuan sudah setara dengan laki-laki, jika semua perempuan sudah mendapatkan hak asasi mereka sebagai manusia dalam pendidikan, kesehatan, perlindungan hukum dan pekerjaan sehingga mereka memiliki kebebasan lebih untuk memilih dan menentukan hidupnya.


Terakhir, saya kutip dari wikipedia, dimana seorang mantan perempuan yang dilacurkan di Kanada, dan sekarang menentang industri tersebut, menulis: “Anda tidak dapat membuat prostitusi menjadi lebih aman; prostitusi adalah kekerasan dalam dirinya sendiri. Prosititusi adalah perkosaan, uang hanyalah alat untuk menenangkan rasa bersalah laki-laki”.
baca selengkapnya

15 Februari 2012

Membaca Mata Hari

Perkenalan pertama saya dengan sosok ini adalah ketika saya berkunjung ke Sex Museum di Amsterdam pada akhir 2010. Namanya juga sex museum, isinya ya karya cipta dan sejarah seksualitas manusia. Di akhir perjalanan mengelilingi museum (dan 'menjajal' beberapa alat seperti phone sex dan kursi getar hehe...), saya menemukan patung perempuan dengan pakaian ala penari Timur Tengah dengan nama Mata Hari. Saya sudah lupa pastinya keterangan yang ada di patung tersebut, tapi intinya mengatakan kalau perempuan tersebut, Mata Hari (ya, ditulis terpisah, Mata dan Hari), adalah alias dari Margaretha Geertruida Zelle, seorang Belanda berdarah Indonesia dari garis ibu yang berprofesi sebagai penari sekaligus doble agent bagi pihak Jerman dan Perancis di masa Perang Dunia I. Wah, saya jadi penasaran pada tokoh ini. Namun sayang sekali rasa penasaran saya tidak tersalurkan.


Baru saat saya sedang jalan-jalan di toko buku, saya menemukan buku ini. Tidak langsung saya beli memang, karena saat itu saya sudah membeli beberapa buku dan masih dihantui perasaan dosa karena saya menelantarkan begitu saja buku-buku yang sebelumnya sudah saya beli. Hehehe... kebiasaan. Maka senang sekali rasanya saat saya kembali ke toko tersebut, buku yang stocknya tinggal satu di toko itu masih ada.


Novel yang ditulis oleh sastrawan ternama, Remy Sylado, ini sebetulnya merupakan cerita bersambung yang pernah dimuat di Harian Kompas. Berhubung saya sudah menutup kebiasaan saya mengikuti cerita bersambung setelah bercerai dengan majalah belasan tahun silam, saya bahkan tidak tahu pernah ada cerita bersambungnya. Tentu tidak saya sesali karena membaca satu novel utuh artinya tidak perlu menunda-nunda orgasme.


Terus terang saya belum pernah membaca biografi Mata Hari ini dari sumber lain sehingga saya tidak bisa membuat perbandingan. Plus, karena kisah Mata Hari itu sendiri begitu kontroversial karena melibatkan intrik seksual dengan banyak pejabat Eropa di masa itu, saya rasa akan banyak bumbu dalam penceritaan ulang karakter dan kisah hidupnya. Lewat wikipedia saya tahu bahwa beberapa buku sudah diterbitkan, karya para penulis asing. Bahkan pada 1931, kisah Mata Hari ini difilmkan. Saya yakin, sebagai penulis handal, Remy Sylado pasti juga menjadikan beberapa diantaranya sebagai referensi sehingga lepas dari valid tidaknya karakter Mata Hari yang ia tulis, saya jatuh cinta pada karakter yang dimunculkan dalam buku ini. Terlebih, Remy memberikan porsi lebih banyak pada kehidupan Mata Hari saat ia tinggal di Indonesia mengikuti suaminya, seorang Skotlandia yang bekerja sebagai perwira ketentaraan Belanda.


Dalam buku ini, Mata Hari digambarkan sebagai sosok perempuan yang mampu menembus tidak hanya batas bangsa dan negara, namun juga batas jaman. Ia adalah representasi perempuan di masa itu yang berani melawan jerat-jerat nilai sosial yang alih-alih menghormati perempuan tapi malah semakin melemahkan posisi perempuan. Ia mewakili orang-orang muda di jaman tersebut yang berpikiran lebih terbuka dan menolak nilai-nilai kolot yang dianggap membodohkan. Ia juga adalah cerminan manusia yang kemanapun ia pergi tak akan lupa pada akarnya. Kecintaannya pada kesenian Indonesia, yang Mata Hari akui diwariskan dari ibunya, serta ketidaksukaannya pada diskriminasi terhadap pribumi oleh Belanda, bisa jadi merupakan manifestasi rasa sadarnya bahwa dalam dirinya bisa berdiri karena salah satu akar yang menopangnya bersari di Indonesia.


Rasa sadar tersebut menjelma pada sebuah keyakinannya bahwa batas-batas bangsa dan negara adalah semu. Ini yang mendorong Mata Hari melakukan pekerjaanya sebagai doble agent, selain uang, karena ia merasa tidak harus membela (dus mengkhianati) pihak manapun. Remy Sylado membahasakan keyakinan Mata Hari yang lebih mengutamakan nilai-nilai kemanusiaan (tapi bukan wacana kemanusiaan yang digaung-gaungkan peradaban Barat yang justru malah mendehumanisasi manusia di peradaban lain) ini dalam paragraf berikut:


"Aku tahu, kebangsaan merupakan suatu realitas yang harus dipertahankan. Bahwa, ya, kebangsaan dasarnya memang suatu anugrah, sekaligus juga barangkali kutukan, dalam mana manusia mendaulat haknya atas sebuah tanahair dan mempertahankannya sebagai tanggungjawab. Tapi aku harus menganggap kemanusiaan lebih dibya dari acuan idealitas kebangsaan dengan perjanjian-perjanjian wilayah negerinya. Dengan demikian, aku lebih suka mengatakan, kesadaran kemanusiaan merupakan realitas yang paling cantik dari gagasan sebuah bumi yang damai dihuni oleh bangsa-bangsa." [73]


Buku ini mengambil sudut pandang si aku, Mata Hari, yang sedang menceritakan kisah hidupnya pada Pere Arbaux dan Soeur, rahib dan biarawati yang ditugaskan menemani dan menyiram rohani Mata Hari selama ia berada di penjara Saint-Lazare, Perancis, menunggu vonis pengadilan militer. Pengadilan militer Perancis kemudian menyatakan Mata Hari bersalah atas pengkhianatannya kepada Perancis dan karena itu ia dijatuhi hukuman mati. Pada 15 Oktober 1917 di Bois de Vincennes, hutan di pinggiran kota Paris, Mata Hari dieksekusi pada usia 41 tahun.



Data buku
Judul : Namaku Mata Hari
Penulis : Remy Sylado
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Cetakan : I, Oktober 2010
Tebal : 560 hlm; 20 cm

baca selengkapnya

10 Februari 2012

Bangsa Jam Karet

Makan siang di kantor artinya mendapatkan gosip baru atau mendiskusikan sesuatu yang ringan. Karena suatu sebab, biasanya karena ruang makan staf dipakai oleh tamu-tamu wisma, kemarin makan siang kami diberikan dalam box. Saya dan dua orang teman satu ruangan lalu mengalihfungsikan meja rapat menjadi meja makan.


Salah satu teman memulai percakapan, "Kenapa ya kita suka prokrastinasi?" Meskipun teman saya memakai kata kita, bukan maksud dia menyinggung salah satu di antara kami, tapi justru lebih menjadi curhat karena dia melihat dirinya sendiri memiliki kecenderungan suka menunda-nunda pekerjaan (procrastination). Dia lantas bercerita soal anaknya yang sulit diajak untuk tidak menunda-nunda pekerjaan, meskipun sudah dinasihati berkali-kali. Baru kemudian teman saya sadar kalau sang anak tidak mau mendengarkan karena dia lebih senang mencontoh perilaku ayahnya yang prokrastinasi.


"Itu namanya modeling. Anak memang lebih mudah meniru apa yang dilakukan oleh orang tua," kata teman saya yang lain, lulusan psikologi yang memiliki satu anak  yang bersekolah di taman kanak-kanak.


"Nah, lalu bagaimana saya bisa memberikan contoh untuk tidak menunda-nunda, sementara kebiasaan saya seperti itu?" kata teman saya yang punya masalah. Teman saya yang lain lalu memberikan beberapa masukan. Tidak puas dengan jawaban teman saya itu, sang empunya masalah kembali ke pertanyaan awal, "Kenapa ya kita suka menunda-nunda?"


Dengan agak sok tahu, saya menjawab, "Sepertinya itu masalah bangsa karena kondisi di sini memang memberikan kelonggaran luar biasa soal waktu."


Saya ingat saat saya ikut Summer School pada 2010 di Jogja dengan peserta dari Indonesia, Belanda, Uganda dan India, topik yang mirip dengan ini pernah kami bahas, soal jam karet. Jam karet dan suka menunda-nunda pekerjaan menurut saya ya sebelas dua belas, mengesampingkan komitmen. Untuk mengantisipasi peserta dari negara lain marah atau ngambek kalau-kalau ada jadwal yang terlanggar dari waktu yang telah ditentukan, saya dan peserta dari Indonesia harus menjelaskan soal elastisitas bangsa Indonesia perkara waktu dan jadwal. Peserta dari negara lain tentu saja tersenyum-senyum mengetahui kita punya budaya seperti itu. Saat memang terjadi kelalaian waktu, dengan becanda mereka spontan berkomentar, "Rubber time!", terjemahan kasar dari jam karet.


Bukan tanpa alasan saya bilang kalau perilaku jam karet dan suka menunda membudaya karena sistem yang ada di Indonesia memang mendukung hal tersebut. Satu sistem yang menurut saya punya andil besar adalah sistem transportasi. Lho? Apa hubungannya?


Begini, di negara-negara yang setahu saya tidak punya budaya jam karet, sistem transportasi mereka jauh lebih baik dibandingkan di negara yang suka ngaret. Sistem transportasi diatur sedemikian rupa dengan jadwal yang ketat. Dijadwalkan berangkat jam 8 ya beneran berangkat jam segitu. Kalau tidak ada halangan berarti, lima detik saja terlambat kita bisa ketinggalan bis atau kereta. Alternatif transportasi umum lain seperti taksi artinya siap untuk merogoh kocek berlipat-lipat dari biasanya. Sementara pajak kendaraan yang tinggi, ijin mengemudi yang ketat dan mahal, dan syarat-syarat lainnya membuat banyak orang malas memiliki kendaraan pribadi. Orang kemudian terpacu untuk lebih menghargai waktu.


Sementara di negara kita, tidaklah perlu repot-repot jalan ke halte bis untuk menyetopnya, di tengah jalan pun bisa berhenti. Bis menunggu penumpang dulu sampai penuh baru jalan grak, kereta api kalau on time itu ajaib banget, angkot masuk sampai pelosok-pelosok (kecuali di beberapa daerah yang sarana transportasinya masih minim), malas jalan kaki ke halte atau stasiun tinggal cari ojek atau bajaj, mahalan dikit ya naik taksi. Tidak suka dengan transportasi publik, mobil dan motor pribadi bisa dimiliki dengan cicilan yang uang mukanya murah. Tidak perlu khawatir dengan aturan 3 in 1 (khusus penduduk Jakarta) karena banyak joki yang siap membantu. Lantas kalau telat datang janjian, kita bisa dengan gampang cari alasan, "Sorry nih, macetnya gila-gilaan!" atau "Susah bis nya, sekalinya nemu jalannya kayak keong!".


Ya tentu saja ini cuma analisis ngawur ala saya. Bukan tidak mungkin ada faktor-faktor lain yang lebih valid untuk menjawab kenapa bangsa ini bisa terkenal karena jam karetnya. Tapi, sebagai warga negara yang baik dan ingin menyampaikan aspirasinya, saya tetep keukeuh mengusulkan untuk adanya perbaikan sistem transportasi di negara ini. Segera! Kalau asumsi saya di atas nyerempet-nyerempet benar, mungkin dengan sistem transportasi publik yang terjangkau, tertib, efektif dan efisien, bukan cuma masalah macet yang bisa teratasi. Juga bukan hanya kita nanti akan turut menyumbang pada penghijauan planet ini. Tapi siapa tahu bisa berkontribusi pada perubahan perilaku bangsa ini sehingga tidak lagi punya kebiasaan menunda-nunda dan kebiasaan jam karet... (angkat tangan anda jika setuju)
baca selengkapnya

9 Februari 2012

Saung Angklung Udjo, Oase Budaya Sunda

Minggu kemarin, saya pergi ke Bandung. Awalnya hanya ingin jalan-jalan di Braga atau tempat lain yang bangunan kunonya bisa dinikmati. Tapi beruntung, saat mengontak teman saya, kebetulan dia sedang berada di Bandung dan punya rencana untuk mengunjungi satu tempat yang bisa mendekatkan saya pada budaya Sunda: Saung Angklung Udjo. Terus terang baru pertama kali saya dengar namanya. Sang teman membela saya dengan mengatakan bahkan orang Bandung sendiri pun banyak yang tidak tahu tempat itu. Teman saya pernah mengantar tamu kantornya ke tempat tersebut beberapa tahun lalu dan yang dia temukan justru turis-turis asing. Di Saung Angklung Udjo, kita bisa menyaksikan pertunjukan angklung dan kesenian Sunda lainnya setiap sore. Untuk pertunjukan itulah kami datang.


Kami datang agak terlambat karena macetnya jalanan Bandung, dipenuhi mobil-mobil plat B yang berburu suasana menyenangkan di Kota Kembang sekalian belanja-belanja di factory outlet. Letak Saung Angklung Udjo dekat dengan terminal Cicaheum, cukup mudah diakses. Begitu masuk pekarangan, suasana sejuk terasa karena bangunan-bangunan kayu dan bambu khas Sunda  masih dirimbuni pepohonan. Nama Udjo sendiri diambil dari pendiri sekaligus pemilik tempat tersebut, Udjo Ngalagena, yang sudah wafat pada 2001 silam kemudian usahanya dilanjutkan oleh keturunan-keturunannya.


Beruntung, pertunjukan belum berjalan lama. Saat kami sampai, sejumlah anak-anak dengan pakaian tradisional warna-warni yang cerah sedang mempersembahkan pertunjukan Helaran, yang biasanya dimainkan untuk mengiringi upacara tradisional khitanan atau panen padi. Sesuai dengan nama tempat, anak-anak tersebut bernyanyi sambil memainkan angklung. Meskipun ada koreografi yang sudah dipersiapkan, anak-anak tersebut tampak berkespresi tanpa beban, khas anak-anak. Menyenangkan! Dunia anak-anak dengan alat musik tradisional, bukan dengan gadget canggih yang seringkali membuat mereka tercerabut dari lingkungan sosial mereka sendiri. 


Hal yang mengasyikan adalah di tengah-tengah pertunjukan, para penonton dibagikan masing-masing angklung yang berbeda. Kemudian seorang laki-laki, anak Mang Udjo, pemilik Saung, memberikan petunjuk bagaimana cara memainkan angklung dan kemudian dia memberi beberapa aba-aba agar kami, penonton, bisa memainkannya bersama-sama. Dengan aba-aba gerakan tangan, mulailah kami menjadi pemusik angklung dadakan!


Gelaran paling menakjubkan adalah pertunjukan angklung di bagian terakhir. Sejumlah remaja memainkan angklung masing-masing bisa sampai 10 angklung. Dengan cantik, mereka menutup pertunjukan dengan menampilkan Bohemian Rhapsody versi angklung. Hebat pisan, euy!


Selesai pertunjukan, saya dan teman-teman memutuskan untuk makan malam di salah satu cafe, masih di Saung Angklung Udjo. Teman saya, yang juga Sunda, lalu mengutarakan rasa irinya pada budaya Jawa dan Bali yang masih lestari sampai sekarang. Setidaknya, lebih mudah menemukan tempat-tempat yang berkomitmen pada budaya lokal di Yogyakarta, Solo atau Denpasar dibandingkan dengan mencari tempat semacam itu di kota-kota di Jawa Barat.


Saya juga tertegun. Orang tua saya asli Sunda. Saya pun lahir dan dibesarkan di Majalengka yang masih berbau Sunda meskipun ada sedikit pengaruh dari Jawa-Cirebon. Tapi jujur saja, dan saya harus malu, saya kurang nyunda. Pertama, mungkin karena saat saya kecil, saya memang berbicara bahasa Sunda dan mendapatkan pelajaran bahasa Sunda dari SD sampai SMP, tapi saya tidak pernah ikut kegiatan yang kental nilai-nilai Sundanya, mungkin karena di lingkungan tempat saya tinggal juga hampir tidak ada kegiatan seperti itu. Bisa jadi karena letak geografis kota kelahiran saya bukan di jantung budaya Sunda lahir dan dilestarikan. Seni budaya Sunda hanya saya kenal sedikit di sekolah dan saat upacara pernikahan. Itu saja.


Saat saya pindah ke Jogja untuk kuliah dan kemudian bekerja di sana, saya menemukan satu atmosfer yang berbeda. Ada nilai-nilai lokal yang saya temukan dalam keseharian dan masih sangat kental, hal yang tidak saya temukan saat saya tinggal di Majalengka ataupun Bandung. Meminjam istilah teman saya yang asli Tasikmalaya namun sudah menancapkan akarnya di Kota Gudeg itu, saya mungkin menjadi orang sunda murtad jawa laknat, sama seperti dia. Separuh-separuh. Tapi justru, dengan dekatnya saya pada kebudayaan Jawa malah membuat saya ingin tahu lebih banyak tentang budaya Sunda. Saya ingat, di kantor saya di Jogja, saya kadang memutar lagu-lagu Sunda, hal yang sebelumnya tidak pernah saya lakukan. Sama seperti saat saya ke Belanda walaupun cuma beberapa hari, tapi saya merasa saya sangat Indonesia di sana, hal yang tidak pernah saya rasakan saat saya di sini. Entah, mungkin harus begitu dulu ya bagi orang-orang yang selama ini kurang peka dengan budayanya sendiri seperti saya.


Saya lalu penasaran soal keberadaan budaya Sunda yang, saya dan teman saya setuju, mulai langka. Kalau kambing hitamnya modernisasi, hipotesisnya luntur karena ternyata efek modernisasi tidak sehebat itu di tanah Jawa. Mesti ada hal lain yang menyumbang, apakah misalnya modernisasi lebih bisa diterima masyarakat Sunda sehingga kemudian perlahan-lahan meninggalkan budaya lokalnya? Seperti biasa, Abah Google jadi andalan saya dan saya menemukan satu tulisan menarik di blog milik Moeflich Hasbullah (mangga sok tiasa di-klik didieu). Singkat saja saya berikan ilustrasi tulisannya. Kondisi kebudayaan Sunda sekarang ini tidak bisa lepas dari sejarah yang terjadi di tanah Sunda. Pertama, karakteristik kerajaan-kerajaan Sunda di masa lampau yang tidak ekspansionis, malah justru banyak dikalahkan oleh kerajaan-kerajaan lain, terutama dari Jawa. Hal ini menyebabkan fokus sejarah Nusantara tidak pada kerajaan-kerajaan Sunda. Demikian juga dengan sejarah kemerdekaan dan politik yang didominasi oleh orang-orang dengan latar belakang budaya Jawa. Secara psikologis, hal ini menimbulkan satu kebanggaan tersendiri, mungkin, pada masyarakat Jawa tentang identitas dan budaya mereka. Melestarikan kebudayaannya adalah satu hal yang bisa mereka lakukan untuk menunjukkan bahwa budaya mereka memang benar-benar ada dan bernilai.


Tapi jika itu saja penyebabnya, saya lalu bertanya soal budaya Bali yang juga masih kental tapi secara historis pun kerajaan Bali bukan termasuk kerajaan besar. Ini hanya dugaan saya saja, mungkin akulturasi tidak terjadi cukup cantik di tanah Sunda, sementara di daerah lain akulturasi bisa berjalan cukup manis seperti yang terjadi antara ajaran Islam dan Jawa yang menghasilkan budaya Kejawen yang pengikutnya masih banyak atau akulturasi antara ajaran Hindu dengan penduduk lokal Bali yang menghasilkan Hindu khas Bali. Ah, sepertinya saya masih harus banyak belajar soal sejarah, terutama sejarah tentang tanah dimana saya dilahirkan!


Kembali ke Saung Angklung Udjo, saya pastikan anda tidak akan kecewa mengunjungi tempat tersebut. Saya blak-blakan saja promosi, sekaligus mempromosikan budaya sendiri tidak ada salahnya, bukan? Di sana, selain bisa menyaksikan pertunjukan yang sudah saya sebutkan di atas, masih ada pertunjukan lain seperti Wayang Golek, Tari Topeng, Tari Merak dan Calung, dan melihat cara pembuatan angklung. Cukup merogoh kocek Rp.50.000 (atau Rp. 80.000 untuk turis asing), datang pada sore hari jam setengah 4, kita bisa merasakan suasana kota Bandung yang nyunda, yang asri. Setelah penat dengan macetnya Bandung di akhir pekan, kenyang mencicipi kulinernya yang unik-unik, bosan berbelanja di FO dan distro, datang ke Saung Angklung Udjo ibarat menemukan oase di tengah gerusan modernisasi di Kota Kembang.
baca selengkapnya

8 Februari 2012

Ini Bukan Tips: Menghadapi Perubahan

Seorang kawan bertanya pada saya, "Bagaimana menjalani long distance relationship?" Saya bingung mau bilang apa.


Saya pernah menulis tentang hubungan jarak jauh ini yagn ujung-ujungnya tidak cerita soal bagaimana menjalani hubungan jarak jauh tapi soal cinta (silakan yang mau mengintip). Nah, di blog saya yang ini, saya sudah lumayan panjang menulis soal tips-tips yang bisa digunakan bagi siapapun yang sedang atau akan menjalani hubungan jarak jauh. Tapi kemudian saya baca lagi, saya nyengir sendiri. Berasa baca majalah remaja hehe... *Ctrl A + Del*


Well, tidak ada resep khusus untuk menjalani hubungan jarak jauh. Kita bisa menemukan berjuta-juta tips hubungan jarak jauh hasil pencarian Mbah Google, tapi ujung-ujungnya balik lagi kepada diri kita. Siap atau tidak. Mau atau tidak.


Balik lagi ke soal kawan saya yang bertanya soal hubungan jarak jauh, kawan saya sedang galau karena selama ini dia dan pasangan, menjalin hubungan sekitar satu setengah tahun, tidak pernah berpisah dalam waktu lama. Sampai tiba masanya kawan saya akan bersiap-siap lulus kuliah kemudian merencanakan masa depan, bekerja atau kuliah lagi. Sang pasangan pun punya rencana sendiri, mungkin melanjutkan kuliah di luar sana. Kawan saya khawatir soal hubungannya yang mungkin akan terganggu karena masing-masing akan berusaha menggapai mimpinya dengan jarak yang membentang memisahkan mereka.


Saya, yang sudah berhubungan jarak jauh dengan waktu yang sama dengan hubungan yang sedang kawan saya jalani, mengawali hubungan memang dengan konsekuensi jarak. Itu adalah resiko yang saya, dan pasangan, ambil saat kami memutuskan akan menjalani hubungan. Bukan saya mau menganggap hubungan jarak jauh itu hal yang mudah, tapi mungkin karena ya itu tadi, dari awal kami sudah mempersiapkan meskipun buta pengalaman. Sedangkan kawan saya, mungkin itu di luar perhitungan mereka. Hal yang menggelikan, saya sering kali grogi saat akan bertemu dengan pasangan saya. Padahal, saya merasa ini adalah hubungan paling terbuka yang pernah saya punya. Saya bisa cerita apapun kepadanya, juga sebaliknya, tidak ada yang ditutup-tutupi. Ada ketakutan, apakah pasangan saya akan berubah perangainya kalau kami berhadapan langsung, bukan dari monitor ke monitor?


Mungkin masalah seperti itu bukan cuma saya dan kawan saya yang mengalami. Saat kita sudah merasa nyaman dengan satu kondisi, lalu harus menghadapi perubahan, rasa khawatir itu tetap ada. Meskipun sebetulnya yang dihadapi ya yang itu-itu juga cuma beda setting panggungnya.


Bagaimanapun, perubahan adalah sesuatu yang harus kita hadapi setiap hari. Bahkan setiap detik. Ketakutan dan kekhawatiran dalam menghadapi perubahan adalah hal yang wajar. Sama saja seperti kalau kita terpaksa harus melewati jalan baru yang gelap tanpa penerangan, kita tidak tahu mana yang ada lubangnya, ada batunya atau ada bangkai tikus. Kita tidak pernah tahu pasti apa yang akan kita hadapi. Tapi perasaan itu bukan untuk dihindari, toh meskipun gelap gulita, kita harus melewatinya juga untuk mencapai tempat yang kita tuju. Rasa takut dan khawatir kita perlukan agar kita bisa waspada, hati-hati menentukan langkah. Tanpa rasa takut dan khawatir, kita hanya akan jadi orang yang sembrono, miskin pertimbangan.


Pertanyaannya adalah bagaimana mengelola rasa takut dan khawatir itu agar tidak alih-alih membuat kita waspada tapi malah justru menjerumuskan kita. Nah lho, ujung-ujungnya bikin tips lagi. Sama seperti bagaimana caranya menjalani hubungan jarak jauh, dalam mengelola rasa takut dan khawatir juga kita pasti punya cara masing-masing, tidak ada resep khusus. Pengalaman saya pasti berbeda dengan kawan saya. Apa yang saya baca dan lihat juga bukan tidak mungkin berbeda dengan kawan saya. Anda yang sedang membaca blog ini, saya yakin usia anda di atas 10 tahun, mungkin masih bersekolah minimalnya di bangku SMA. Saya bisa katakan, Anda sudah bisa melewati sekian ribu perubahan dalam diri anda dan mengalahkan sekian rasa takut dan kekhawatiran, mulai dari takut tidur sendiri, takut ke sekolah sendiri, takut dikerjain kakak kelas dan sebagainya. Belajarkah kita dari usaha yang sudah kita lakukan untuk menghadapi perubahan? *dibaca dengan nada wise ala motivator di tv*


Kadang kita terlalu dilenakan oleh rasa takut dan khawatir tentang masa depan sehingga kita tidak bisa dengan jernih melihat kekuatan yang kita miliki saat kita mampu melewati masa lalu. 
baca selengkapnya