7 Juli 2011

Hidup Bagai Air Mengalir: Ironi.

Tidak seperti biasa, pagi itu bis yang saya naiki tidak penuh sesak. Selain duduk nyaman, saya juga bisa membaca satu dua halaman buku yang sengaja saya bawa. Buku selalu ada di dalam tas saya untuk jaga-jaga kalau bermacet ria dalam bis terus mati kutu. Tapi lebih sering tidak dibacanya karena tangan saya sibuk bergelantungan, tidak kebagian tempat duduk.

Baru beberapa paragraf saya baca, seorang ibu dan anak perempuan berusia dua atau tiga tahun duduk di samping saya. Si anak melihat name tag yang saya gantung di leher dan menunjuk-nunjuknya tapi tidak mengatakan apapun. Si ibu yang merasa menunjuk-nunjuk orang lain sebagai perilaku tidak sopan, meraih tangan si anak, meletakkannya di perut si anak, lalu berkata, "Oomnya mau kerja. Nanti kamu sudah besar juga kerja." Saya tersenyum.

Nanti kamu sudah besar juga kerja, kalimat yang sederhana dan saya yakin tak ada tendensi apapun dari perempuan itu. Tapi dampaknya bagi saya? Saya tutup buku yang sedang saya baca lalu asyik dengan pikiran sendiri. Kumat.

Hidup manusia antara lahir dan mati sepertinya telah digariskan dengan sekian tugas, seperti air yang mengalir dari hulu ke hilir selalu begitu: sekolah - kuliah - kerja - menikah - bereproduksi - pensiun. Secara siklus, umumnya mungkin memang seperti itu. Walaupun saya tahu ada banyak yang tidak bisa sekolah, tidak bisa kuliah, kerja, menikah dan bereproduksi, entah karena alasan pemiskinan, pemarjinalan atau perbedaan individu yang tidak mendukung. Pun ada beberapa orang yang meskipun mampu, tapi memilih untuk tidak mengambil salah satu atau salah dua tugas itu: memilih tidak kuliah, memilih tidak menikah atau memilih tidak memiliki anak, juga dengan sekian alasan.

Selain menjadi tuntutan sosial, yang menarik adalah adanya kerangka tertentu untuk merujuk setiap tugas tersebut secara lebih spesifik, sesuai dengan nilai yang ada di masyarakat. Agak ribet bahasa saya, mungkin dengan contoh akan lebih mudah dipahami. Sekolah, misalnya, diartikan jenjang SD sampai SMA, duduk dalam kelas dan bertemu guru enam hari dalam seminggu. Tak heran jika ada yang bilang, "Anak saya tidak sekolah, cuma homeschooling", yang berarti proses belajar, yang sebetulnya inti dari sekolah, yang dilakukan di luar lembaga sekolah, tidak termasuk 'sekolah'. Begitupun dengan bekerja. Bagi banyak orang, bekerja berarti di kantor, masuk pagi pulang sore dan sekian kriteria lainnya (kriteria ini tidak berlaku bagi beberapa pekerjaan yang dimaklumi perbedaannya lebih karena prestise: dokter, pilot, dsb). Tidak heran juga kalau akhirnya ada yang berkata, "Saya tidak bekerja, cuma buka usaha sendiri".

Saya lantas melihat diri saya sendiri, pagi itu di dalam bis menuju kantor. Saya bertanya kepada hati: inikah yang benar-benar saya inginkan? Pagi berangkat, di kantor duduk di depan komputer, sesekali berdiskusi dengan kawan, sore pulang, lima hari dalam seminggu. Saya membayangkan seorang saya yang lain, yang sehari-hari hanya melakukan apa yang benar-benar ingin saya lakukan. Penulis, pekerja seni, saya iri pada mereka yang seakan-akan mendapatkan semuanya: melakukan apa yang mereka mampu, mereka inginkan dan juga, yang paling penting, mendapatkan uang dari apa yang mereka lakukan itu. Belakangan, saya baru sadar, mungkin mereka juga tidak sebebas seperti apa yang saya bayangkan: berurusan dengan manager, dengan label, jadwal yang padat demi memenuhi kontrak, tuntutan fans dan celengan. Ah, memang tak ada yang bisa benar-benar lepas dari sistem sosial.

Esoknya, setelah makan siang, saya mengobrol dengan teman kantor saya. Dia menceritakan pengalamannya menjadi ibu rumah tangga selama tiga tahun. Bukan pengalaman yang cukup menyenangkan, saya duga. Beban dan tanggung jawab untuk mengurus rumah dan bayi menjadikan ia sering merasa tertekan dan lebih sensitif. Jiwa sosialnya menghendaki ia berkegiatan di luar, berjumpa dengan banyak orang dan menggunakan otaknya bukan melulu urusan susu basi atau harga bawang merah.

Saya lalu teringat kawan saya saat sekolah dulu. Dia seorang perempuan yang sangat rajin. Saat SD, kami bersaing mendapatkan posisi siswa teladan (sekolah kami berbeda tapi masih satu komplek). Beranjak SMP dan SMA, tidak seperti saya yang malah tambah melorot, dia makin bersinar. Kalau ada pekerjaan rumah kimia (dia paling jago urusan ini), saya rajin menyambangi rumahnya yang hanya 50 meter dari rumah saya. Sering, dia tidak membiarkan saya begitu saja menyalin pe-ernya, namun dengan sabar mengajari saya yang otaknya sudah tidak peduli dengan C4H2O atau apalah. Lulus kuliah, dia melanjutkan kuliah di pendidikan (kalau tidak salah dapat beasiswa juga, beda dengan saya yang akhirnya terdampar di universitas swasta selama 1 tahun). Ya, dia akan sangat cocok menjadi guru, dengan otak dan kesabaran yang luar biasa. Tapi apa yang kemudian terjadi? Sama seperti banyak teman perempuan yang pintar-pintar di sekolah, mereka hanya berakhir dengan mengurus anak dan suami, sambil menjalankan bisnis rumahan yang mungkin tidak butuh teori atom dan sejenisnya. Miris!

Tuntutan sosial. Selalu melulu soal itu. Saking kuatnya, tuntutan ini bahkan mengalahkan prinsip yang dianggap paling dasar bahkan oleh orang yang meyakininya: agama. Saat saya pulang kampung kemarin, saya, ibu dan adik melayat kerabat yang meninggal. Ibu saya bertanya soal jadwal tahlilan dan berapa banyak yang biasanya datang. Yang ditanya menjawab, "Kalau di sini banyak, bisa lebih dari 100 orang. Soalnya tidak enak kalau tidak datang, daripada jadi gunjingan sekampung" (terjemahan bebas dari si penutur yang bicara Sunda). Lha...

Guru saya di organisasi di Jogja, yang menghabiskan masa kecil dan remajanya di pesantren, pun pernah mengajukan pertanyaan retoris pada saya, "Lebih kuat mana nilai agama dan kemanusiaan (sosial-pen)? Kemanusiaan!" Dia lalu mencontohkan kenapa orang memakai baju. Apa karena agama mengajarkan demikian atau lebih karena perasaan malu telanjang di muka umum, karena semua orang memakai baju masak kita memakai daun jati?

Manusia memang unik. Di satu sisi ingin mempertahankan kekhasan individu yang dimiliki masing-masing. Menonjol dengan apa yang dimiliki dan sejatinya ia. Namun di sisi lain, manusia juga tidak mau berbeda dengan kebanyakan orang alih-alih dianggap terlalu nyentrik atau bahkan kurang waras. Untuk yang terakhir, saya masih bertanya-tanya, apakah keinginan itu memang murni muncul dari dalam diri atau ditekankan sedari kita kecil untuk mengikuti kemana air mengalir? Adakah kemungkinan, dengan sistem yang ada sekarang, jika kita melawan arus itu kita bisa menemukan telaga lain yang sama jernihnya, bahkan mungkin lebih?
baca selengkapnya

6 Juli 2011

Pluralisme Kewargaan

Senang sekali saya mendapatkan buku ini. Gratis pula! :: thanks, dear =) ::

Kalimat awal di kata pengantar menyebutkan buku ini sebagai salah satu buah dari program kolaborasi empat negara yang dinamai Pluralism Knowledge Programme sejak akhir 2008. Segera, memori saya terbang ke satu tahun lalu (tepat di bulan ini), saat saya mendapatkan kesempatan untuk bergabung dalam salah satu kegiatan pada program yang sama. Dengan bingkai Summer School on Pluralism and Human Development, saya bersama sembilan belas orang dari empat negara tersebut berbagi pengalaman dan ilmu mengenai berbagai isu, termasuk pluralisme di negara masing-masing.

Belanda disibukkan dengan pluralitas warga negara, antara kaum imigran dan kaum yang mendaulat dirinya sebagai asli Belanda. Sementara di Uganda, isu kesukuan dan partai politik menjadikan negara tersebut tak pernah sepi dari kerusuhan. Di India, selain masalah kasta, ketegangan berbau agama juga menjadi isu. Yang disebutkan terakhir adalah isu besar yang sedang dihadapi di Indonesia saat ini.

Tak ayal, meskipun di judul buku ini tak disinggung sama sekali soal agama, saya langsung mengaitkan pluralisme yang dimaksud pastinya tak bakal jauh-jauh dari isu kepercayaan dan keyakinan.


Tulisan pertama dengan tajuk Pluralisme Kewargaan: Dari Teologi ke Politik yang ditulis Zainal Abidin Bagir dan tulisan kedua Keragaman, Kesetaraan dan Keadilan: Pluralisme Kewargaan dalam Masyarakat Demokratis (Zainal Abidin Bagir dan AA GN Ari Dwipayana), memberikan gambaran mengenai arah dan urgensinya pluralisme kewargaan. Istilah ini mungkin terdengar baru, namun diajukan oleh para penulis dengan alasan sebagai pembeda dari wacana pluralisme teologis yang seringkali berujung buntu karena urusan teologis sulit diganggu gugat. Agama di sini dipandang tak hanya melulu urusan teologis namun juga mencakup dimensi sosial. Karena kenyataannya, agama juga memainkan peran tidak hanya dalam urusan bagaimana menyembah Tuhan, namun juga dalam urusan-urusan sosial termasuk politik yang justru di situlah akar masalah yang sedang dihadapi sekarang oleh bangsa ini.

Wacana pluralisme kewargaan terfokus pada bagaimana masyarakat yang multi identitas dapat hidup bersama dalam konteks ikatan suatu negara-bangsa yang mempersatukan identitas-identitas tersebut. Bicara negara, tentu bicara politik.

Pada tulisan ketiga, Mustaghfiroh Rahayu mencoba mengangkat isu pluralisme (agama) dan hak-hak perempuan. Dua isu yang sama-sama memimpikan kesetaraan manusia, namun ternyata bisa bertemu pada titik yang berpotensi melemahkan salah satunya. Penulis mencontohkan beberapa kasus seperti kasus poligami di Perancis, kasus cerai seorang perempuan Muslim di India, kasus cerai dalam hukum Yahudi dan kasus nusyuz dan poligami dalam Kompilasi Hukum Islam di Indonesia. Kasus-kasus tersebut melukiskan bagaimana pluralisme yang mengidamkan adanya penghargaan dan pengakuan atas keragaman budaya dan tradisi, termasuk budaya dan tradisi dalam agama, berhadapan dengan tuntutan feminisme yang menginginkan perlakuan yang lebih adil bagi perempuan.

Isu ini mengingatkan saya pada satu diskusi di Summer School soal poligami. Bagi pemerhati hak-hak perempuan (rata-rata berlatar belakang organisasi), poligami jelas menunjukkan lemahnya posisi perempuan, karenanya tak ada alasan untuk menyetujuinya. Sementara bagi mereka yang lebih kuat pada isu-isu pluralisme (berlatar belakang akademisi), poligami dipandang sebagai satu bagian budaya tertentu yang karenanya patut dihargai, bukan masalah besar.

Saat itulah awal saya menyadari bahwa pluralisme cukup 'membingungkan'. Jika saya mengatakan saya pluralis, saya tidak bisa berteriak minta dibubarkannya ormas tertentu yang menurut saya biang rusuh. Jika saya melakukannya, maka saya tidak cukup pluralis karena tidak bisa menerima keberadaan ideologi ormas tersebut. Soal bagaimana kemudian saya berpandangan mengenai pluralisme ini, tentu tidak akan saya bahas di sini.

Tulisan yang membuat saya menggeleng-gelengkan kepala adalah tulisan Trisno S. Sutanto di bagian kelima buku ini. Lewat Negara, Kekuasaan, dan "Agama": Membedah Politik Perukunan Rezim Orba, penulis tidak hanya membelah namun menguliti kulit wajah rezim tersebut yang dengan lihainya mengemas isu kerukunan agama (penulis membahasakannya sebagai perukunan) untuk melanggengkan kekuasaan dan mengontrol umat beragama di Indonesia.

Sejak awal perumusan ideologi negara ini, agama telah menjadi isu panas. Sila pertama Pancasila ternyata sangat abstrak, di satu sisi memberikan kelonggaran bagi semua orang, termasuk yang tidak beragama, bertuhan berbilangan dan tidak mengakui tuhan untuk tetap berdaulat dalam negara ini. Tapi di sisi lain, dan yang sering terjadi, sila ini justru dijadikan alat pembenaran bagi negara untuk mengatur hidup keagamaan masyarakatnya alih-alih kehidupan antar agama. Negara seakan memiliki wewenang untuk menjaga kemurnian agama melalui UU No.1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama. Padahal jelas, kemurnian agama bisa sangat multi tafsir (tengok saja beragamnya aliran atau kelompok dalam satu agama).

Ternyata, negaralah yang selama ini telah menanamkan benih-benih kecurigaan di antara pemeluk agama. Istilah SARA yang digaung-gaungkan pada masa silam, misalnya, adalah salah satu bukti bahwa keberagaman telah dipandang sebagai sesuatu yang mengancam, bukan lagi merupakan realitas faktual. Sayangnya, keruntuhan orde baru tidak lantas meluluhkan cara pandang penguasa terhadap hal ini. Lebih parah lagi, negara seakan-akan melakukan pembiaran terjadinya kekerasan yang menimpa kelompok minoritas agama seperti yang terjadi pada kasus Ahmadiyah.

Sebagaimana ditulis dalam buku ini, pluralisme kewargaan belum tentu menjadi satu solusi untuk menyelesaikan semua masalah keragaman agama karena adanya jurang antara wacana ide-ide dan kenyataan di lapangan. Namun, dengan pandangan baru ini, bukan tidak mungkin kita dapat menemukan solusi bagi terciptanya kehidupan yang harmonis yang kita impikan.

Informasi buku
  • Judul buku : Pluralisme Kewargaan, Arah Baru Politik Keragaman di Indonesia
  • Penyusun : Zainal Abidin Bagir, dkk.
  • Penerbit : CRCS UGM dan Mizan
  • Tahun : 2011
  • Tebal : 200 hlmn
baca selengkapnya

5 Juli 2011

The Challenge of Pluralism in Indonesia

In Indonesia, pluralism is often associated with religious and cultural issues reflecting the diversity of beliefs and ethnic groups in this country. For human rights activists, this concept has always been warmly welcomed as a step toward the peaceful life to which we all aspire. Unfortunately, in 2005, the Indonesian Ulama Council (MUI), a religious institution with huge political influence in Indonesia, forbade religious pluralism, citing it as incompatible with the doctrines of the dominant religion in Indonesia: Islam. Anti-Western politics—the fuel in the fire of fundamentalist Islam—were likely the real reason behind this ban; several verses in the Qur'an precisely recognize plurality and encourage Islam’s adherents to appreciate and respect others’ beliefs. Despite these explicit arguments to the contrary, fundamentalists in Indonesia still do not want to admit that the Islamic religion teaches pluralism.

Political selfishness and religious fanaticism, especially in the late 90s, have resulted in many Muslims becoming staunch militants for their religion but losing their humanity in the process. Religious verses have been repeatedly used as a justification for violence against other religious believers, even when those people worship the same religion but emphasize different ideas. This situation has damaged a cultural value that was previously preserved by the Indonesian people for centuries: tolerance.

Historical evidence shows many examples of religious harmony in Indonesia’s past-- Hindu and Buddhist temples built side by side, as at the famous site of Borobudur; Islamic doctrines fluidly synchronized with traditional beliefs, as in Java; and the graves of Muslims and Christians buried on neighboring plots. Many examples indicate that Indonesia has had a long, successful cultivation of the seeds of pluralism in everyday life. Even our national slogan, Bhinneka Tunggal Ika (“Different, but One”) shows the founding fathers’ desire to create a pluralistic state in Indonesia. The challenge for pluralist activists in Indonesia today is how to nurture those seeds once again.

Resurrecting tolerance is just one challenge facing human rights in contemporary Indonesia. Another challenge is to redefine the concept of pluralism, which has often been narrowly confined to issues of religion and culture, to encompass the many different identities comprising human rights. Religion is an identity that may represent the spiritual aspect of human beings. Culture is the identity which refers to the social aspect. The identity of one’s physical aspects may be reflected through skin color or gender. But what about the tolerance and diversity needed to acknowledge our human sexual aspect? Bhinneka Tunggal Ika should not only be understood as a defense for religious and cultural pluralism, but for sexual pluralism as well.

While some activists understand the diversity of human sexuality and consider it a legitimate part of a person's identity, many advocates remain afraid to talk openly about this issue. Peoples’ reluctance to include sexuality in discussions of pluralism has begun to make sense, given the increasingly tough threats of fundamentalist opponents, but this is just another aspect of the patriarchic, hetero-normative establishment that we must work to co-opt in the struggle for real equality.

Religious pluralism has existed in Indonesia since its inception, largely thanks to support from religious leaders who could act as a counter to fundamentalism. Some Muslim religious leaders who are more liberal have finally joined the pluralism movement, and while their openness to political and religious diversity may be applauded, the issue of sexuality is often still regarded as a sensitive issue. Unless we begin to work sexuality into the pluralism debate in a thoughtful and deliberate way, pluralist-leaning religious leaders may withdraw from the movement, failing to accept sexual diversity as a valued and respected aspect of human rights. This is a big challenge for the movement of pluralism in Indonesia, and one that I plan to devote myself to helping overcome.

PS. big thanks to Lauren Weeth for fixing the mess I made hehe..
baca selengkapnya

Gender: Sebuah Pengantar

Sebenarnya apa yang dimaksud dengan gender? Gender dapat didefinisikan sebagai keadaan dimana individu yang lahir secara biologis sebagai laki-laki dan perempuan yang kemudian memperoleh pencirian sosial sebagai laki-laki dan perempuan melalui atribut-atribut maskulinitas dan feminitas yang sering didukung oleh nilai-nilai atau sistem dan simbol di masyarakat yang bersangkutan. Lebih singkatnya, gender dapat diartikan sebagai suatu konstruksi sosial atas seks, menjadi peran dan perilaku sosial.

Istilah gender seringkali tumpang tindih dengan seks (jenis kelamin), padahal dua kata itu merujuk pada bentuk yang berbeda. Seks merupakan pensifatan atau pembagian dua jenis kelamin manusia yang ditentukan secara biologis yang melekat pada jenis kelamin tertentu. Contohnya jelas terlihat, seperti laki-laki memiliki penis, scrotum, memproduksi sperma. Sedangkan perempuan memiliki vagina, rahim, memproduksi sel telur. Alat-alat biologis tersebut tidak dapat dipertukarkan sehingga sering dikatakan sebagai kodrat atau ketentuan dari Tuhan (nature)

Sedangkan konsep gender merupakan suatu sifat yang melekat pada kaum laki-laki maupun perempuan yang dikonstruksikan secara sosial maupun kultural. Misalnya, laki-laki itu kuat, rasional, perkasa. Sedangkan perempuan itu lembut, lebih berperasaan, dan keibuan. Ciri-ciri tersebut sebenarnya bisa dipertukarkan. Artinya ada laki-laki yang lembut dan lebih berperasaan. Demikian juga ada perempuan yang kuat, rasional, dan perkasa. Perubahan ini dapat terjadi dari waktu ke waktu dan bisa berbeda di masing-masing tempat. Jaman dulu, di suatu tempat, perempuan bisa menjadi kepala suku, tapi sekarang di tempat yang sama, laki-laki yang menjadi kepala suku. Sementara di tempat lain justru sebaliknya. Artinya, segala hal yang dapat dipertukarkan antara sifat perempuan dan laki-laki, yang bisa berubah dari waktu ke waktu serta berbeda dari suatu kelas ke kelas yang lain, komunitas ke komunitas yang
lain, dikenal dengan gender.


Pembagian Peran Menurut Jenis Kelamin

Gender telah membagi laki-laki dan perempuan ke dalam perannya masing-masing, seperti laki-laki yang harus berpikir rasional atau perempuan yang harus berperilaku lemah lembut. Laki-laki dituntut untuk berperilaku maskulin, lengkap dengan segala atribut maskulin, dan pada akhirnya didorong untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan yang maskulin. Perempuan juga demikian, mereka dituntut untuk berperilaku feminin, lengkap dengan atribut femininnya dan akhirnya bekerja di sektor-sektor yang dianggap feminin. Beberapa contoh pembagian peran menurut jenis kelamin:


Peran Gender dan Pembakuan Peran Gender

Peran gender adalah peran laki-laki dan perempuan yang dirumuskan oleh masyarakat berdasarkan polarisasi stereotipe seksual maskulinitas-feminitas. Misalnya peran laki-laki ditempatkan sebagai pemimpin dan pencari nafkah karena dikaitkan dengan anggapan bahwa laki-laki adalah makhluk yang lebih rasional, lebih kuat serta identik dengan sifat-sifat superior lainnya—dibandingkan dengan perempuan. Pembakuan peran genderadalah ketika peran gender tersebut di legitimasi oleh negara melalui aturan perundang-undangan yang ada, dalam hal ini UU Perkawinan No.1 tahun 1974. Dalam pasal 31 (3) UUP menetapkan bahwa peran suami adalah sebagai kepala keluarga dan istri sebagai ibu rumah tangga. Suami wajib melindungi istrinya, dan memberi segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya (pasal 34 ayat 1) sedangkan kewajiban istri adalah mengatur urusan rumah tangga sebaik-baiknya (pasal 34 ayat 2) Dengan pembagian peran tersebut, berarti peran perempuan yang resmi diakui adalah peran domestik yaitu peran mengatur urusan rumah tangga seperti membersihkan rumah, mencuci baju, memasak, merawat anak dan berkewajiban untuk melayani suami.


Pola Sosialisasi Gender

Pada awalnya, gender dibentuk secara konsepsi, yang biasanya diperkuat oleh keluarga dan masyarakat luas pada saat jenis kelamin si anak diketahui (Fuhrmann,1990). Pengaruh pendidikan dan perlakuan dalam keluarga dan lingkungan dimanifestasikan pada cara berpikir, berkata, dan berbuat dalam arti luas, termasuk cara menilai diri sendiri (Djojonegoro, 1995). Pada dasarnya anak diajari sejak awal masa kanak-kanak untuk melihat, berpikir, merasa, dan bertindak sesuai dengan standar yang ditentukan stereotype untuk kelompok jenis lainnya (Hurlock, 1992). Peran perilaku perempuan dan laki-laki, sebagaimana telah diobservasi pada bayi, mungkin menjadi dasar dari terbentuknya skema gender pada anak-anak, bahkan sejak usia mereka 2 tahun. Beberapa benda diasosiasikan dengan stereotype, seperti mainan, peralatan rumah, atau pakaian, sehingga ada pengetahuan mengenai “yang ini untuk laki-laki” dan “yang ini untuk perempuan”. Pengetahuan semacam ini akan menjadi komponen kognitif dalam skema gender (Bem, 1981; Martin & Halverson, 1981 dalam Gender Stereotyping in Infancy: International Journal of Behavior Development) Gender adalah komponen kritis dari kepribadian seseorang. Sejak lahir, anak laki-laki dan perempuan telah disosialisasikan untuk berperilaku sesuai dengan jenis kelaminnya, yaitu perilaku maskulin dan feminine (Steinberg, 2002).

Keluar dari masalah domestik. Konstruksi gender ini diperkuat oleh budaya patriarki yang ada di masyarakat. Budaya patriarki sebenarnya tidak hanya merugikan perempuan. Laki-laki juga, secara tidak disadari, dibebani oleh imperatif-imperatif patriarki seperti: wajib mencari nafkah, wajib tampil rasional, dan wajib menekan sisi femininnya (tidak boleh menangis, tidak boleh tergantung pada orang lain, dan lain-lain). Budaya ini juga diperkuat oleh ajaran-ajaran agama yang diinterpretasikan secara bias gender. Sejarah perbedaan gender (gender differences) antara manusia jenis laki-laki dan perempuan terjadi melalui proses yang sangat panjang (beberapa pihak mengklaim bahwa semuanya diawali dari jaman prasejarah dimana pembagian kerja antara laki-laki dan perempuan sudah terlihat seperti laki-laki berburu dan perempuan mengasuh anak di dalam gua), dibentuk, disosialisasikan, diperkuat, bahkan dikonstruksi secara sosial atau kultural melalui ajaran keagamaan maupun negara, yang akhirnya menganggap gender tersebut merupakan kodrat dari Tuhan.

Untuk memahami bagaimana nilai-nilai gender disosialisasikan, kita tidak bisa hanya melihat hal tersebut dari satu aspek saja, misalnya budaya. Namun kita perlu mengkaji secara lebih universal, yaitu salah satunya dengan menggunakan Ecological Framework.



Setiap aspek saling mempengaruhi secara timbal balik. Sikap individu akan mempengaruhi pola interaksi keluarga selanjutnya. Bagaimana individu akan memperlakukan anak laki-laki dan perempuan. Kemudian nilai-nilai yang ada dalam keluarga akan dibawa ketika bersosialisasi dengan masyarakat. Masyarakat yang menganut ideologi patriarki juga akan mempengaruhi cara pandang seorang individu. Ketika individu tersebut memiliki kewenangan untuk membuat suatu kebijakan (atau tidak membuat suatu kebijakan) di tataran negara, mau tidak mau nilai-nilai patriarki yang ada dalam dirinya akan menentukan macam kebijakan yang ia buat, juga kemudian ketika individu tersebut mampu berpengaruh secara global. Kebijakan-kebijakan internasional tersebut kemudian disosialisasikan ke negara-negara yang ada di bawahnya, kemudian negara menanggapinya dengan membuat kebijakan baru (atau tidak membuat kebijakan), disosialisasikan ke masyarakat, masuk ke keluarga, dan akhirnya mempengaruhi individu.

Individu dalam hal ini berupa cara pandang dan cara bersikap seseorang. Kehidupan keluarga dan masyarakat meliputi adat istiadat, cara berinteraksi, cara memperlakukan orang lain, termasuk agama yang mempengaruhi individu secara mendasar. Negara dalam hal ini adalah peraturan-peraturan atau kebijakan-kebijakan (baik itu adanya kebijakan yang tidak berpihak pada perempuan ataupun tidak adanya kebijakan yang berpihak pada perempuan) dalam hal politik yang mempengaruhi segi-segi yang lainnya seperti sosial dan ekonomi. Sementara dari sisi global, menyangkut kebijakan-kebijakan organisasi internasional, ataupun perubahan-perubahan yang membawa dampak secara global.

Pola Ketimpangan Gender

Perbedaan gender (gender differences) menjadi masalah karena melahirkan satu sistem yaitu ketidakadilan gender (gender inequalities). Dalam hal ini, perempuan yang lebih banyak menjadi korban dibandingkan dengan laki-laki. Ketidakadilan gender ini terwujud dalam berbagai bentuk yaitu subordination, marginalization, stereotype, double burden, dan violence (Faqih, 1996)

  • Marginalization. Marginalisisi adalah proses pemiskinan, terutama di bidang ekonomi. Perempuan terpinggirkan dalam mendapatkan kesempatan untuk bekerja dan mengembangkan dirinya. Beberapa analisis mengemukakan bahwa permarginalisasian perempuan didukung oleh revolusi hijau yang menyingkirkan perempuan dari lahan agraris karena pola pertanian modern yang dianggap maskulin.
  • Subordination. Yaitu menempatkan perempuan pada tempat yang tidak penting. Hal ini karena adanya anggapan bahwa perempuan tidak dapat memimpin dan kodratnya adalah di wilayah domestik. Contohnya adalah dalam keluarga, anak laki-laki mendapatkan kesempatan yang lebih besar untuk mendapatkan pendidikan tinggi atau dalam kehidupan berpolitik, perempuan tidak pantas menjadi pemimpin.
  • Stereotype. Sterotype berarti pelabelan terhadap kelompok tertentu. Stereotype banyak diberikan untuk kelompok-kelompok tertentu seperti suku bangsa tertentu, agama tertentu, atau etnis tertentu, termasuk jenis kelamin tertentu, dalam hal ini perempuan. Sebenarnya yang menjadi masalah adalah ketika stereotype tersebut menimbulkan dampak yang merugikan. Misalnya, stereotype bahwa perempuan yang keluar malam adalah perempuan nakal, sehingga ketika perempuan itu diperkosa, masyarakat menganggapnya sebagai kesalahan perempuan.
  • Double Burden. Adanya anggapan bahwa pekerjaan domestik (pekerjaan rumah tangga seperti mencuci, mengepel, mengasuh anak, dan sebagainya) adalah pekerjaan yang rendah dan bahkan tidak dianggap sebagai suatu perkerjaan mengakibatkan perempuan tidak dihargai atas apa yang telah mereka lakukan, di lain pihak, mereka dituntut untuk dapat membantu ekonomi keluarga juga, dengan bekerja diluar. Double burden ini banyak dialami oleh perempuan miskin, namun tak jarang juga dialami oleh perempuan yang berada di kelas sosial yang lebih tinggi. Double burden ini terjadi karena tidak adanya pembagian kerja domestik antara laki-laki dan perempuan. Laki-laki dianggap tidak bertanggungjawab untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan domestik.
  • Violence. Kekerasan terjadi ketika ada pihak yang memiliki kuasa atas pihak lain. Dalam kasus kekerasan terhadap perempuan, pihak laki-laki dianggap memiliki kuasa terhadap perempuan, memiliki wewenang untuk melakukan apapun terhadap perempuan. Kekerasan seperti ini dianggap sebagai kekerasan berbasis gender (gender based violence). Kekerasan ini dapat terjadi secara verbal maupun non verbal, secara fisik, psikologis, seksual, maupun ekonomi.
Kekerasan fisik adalah bentuk kekerasan yang dapat mengakibatkan sakit atau luka secara fisik. Contohnya menampar, memukul, menendang.

Kekerasan psikologis adalah bentuk kekerasan yang mengakibatkan luka secara mental, mengganggu kejiwaan seorang sehingga mengakibatkan perasaan tertekan. Kekerasan dalam bentuk ini biasanya kurang disadari oleh korban dan sulit dicari buktinya. Contohnya: memaki, membentak, mengata-ngatai, menyindir.

Kekerasan seksual adalah kekerasan yang menyangkut pemaksaan pelampiasan seksual. Selain perkosaan (yang juga dapat terjadi perkosaan suami terhadap istri, ketika istri merasa terpaksa harus melayani suaminya), bentuk-bentuk kekerasan ini juga meliputi bentuk-bentuk perilaku yang merusak organ reproduksi perempuan (seperti sunat perempuan), perilaku melecehkan secara seksual (meraba payudara, menggesek-gesekkan alat kelamin), dan ekstrimnya adalah prostitusi (seperti penjualan perempuan) dan eksploitasi perempuan.

Kekerasan ekonomi, banyak terjadi dalam rumah tangga ketika seorang istri tidak dicukupi secara ekonomi tapi dia tidak mendapatkan hak untuk mencari pendapatan sendiri. Dalam dunia kerja, kekerasan ini terjadi jika perusahaan tidak memberikan cuti haid atau cuti hamil pada pekerja perempuan.

Beberapa pihak, menganggap segala bentuk pelecehan adalah manifestasi dari kekerasan. Pelecehan-pelecehan yang terselubung ini sering tidak disadari bahkan oleh si perempuannya sendiri, dan beberapa bentuk pelecehan ini sering dianggap sebagai sesuatu yang relatif. Beberapa bentuk pelecehan berbasis gender ini adalah:
  • Menyampaikan lelucon jorok secara vulgar pada seseorang dengan cara yang dirasakan sangat mengganggu
  • Membuat malu seseorang dengan perkataan yang dianggap tidak pantas
  • Mengintograsi seseorang mengenai kehidupan seksualnya
  • Meminta imbalan berupa hubungan seksual
  • Menyentuh atau menyenggol bagian tubuh tanpa ada ijin dari yang bersangkutan

Sedikit Sejarah Pendekatan Berbasis Gender

Pembangunan, yang diasosiasikan dengan development, adalah segala kegiatan perubahan yang direncanakan dan dilaksanakan oleh negara dan berimplikasi pada seluruh kehidupan masyarakat. Kritik terhadap pembangunan terus diajukan oleh banyak pihak, misalnya kritik mengenai pembangunan yang tidak ramah lingkungan. Dalam wacana gender, kritik mengenai pembangunan adalah berkenaan dengan posisi perempuan dalam pembangunan. Bagaimanapun, pembangunan yang direncanakan disusun oleh orang-orang yang hidup dalam budaya patriarki yang kental, baik laki-laki dan perempuan, sehingga segala rencana pembangunan masih terkesan bias gender dan tidak menguntungkan perempuan.

Beberapa pendekatan yang melihat bahwa adanya ketimpangan gender dalam pembangunan telah mengusik banyak pihak untuk membuat suatu perencanaan pembangunan yang lebih berpihak pada perempuan secara global. Pada kurun tahun 1960 sampai 1970an, dikenal pendekatan Women in Development (WID-Perempuan dalam pembangunan). Pendekatan ini muncul sebagai bentuk keprihatinan atas persoalan-persoalan yang dihadapi perempuan Dunia Ketiga dan berasumsi bahwa keterbelakangan perempuan adalah karena perempuan tidak dilibatkan dalam pembangunan sehingga dibuat agenda utama yang melibatkan perempuan dalam proses pembangunan. Banyak kalangan, terutama kaum feminis yang melihat WID tidak berhasil menjawab persoalan, karena WID dianggap sebagai perpanjangan tangan kaum developmentalis untuk mempengaruhi Dunia Ketiga. Hal ini berkaitan dengan didominasinya agenda WID oleh kelompok kulit putih dari kelas menengah sehingga kurang bisa melihat permasalahan perempuan di Dunia Ketiga.

Pendekatan selanjutnya berangkat dari gerakan neo-marxis, yaitu Women and Development (WAD-Perempuan dan Pembangunan). WAD melihat bahwa tidak hanya perempuan yang tertindas, namun juga laki-laki kelas bawah, sehingga akhirnya WAD kurang melihat perlunya menganalisaa persoalan perempuan secara terpisah dengan laki-laki. Pendekatan WAD berasumsi bahwa posisi perempuan akan meningkat jika struktur politik ekonomi internasional lebih merata. Padahal permasalahan perempuan tidak sesederhana itu, terkait dengan masalah budaya dan juga kelas sosial.

Pendekatan lain yang mucul pada tahun 1980an adalah Gender and Development (GAD-Gender dan Pembangunan) yang berangkat dari sebuah cara pandang yang melihat secara totalitas organisasi sosial, ekonomi, dan politik untuk memahami subordinasi perempuan dalam masyarakat. GAD mengakui pentingnya analisa kelas tapi juga menekankan bahwa ideologi patriarki yang menindas perempuan adaa dalam kelas dan antar kelas. GAD menganggap bahwa negara seharusnya berpaartisipasi dalam menunjang emansipasi perempuan. GAD juga memberikan ruang bagi laki-laki yang memiliki kepedulian untuk bergerak bersama-sama perempuan dalam memperjuangkan nasib perempuan.

Di tingkat internasional, GAD ini direspon melalui Convention on the Elimination All of Forms Discrimination Against Women (CEDAW-Konvensi Internasional tentang Penghapusan segala bentuk Diskriminasi terhadap Perepuan). Sementara ratifikasi konvensi CEDAW menjadi Undang-undang No 7/1984 adalah respon Pemerintah Indonesia, dan mengacu pada UU tersebut, Pemerintah Indonesia melalui Instruksi Presiden No.9 Tahun 2000 menetapkan Pengarusutamaan Gender dalam kebijakan kelembagaan dan program dalam salah satu strategi pembangunan (gender mainstream)

Aktivitas-aktivitas yang memperjuangkan adanya kesetaraaan gender di Indonesia memang belum bisa dikatakan matang. Dukungan daari semua pihak sangat diharapkan, termasuk dari perempuan yang sadar akan hak-haknya. Masih terlihat program pembangunan yang melibatkan perempuan, tapi akhirnya perempuan hanya sebagai objek. Kementrian Pemberdayaan Perempuan (yang menjadi trend di hampir semua Dunia Ketiga) diharapkan mampu berjuang lebih banyak demi kesejajaaran perempuan.

Satu hal yang perlu diingat adalah bahwa gerakan kesetaraan gender bukan sebuah gerakan untuk menolak kodrat perempuan dan bukan berarti perempuan akhirnya menjadi jenis kelamin spesial. Kesetaraan gender berarti laki-laki dan perempuan memiliki hak dan kewajiban yang sama dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, dan segala perbedaan antara laki-laki dan perempuan (biologis) sebaiknya dapat disikapi secara lebih bijaksana.
baca selengkapnya

Orientasi Seksual dalam Kacamata Psikologi

Orientasi seksual adalah pilihan sosioerotis seseorang untuk menentukan jenis kelamin partner seksualnya apakah dari jenis kelamin yang berbeda atau jenis kelamin yang sama (Galliano, 2003; Lips, 2005). Perlu ditambahkan bahwa pilihan ini tidak melulu berbicara soal hubungan seks, namun juga menyangkut misalnya emosi, perasaan, dan keinginan untuk memiliki pasangan hidup, serta aspek seksualitas yang lebih luas. Orientasi seksual secara garis besar dapat dibedakan menjadi:
  • Heteroseksual, yaitu orang dengan pilihan partner seksual dari jenis kelamin yang berlawanan.
  • Homoseksual, yaitu orang dengan pilihan partner seksual dari jenis kelaminnya sendiri (Masters, 1992)
  • Biseksual, yaitu orang yang tertarik secara seksual baik itu terhadap laki-laki maupun perempuan (Masters, 1992)
Kinsey memperkenalkan skala rating 7 point untuk menjelaskan tentang pengalaman seksual yang tampak dan reaksi dalam individu termasuk fantasi (Masters, 1992).

Sementara teori lain juga mencoba menjelaskan model dari orientasi seksual ini, diantaranya adalah model psikoanalitik klasik yang menyatakan bahwa semua orang adalah biseksual atau model yang ditawarkan oleh Storm, yaitu Two-Dimensional-Orthogonal, yang menyatakan bahwa homoerotisme dan heteroertisme dalam diri individu adalah dua hal yang independen. Dalam model ini, homoseksual adalah orang yang memiliki tingkat homoerotisme yang tinggi dan tingkat heteroerotisme yang rendah (McWhirter, 1990).

Penelitian-penelitian telah banyak dilakukan untuk mencari tahu faktor-faktor penyebab mengapa seseorang memiliki orientasi seksual yang berbeda dengan yang lainnya. Secara garis besar, terdapat dua teori yang mencoba menjelaskan fenomena tersebut yaitu teori biologis dan teori psikologis.

a. Teori Biologis

Teori ini mempercayai bahwa orientasi seksual dipengaruhi oleh faktor genetik atau faktor hormonal. Kallman, dalam Masters (1992), telah melakukan penelitian terhadap orang-orang kembar dimana salah satunya diidentifikasi sebagai seorang homoseksual. Asumsinya adalah lingkungan prenatal dan postnatal dari dua orang kembar adalah sama sehingga faktor genetik yang menyebabkan homoseksual juga sama sehingga kemungkinan dua orang kembar sama-sama memiliki orientasi seksual homoseksual lebih besar dibandingkan dengan kemungkinan salah satunya homoseksual sementara yang lain heteroseksual. Kallman juga memaparkan bahwa kemungkinan tersebut lebih besar terjadi pada kembar monozygotic (identik secara genetis) dibandingkan pada kembar dizygotic, yaitu kembar yang tidak identik secara genetis (Allgeier, 1991). Penelitian selanjutnya yang dilakukan oleh Zuger dan Heston & Shields ternyata tidak menunjukkan hasil yang sama sehingga teori ini tidak digunakan lagi (Masters, 1992).

Beberapa tipe penelitian yang berbeda telah mengarahkan banyak ahli untuk membuat spekulasi dari kemungkinan adanya faktor hormonal yang menyebabkan homoseksualitas (Masters, 1992). Pertama, dokumentasi dari penelitian yang dilakukan oleh Dorner, Money dan Ehrhardt, dan Htchison, mengungkapkan bahwa pemberian treatmen hormonal pada saat prenatal dapat mengarahkan kepada pola perilaku homoseksual pada beberapa spesies binatang (Masters, 1992). Kedua, beberapa temuan menunjukkan bahwa kekurangan hormon seks pada saat prenatal mungkin dapat diasosiasikan dengan homoseksualitas. Contoh kasusnya adalah penelitian (Ehrhardt, Evers, dan Money; Money dan Schwartz) terhadap perempuan dengan adrenogenital syndrome -yaitu kekurangan hormon androgen pada masa prenatal- mengindikasikan bahwa individu tersebut memiliki kemungkinan yang lebih besar untuk menjadi seorang lesbian. Ketiga, perhatian yang sangat besar difokuskan pada perbandingan jumlah hormon pada orang dewasa yang homoseksual dan heteroseksual. Sementara beberapa penelitian seperti yang dilakukan oleh Meyer-Bahlburg dan Tourney menunjukkan bahwa laki-laki homoseksual memiliki testoterone yang lebih sedikit dan estrogen yang lebih banyak, dan satu penelitian lain menemukan bahwa kadar testosterone yang tinggi pada perempuan lesbian dibandingkan pada perempuan heteroseks, penelitian-penelitian lainnya justru gagal menunjukkan asumsi ini (Masters, 1992). Salah satu keterbatasan teori ini dicontohkan pada pemberian treatment hormon seks pada homoseksual dewasa yang ternyata tidak mengubah orientasi seksual mereka.

Penelitian terakhir mengenai faktor biologis dalam pembentukan orientasi seksual dilakukan oleh Simon LeVay (Rice, 2002) yang menemukan sekumpulan syaraf dalam hypothalamus laki-laki heteroseksual ukurannya tiga kali lebih besar dibandingkan dengan yang dimiliki oleh laki-laki homoseksual dan perempuan heteroseksual. Namun, hasil penelitian ini menimbulkan pertanyaan: Apakah kumpulan syaraf yang lebih kecil itu yang menyebabkan seseorang menjadi homoseksual atau justru sebaliknya, kehomoseksualan seseorang yang menyebabkan ukurannya mengecil? Penelitian yang lain menunjukkan bahwa syaraf-syaraf berubah dalam merespon suatu pengalaman. Hipotesis lain menyatakan mungkin ada faktor lain yang tidak diketahui yang menyebabkan baik itu homoseksualitas maupun perbedaan ukuran syaraf.


b. Teori Psikologis

Berbeda dengan teori biologis, teori psikologis mencoba menerangkan faktor penyebab homoseksualitas bukan dari aspek fisiologis. Freud percaya bahwa homoseksualitas adalah hasil perkembangan dari predisposisi biseksual yang terdapat dalam diri semua individu. Freud memiliki pemikiran bahwa setiap orang memiliki kecenderungan homoseksual yang bersifat laten, dan Freud percaya, bahwa dalam kondisi tertentu, misalnya saja continuing castration anxiety pada laki-laki, perilaku homoseksual mungkin akan muncul pada usia dewasa (Masters, 1992).

Bibier meneliti fenomena homoseksual ini dari sisi latar belakang keluarga. Penelitiannya menemukan bahwa kebanyakan dari homoseksual laki-laki memiliki ibu yang overprotective dan dominan, serta ayah yang lemah atau pasif. Pola keluarga seperti ini tidak ditemukan pada subjek heteroseksual (Masters, 1992). Bibier menamakan teorinya dengan triangular system, yaitu seorang homoseksual laki-laki secara tipikal adalah anak yang kelebihan intimasi, adanya ibu yang mengontrol, dan ayah yang ditolak (Allgeier, 1991). Sementara Wolf menemukan bahwa diantara 100 lesbian yang dibandingkan dengan perempuan heteroseksual, karakteristik orangtua mereka yang menonjol adalah penolakan terhadap ibu dan kurang atau tidak adanya peran ayah. Wolf mempercayai bahwa homoseksualitas dalam perempuan muncul karena penerimaan kasih sayang yang tidak adekuat dari ibu kepada anak perempuannya, yang mengarahkan anak perempuannya untuk mencari kasih sayang dari perempuan lain (Masters, 1992). Penelitian lain yang dilakukan oleh Robinson, Skeen, Flake-Hobson, dan Herman pada tahun 1982 dan melibatkan 322 orang homoseksual laki-laki dan perempuan menunjukkan hasil bahwa 2/3 responden menyatakan bahwa hubungan mereka dengan ayah adalah sangat memuaskan atau memuaskan. Tiga per empat responden menyatakan bahwa hubungan mereka dengan ibu sangat memuaskan atau memuaskan. Sekitar 64% responden merasa bahwa mereka selalu disayangi oleh ibunya, namun hanya 36% yang merasakan bahwa mereka selalu disayangi ayah mereka. Hasil penelitian ini menggambarkan bahwa hubungan dalam keluarga mungkin merupakan latar belakang dari orientasi seksual seseorang, namun tidak bisa digeneralisir pada semua kasus (Rice, 2002).

Sementara McGuire, Gagnon dan Simon, Masters dan Johnson, berpegang pada teori psikososial yang mengungkapkan bahwa homoseksualitas adalah fenomena yang dipelajari (Masters, 1992). Pengkondisian psikologis diasosiasikan dengan reinforcement atau punishment pada awal perilaku seksual (dan juga pikiran dan perasaan yang menyangkut seksualitas) yang mengontrol proses terbentuknya orientasi seksual. Pandangan behavioral ini juga menjelaskan mengapa beberapa orang heteroseksual menjadi homoseksual pada masa dewasa mereka, yaitu jika seseorang mendapatkan pengalaman heteroseksual yang tidak menyenangkan kemudian dikombinasikan dengan pengalaman homoseksual yang bersifat menyenangkan, dapat mengarahkan seseorang menjadi homoseksual. Observasi yang dilakukan Grundlach terhadap perempuan korban perkosaan laki-laki yang akhirnya menjadi lesbian, mendukung pendapat ini (Masters, 1992).

Penelitian yang melibatkan 686 laki-laki homoseksual, 293 perempuan homoseksual, 337 laki-laki heteroseksual, dan 140 perempuan heteroseksual, tidak dapat menemukan pendukung yang kuat bagi teori-teori psikoanalisis, teori belajar sosial, atau teori sosiologis lainnya, sehingga mereka membuat kesimpulan bahwa homoseksualitas pasti memiliki dasar biologis. Kesimpulan lainnya adalah bahwa tidak ada yang mengetahui secara pasti faktor-faktor yang menyebabkan homoseksualitas (Rice, 2002).

Tentu saja, bukan hanya psikologi yang mencoba menggali homoseksualitas ini, teori-teori sosial lain juga banyak yang mencoba mengkaji homoseksualitas dengan cara mereka masing-masing. Untuk mengetahui jawaban mengapa seseorang (menjadi) homoseksual, kita harus menemukan jawaban, mengapa seseorang (menjadi) heteroseksual, tentu dengan metode ilmiah, karena jika menggunakan alibi “kodrat”, selsesai sudah. Yang menjadi catatan penting adalah bahwa American Psychiatric Assosiation telah menghapuskan homoseksual dari daftar gangguan kejiwaan pada tahun 1974 dengan tidak mencantumkannya dalam DSM III dan diamini oleh WHO pada tahun 1992. Demikian juga dalam Pedoman Penggolongan Diagnosis Gangguan Jiwa yang menjadi pegangan psikiater dan psikolog di Indonesia.
baca selengkapnya

Yogyakarta Principles: Hak Azasi Manusia tentang Orientasi Seksual dan Identitas Gender


Pada tahun 2006, di Indonesia, tepatnya Yogyakarta, sekelompok ahli Hak Azasi Manusia dari 25 negara telah membuat rancangan, mengembangkan, mendiskusikan, dan menghasilkan prinsip-prinsip mengenai hak azasi manusia yang berkaitan dengan orientasi seksual dan identitas gender. Terdapat 29 prinsip yang didalamnya juga memuat kewajiban negara untuk menjamin keamanan, kebebasan, dan kenyamanan mereka yang memiliki orientasi seksual dan identitas gender di luar main stream, dan 16 rekomendasi tambahan.



Sayangnya, tidak banyak orang yang tahu tentang prinsip-prinsip ini, termasuk kaum LGBTQI (Lesbian, Gay, Biseksual, Transgender, Transseksual, Queer, Interseks) sendiri. Dalam hal ini, patut dipertanyakan apakah negara sudah memegang dan memahami Yogyakarta Principles? Jika belum, lantas rekomendasi yang sudah disusun oleh para ahli tersebut sekarang sudah sampai mana? Namun jika sudah, mengapa negara tidak mensosialisasikannya pada warganya, minimal pada para aparat pemerintah? Mengapa perda-perda di beberapa daerah, yang sangat diskriminatif terhadap homoseksual, dibiarkan begitu saja oleh pemerintah pusat dengan dalih otonomi daerah?

Saya berikan contoh beberapa perda diskriminatif tersebut:
  • Peraturan Daerah Kota Batam No. 6 Tahun 2002 tentang Ketertiban Sosial di Kota Batam, Bab III Tertib Susila, Pasal 9 “Setiap orang atau badan dilarang membentuk dan atau mengadakan perkumpulan yang mengarah kepada perbuatan asusila dan secara normatif tidak bisa diterima oleh budaya masyarakat”. Penjelasan : Perkumpulan dimaksud dalam ayat ini misalnya perkumpulan atau organisasi kaum lesbian, homosex (gay) dan sejenisnya
  • Peraturan Daerah Kota Pelembang No. 2 Tahun 2004 tentang Pemberantasan Pelacuran, Pasal 8 “Pelacuran adalah perbuatan yang dilakukan setiap orang dan atau sekelompok orang dengan sadar, bertujuan mencari kepuasan syahwat diluar ikatan pernikahan yang sah dengan atau tanpa menerima imbalan, baik berupa uang maupun bentuk lainnya. Termasuk dalam perbuatan pelacuran adalah : a. homoseks; b. lesbian; c. sodomi; d. pelecehan seksual; dan; e. perbuatan porno lainnya”
  • Peraturan daerah Propinsi Sumatra Selatan Nomor 13 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Maksiat di Propinsi Sumatra Selatan, Bab II Penamaan dan Bentuk Maksiat (1) Termasuk perbuatan maksiat, segala perbuatan yang dapat merusak sendi-sendi kehidupan bermasyarakat selain yang diatur dalam norma-norma sebagaimana dimaksud pada ayat (1) seperti: c. homoseks; d.lesbian”

Pemerintah Indonesia, seperti yang kita tahu, tidak memberikan ruang bagi mereka yang memiliki orientasi seksual dan identitas seksual -yang secara statistik- minoritas. Dalam hal ini, negara telah melanggar hak asasi manusia komunitas LGBTQI. Hatib Abdul Kadir, dalam bukunya Tangan Kuasa dalam Kelamin (Insist, 2007) memaparkan tiga arus kekuasaan utama yang mempengaruhi pola pemerintahan Indonesia dalam memandang keberagaman seksualitas (baca: LGBTQI). Pertama, kekuasaan agama. Sebagai negara dengan komunitas muslim terbesar di dunia, Indonesia mendapatkan pengaruh yang sangat besar dari ajaran Islam. Sebagaimana kita ketahui, ajaran Islam (yang terkontaminasi budaya Arab) menunjukkan nilai-nilainya mengenai seksualitas: kontrol tubuh, patriarki, virginitas, pro kreasi, heteroseksual, dan fungsi kekerabatan. Jika tiba-tiba pemerintah mengakui pernikahan sesama jenis misalnya, sudah bisa kita tebak bagaimana reaksi kebanyakan warga negara, terutama para fundamentalis.

Kekuatan kedua adalah kaum kolonial yang memperkenalkan kapitalisme. Semangat Glory, Gold, dan Gospel yang didengungkan para imperialis juga tidak luput membawa ajaran Kristen dengan sistem moral yang mengharamkan homoseksualitas karena dianggap tidak bermoral. Sementara dalam kacamata kapitalisme, homoseksualitas jelas tidak menguntungkan bagi penyediaan sumber daya manusia untuk melanggengkan proses produksi. Keluarga (dalam hal ini keluarga heteroseks) kemudian mempunyai kepentingan besar dan membawa stabilitas bagi tingkat konsumsi.

Kekuatan ketiga adalah ilmu pengetahuan. Pada awal abad 19, saat ilmu kedokteran dan psikologi positivistik berkembang, seksualitas dikerangkakan dalam kotak normal dan abnormal berdasarkan penelitian yang dilakukan, homoseksualitas dan sejumlah perilaku seksual dikategorikan patologis. Belum lagi isu HIV-AIDS yang sering dikaitkan dengan LGBTQI.

Ilmu pengetahuan ternyata kurang popouler di mata politikus. Karena, meskipun pada abad 20, psikologi dan psikiatri telah merevisi bahwa homoseksualitas bukanlah gangguan jiwa, namun cara pandang pemerintah terhadap seksualitas “yang berbeda” tidak berubah (masih ingat bagaimana kampanye para calon presiden tahun 2004 yang tidak ada satu pun bersikap toleran terhadap homoseksual) stigma bahwa kaum homoseksual merupakan orang menyimpang masih banyak ditemukan di masyarakat. Setidaknya hal ini menunjukkan bahwa agama masih menjadi acuan para penentu kebijakan. Satu hal yang patut disayangkan, penelaahan terhadap ajaran agama secara lebih mendalam dan terbuka, tidak mereka lakukan. Kebijakan akhirnya muncul sebagai produk pengontrol moral –yang disesuaikan dengan agama tertentu yang paling berkuasa, menginjak kemajemukan dan memberikan kepuasan bagi sebagian yang lain- seperti perda-perda diskriminatif tersebut, perda-perda larangan pelacuran, RUU APP, RUU ITE, UU Perkawinan, dan sebagainya. Seksualitas yang hakikinya urusan individu, telah dikontrol sedemikian rupa oleh negara.

Yogyakarta Principles bisa anda download dari official websitenya, tersedia dalam beberapa bahasa (Inggris, Spanyol, Arab, Cina, Perancis dan Rusia) untuk versi Indonesia, anda bisa mengunduh dari komnas perempuan dalam bentuk pdf. Buat anda yang suka komik, anda bisa berterima kasih kepada Institut Pelangi Perempuan yang telah membuat komiknya! Langsung dibuka saja di sini!
baca selengkapnya