10 Desember 2010

I've Judged a Book by It's Cover


Hujan sepanjang hari di Jogja. Berangkat ke kantor kena hujan, pulang juga begitu. Untung, hujannya masih air. Kelaparan, saya berhentikan motor saya di tempat makan yang sudah lama sekali tidak saya datangi. Ketika saya berhenti tepat di depan tempat makan, saya tak melihat ada tukang parkir. Aman, pikir saya. Hehehe... nggak mau rugi.


Tapi ketika saya melepas mantel hujan, tampaklah sesosok berpakaian jingga, khas tukang parkir. Bersiap-siap mengambil payung besar, mungkin berniat menjemput saya agar tidak kena hujan. Terlambat. Laki-laki itu bisa dikatakan sudah tidak muda lagi. Wajahnya agak oriental. Dengan agak kesal, saya lewati tubuhnya yang berdiri di depan pintu masuk. Kesal pertama karena ternyata tempat makan kecil itu ada tukang parkirnya juga. Wajar sih, kecil-kecil begitu, tempat makannya ramai pengunjung. Kesal saya yang kedua adalah telatnya dia memberikan payung kepada saya. Atau mungkin saya yang kege-eran, sebenarnya tukang parkir hanya berniat mengambil payungnya untuk dipakainya sendiri? Entah.


Hampir setengah jam saya menunggu ayam rica-rica pesanan saya selesai dimasak. Begitu terhidang di atas meja, langsung saja saya sikat tak bersisa hanya dalam waktu 5 menit. Lapar sekali saya. Selesai bayar makan, saya segera menuju motor sambil menyiapkan uang seribuan untuk parkir. Masih gerimis. Saya langsung berikan uang seribuan saya kepada tukang parkir. Kemudian dia mengatakan sesuatu yang tidak biasa,


"Terima kasih, Mas, sudah bagi-bagi rejeki," katanya dalam bahasa Jawa. Sengaja saya terjemahkan dalam versi Indonesia karena saya takut salah tulis hehe...


"Eh, ya, sama-sama, Pak," jawab saya agak kikuk. Biasanya tukang parkir hanya mengatakan 'terima kasih'. Itu saja masih untung, biasanya malah cuma langsung sambar uang yang kita lalu kembali ke tempat duduk dan menikmati kembali rokok mereka. Terlebih, tukang parkir yang satu ini mengucapkan terima kasih dengan senyum dan terlihat sumringah. Sebuah ketulusan. Mungkin. Semoga.


Sang tukang parkir tidak berhenti bicara sampai di situ. Ia masih juga kembali mengucapkan terima kasih dan mengatakan ia memang membutuhkan uang itu. 'Ya, Pak, itu cuma seribu, biasa aja kali,' pikir saya. Sisi hati bijak langsung menghardik pikiran saya itu, mengingatkan kalau uang itu nilainya tidak ditentukan oleh jumlah nolnya tapi dari sejauh mana manusia membutuhkannya. Bapak parkir itu juga lalu bercerita singkat kalau payungnya tadi dipatahkan pekerja tempat makan, padahal payung itulah yang menolongnya mencari uang untuk sesuap nasi. Waduh! Dan yang membuat saya tambah kikuk lagi adalah ketika ia mengatakan,


"Hujan terus hari ini. Hati-hati, Mas. Nggak usah ngebut. Hati-hati ya," katanya sambil membantu saya memundurkan motor.


Saya merasa dihargai sekali. Rasanya tidak seperti saya baru pulang dari tempat makan yang saya bahkan tidak kenal siapa kokinya. Seperti apa ya rasanya... Hmm... seperti habis mengunjungi rumah dan dijamu sedemikian rupa oleh seorang kawan dekat.


Penuh sesal hati saya karena sudah menyimpan kesal kepada si bapak tukang parkir. I've judged a book by it's cover.
baca selengkapnya

2 Desember 2010

Dicari: Rumah Sakit Pemerintah yang Ramah Pasien!


Saya akhirnya tes HIV. Ya, agak mengherankan juga bahkan untuk saya sendiri. Bertahun-tahun saya bekerja di isu HIV dan AIDS, walaupun tidak bisa dikatakan juga sudah benar-benar khatam di isu tersebut, baru sekarang saya menjalani tes ini.


Saya tidak akan membahas soal VCT (Voluntary and Counseling Test, yang biasanya digunakan untuk merujuk tes HIV yang padahal istilah itu tidak hanya untuk tes HIV saja). Yang akan saya bahas adalah bagaimana proses yang harus saya lalui.


Meskipun di organisasi saya bekerja menyediakan layanan VCT, saya memutuskan untuk tes di sebuah rumah sakit milik pemerintah yang lebih dekat dengan tempat tinggal saya. Saya pikir, toh sama saja gratis (belakangan baru tahu ternyata tidak).


Saya langsung datang ke bagian pendaftaran umum. Banyak sekali orang di sana. Beberapa AC dan kipas angin di sana tak cukup membuat segar suasana. Gerah! Bingung, saya datangi satpam. Saya tanya kalau saya mau mengakses salah satu layanan. Sang satpam dengan muka tak ramah menanyakan apakah saya sudah pernah ke rumah sakit itu sebelumnya dan punya kartu pasien. Saya bilang sudah lama sekali saya ke rumah sakit tersebut dan kartunya entah dimana. Satpam tersebut tampak terdiam sesaat. Tampak sekali ia memang tidak dipersiapkan untuk menangani hal-hal seperti itu. Bandingkan dengan satpam-satpam di bank misalnya yang begitu kita masuk langsung menyapa dengan ramah, menanyakan keperluan kita lalu dengan telaten menunjukan bagian mana yang harus kita tuju dan apa yang harus kita lakukan. Sangat membantu. Satpam rumah sakit lalu memberikan secarik kertas pada saya. Saya diminta mengisinya lalu menyerahkannya ke bagian pendaftaran pasien umum baru.


Kertas formulir itu membuat kening saya berkerut-kerut. Ditanyakan macam-macam yang saya tak tahu apa korelasinya dengan alasan orang datang ke rumah sakit. Agama. Nama orang tua. Pekerjaan orang tua. Pendidikan terakhir. Apakah kalau pendidikan terakhir saya S1 jenis layanannya akan berbeda dengan yang SMP? Apakah kalau saya Hindu jenis penyakitnya akan berbeda kalau saya Islam? Beberapa poin yang saya anggap tak penting tidak penting tidak saya isi, dan memang nyatanya tak penting karena tidak ditanyakan ulang oleh petugas.


Tidak ada antrian di bagian itu. Orang berkerumun di depan seorang petugas yang sibuk mengetik di depan komputernya. Formulir yang sudah diisi diletakan di wadah plastik kecil dan pasien menunggu panggilan. Kenapa lantas harus berkerumun tidak duduk saja? Pertama, kursi yang disediakan tak cukup. Kedua, sang petugas akan memanggil tanpa pengeras suara. Bayangkan di ruangan yang penuh orang, dia harus memanggil nama pasien satu per satu. Hanya ada satu pengeras suara di bagian Jamkesmas. Yang sayangnya, nada tidak ramah bahkan sambil menceramahi pasien, keluar juga dari pengeras suara. Tak satupun muka petugas di sana yang tampaknya bisa tersenyum, kecuali dengan rekan kerjanya.


Akhirnya nama saya dipanggil. Selain kartu, saya juga dapat kwitansi senilai 21.500 untuk pendaftaran. Setelah itu, pergilah saya ke klinik yang saya tuju. Saya dulu pernah beberapa kali lewat, tapi kemarin klinik tersebut sudah tidak ada di tempat yang saya ingat. Tidak ada papan pengumuman pindah dan dipindahkan kemana. Pun tidak ditemukan nama klinik di papan-papan petunjuk. Alhasil saya harus bertanya pada cleaning service.


Saya temukan klinik tersebut dan langsung menghampiri loket pendaftaran. Saya serahkan kwitansi yang saya pegang dan langsung ditanyakan:


"Mau VCT, Mas? Untuk apa?" tanya seorang laki-laki.


Saya sempat bingung menjawab. Untuk apa? Ya jelas untuk mengetahui status saya. Apalagi? Ternyata saya baru tahu kalau ada beberapa orang yang datang tes untuk mendapatkan keterangan status HIV negatif untuk kepentingan melamar pekerjaan. Ah, masih saja ada perusahaan yang diskriminatif (perusahaan atau pemerintah?).


Ternyata laki-laki di loket pendaftaran itu adalah konselornya. Langsung saja saya diajak masuk ke ruang konseling. Setelah berkenalan secukupnya, dia langsung menceramahi saya soal HIV dan AIDS. Saya memang tidak bilang saya bekerja di organisasi HIV dan AIDS, sengaja ingin tahu seperti apa informasi yang disampaikan. Agak terkejut dengan cara sang konselor menyampaikan informasi yang, bagi saya, sangat menggurui. Apalagi saat saya bertanya,


"Kalau misal saya melakukan donor darah, memberikan darah saya pada orang lain, berapa besar kemungkinan saya terinfeksi?" tanya saya.


"Sebentar. Makanya dengarkan saya dulu!" katanya menyetop lalu melanjutkan ceramahnya dan tak menjawab pertanyaan saya. Setelah itu masuklah ke sesi cara penularan HIV. Setelah menjelaskan melalui hubungan seks, penggunaan jarum suntik, transfusi darah, dia lalu sampai pada poin terakhir,


"Cara penularan HIV yang terakhir adalah homoseksual. Kenapa homoseksual? Karena itu perilaku menyimpang. Melakukan anal seks dan oral seks," jelasnya mantap.


Haloooo, Pak! Bapak ini petugas kesehatan, saya lihat logo WHO ada di ruang tunggu juga. Tahukah bapak kalau homoseksual sudah dicoret dari daftar gangguan jiwa oleh WHO sejak tahun 1990 an? Dan tahukah bapak kalau tidak semua homoseksual melakukan anal dan oral seks? Lebih penting lagi, tahukah bapak berapa banyak heteroseksual yang juga melakukan anal dan oral seks? Ah, konselor apa ini...


Setelah selesai dengan ceramahnya, ia mengulang berkali-kali apakah saya sudah siap untuk melakukan tes. Saya bilang sangat siap. Setelah itu saya diminta untuk pergi ke bagian laboratorium untuk melakukan tes darah.
"Ya, nanti anda bayar sekitar 125 ribuan," katanya. Wah, ternyata bayar! Padahal saya koar-koar di media yang saya buat kalau layanan VCT gratis di rumah sakit ini. Baru saya tahu di depan ada pengumuman yang berbunyi setelah Global Fund menghentikan bantuan, tes HIV dikenai biaya.
Pergilah saya ke bagian laboratorium. Tempatnya nyaman. Ruangan baru, adem. Saya menghampiri front office. Ada tiga orang di sana. Semua menundukan kepala, sepertinya sibuk. Salah satunya lalu mendongakan kepala,


"Kertasnya taruh di situ, Mas," katanya dengan nada ketus. Tak ada sapaan apalagi senyum ramah.


Nama saya kemudian dipanggil untuk melakukan pembayaran. Seratus dua puluh delapan ribu untuk tes HIV Elisa dan 1.500 untuk biaya administrasi billing system. Saya lalu disuruh masuk ke ruang pengambilan sampel cairan tubuh. Saya pikir saya akan langsung diambil darahnya. Ternyata tidak. Ruangan berukuran kira-kira 8 x 8 meter tersebut dibagi oleh sekat-sekat menjadi 5 ruangan. Empat ruangan untuk pengambilan sampel dan 1 ruangan untuk penyimpanan peralatan. Hanya 3 ruangan yang dipakai untuk pengambilan sampel (satu ruangan tertutup, entah kenapa). Ada sekitar 20 orang mengantri di sana! Tanpa tempat duduk. Saya sih tidak masalah. Hanya saja beberapa pasien sudah berusia lanjut. Saya juga tidak bisa membayangkan kalau saya sedang sakit harus mengantri di ruangan tersebut sambil berdiri. Ketika sampai orang di depan saya diambil sampel darah, saya harus menunggu 10 menit karea petugasnya kesulitan mengambil darah. Lha kok bisa? Mana saya tahu. Saya cuma miris-miris saja melihat lengan si pasien yang berkali-kali ditusuk jarum, sampai ganti dua jarum, tapi darah tidak keluar juga.


Untungnya ketika giliran saya, tidak ada masalah. Cuma saja, dari ruang sebelah terdengar sang petugas yang bicara dengan suara keras dan tinggi kepada beberapa pasien. Seakan-akan dia bicara dengan orang yang pendengarannya hanya 10% saja. Benar-benar membuat tidak nyaman.
Besoknya adalah jadwal saya untuk mengambil hasil dan mendapatkan post konseling. Sang konselor bilang saya bisa bertemu dengannya jam 11.30 karena pagi hari dia ada acara keluarga. Sayang sekali, hari itu saya ada kegiatan sampai jam 12 lebih, dengan perasaan bersalah saya telpon klinik tersebut untuk melakukan jadwal ulang. Kaget saya karena sang konselor tidak ada di tempat. Lha... untung saya tidak langsung meluncur tergesa-gesa ke rumah sakit! Petugas yang mengangkat telpon menyuruh saya untuk datang besok hari saja.


Hari berikutnya saya telpon kembali klinik tersebut, untuk memastikan kalau saya tidak akan sia-sia ke sana. Petugas yang mengangkat telpon bilang konselornya ada dan saya mengatakan saya akan ke sana jam 11. Mungkin saya juga yang salah datang 30 menit lebih awal dari perjanjian. Saya langsung ke loket dan menyebutkan nama dan kebutuhan saya hari itu. Si petugas meminta saya untuk menunggu. Satu jam saya menunggu tidak ada tanda-tanda nama saya dipanggil sampai saya lihat sang konselor keluar dari ruangannya. Baru saja saya bermaksud menyapa (untuk menanyakan berapa lama lagi saya harus menunggu), dia sudah mengangkat tangan dengan muka datar. Saya paham maksudnya, saya harus menunggu. Beberapa orang yang datang, yang kebetulan saya kenal, dilayani lebih dulu. Saya berpikiran positif, mungkin karena mereka sudah janjian lebih dulu sebelumnya atau memang sudah sering mengakses layanan di sana. Saya lalu berinisiatif untuk mengambil saja hasilnya tanpa konseling. Kali ini saya bisa mengatakan kalau saya bekerja di isu HIV dan AIDS jadi tidak terlalu membutuhkan sesi selanjutnya karena sudah tahu apa yang akan saya lakukan kemudian jika hasilnya positif atau negatif. Tapi sang petugas loket tidak mengijinkan saya untuk mengambil hasilnya tanpa bertemu muka dengan sang konselor.


Barulah jam 12 kurang lima menit, nama saya dipanggil. Tak ada kata maaf keluar dari mulut konselor karena pembatalan pertemuan kemarin maupun karena waktu yang harus saya buang untuk menunggu, dia langsung berkata,
"Sudah siap dengan hasilnya? Ingat apa yang saya katakan kemarin?" Caranya bertanya lebih seperti guru sejarah yang menanyakan apakah saya masih ingat tahun berapa perang Diponegoro terjadi. Lalu dia mengeluarkan amplop berisi hasil tes saya. Tidak ada permintaan ijin kepada saya apakah saya memperbolehkan dia membukanya. Dia hanya bilang, "Ini hasilnya, saya juga belum tahu apa isinya. Lihat, masih disteples. Baik, saya buka."
Setelah saya tahu hasilnya, dengan hati-hati saya lipat kertas hasil dan bersiap-siap memasukan ke tas saya ketika kemudian sang konselor berkata,


"Hasilnya kami yang simpan."


"Lho? Ini bukan untuk saya?"


"Oh, tidak... kalau ini anda yang pegang, anda bisa menunjukan ini ke orang-orang kalau anda negatif." Apa? Ya terus kenapa? Betul-betul saya tak habis pikir. Saya memang tak membutuhkan kertas itu saat ini, tapi saya bilang kalau suatu saat saya membutuhkannya saya akan kembali ke rumah sakit tersebut. Hitung punya hitung, sesi post konseling itu hanya berlangsung sekitar 7 menit.


Ya begitulah pengalaman saya. Saya jadi berpikir, mau berkampanye sekuat apapun mengajak masyarakat untuk melakukan tes HIV, kalau pelayanannya seperti itu siapa yang mau? Tapi tenang, saudara-saudara, tak usah berkecil hati. Di beberapa rumah sakit dan puskesmas, layanan tes ini masih gratis. Ada memang yang lebih ribet prosedurnya, tapi ada juga yang pelayanannya jauh lebih ramah! Saya hanya menyarankan, cari informasi sebanyak-banyaknya dulu soal tempat tes yang nyaman dan ramah. Syukur-syukur masih bisa gratis.


Ketika menuju parkiran kendaraan, saya lewat di klinik psikologi. Saya tersenyum. Mungkin ada pasien yang sengaja datang ke klinik tersebut karena mengalami keluhan psikologis. Atau ada pasien dengan gangguan fisik yang berdampak pada psikisnya. Namun jujur saja, menurut saya pihak yang jauh lebih membutuhkan layanan itu adalah para petugas kesehatan di rumah sakit tersebut. Mungkin saking stresnya mereka lupa cara menjadi ramah. Lupa kalau pengobatan pertama bagi orang sakit adalah perhatian yang tulus dan kasih. Berharap saja semoga memang mereka, para petugas kesehatan itu, tidak dari orok sudah tidak bisa tersenyum. Akut itu namanya.
baca selengkapnya

1 Desember 2010

Islam Membawa Pesan Damai, Masihkah?


Saya dulu pernah dengar dari kawan saya soal sosialisasi anti Yahudi di sekolah setingkat TK berbasis Islam. Kata teman saya, beberapa guru mengajarkan lagu-lagu yang berisi kecaman terhadap Israel dan ajakan untuk membunuh Yahudi. Saya antara percaya dan tidak saat itu. Pertama, percaya karena tidak ada alasan teman saya untuk berbohong dan bagaimana muslim radikal melakukan cara apapun untuk memperkuat basisnya. Kedua, tidak percaya karena masak iya di sekolah tingkat TK diajarkan lagu yang mengandung lirik 'bunuh'? Dulu saya waktu TK cuma diajarkan lagu tentang pelangi, balon dan kapiten. Lalu saya juga masih percaya ajaran Islam tak pernah mengijinkan untuk menyebarkan kebencian.


Sore ini, dengan mata dan telinga saya sendiri, saya lihat dan dengar bagaimana akhirnya saya menjatuhkan keyakinan saya pada pilihan pertama: percaya bahwa muslim radikal melakukan cara apapun untuk memperkuat basis, dengan menyebarkan kebencian.


Saya dan beberapa kawan membuat aksi untuk memperingati Hari AIDS Sedunia, 1 Desember. Tahun ini, kami tak membuat acara besar-besaran. Sederhana saja (lihat postingan saya sebelumnya, kalau mau hehe..) Kebetulan sekali, Perda tentang HIV dan AIDS ditandatangani oleh Gubernur DIY pada tanggal 1 Desember 2010. Saya dan kawan-kawan merasa ingin mensosialisasikan Perda tersebut kepada masyarakat luas. Dengan judul Dukung dan Awasi Implementasi Perda HIV & AIDS DIY, kami membentangkan spanduk meminta dukungan dan komitmen masyarakat Yogya untuk mengawasi pelaksanaan Perda DIY No. 12 tahun 2010 tersebut.


Tidak lama kemudian, seorang kawan memberi tahu saya bahwa akan ada aksi lain dari organisasi Islam, juga tentang HIV dan AIDS. Saya paham. Biasanya memang tanggal 1 Desember ini terjadi aksi tanding-tandingan. Kepedulian yang sama soal HIV dan AIDS, namun dengan cara pandang yang 180 derajat berbeda. Tak heran. Mereka di posisi yang melihat kasus HIV dan AIDS dari perspektif moral. Saya di posisi yang realistis sajalah: isu kesehatan dan sosial.


Ketika rombongan longmarch organisasi agama tersebut sampai di titik aksi kami, kami memberikan jalan. Toh kami juga tidak menggunakan jalan, hanya memasang spanduk di trotoar dan beberapa orang 'menyerbu' pengguna jalan pada saat lampu merah, untuk membagikan bunga, pita merah dan kopian perda. Agak terkejut saya karena barisan longmarch ternyata diisi oleh anak-anak seusia SD. Mengikuti kakak-kakaknya, mereka berteriak-teriak soal isu HIV yang diakibatkan oleh penyimpangan seks, alias, menurut versi mereka, seks bebas (masih saja istilah ini dipakai ya... heran) dan homoseksual dan transseksual.


Kami berdiri saja di pinggir trotoar. Beberapa kawan saya lalu mencoba memberikan bunga sebagai tanda damai dari kami. Anggota rombongan yang lebih tua jangankan menerima, mereka sama sekali tidak mau melihat kami. Saya masih menghargai jika ditolak dengan senyum dan ucapan terima kasih, tapi sayang sekali tidak saya dapatkan. Beberapa anak tertarik untuk mengambil bunga tersebut dengan muka berseri-seri. Tapi apa yang kemudian terjadi membuat saya benar-benar kecewa. Orang-orang yang lebih tua di kelompok tersebut menyuruh anak-anak agar tidak menerima bunga-bunga tersebut, bahkan beberapa ada yang dikembalikan. Nyata di depan mata saya sendiri bagaimana anak-anak itu diajak untuk menjaga jarak terhadap kami, membenci kami.


Terus terang, saya buta soal etika pergaulan dalam Islam. Bagaimana bersikap harus bersikap pada orang lain yang kita anggap 'musuh'. Haruskah kita tolak pemberian dari mereka? Yang saya ingat adalah kisah Muhammad, Nabi yang (katanya) menjadi panutan orang Islam. Beliau yang mendatangi rumah seorang laki-laki buta yang setiap harinya selalu menghina dan menghujat sang Rasul. Muhammad datang ke rumah si lelaki itu karena beliau mendengar bahwa dia sakit. Tidak hanya menjenguk, Rasul bahkan menyuapinya! Silakan yang merasa sebagai pengikut Muhammad, tidakkah contoh itu nyata bagi kalian yang mempercayainya?


Saya masih percaya, inti ajaran Islam dan agama lain adalah kedamaian. Sayangnya, kedamaian ini seringkali diartikan oleh sekelompok orang sebatas kedamaian individu yang ujung-ujungnya egois. Bukan kedamaian lil alamin (benar ya bahasanya? Maksudnya: kedamaian bagi semesta alam). Citra Islam menjadi buruk karena oknum-oknum berpandangan seperti itu, mengharapkan kebahagiaan dunia dan akhirat bagi diri dan kelompoknya dengan cara yang merugikan atau melecehkan orang atau kelompok lain.


Soal rasa risih saya yang lain adalah kampanye yang mereka, organisasi agama tersebut, lakukan, tidak berdasarkan fakta medis. Mereka berteriak-teriak bahwa penyebab HIV adalah homoseksualitas. Mari kita bicara fakta saja. Data yang dilaporkan Kemenkes sampai September 2010, jumlah kasus AIDS berdasarkan faktor resiko dari hubungan seksual yang dilakukan oleh homoseksual itu sebesar 3 % saja. Tahukah anda berapa yang dari hubungan seks heteroseksual? Lima puluh satu persen! (Sisanya dari faktor resiko pemakaian napza suntik, transfusi darah dan ibu positif ke bayinya). 


Sekarang, bicara realistis, jika organisasi agama tersebut mampu membuat homoseksual menjadi heteroseksual (katakanlah itu mungkin), apakah dengan kemudian tidak adanya homoseksual, kasus HIV dan AIDS akan selesai?
Hal konyol yang lain, ketika kami menawarkan kopian perda kepada mereka, salah satu (laki-laki) dari mereka menolaknya dan mengatakan bahwa justru mereka berjuang untuk menolak perda tersebut, yang menurutnya, berarti menolak juga membaca isi perda! Wah, canggih! Menolak tanpa tahu apa yang mereka tolak. Berpikiran magis sih magis, tapi ya nggak segitunya kali... Kami saja harus mengopi berlembar-lembar perda tersebut agar orang yang akan mendukung tahu apa yang mereka dukung.


Kontras dengan perkara aksi organisasi agama yang radikal tersebut, pagi harinya saya hadir di pemutaran film, juga tentang HIV dan AIDS di organisasi keagamaan yang lain. Nahdlatul Ulama. Setelah memutar film, kami menggelar diskusi. Diskusi yang menyenangkan, hangat dan realistis. Fokus pada apa yang BENAR-BENAR terjadi dan apa yang kira-kira bisa dilakukan bersama-sama untuk menunjukan kepedulian terhadap isu HIV dan AIDS. Untungnya, setahu saya, organisasi agama yang satu ini punya pengaruh cukup kuat di Indonesia dengan jumlah dan loyalitas massa yang tak bisa dibandingkan dengan kelompok radikal. Sangat berharap sekali saya pada mereka, tunas-tunas muslim yang tetap berdiri pada keyakinannya namun bisa berkiprah dalam perubahan sosial dengan cara damai. Semoga!


Note: Saya bukan pengikut NU. Namun sejauh ini, saya menaruh penghargaan pada beberapa tokoh muslim dari kalangan ini yang saya tahu berpikiran terbuka, realistis dan sadar sosial.
baca selengkapnya

19 Oktober 2010

Kantong Plastik? Tidak, Terima Kasih


Walaupun saya sebetulnya agak tidak setuju dengan menjamurnya swalayan waralaba di Indonesia, tak jarang saya menyerah juga untuk tidak berbelanja di tempat itu. Biasanya kalau sudah hampir tengah malam dan warung biasa sulit ditemui, swalayan waralaba menjadi alternatif saya (memang demikian tujuan mereka, bukan? Menciptakan kebutuhan).


Agar tidak terlalu jauh dari judul yang saya buat, langsung saja ke topik yang ingin saya tulis. Suatu malam, saya belanja di satu swalayan waralaba. Tak banyak  yang saya beli: detergen, snack, minuman kaleng dan rokok. Sampai di kasir, seperti biasa saya bilang, 


"Tidak usah pakai kantong plastik, Mbak."


Biasanya, petugas kasir langsung tanggap. Tapi yang satu ini tidak. Belakangan saya maklum karena petugas itu memakai seragam putih hitam, trainee. Saat ia mengeluarkan kantong plastik putih dari laci, saya ulangi lagi, 


"Tidak usah pakai kantong plastik..."


"Lho, kenapa?" tanyanya bingung. Saya juga bingung. Baru kali ini ditanyai demikian.


"Saya masukan ke dalam tas saja," jawab saya sambil menunjuk tas hitam besar.


"Memang cukup ya, Mas?" dia bertanya lagi. Agak jengkel saya. Saya yang punya tas, jadi saya tahu kapasitas tas saya. Saya rasa tidak perlu menjelaskan soal niat saya mengurangi limbah plastik padanya. Saya langsung masukan barang belanjaan saya dan berkata,


"Nah, cukup kan?" kata saya sambil menerima uang kembalian lalu pergi meninggalkan swalayan.


Kantong plastik. Benda ringan ringkas dan membuat hidup lebih sederhana. Namun data yang saya dapat tak sesederhana itu. Sengaja saya googling informasi-informasi ini, sekalian biar isi blog saya juga tidak hanya menampung curahan hati dan opini pribadi hehe...


Kita mulai dari awal. Untuk kebutuhan produksi plastik ini setiap tahunnya diperlukan sekitar 12 juta barel minyak dan 14 juta pohon. Silakan dibayangkan pula dengan cara apa minyak-minyak dan pohon-pohon itu diangkut dari sumbernya menuju pabrik pembuatan plastik. Berapa banyak zat kimia yang digunakan yang mungkin juga didatangkan dari daerah lain di ujung dunia. Dengan cara apa juga plastik-plastik yang sudah jadi kemudian didistribusikan ke daerah lain. Pastilah membutuhkan bahan bakar yang juga tidak sedikit.


Setiap tahunnya, diperkirakan 500 juta sampai 1 milyar kantung plastik digunakan penduduk bumi. Kalau dikira-kira lagi, dan ada orang kurang kerjaan mau membentangkan kantong-kantong itu, cukuplah untuk membungkus planet ini sampai 10 kali.


Tiba pada akhir hayat si kantong plastik. Beruntunglah jika ia bertemu dengan tangan-tangan kreatif yang bisa mendaurulangnya menjadi barang lain yang lebih berguna. Jika tidak, ia akan menunggu sekitar seribu tahun sampai tanah mampu mengurainya secara sempurna. Belum selesai... saat terurai, partikel-partikel plastik akan mencemari tanah dan air tanah. Lalu bagaimana jika dibakar? Jika proses pembakarannya tidak sempurna, plastik akan mengurai di udara sebagai dioksin, bahan kimia beracun yang dalam jumlah besar dapat menyebabkan kanker.


Lagi, kebiasaan kita membuang sampah sembarangan, termasuk kantong plastik. Akibatnya sudah jelas.


Nah, begitulah. Begini-begini, saya juga ingin berbuat sedikit untuk lingkungan saya, tapi masih sulit menyatakan diri sebagai pemerhati lingkungan karena masih doyan merokok, masih sering lupa mencabut saklar listrik saat tidak saya gunakan dan masih pakai detergen untuk cuci baju. Saat ini yang bisa saya lakukan adalah selain memaksa diri untuk makan langsung di tempat makan sehingga tidak perlu bungkus makanan, juga bersetia dengan tas besar saya dan saat ditawari,


"Kantong plastik?"


Saya akan jawab, "Tidak, terima kasih."

baca selengkapnya

14 Oktober 2010

Pernyataan Sikap dan Dukungan terhadap Penyelenggaraan Q! Film Festival 2010 Yogyakarta


"Puluhan massa gabungan ormas Islam menentang pemutaran Q! Film Festival 2010 di gedung Lembaga Indonesia Perancis (LIP) Yogyakarta. Mereka menuntut agar panitia tidak memutar film tersebut baik di Yogyakarta maupun di tempat lain. Massa yang berjumlah 30-an orang itu mulai sekitar pukul 20.00 WIB mendatangi gedung LIP Yogyakarta di Sagan, Gondokusuman, Selasa (12/10/2010). Massa gabungan itu antara lain terdiri dari anggota Majelis Mujahidin Indonesia, Forum Umat Islam, Front Jihad Islam,” (Detik News, 12 September 2010)


Pada tanggal 12 Oktober 2010, Forum Ukhuwah Islamiyah (FUI) Yogyakarta mendatangi tempat penyelenggaraan acara Q! Film Festival di Yogyakarta dan melakukan intimidasi serta mengancam akan membubarkan acara jika panitia tetap menyelenggarakan pemutaran film tersebut. Peristiwa ini senada dengan yang terjadi di Jakarta, yaitu intimidasi yang dilakukan oleh Front Pembela Islam (FPI) pada penyelenggaraan festival yang sama. Dengan melihat fakta-fakta tersebut, maka kami menyatakan bahwa :


1) Menolak penafsiran sepihak yang menghubungkan Q! Film Festival dengan moralitas bangsa yang dijadikan sebagai legitimasi untuk mengganggu kehidupan bangsa yang menjunjung tinggi Hukum,HAM dan Demokrasi.


2) Mendukung terselenggaranya acara Q! Film Festival sebagai bentuk kebebasan berekspresi dan aktualisasi diri  yang berkaitan dengan  HAM, Gender, Seksualitas dan Kesehatan yang dijamin oleh konstitusi dan hukum internasional.


3) Mendukung tujuan diselenggarakannya Q! Film Festival sebagai bagian dari edukasi, advokasi dan penguatan hak personal sebagaimana yang dijelaskan di dalam UUD 1945 Pasal 28F mengenai hak untuk berkomunikasi, memperoleh informasi dan mengembangkan diri, dan Pasal 31 ayat 1 mengenai hak warga negara untuk mendapatkan pendidikan.


4) Menolak arogansi Forum Ukhuwah Islamiyah dan kelompok manapun yang memonopolisasi agama sebagai legitimasi tindak kekerasan. Tindakan kekerasan dalam bentuk apapun dan dengan alasan apapun adalah sesuatu yang tidak dapat dibenarkan di dalam kehidupan bernegara yang didasarkan atas azas Pancasila, UUD dan Hukum yang berlaku. Oleh karena itu, siapapun atau kelompok manapun yang menolak keberagaman dan menggunakan kekerasan untuk menistakan keberagaman sama halnya menolak Pancasila sebagai azas Negara.


5) Menuntut komitmen Pemerintah terhadap kovenan Internasional mengenai Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (International Covenent on Economic, Social and Cultural Right) sebagaimana telah diratifikasi di dalam UU No.11 Tahun 2005. Berkaitan dengan hal ini, Pemerintah berkewajiban menghormati,melindungi dan memenuhi Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya setiap warga negara, termasuk di dalamnya mendukung penyelenggaraan Q! Film Festival sebagai bagian dari Hak mendapatkan pendidikan, pelatihan, standar kesehatan fisik dan mental,serta berperan aktif dalam kehidupan budaya.


6)      Menuntut pemerintah untuk memenuhi  hak setiap warga negara terbebas dari segala bentuk kekerasan dan diskriminasi sebagaimana diatur di dalam UUD 1945 Pasal 28 I ayat 2 yaitu  ‘Setiap orang berhak bebas atas perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apa pun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu.’ Aksi kekerasan adalah bentuk kriminalisme yang mengganggu ketertiban umum dan mengancam keselamatan setiap warga negara.


Atas dasar peristiwa tersebut di atas maka kami menyatakan mendukung penyelenggaraan Q! Film Festival di Yogyakarta serta mendesak Kapolda DIY untuk memberikan jaminan perlindungan terhadap penyelenggaraan Q! Film Festival di Yogyakarta.


Yogyakarta, 13 Oktober 2010


Hormat kami :
Jaringan dan Lembaga: JAMGAMAN (Jaringan HAM untuk Keberagaman ), JPY ( Jaringan Perempuan Yogyakarta ), PKBI DIY, Vesta Yogyakarta, PLU Satu Hati, SAMSARA, IHAP ( Institut Hak Asasi Perempuan ), AWRC ( Asian Women's Resource Center ), PRP ( Perhimpunan Rakyat Pekerja ),YIFoS (Youth Interfaith Forum on Sexuality).
Personal: Budi Wahyuni, Inna Hudaya, Damairia Pakpahan, Ima Susilowati, Gama Triono, Nur Hidayah Perwitasari, Dey Prananda Halim, Ana Marsiana, Sartika Nasmar, Dian T Indrawan, Lelyana Kurniawati, Egie Dian, Mang Sick Head, Setiawan Aji, Ika Ayu, Yulia Dwi Ariyanti, Habibah Jazila, Rismilliana Wijayanti, Nino Susanto, Ria papermoon
baca selengkapnya

11 Oktober 2010

Jadwal dari Tuhan


Seorang anak kecil mendatangi ayahnya yang sedang asyik di depan laptopnya. Belum genap 6 tahun usia si anak. Ia bertanya,


"Ayah, bisakah aku bertemu Tuhan?"


Sang Ayah agak terkaget ditanyai seperti itu. Tak siap ia dengan jawaban, balik bertanya,


"Kenapa kamu ingin bertemu Tuhan?"


"Hanya ingin lihat wajahnya. Tidak bolehkah?" tanya sang anak lagi.


Makin bingung sang ayah. Jika ia mengatakan tidak boleh, anaknya pasti akan bertanya kenapa dan ia sendiri tak tahu jawabannya. Jika ia menjawab boleh, sudah pasti sang anak kemudian akan merengek-rengek minta dipertemukan dengan Tuhan. Gawat! Belum selesai pengakuan dosanya!


"Suatu saat kau pasti bisa bertemu Tuhan, Anakku," jawab sang ayah. Aman!


"Aku ingin bertemu hari ini, Ayah."


"Hmm... sepertinya sulit, Nak."


"Kenapa? Apakah ia sedang sibuk?"


"Ya... begitulah." Ayahnya kini mulai berkeringat.


"Kata ayah, Tuhan itu Maha Kuasa, seharusnya tak sesibuk itu kan, Ayah? Aku perlu bertemu sebentar saja."


"Hmm..."


"Ayah pernah bertemu Tuhan?"


Ayahnya menggeleng.


"Ayah tak ingin bertemu dengannya?"


Ayahnya kembali menggeleng. Lalu berkata, "Kemari, Nak. Ayah hanya percaya suatu saat akan bertemu dengannya suatu hari. Namun, dalam penantian Ayah, Ayah juga percaya ia selalu bersama kita, memberikan cintanya untuk kita. Karena itu yang kita butuhkan. Kita tak perlu mengetahui wajahnya untuk bisa merasakan cinta yang ia berikan." Panjang lebar yang ia katakan, berharap anaknya mengerti.


"Oh, jadi kapan aku bisa bertemu dengannya?"


"Itu hanya dia yang tahu, Nak. Dia yang sudah membuatkan jadwal pertemuannya dengan tiap-tiap makhluk."


"Bisakah aku lihat jadwalnya, Ayah?"


Ayahnya menggeleng lembut. Sang anak berpikir sebentar, lalu turun dari pangkuan ayahnya.


"Baiklah. Aku akan menunggu saja. Aku mau main layangan di depan ya, Ayah!"


Ayahnya mengangguk tersenyum. Senang melihat anaknya tak lagi bertanya macam-macam dan bertindak layaknya anak kecil. Sang ayah lalu kembali ke monitor laptopnya. Satu email baru masuk di inboxnya. Segera ia buka karena nama pengirimnya sangat tak biasa.


Tenang. Kau tak perlu gusar dengan pertanyaan-pertanyaan anakmu lagi. Jadwalnya bertemu denganku adalah sore ini saat ia bermain layangan.
-Tuhanmu-
baca selengkapnya

10 Oktober 2010

Tentang Cinta


Hari-hari terakhir ini, datang rupa-rupa cerita cinta dari orang-orang di sekeliling saya. Tidak semua menyenangkan. Bahkan kebanyakan justru menyesakkan. Ya begitulah cinta, semua orang mencari tapi sering tak siap dengan konsekuensi.


Pertama, seorang teman berkisah ia bertemu mantannya yang sekarang sedang menjalin hubungan dengan kawannya teman saya di kampus. Bingung? Mungkin lebih bingung lagi kalau saya bilang ketiganya adalah perempuan.


Cinta tak mengenal batas, kita sendiri yang membuat pagarnya.


Gampangnya, teman saya dan pacar mantannya pernah kuliah di tempat yang sama, setahu saya mereka cukup dekat. Nah, beberapa hari lalu, teman saya memutuskan untuk bertemu dengan mantannya, sekedar silaturahmi. Teman saya bilang, mantannya kini berubah. Berbeda sekali dengan saat mereka pacaran dulu.


Ya, cinta bisa mengubah kepribadian seseorang, kadang memperbaiki kadang membuatnya lebih kompleks.


Yang menarik, pacar mantannya memilih untuk tidak menemui teman saya. Padahal, dari mantannya sendiri, teman saya tahu kalau pacarnya itu sedang berada tak jauh dari tempat teman saya dan mantannya bertemu. Secara resmi mereka berdua sudah 'menghadap' teman saya di awal hubungan mereka. Teman saya bilang, saat itu ia sendiri tidak bermasalah dengan hubungan mereka (sampai sekarang pun demikian), tapi ia melihat mantan dan pacarnya terlihat kikuk saat menceritakan hubungan mereka. Mungkin sampai sekarang pacar mantan teman saya itu masih merasa tidak enak hati pada teman saya. Teman saya sebetulnya berharap ia dan kawannya yang sekarang menjadi pacar mantannya itu, bisa tetap berkomunikasi secara wajar.


Cinta dapat pula mempengaruhi hubungan pertemanan, menambah atau mengurangi, kualitas maupun kuantitas.


Kisah lain, dari teman saya yang lain. Seorang perempuan heteroseksual yang sedang berusaha sekuat tenaga melupakan perasaannya pada seorang laki-laki. Mereka bertemu beberapa tahun lalu dan uniknya, saya kira, adalah mereka tak pernah memutuskan untuk berpacaran namun hubungan keduanya sudah layak saya sebut pacaran.


Cinta, jika tak dinyatakan seringkali menimbulkan pertanyaan.


Kriteria yang saya pakai sangat sederhana dan serampangan: adanya ngambek-ngambekan. Bagi saya, pada hubungan pertemanan biasa, agak konyol kalau ada acara ngambek, kecuali mungkin, pada pertemanan anak TK. Menurut saya, ngambek adalah reaksi jujur kita yang mungkin kita sembunyikan dalam hubungan pertemanan, namun dengan mudah kita ekspresikan pada pacar. Teman saya juga mengeluh kalau selama mereka 'berteman', teman-tapi-mesranya sering kali menunjukkan sikap manja berlebihan, sesuatu yang tak pernah ditunjukan pada orang lain.


Cinta membuat kita nyaman untuk mengakui kelemahan kita.


Yang bikin saya gemes, teman saya dan teman-tapi-mesranya itu tidak pernah mengutarakan perasaan mereka satu sama lain secara langsung. Saya tak tahu apa alasan si teman-tapi-mesra melakukan hal itu. Teman saya berkali-kali mengatakan ia sudah menunjukkan sinyal-sinyal perasaannya tapi tak pernah mendapatkan respon yang ia harapkan.


Cinta menjadi kita lebih peka, namun cinta juga membutuhkan kepekaan.


Teman saya malah merasa kalau ia tak pantas punya perasaan cintanya dan untuk itu, ia berusaha sekuat tenaga untuk membenci teman-tapi-mesranya. Yang menyeramkan, teman saya sering berpikir untuk bunuh diri agar hilang semua masalahnya itu.


Cinta bisa membuat pikiran kita tidak rasional.


Cerita lain datang dari kawan saya. Ia bercerita saudara perempuannya saat ini sedang menjalin hubungan dengan laki-laki yang sudah punya pacar dan siap melangsungkan pernikahan. Bukan main bingung kawan saya. Sehari-hari ia bekerja sebagai aktivis perempuan. Maka tak bisa diterima olehnya ketika sang saudara menjadi pelaku kekerasan bagi perempuan lain. Masalahnya, si saudara ini baru saja putus dari pacar lamanya dan kemudian bertemu dengan laki-laki berpacar ini yang, sebetulnya, adalah cinta lama sang saudara yang tidak disetujui orangtuanya. Kawan saya berusaha menggugah empati saudaranya jika ia berada di posisi pacar yang siap dinikahi laki-laki itu. Si saudara yang baru saja jatuh, tentu sulit untuk berpikir jernih saat ada tangan halus yang membantu menopangnya. Ia mendapatkan kembali perhatian dan kasih sayang yang baru saja hilang.


Cinta mampu menjadikan kita sangat egois.


Ya begitulah. Cerita-cerita cinta yang menarik buat saya. Melankolis. Meluap-luap. Sendu. Namun bisa juga memberikan kekuatan dan menginspirasi. Saya harus sudahi tulisan saya karena selain tak mau dianggap sok tahu soal cinta, seseorang yang saya cinta baru bangun dari tidurnya dan sedang menunggu balasan pesan singkat dari saya. Hehehe..


Ya, Cinta, kau harus sabar saat berhadapan dengan cinta.
baca selengkapnya

15 September 2010

Mudik Lebaran dan SPG


Mudik lebaran ini sepi sekali. Bukan arus mudik yang saya maksud. Kereta masih saja dijejali penumpang, jalanan juga terus dipadati motor dan mobil. Entah kapan pemerintah mau serius menggarap PR tahunan ini. Mungkin bukan waktunya juga yang jadi soal, tapi perkara alat dan pendukung transportasi yang manusiawi masih pula menjadi mimpi di negara ini.
Karena saya kebelet pulang ke Jogja, saya putuskan ambil kereta bisnis, menghindari kejadian setahun sebelumnya naik ekonomi dan walhasil harus berdiri dari Bandung sampai Jogja. Taruh pantat saja tidak bisa. Rencananya saya akan reservasi di stasiun Cirebon untuk mendapatkan tiket balik, tapi ternyata ada masalah dengan jaringan internet antara Senen dan Cirebon. Tiga hari berturut-turut kemudian saya hubungi stasiun bisakah saya reservasi online. Ternyata untuk kereta bisnis yang saya pilih tetap tidak bisa. Mereka menyarankan saya ambil yang eksekutif. Mbahmu... Tapi akhirnya denga berat hati saya ambil juga haha... Miris! Saya kedinginan di dalam kereta (ini bukan soal kampungan atau tidak, tapi banyak penumpang juga mengeluh AC nya terlalu dingin), padahal saudara-saudara saya di kelas ekonomi mungkin hampir tak bisa bernapas. Saya temukan juga dua gerbong terakhir kosong melompong tanpa penumpang, padahal kawan-kawan saya di kelas ekonomi bahkan sampai duduk di dalam toilet berbau pesing atau di atas gerbong dengan taruhan nyawa. Oya, saya juga harus menunggu kereta yang terlambat satu setengah jam di stasiun yang penuh sesak. Ah negara ini...


Nah, sebetulnya saya tak ingin menulis soal transportasi mudik, tapi masih nyambung dengan tradisi tahunan ini. Saya pulang dan tak menemukan kawan-kawan saya, hanya satu dua orang. Biasanya saya dan beberapa kawan mendatangi rumah beberapa kawan lainnya di malam takbiran, bukan sekedar silaturahmi tapi juga membantu menghabiskan makanan sisa buka puasa terakhir hehe.. Tahun ini, beberapa kawan saya yang sudah menikah memilih berlebaran di kampung sang istri. Beberapa kawan saya yang lain jadi sulit ditemui karena harus ikut suami. Wedeh! Nah satu kawan lagi yang biasanya sudah datang beberapa hari sebelum lebaran, kali ini belum juga terlihat batang hidungnya bahkan sampai di satu hari sebelum lebaran. Saya kirim pesan, dia jawab tak serius. Persis gaya kami waktu SMA.


Di hari lebaran, pulang saya dari ziarah, bertemulah saya dengan orangtua kawan saya itu. Sang ibu bilang anaknya masih di perjalanan dari Bogor. Wah wah... sibuk betul kawan saya rupanya. Barulah di malam pertama lebaran, saya bertemu dengan sang kawan. Alkisah, sekarang dia bekerja di sebuah department store. Tak heran saya kalau dia baru dapat ijin cuti pas hari lebaran. Toko mana yang tak mau kehilangan untung besar menjelang lebaran?


Pembicaraan kami lantas bergulir soal posisinya di sana. Ia menjadi HRD di sana. Ialah yang bertanggung jawab pada proses rekruitmen karyawan. Kawan saya yang lain yang sepertinya sudah kebelet ingin kawin, langsung cerah ceria saat kawan HRD ini cerita soal SPG-SPG di tempat kerjanya. Saya maklum. Saya sendiri lebih tertarik dengan proses rekruitmennya.


"Ya, kami kerjasama dengan lembaga outsourcing. Tinggal pilih lagi aja," ucapnya bangga. Degh! Waduh lembaga outsourcing yang katanya seringkali melakukan pelanggaran hak pekerja!


"Terus yang kamu pilih yang gimana?" tanya saya.


"Ya yang sesuai kriteria. Termasuk tinggi badan. Kemarin baru aja kutolak seorang pelamar yang tingginya tak memenuhi. Daripada aku yang kena semprot pimpinan!" Dia tersenyum.


"Lho, kalau misalnya yang tinggi badannya tidak memenuhi tapi dia pekerja keras, ramah?" pancing saya. Kawan saya yang lain manggut-manggut, seperti sepakat dengan saya.


"Tak mau aku ambil resikolah! Aturannya sudah jelas!" kata kawan HRD saya.


"Aturan kan bisa diubah tho? Kamu dari bagian HRD bisa pula ikut kasih saran soal perubahan aturan. Atau mungkin aturan itu juga bagian kalian yang harus menyusun?" tanya saya. Kawan saya diam. Tak bisa saya terjemahkan maksud diamnya. Entah tak tahu jawabannya karena dia tergolong orang baru atau berpikir kenapa mesti repot-repot mengurus soal sepele seperti itu. Sepele buat dia tapi tidak buat orang-orang yang ditolak kerja gara-gara sentian.


Kalaupun penampilan pendukung, bekerja sebagai SPG tentu bukan hal mudah. Tahu sendiri bagaimana pandangan orang pada perempuan yang senang berdandan dan berok mini walaupun itu demi tuntutan kerja. Belum lagi harus berdiri berjam-jam dengan sepatu hak tinggi. Selalu pasang muka ramah walau hati mungkin sedang gundah gulana. Soal gaji? Ya tengoklah saat jam makan siang kemana mereka pergi. Mungkin untuk membeli barang-barang yang dijual di tokonya sendiri pun mereka harus berpikir beribu kali. Belum lagi harus menghadapi oom-oom usil tukang goda. Saya tanyakan pula soal cuti haid buat para SPG. Ternyata tak ada. Fuh!


Lalu bagaimana mereka mudik saat lebaran ya? Adakah THR untuk mereka? Cukupkah untuk membeli tiket pulang pergi dan sekedar oleh-oleh untuk keluarga di kampung? Haruskah mereka lagi-lagi berdiri selama berjam-jam walau kali ini tanpa high heels dan rok mini, tapi juga AC dan alunan musik digantikan gerah bau keringat dan tangis isak bayi yang berjejal di antara orang-orang?
baca selengkapnya

4 September 2010

Sama Rata itu Tidak Adil


Alkisah saya sedang berusaha sekuat tenaga menyelesaikan penelitian, sialnya proyek saya bikin tulisan juga dikejar deadline. Maka terdamparlah kembali saya di kotak wordpress ini hehe.. Tapi tenang, saya tidak akan curhat soal penelitian atau tulisan saya.


Dua hari lalu saya bertemu seorang kawan (yang menginisiasi update status saya juga). Seperti saya, dia juga memilih untuk  bekerja tidak di sektor formal karena alasan yang juga sama: boring! Dia bekerja di sebuah lembaga yang (katanya) hidup dengan semangat pluralisme dan multikulturalisme. Perbedaan dan keberagaman bukan jadi soal lagi baginya, tapi ternyata tidak di tempat kerjanya. Apa pasal?


"Masak di bulan puasa, kami staf yang non muslim tidak mendapatkan jatah makan siang seperti biasanya? Uang makan pun tak ada!" ujarnya. Awalnya saya pikir itu cuma gerutuan tak penting seorang staf yang kelaparan di jam makan siang. Saya bilang, mungkin itu salah satu cara untuk menghargai staf lain yang berpuasa. Menurut dia tidak begitu. Dia dan kawan-kawan yang tidak puasa cukup tahu diri.


"Kalaupun kami makan di depan mereka yang berpuasa, kami minta ijin dulu lah. Toh, nyatanya, niat mereka kan memang untuk berpuasa, kenapa menjadikan godaan itu beban? Jadikan saja cobaan menambah pahala! Lebih sopan lagi, kami mau kok cari makan di luar buat makan siang, tapi ya gimana, uang makan aja nggak ada!" ucapnya gemas. Saya tersenyum. Saya jadi ingat, di bulan puasa banyak restoran yang harus menutup jendelanya dengan kain. Bahkan, tak segan-segan beberapa ormas yang katanya religius mendatangi dan mengancam restoran atau warung makan yang tetap buka di bulan puasa. Lha, yang puasa siapa yang menderita siapa. "Yang puasa sih enak dapat pahala, kita dapat laparnya doang! Sama saja dengan memaksa orang lain untuk berpuasa juga, bukan?" lanjut kawan saya.


Itu baru satu perkara. Perkara lainnya soal THR dan parcel yang diberikan kepada staf di kantornya menjelang lebaran. Memang, THR dan parcel ini diberikan kepada semua staf, tidak peduli muslim atau bukan. Saya bilang, itu berarti bagus karena mereka mencoba berbagi kebahagiaan dengan orang yang tidak merayakan lebaran. Lagi-lagi, menurut dia tidak seperti itu.


"Itu namanya rata tapi diskriminatif. Sama rata itu tidak adil. THR dan parcel kan maksudnya agar lebaran jadi nggak garing. THR bisa dipakai buat ongkos mudik juga. Parcelnya bisa dipake untuk menjamu tamu. Cara pandang mereka masih dengan kacamata orang Islam. Buat kami, parcel dan THR akan lebih berharga diberikan nanti menjelang hari raya kami." Saya sempat bertanya, lalu yang tidak punya hari raya, bagaimana? "Ah, tanya saja satu per satu, kalau mau diberikan pas ulang tahun mereka... ya berikan saja," jawabnya. Saya bilang, bukannya jadi merepotkan? Misalnya, lebih mudah, dan murah, membeli parcel-parcel itu dan membagikannya di saat yang sama, bukan?. "Judulnya nggak mau repot aja kan? Menghargai perbedaan itu emang repot kok, masalahnya kita mau apa nggak. Itu aja."


Sebagai minoritas baru (karena pilihannya), tak jarang ia mendapatkan pertanyaan biasa namun dengan nada tak sedap dari seorang kawan kerjanya seperti, "kenapa kamu jadi seperti ini?", "apa kamu salah bergaul?". Kawan saya bukan orang yang tak mau menjawab hal-hal seperti itu. Oh, dia sangat senang sekali berdiskusi tentang itu, namun tentu saja, bukan dengan orang yang bertanya dengan tatapan sinis.


Dia benar-benar kecewa dengan lembaganya karena urusan-urusan seperti itu dianggap sepele. Memang benar sepele, ia akui. Tapi justru dari hal-hal kecil lah perubahan dimulai. Untuk apa berkoar-koar soal ide besar perdamaian jika kebutuhan kecil seperti itu saja luput dari perhatian. Sebuah kelompok akan dinilai bukan dari apa yang ia berikan untuk kelompok atau orang lain, tapi juga dari bagaimana ia memperlakukan anggota kelompoknya. Boleh saja lembaganya memperjuangkan adanya dunia yang lebih indah tapi kesejukannya ternyata bahkan belum bisa dinikmati orang-orang yang berada di dalamnya. Miris.


Saya sempat berkomentar dengan nada canda. Selama ini kelompok minoritas sering berteriak-teriak agar kebutuhan mereka terakomodasi. Berharap agar kelompok mayoritas bisa memperlakukan minoritas dengan penuh penghargaan. Lalu bagaimana dengan kelompok minoritas sendiri, sudahkah menghargai mayoritas? Ataukah mayoritas memang tidak membutuhkan penghargaan semacam itu karena dengan kekuatan massa yang mereka miliki, secara otomatis semua kebutuhan mereka terpenuhi?


"Kami menghargai mereka. Itu jelas. Mereka pikir tak terganggu tidur kami dengan suara adzan di pagi hari dari tiga buah toa masjid samping rumah dengan volume maksimal. Mereka pikir tak tersinggung perasaan kami saat mereka menyebut kami 'non', padahal identitas kami beragam dan tak bisa disederhanakan begitu saja. Kami ucapkan selamat atas hari raya mereka, tapi sebagian dari mereka melarang umatnya mengirim hal yang sama kepada kami. Kami menerima semua itu dengan lapang, bukan karena kami takut, tapi kami mencoba menghargai mayoritas."


Saya paham maksud kawan saya. Yang dia harapkan adalah bukan hanya pengakuan dan penerimaan bahwa kelompok minoritas ini ada, namun diperlakukan dengan adil. Bukan pukul rata sama rasa. Teringat saya kata guru saya, "Adil itu bukan berarti semua orang mendapatkan porsi yang sama besar, namun ia adalah ketika semua orang mendapatkan porsi sesuai dengan apa yang mereka butuhkan."


Nah, saya jadi berpikir lagi. Apakah yang sudah dan sedang saya lakukan selama ini sudah adil? Bukan sekali dua kali saya anggap orang lain akan dengan senang hati menerima tangan saya. Merancang ini itu, melakukan ini itu atas nama kepentingan orang lain dan menganggap itu kebutuhan mereka. Toh saya pikir, saya juga akan senang jika diperlakukan demikian. Saya. Kacamata saya. Egois sekali saya.


Kalimat terakhir yang diucapkan teman saya ketika kami akan berpisah dan perlu beberapa waktu bagi saya memikirkannya karena cekaknya otak saya adalah, "Ya, mayoritas dan minoritas memang cuma masalah posisi. Namun juga, saya mungkin minoritas dalam hal ini, tapi dalam hal lain bisa jadi saya mayoritas."
baca selengkapnya

21 Juli 2010

Bahasa Cinta


Saya punya kawan, seorang India. Cerdas. Dia terpilih sebagai ‘National Talent Search Scholar' dari pemerintah India dari 2001-2008. Tapi bukan soal kecerdasan intelektualnya yang ingin saya ceritakan. Selain otaknya encer, dia juga cerdas secara sosial.


Suatu sore, setelah penatnya mendapatkan materi ini itu soal pluralisme dan tetek bengeknya di sebuah acara, saya dan beberapa kawan, termasuk kawan saya itu, lantas memutuskan untuk mojok di sebuah warung kopi. Kebetulan sang bapak yang punya warung sedang sibuk mengecat pagar di belakang warungnya. Untunglah, mungkin karena melihat muka kami yang bagai musafir tersesat di padang pasir kehabisan persediaan air,dengan baik hati dia menghentikan kegiatannya dan membuka warung yang bahkan masih gembokan.


Ternyata, kawan India saya itu sudah pernah nangkring di sana juga sehari sebelumnya. Kata kawan saya, kemarin mereka sempat mengobrol. Cuma... sang bapak tidak bisa berbahasa Inggris dan kawan saya tidak bisa bicara Indonesia! Saya membayangkan kalau mereka berkomunikasi ala Tarzan. Kehadiran saya di sana ternyata dibutuhkan untuk mereview obrolan mereka kemarin. Yang membuat saya kagum adalah ternyata kawan saya bisa menangkap apa yang dibicarakan si bapak, tanpa paham arti per katanya. Dengan santai, kawan saya bilang,"Yang kita butuhkan adalah bahasa cinta."


Bahasa cinta. Klasik rasanya mendengar soal ini, namun entah kenapa, saya merinding saat mendengarnya (merinding sering saya rasakan bukan saat merasakan kehadiran makhluk halus, lebih sering karena terharu). Tapi, ya seperti biasa, masuk kuping kanan keluar kuping kiri. Padahal modalnya ternyata cuma satu: kesabaran. Tanpa kata-kata, kita bisa paham apa yang ingin diutarakan orang lain. Beruntung, potensi ini dimiliki oleh bangsa kita yang seringkali enggan untuk mengatakan hal yang sebenarnya di muka umum, merasa apa yang hendak dikatakan kurang pantas atau bisa menyinggung perasaan orang lain (setidaknya begitu kata kawan saya dari Amerika). Masalahnya, kadang modalnya kita gak punya, kurang sabar.


Tapi tenang saja, urusan sabar nggak sabar nggak ada hubungannya dengan etnis atau suku bangsa tertentu. Buktinya,kawan saya yang lain yang datang dari negara yang sama dengan kawan yang saya ceritakan di awal, ternyata ya sama aja kurang sabarannya. Bukan apa-apa, bagi saya yang kemampuan bahasa inggrisnya cuma beda selapis sama anak kelas 3 SD, membutuhkan waktu agak lama untuk mencerna omongan bahasa inggris ala India yang super cepat.


Bahasa cinta ini adalah mungkin satu-satunya bahasa yang tidak punya grammar, berlaku universal (setidaknya secara geografis, saya belum tahu kalau secara historis). Tak perlu kamus atau kursus ini itu untuk bisa lancar berbahasa ini, karena pada dasarnya kita sudah punya kemampuan itu. Boleh saja orang di Amerika sarapannya roti, orang Afrika kulitnya gelap, orang Hindu percaya pada karma, namun bagaimanapun kita semua pada dasarnya sama: manusia. Makhluk paling egois yang ada di muka bumi ini, bahkan antara sesamanya. Gawatnya, egoisme ini lalu menjadi terkolektif dan digunakan untuk menyerang yang lain yang kita anggap berbeda: agama lain, bangsa lain, etnis lain, keyakinan politik lain, spesies lain bahkan bumi yang kita tinggali sendiri. (Lho malah jadi ceramah...).


Ya inti tulisan saya singkat aja, gak perlu repot-repot belajar apa itu pluralisme, multikulturalisme, human development dan sebagainya karena sejatinya bukan itu yang kita butuhkan. Kita hanya butuh satu hal untuk memahami yang kita anggap lain dengan kita: bahasa cinta.
baca selengkapnya

18 Juli 2010

Pendidikan Oh Pendidikan


Campur-campur rasanya baca berita kemarin tentang beberapa siswa dan orang tua siswa yang mendatangi sebuah kantor bantuan hukum untuk meminta bantuan terkait masalah yang muncul di sekolah. Satu kasus, sekelompok siswa yang (di)tidak naik kelas(kan) mengadu mereka tidak naik kelas gara-gara memprotes tidak transparannya sekolah soal biaya pendidikan. Kasus lain, orang tua murid meneriakkan biaya tak masuk akal sebesar hampir 2 juta rupiah hanya untuk seragam sekolah yang bermacam-macam plus tetek bengeknya.


Soal siswa naik kelas (dan tidak lulus) di Indonesia menjadi masalah yang serius memang. Syarat naik atau lulus tidaknya siswa ternyata tidak cukup hanya dari nilai akademik yang bagus. Aspek moral dan kepribadian menjadi pertimbangan juga. Masalahnya, sudahkah pendidikan kita membentuk moral dan pribadi positif? Maaf, pendidikan agama yang saya tahu yang diajarkan di sekolah-sekolah tak lebih dari menghapal cara praktek beribadah. Pendidikan moral pancasila (atau kewarganegaraan dsb yang bahkan saya tidak tahu sekarang namanya apa), juga tidak jauh beda. Pasal, ayat, undang-undang, peraturan abcd, tidak memberikan efek juga bagi berkembangnya kualitas kepribadian. Mungkin benar kata ayah saya, dulu ada pendidikan budi pekerti yang beliau rasa telah memberikan nilai lain dalam dunia pendidikan.


Seragamisasi. Diawali dari seragam sekolah yang dalam satu minggu bisa 3-4 macam jenisnya. Di sekolah kejuruan, ditambah pula dengan seragam praktek ini itu. Belum jas almamater. Belum jilbab bagi siswi muslim. Saya pribadi masih setuju dengan penyeragaman pakaian sekolah, asal disediakan dengan harga murah oleh negara dan jenis bahan juga ditentukan secara nasional. Ya, kita tau sendiri kan, dengan mudah kita bisa mengidentifikasi mana siswa yang orang tuanya berkecukupan hanya dari jenis bahannya saja, meskipun dengan warna dan model yang serupa dengan kawan-kawan lainnya. Tidak habis pikir saya kalau satu sekolah bisa punya seragam sampai 4 stel! Kalau bahasa gaulnya, lebay...


Penyeragaman ini juga berlanjut pada bagaimana semua siswa harus seragam dalam cara berpikir dan berperilaku. Semoga sekolah sekarang tidak seperti saat saya sekolah dulu dimana sulit sekali mendapatkan jawaban dari guru jika kita mengajukan pertanyaan yang agak nyeleneh. Cara belajar juga masih 1 arah. "Ada pertanyaan?" seakan-akan hanya jadi formalitas agar proses belajar terkesan lebih hidup. Atau jangankan buat bertanya, melihat tampang gurunya yang agak seram aja langsung jiper.


Satu hal lagi tentang pendidikan. Yang ini saya dapat dari cerita kawan saya dari Uganda. Di sana, guru bisa kena skors, atau bahkan ditarik ijin mengajarnya, jika ketahuan memberikan materi tambahan di luar jam sekolah alias les! Bukan karena mencemarkan nama baik sekolah atau video pribadinya terakses siswa! Sistem ini dibuat oleh pemerintah Uganda agar semua siswa yang bersekolah mendapatkan informasi dan pengetahuan yang sama rata. Saya ingat waktu sekolah dulu, ada guru yang menawarkan les juga. Saya tidak ikut, dengan alasan biaya dan malas hehehe... Hasilnya, ajaib, kawan saya punya teknik jitu dan cepat untuk menjawab satu soal. Rupanya ada rumus rahasia yang sang guru hanya berikan untuk siswa-siswa yang dengan rela hati telah memberinya gaji tambahan. Jomplang sangat pengetahuan siswa yang les dan yang tidak.


Menjamurnya lembaga-lembaga pendidikan atau les privat semacamnya, mengindikasikan ada sesuatu yang keliru dalam sistem pendidikan nasional kita. Pertama, monitoring standar pendidikan di seluruh sekolah di Indonesia, tentang apa saja yang sudah diajarkan, sudahkah semua siswa mendapatkannya. Dengan sistem yang ada sekarang, apakah siswa di Papua juga terjamin mendapatkan pengetahuan yang sama dengan siswa di Jawa? Apakah siswa di sekolah negeri mendapatkan pengetahuan yang sama dengan siswa sekolah swasta. Jika karena alasan setiap daerah punya kebutuhan masing-masing, jawabannya jelas: sudah ada pendidikan muatan lokal. Kedua, lagi-lagi, soal gaji guru yang mengkhawatirkan (itu alasan kenapa saat SMP saya mengganti cita-cita saya dari guru menjadi arsitek, walaupun yang terakhir pun tidak tercapai).


Kalau yang terakhir ini unek-unek saya yang baru saja saya alami, tapi masih nyambung dengan dunia pendidikan. Ceritanya, saya ambil kursus bahasa inggris. Enam tahun diajarkan di sekolah lanjutan ternyata tidak punya pengaruh besar pada kualitas cas cis cus saya berbahasa inggris (kualitas pendidikannya yang cetek, lingkungan yang tidak memungkinkan berkembangnya kemampuan berbahasa, atau karena malas saja, saya tidak tahu pasti). Nah di kursus itu saya kaget karena dalam satu kelas ternyata kemampuannya bisa dikata tidak rata. Heran, padahal ada placement test. Untuk ukuran lembaga yang sudah punya nama malang melintang dalam urusan bahasa internasional, lagi-lagi saya heran karena isinya gitu-gitu aja. Boleh dibilang saya cuma refresh memori, bisa ditebaklah hasil akhirnya gimana, yang memang udah rada pinter ya nambah dikit, yang agak nggak pinter nambah dikit juga, hasilnya.. sama juga nggak rata. Nah, ini yang lebih heran, di akhir les, semua murid bisa lulus dan melanjutkan ke level selanjutnya! Alamak... Insting kritis (alias suudzon hehehe...) langsung bekerja, hmmm... tentu saja, dengan meluluskan siswa-siswa, harapannya mereka bakal terus ke level selanjutnya. Dengan kata lain, bertambahlah pemasukannya.


Astaga... saya tidak boleh berburuk sangka.
baca selengkapnya

14 Juni 2010

Siapa yang Porno?


Gatal juga rasanya tidak ikut mengomentari berita yang sedang panas belakangan ini. Video pribadi mirip Ariel, Luna dan Cut Tari yang dipublikasikan secara sembarangan oleh oknum tak bertanggung jawab telah menggeser sejumlah berita lain yang, sejujurnya, jauh lebih penting.


Dalam pemberitaan sejumlah media, seringkali disebutkan "Video porno yang dibintangi...". Menarik karena kata porno lantas menjadi tagline sendiri untuk menambah sensasi berita. Saya kok merasa agak gimana ya dengan istilah "video porno" dalam kasus Ariel. Saya bongkar ulang file UU No. 44 tahun 2008 tentang Pornografi yang diskriminatif itu dan dapat jawaban soal perasaan saya yang agak-gimana-ya itu tadi. Masalahnya ternyata di definisi porno (grafi). Perlu digarisbawahi, ini menurut saya lho...


Saya kutipkan definisinya di pasal 1: Pornografi adalah materi seksualitas yang dibuat oleh manusia dalam bentuk gambar, sketsa, ilustrasi, foto, tulisan, suara, bunyi, gambar bergerak, animasi, kartun, syair, percakapan, gerak tubuh, atau bentuk pesan komunikasi lain melalui berbagai bentuk media komunikasi dan/atau pertunjukan di muka umum, yang dapat membangkitkan hasrat seksual dan/atau melanggar nilai-nilai kesusilaan dalam masyarakat.


Pertama, dalam pasal itu dijelaskan "... atau bentuk komunikasi lain..." artinya pornografi dikaitkan dengan sebuah proses komunikasi. Ada pengirim pesan, ada media, ada pesan, dan ada penerima pesan. Kalau itu koleksi saya pribadi yang saya contohkan di atas, saya rasa itu bukan bentuk komunikasi karena niat saya memang tidak ingin menyampaikan pada orang lain, tidak menargetkan siapa penerima pesannya. Tulisan yang saya buat tidak akan menjadi bentuk komunikasi jika saya hanya menyimpannya di hard disk. Kembali ke soal video adegan berhubungan seks, video tersebut menurut saya di-'porno'-kan oleh orang yang menyebar, membuatnya menjadi dapat dilihat oleh orang lain, menjadi ada penerima pesannya. Berarti, apanya atau siapanya yang porno?


Kedua, "...yang dapat membangkitkan hasrat seksual ...". Video yang tersebar itu ternyata tidak membangkitkan hasrat seksual saya, dan mungkin banyak orang juga merasakan hal yang sama. Mungkin sudah terbiasa dengan hal-hal seperti itu atau lebih fokus pada hal lain hehe... Soal nilai-nilai kesusilaan, mari pikirkan bersama, kalau melanggarnya tidak mengganggu orang lain apa ya tidak boleh? Orang bebas memilih mau berhubungan seks dengan siapa, dan beberapa orang tidak lagi menyekat diri kalau berhubungan seks harus dalam bingkai pernikahan saja. Asal tidak ada pemaksaan, dilakukan bertanggung jawab dan mempertimbangkan aspek kesehatan. Toh kita tidak akan bermimpi buruk di malam hari atau lantas tidak bisa bekerja hanya karena ada tetangga kita yang berhubungan seks di luar nikah.


Adegan hubungan seksnya juga dilakukan di dalam kamar tertutup. Melanggar nilai kesusilaan? Merekamnya sama saja seperti kita mendokumentasikan sedang plesir dimana, apa juga melanggar kesusilaan? Yang melanggar kesusilaan jelas yang menyebarkan video tersebut. Katakanlah saya seorang terkenal sedang bertelanjang di dalam rumah lalu iseng merekam kehidupan sehari-hari saya untuk koleksi saya pribadi, lalu ada orang iseng mengambil rekaman tersebut, itu sudah melanggar kesusilaan karena jelas mencuri. Apalagi sampai disebarkan di internet.


Saya berani bilang, media massa juga porno. Dengan pemberitaan yang berulang-ulang dan seakan tanpa henti, media massa telah memberikan akses kepada masyakarat bahwa ada video tersebut. Yang tadinya tidak tahu jadi tahu, yang awalnya biasa saja lama-lama jadi penasaran. Seakan-akan media massa menyapa "Hei, pemirsa, ada video anu lho..."


Latah 'porno' ini tidak hanya dilakukan media massa. Beberapa kalangan masyarakat yang merasa bertanggung jawab atas rusaknya tidaknya moral bangsa ini lantas melakukan aksi. Ada yang mengecam videonya. Ada pula yang menghujat artis-artis yang disinyalir ada dalam video. Kok ya tidak ada aksi yang mengecam penyebar videonya ya? Terakhir saya dengar berita beberapa sekolah sampai melakukan razia hp siswa-siswanya untuk memastikan video tersebut tidak ada dalam koleksi mereka. Beruntung Komnas Anak merespon bahwa hal tersebut melanggar hak siswa. Saat razia napza juga polisi sempat memeriksa hp orang-orang yang terkena razia. Walah... Coba dicek hp ibu bapak gurunya, ibu bapak polisinya ada videonya juga tidak?


Semua orang menjadi paranoid, moral bangsa ini akan rusak karena tiga video yang menyebar (bu, pak, coba koneksi internet... ada berapa banyak dan sudah dari kapan mendownload video apapun begitu mudahnya dilakukan). Mungkin ibu dan bapak yang lebih punya pengalaman soal seks ini merasa terangsang secara seksual saat melihat video tersebut, akhirnya mengategorikan video itu porno. Terus siapa dan apanya yang porno?


Racikan kisah selebritis dicampur dengan isu seksualitas yang meskipun banyak orang mencerca namun diam-diam menikmati, menjadi menu sempurna untuk ditayangkan di televisi atau dicetak sebagai headline di surat kabar. Semakin banyak orang menonton dan membaca, semakin laku medianya, semakin banyak orang ingin menaruh iklan, semakin banyak keuntungan. Menyenangkan. Kasus apapun, siapapun, jika dicampur dengan bumbu seksualitas pastilah diminati banyak orang. Ditambah dengan pro kontra yang kemudian muncul, jadilah kasus yang terus menerus menguntungkan untuk digali. Sudah lewat dari seminggu sejak video Ariel, Luna dan Cut Tari menyebar di internet, sampai sekarang beritanya masih saja hangat. Kalau hal berbau seksualitas dianggap porno oleh masyarakat, namun media massa menyajikan berita macam itu berulang-ulang karena tahu dapat menarik banyak peminat, lantas siapa yang porno?
baca selengkapnya

30 Mei 2010

Sendiri Tanpa Kesepian


Saya sedang duduk sendiri di sebuah kedai kopi. Entah, tiba-tiba haus latte. Jarang saya nongkrong sendiri cuma buat ngopi. Tapi apa boleh buat, pulang dari sebuah acara, di akhir long weekend, mengharapkan kawan seperti menangkap angin saja.
Beruntung, saya orang yang cukup bisa menikmati kesendirian. Bahkan saya sering dengan sengaja menciptakan kesendirian untuk saya sendiri, walaupun tak jarang pula saya tiba-tiba merasa sendirian. Misalnya, saya rela tidak pergi kemana-mana di akhir minggu hanya untuk menikmati sendiri. Berbuat apapun yang saya mau tanpa harus terikat orang lain. Nonton tv, film, obrak-abrik corel, ngetik ini itu, baca buku yang segelnya belum sempat terbuka sejak saya beli beberapa bulan lalu. Buat saya, selalu ada hal yang bisa saya lakukan saat sendiri. Membuat kesendirian tidak menjelma menjadi kesepian.
Saya jadi ingat kawan baik saya yang sering tidak bisa menikmati waktu sendiri yang sebetulnya sangat ia inginkan. Ceritanya, dia punya teman satu kos yang hampir tiap malam menyambangi kamarnya untuk bercerita ini itu. Kasihan... Dua-duanya saya kasihani.


Saya kasihan pada kawan saya karena meskipun dia sudah asertif mengatakan ia sedang ingin sendiri (dengan alibi ingin belajar, sudah ngantuk, dan sebagainya) nyatanya, sang teman tidak kunjung mengerti juga. Walaupun kawan saya bukan tipe orang yang tidak mau peduli pada urusan orang lain, tapi mendengarkan cerita yang itu-itu saja pastilah bosan juga. Gawatnya lagi, kawan saya ini, hampir mirip dengan saya, sering lebih nyaman saat sendiri dibandingkan ditemani orang lain.


Saya juga kasihan pada temannya. Mungkin (karena saya juga tidak tahu betul), dia tipe kebalikan kawan saya. Temannya ini mungkin justru orang yang lebih nyaman saat ada orang lain dibandingkan harus menghabiskan hari sendirian. Mungkin juga dia tidak punya hobi yang lebih seru dilakukan sendirian. Kedua orang ini punya kebutuhan yang berbeda karena karakteristik yang berbeda. Yang satu merasa tanpa orang lain adalah hanya kesendirian, sementara yang lain menganggapnya sebagai suatu kesepian.


Saya dulu juga pernah mengalami hal ini. Di kos saya dulu ada tetangga kamar yang rajin berkunjung ke kamar saya. Entah untuk bertanya ini itu, curhat, atau mengajak ngobrol biasa. Padahal, saya sendiri bukan orang dengan tingkat sosialisasi level advance. Tapi, untung saja, teman saya juga punya pengertian. Kalau saya bilang mau belajar atau mengantuk, dia segera undur diri (entah pindah ke kamar lain atau masuk kamarnya sendiri, setel musik kencang).


Di kantor, sekarang saya punya ruangan sendiri yang agak terpisah dengan ruangan lain. Membuat saya sangat nyaman berada di ruangan saya yang meskipun lebih cocok disebut gudang dibandingkan ruang kerja. Apalagi kalau saya sudah di depan komputer, kawan-kawan saya sering mengatai saya, yang saya sangat tidak suka karena cenderung melecehkan orang-orang tertentu.


Saat saya kecil, selain bermain dengan satu anak depan rumah, saya biasanya bermain sendiri. Bisa dihitung berapa kali teman sekolah yang main ke rumah saya secara bergerombol. Saat itu, luasnya rumah saya dan mainan yang diberikan orang tua, sudah cukup menghibur saya. Sementara dua kakak saya juga sudah punya dunia mereka sendiri. Ya sudah... Efek langsungnya, saat sekolah saya merasa kuper. Kadang minder juga. Tapi lagi-lagi, selalu ada komik, TV, games, yang menjadi 'teman' saya. Saya sendiri tapi tidak kesepian.


Efek jangka panjangnya, ya saya sekarang ini. Mungkin agak sulit diterima orang lain, apalagi kultur di kita yang masih guyub. Ya mereka mungkin dari kecil merasakan keseruannya bermain bersama teman. Saya juga sadar, teman itu penting. Sering kok saya mengerem keinginan saya untuk sendiri demi bisa bersosialisasi dengan kawan karib. Mungkin karena saking seringnya, orang lain sampai tidak melihat sisi saya yang sesungguhnya ini. Buat saya tidak masalah, toh saya sering juga senang saat berada di antara teman-teman.


Yang jadi masalah, sekarang kesendirian saya yang merembet pada kesepian adalah saat saya akan tidur. Kok rasa-rasanya bakal lebih nyaman jika ada orang lain yang menemani tidur ya? Sindrom orang dewasakah? Semakin bertambah usia, teman dekat kita semakin sedikit, bukan? Atau naluri manusia untuk menemukan pasangannya? Entah... Tapi yang jelas, saya tidak kebelet ingin menikah (setidaknya dalam waktu dekat)
baca selengkapnya