10 Februari 2012

Bangsa Jam Karet

Makan siang di kantor artinya mendapatkan gosip baru atau mendiskusikan sesuatu yang ringan. Karena suatu sebab, biasanya karena ruang makan staf dipakai oleh tamu-tamu wisma, kemarin makan siang kami diberikan dalam box. Saya dan dua orang teman satu ruangan lalu mengalihfungsikan meja rapat menjadi meja makan.


Salah satu teman memulai percakapan, "Kenapa ya kita suka prokrastinasi?" Meskipun teman saya memakai kata kita, bukan maksud dia menyinggung salah satu di antara kami, tapi justru lebih menjadi curhat karena dia melihat dirinya sendiri memiliki kecenderungan suka menunda-nunda pekerjaan (procrastination). Dia lantas bercerita soal anaknya yang sulit diajak untuk tidak menunda-nunda pekerjaan, meskipun sudah dinasihati berkali-kali. Baru kemudian teman saya sadar kalau sang anak tidak mau mendengarkan karena dia lebih senang mencontoh perilaku ayahnya yang prokrastinasi.


"Itu namanya modeling. Anak memang lebih mudah meniru apa yang dilakukan oleh orang tua," kata teman saya yang lain, lulusan psikologi yang memiliki satu anak  yang bersekolah di taman kanak-kanak.


"Nah, lalu bagaimana saya bisa memberikan contoh untuk tidak menunda-nunda, sementara kebiasaan saya seperti itu?" kata teman saya yang punya masalah. Teman saya yang lain lalu memberikan beberapa masukan. Tidak puas dengan jawaban teman saya itu, sang empunya masalah kembali ke pertanyaan awal, "Kenapa ya kita suka menunda-nunda?"


Dengan agak sok tahu, saya menjawab, "Sepertinya itu masalah bangsa karena kondisi di sini memang memberikan kelonggaran luar biasa soal waktu."


Saya ingat saat saya ikut Summer School pada 2010 di Jogja dengan peserta dari Indonesia, Belanda, Uganda dan India, topik yang mirip dengan ini pernah kami bahas, soal jam karet. Jam karet dan suka menunda-nunda pekerjaan menurut saya ya sebelas dua belas, mengesampingkan komitmen. Untuk mengantisipasi peserta dari negara lain marah atau ngambek kalau-kalau ada jadwal yang terlanggar dari waktu yang telah ditentukan, saya dan peserta dari Indonesia harus menjelaskan soal elastisitas bangsa Indonesia perkara waktu dan jadwal. Peserta dari negara lain tentu saja tersenyum-senyum mengetahui kita punya budaya seperti itu. Saat memang terjadi kelalaian waktu, dengan becanda mereka spontan berkomentar, "Rubber time!", terjemahan kasar dari jam karet.


Bukan tanpa alasan saya bilang kalau perilaku jam karet dan suka menunda membudaya karena sistem yang ada di Indonesia memang mendukung hal tersebut. Satu sistem yang menurut saya punya andil besar adalah sistem transportasi. Lho? Apa hubungannya?


Begini, di negara-negara yang setahu saya tidak punya budaya jam karet, sistem transportasi mereka jauh lebih baik dibandingkan di negara yang suka ngaret. Sistem transportasi diatur sedemikian rupa dengan jadwal yang ketat. Dijadwalkan berangkat jam 8 ya beneran berangkat jam segitu. Kalau tidak ada halangan berarti, lima detik saja terlambat kita bisa ketinggalan bis atau kereta. Alternatif transportasi umum lain seperti taksi artinya siap untuk merogoh kocek berlipat-lipat dari biasanya. Sementara pajak kendaraan yang tinggi, ijin mengemudi yang ketat dan mahal, dan syarat-syarat lainnya membuat banyak orang malas memiliki kendaraan pribadi. Orang kemudian terpacu untuk lebih menghargai waktu.


Sementara di negara kita, tidaklah perlu repot-repot jalan ke halte bis untuk menyetopnya, di tengah jalan pun bisa berhenti. Bis menunggu penumpang dulu sampai penuh baru jalan grak, kereta api kalau on time itu ajaib banget, angkot masuk sampai pelosok-pelosok (kecuali di beberapa daerah yang sarana transportasinya masih minim), malas jalan kaki ke halte atau stasiun tinggal cari ojek atau bajaj, mahalan dikit ya naik taksi. Tidak suka dengan transportasi publik, mobil dan motor pribadi bisa dimiliki dengan cicilan yang uang mukanya murah. Tidak perlu khawatir dengan aturan 3 in 1 (khusus penduduk Jakarta) karena banyak joki yang siap membantu. Lantas kalau telat datang janjian, kita bisa dengan gampang cari alasan, "Sorry nih, macetnya gila-gilaan!" atau "Susah bis nya, sekalinya nemu jalannya kayak keong!".


Ya tentu saja ini cuma analisis ngawur ala saya. Bukan tidak mungkin ada faktor-faktor lain yang lebih valid untuk menjawab kenapa bangsa ini bisa terkenal karena jam karetnya. Tapi, sebagai warga negara yang baik dan ingin menyampaikan aspirasinya, saya tetep keukeuh mengusulkan untuk adanya perbaikan sistem transportasi di negara ini. Segera! Kalau asumsi saya di atas nyerempet-nyerempet benar, mungkin dengan sistem transportasi publik yang terjangkau, tertib, efektif dan efisien, bukan cuma masalah macet yang bisa teratasi. Juga bukan hanya kita nanti akan turut menyumbang pada penghijauan planet ini. Tapi siapa tahu bisa berkontribusi pada perubahan perilaku bangsa ini sehingga tidak lagi punya kebiasaan menunda-nunda dan kebiasaan jam karet... (angkat tangan anda jika setuju)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar