10 Desember 2010

I've Judged a Book by It's Cover


Hujan sepanjang hari di Jogja. Berangkat ke kantor kena hujan, pulang juga begitu. Untung, hujannya masih air. Kelaparan, saya berhentikan motor saya di tempat makan yang sudah lama sekali tidak saya datangi. Ketika saya berhenti tepat di depan tempat makan, saya tak melihat ada tukang parkir. Aman, pikir saya. Hehehe... nggak mau rugi.


Tapi ketika saya melepas mantel hujan, tampaklah sesosok berpakaian jingga, khas tukang parkir. Bersiap-siap mengambil payung besar, mungkin berniat menjemput saya agar tidak kena hujan. Terlambat. Laki-laki itu bisa dikatakan sudah tidak muda lagi. Wajahnya agak oriental. Dengan agak kesal, saya lewati tubuhnya yang berdiri di depan pintu masuk. Kesal pertama karena ternyata tempat makan kecil itu ada tukang parkirnya juga. Wajar sih, kecil-kecil begitu, tempat makannya ramai pengunjung. Kesal saya yang kedua adalah telatnya dia memberikan payung kepada saya. Atau mungkin saya yang kege-eran, sebenarnya tukang parkir hanya berniat mengambil payungnya untuk dipakainya sendiri? Entah.


Hampir setengah jam saya menunggu ayam rica-rica pesanan saya selesai dimasak. Begitu terhidang di atas meja, langsung saja saya sikat tak bersisa hanya dalam waktu 5 menit. Lapar sekali saya. Selesai bayar makan, saya segera menuju motor sambil menyiapkan uang seribuan untuk parkir. Masih gerimis. Saya langsung berikan uang seribuan saya kepada tukang parkir. Kemudian dia mengatakan sesuatu yang tidak biasa,


"Terima kasih, Mas, sudah bagi-bagi rejeki," katanya dalam bahasa Jawa. Sengaja saya terjemahkan dalam versi Indonesia karena saya takut salah tulis hehe...


"Eh, ya, sama-sama, Pak," jawab saya agak kikuk. Biasanya tukang parkir hanya mengatakan 'terima kasih'. Itu saja masih untung, biasanya malah cuma langsung sambar uang yang kita lalu kembali ke tempat duduk dan menikmati kembali rokok mereka. Terlebih, tukang parkir yang satu ini mengucapkan terima kasih dengan senyum dan terlihat sumringah. Sebuah ketulusan. Mungkin. Semoga.


Sang tukang parkir tidak berhenti bicara sampai di situ. Ia masih juga kembali mengucapkan terima kasih dan mengatakan ia memang membutuhkan uang itu. 'Ya, Pak, itu cuma seribu, biasa aja kali,' pikir saya. Sisi hati bijak langsung menghardik pikiran saya itu, mengingatkan kalau uang itu nilainya tidak ditentukan oleh jumlah nolnya tapi dari sejauh mana manusia membutuhkannya. Bapak parkir itu juga lalu bercerita singkat kalau payungnya tadi dipatahkan pekerja tempat makan, padahal payung itulah yang menolongnya mencari uang untuk sesuap nasi. Waduh! Dan yang membuat saya tambah kikuk lagi adalah ketika ia mengatakan,


"Hujan terus hari ini. Hati-hati, Mas. Nggak usah ngebut. Hati-hati ya," katanya sambil membantu saya memundurkan motor.


Saya merasa dihargai sekali. Rasanya tidak seperti saya baru pulang dari tempat makan yang saya bahkan tidak kenal siapa kokinya. Seperti apa ya rasanya... Hmm... seperti habis mengunjungi rumah dan dijamu sedemikian rupa oleh seorang kawan dekat.


Penuh sesal hati saya karena sudah menyimpan kesal kepada si bapak tukang parkir. I've judged a book by it's cover.
baca selengkapnya

2 Desember 2010

Dicari: Rumah Sakit Pemerintah yang Ramah Pasien!


Saya akhirnya tes HIV. Ya, agak mengherankan juga bahkan untuk saya sendiri. Bertahun-tahun saya bekerja di isu HIV dan AIDS, walaupun tidak bisa dikatakan juga sudah benar-benar khatam di isu tersebut, baru sekarang saya menjalani tes ini.


Saya tidak akan membahas soal VCT (Voluntary and Counseling Test, yang biasanya digunakan untuk merujuk tes HIV yang padahal istilah itu tidak hanya untuk tes HIV saja). Yang akan saya bahas adalah bagaimana proses yang harus saya lalui.


Meskipun di organisasi saya bekerja menyediakan layanan VCT, saya memutuskan untuk tes di sebuah rumah sakit milik pemerintah yang lebih dekat dengan tempat tinggal saya. Saya pikir, toh sama saja gratis (belakangan baru tahu ternyata tidak).


Saya langsung datang ke bagian pendaftaran umum. Banyak sekali orang di sana. Beberapa AC dan kipas angin di sana tak cukup membuat segar suasana. Gerah! Bingung, saya datangi satpam. Saya tanya kalau saya mau mengakses salah satu layanan. Sang satpam dengan muka tak ramah menanyakan apakah saya sudah pernah ke rumah sakit itu sebelumnya dan punya kartu pasien. Saya bilang sudah lama sekali saya ke rumah sakit tersebut dan kartunya entah dimana. Satpam tersebut tampak terdiam sesaat. Tampak sekali ia memang tidak dipersiapkan untuk menangani hal-hal seperti itu. Bandingkan dengan satpam-satpam di bank misalnya yang begitu kita masuk langsung menyapa dengan ramah, menanyakan keperluan kita lalu dengan telaten menunjukan bagian mana yang harus kita tuju dan apa yang harus kita lakukan. Sangat membantu. Satpam rumah sakit lalu memberikan secarik kertas pada saya. Saya diminta mengisinya lalu menyerahkannya ke bagian pendaftaran pasien umum baru.


Kertas formulir itu membuat kening saya berkerut-kerut. Ditanyakan macam-macam yang saya tak tahu apa korelasinya dengan alasan orang datang ke rumah sakit. Agama. Nama orang tua. Pekerjaan orang tua. Pendidikan terakhir. Apakah kalau pendidikan terakhir saya S1 jenis layanannya akan berbeda dengan yang SMP? Apakah kalau saya Hindu jenis penyakitnya akan berbeda kalau saya Islam? Beberapa poin yang saya anggap tak penting tidak penting tidak saya isi, dan memang nyatanya tak penting karena tidak ditanyakan ulang oleh petugas.


Tidak ada antrian di bagian itu. Orang berkerumun di depan seorang petugas yang sibuk mengetik di depan komputernya. Formulir yang sudah diisi diletakan di wadah plastik kecil dan pasien menunggu panggilan. Kenapa lantas harus berkerumun tidak duduk saja? Pertama, kursi yang disediakan tak cukup. Kedua, sang petugas akan memanggil tanpa pengeras suara. Bayangkan di ruangan yang penuh orang, dia harus memanggil nama pasien satu per satu. Hanya ada satu pengeras suara di bagian Jamkesmas. Yang sayangnya, nada tidak ramah bahkan sambil menceramahi pasien, keluar juga dari pengeras suara. Tak satupun muka petugas di sana yang tampaknya bisa tersenyum, kecuali dengan rekan kerjanya.


Akhirnya nama saya dipanggil. Selain kartu, saya juga dapat kwitansi senilai 21.500 untuk pendaftaran. Setelah itu, pergilah saya ke klinik yang saya tuju. Saya dulu pernah beberapa kali lewat, tapi kemarin klinik tersebut sudah tidak ada di tempat yang saya ingat. Tidak ada papan pengumuman pindah dan dipindahkan kemana. Pun tidak ditemukan nama klinik di papan-papan petunjuk. Alhasil saya harus bertanya pada cleaning service.


Saya temukan klinik tersebut dan langsung menghampiri loket pendaftaran. Saya serahkan kwitansi yang saya pegang dan langsung ditanyakan:


"Mau VCT, Mas? Untuk apa?" tanya seorang laki-laki.


Saya sempat bingung menjawab. Untuk apa? Ya jelas untuk mengetahui status saya. Apalagi? Ternyata saya baru tahu kalau ada beberapa orang yang datang tes untuk mendapatkan keterangan status HIV negatif untuk kepentingan melamar pekerjaan. Ah, masih saja ada perusahaan yang diskriminatif (perusahaan atau pemerintah?).


Ternyata laki-laki di loket pendaftaran itu adalah konselornya. Langsung saja saya diajak masuk ke ruang konseling. Setelah berkenalan secukupnya, dia langsung menceramahi saya soal HIV dan AIDS. Saya memang tidak bilang saya bekerja di organisasi HIV dan AIDS, sengaja ingin tahu seperti apa informasi yang disampaikan. Agak terkejut dengan cara sang konselor menyampaikan informasi yang, bagi saya, sangat menggurui. Apalagi saat saya bertanya,


"Kalau misal saya melakukan donor darah, memberikan darah saya pada orang lain, berapa besar kemungkinan saya terinfeksi?" tanya saya.


"Sebentar. Makanya dengarkan saya dulu!" katanya menyetop lalu melanjutkan ceramahnya dan tak menjawab pertanyaan saya. Setelah itu masuklah ke sesi cara penularan HIV. Setelah menjelaskan melalui hubungan seks, penggunaan jarum suntik, transfusi darah, dia lalu sampai pada poin terakhir,


"Cara penularan HIV yang terakhir adalah homoseksual. Kenapa homoseksual? Karena itu perilaku menyimpang. Melakukan anal seks dan oral seks," jelasnya mantap.


Haloooo, Pak! Bapak ini petugas kesehatan, saya lihat logo WHO ada di ruang tunggu juga. Tahukah bapak kalau homoseksual sudah dicoret dari daftar gangguan jiwa oleh WHO sejak tahun 1990 an? Dan tahukah bapak kalau tidak semua homoseksual melakukan anal dan oral seks? Lebih penting lagi, tahukah bapak berapa banyak heteroseksual yang juga melakukan anal dan oral seks? Ah, konselor apa ini...


Setelah selesai dengan ceramahnya, ia mengulang berkali-kali apakah saya sudah siap untuk melakukan tes. Saya bilang sangat siap. Setelah itu saya diminta untuk pergi ke bagian laboratorium untuk melakukan tes darah.
"Ya, nanti anda bayar sekitar 125 ribuan," katanya. Wah, ternyata bayar! Padahal saya koar-koar di media yang saya buat kalau layanan VCT gratis di rumah sakit ini. Baru saya tahu di depan ada pengumuman yang berbunyi setelah Global Fund menghentikan bantuan, tes HIV dikenai biaya.
Pergilah saya ke bagian laboratorium. Tempatnya nyaman. Ruangan baru, adem. Saya menghampiri front office. Ada tiga orang di sana. Semua menundukan kepala, sepertinya sibuk. Salah satunya lalu mendongakan kepala,


"Kertasnya taruh di situ, Mas," katanya dengan nada ketus. Tak ada sapaan apalagi senyum ramah.


Nama saya kemudian dipanggil untuk melakukan pembayaran. Seratus dua puluh delapan ribu untuk tes HIV Elisa dan 1.500 untuk biaya administrasi billing system. Saya lalu disuruh masuk ke ruang pengambilan sampel cairan tubuh. Saya pikir saya akan langsung diambil darahnya. Ternyata tidak. Ruangan berukuran kira-kira 8 x 8 meter tersebut dibagi oleh sekat-sekat menjadi 5 ruangan. Empat ruangan untuk pengambilan sampel dan 1 ruangan untuk penyimpanan peralatan. Hanya 3 ruangan yang dipakai untuk pengambilan sampel (satu ruangan tertutup, entah kenapa). Ada sekitar 20 orang mengantri di sana! Tanpa tempat duduk. Saya sih tidak masalah. Hanya saja beberapa pasien sudah berusia lanjut. Saya juga tidak bisa membayangkan kalau saya sedang sakit harus mengantri di ruangan tersebut sambil berdiri. Ketika sampai orang di depan saya diambil sampel darah, saya harus menunggu 10 menit karea petugasnya kesulitan mengambil darah. Lha kok bisa? Mana saya tahu. Saya cuma miris-miris saja melihat lengan si pasien yang berkali-kali ditusuk jarum, sampai ganti dua jarum, tapi darah tidak keluar juga.


Untungnya ketika giliran saya, tidak ada masalah. Cuma saja, dari ruang sebelah terdengar sang petugas yang bicara dengan suara keras dan tinggi kepada beberapa pasien. Seakan-akan dia bicara dengan orang yang pendengarannya hanya 10% saja. Benar-benar membuat tidak nyaman.
Besoknya adalah jadwal saya untuk mengambil hasil dan mendapatkan post konseling. Sang konselor bilang saya bisa bertemu dengannya jam 11.30 karena pagi hari dia ada acara keluarga. Sayang sekali, hari itu saya ada kegiatan sampai jam 12 lebih, dengan perasaan bersalah saya telpon klinik tersebut untuk melakukan jadwal ulang. Kaget saya karena sang konselor tidak ada di tempat. Lha... untung saya tidak langsung meluncur tergesa-gesa ke rumah sakit! Petugas yang mengangkat telpon menyuruh saya untuk datang besok hari saja.


Hari berikutnya saya telpon kembali klinik tersebut, untuk memastikan kalau saya tidak akan sia-sia ke sana. Petugas yang mengangkat telpon bilang konselornya ada dan saya mengatakan saya akan ke sana jam 11. Mungkin saya juga yang salah datang 30 menit lebih awal dari perjanjian. Saya langsung ke loket dan menyebutkan nama dan kebutuhan saya hari itu. Si petugas meminta saya untuk menunggu. Satu jam saya menunggu tidak ada tanda-tanda nama saya dipanggil sampai saya lihat sang konselor keluar dari ruangannya. Baru saja saya bermaksud menyapa (untuk menanyakan berapa lama lagi saya harus menunggu), dia sudah mengangkat tangan dengan muka datar. Saya paham maksudnya, saya harus menunggu. Beberapa orang yang datang, yang kebetulan saya kenal, dilayani lebih dulu. Saya berpikiran positif, mungkin karena mereka sudah janjian lebih dulu sebelumnya atau memang sudah sering mengakses layanan di sana. Saya lalu berinisiatif untuk mengambil saja hasilnya tanpa konseling. Kali ini saya bisa mengatakan kalau saya bekerja di isu HIV dan AIDS jadi tidak terlalu membutuhkan sesi selanjutnya karena sudah tahu apa yang akan saya lakukan kemudian jika hasilnya positif atau negatif. Tapi sang petugas loket tidak mengijinkan saya untuk mengambil hasilnya tanpa bertemu muka dengan sang konselor.


Barulah jam 12 kurang lima menit, nama saya dipanggil. Tak ada kata maaf keluar dari mulut konselor karena pembatalan pertemuan kemarin maupun karena waktu yang harus saya buang untuk menunggu, dia langsung berkata,
"Sudah siap dengan hasilnya? Ingat apa yang saya katakan kemarin?" Caranya bertanya lebih seperti guru sejarah yang menanyakan apakah saya masih ingat tahun berapa perang Diponegoro terjadi. Lalu dia mengeluarkan amplop berisi hasil tes saya. Tidak ada permintaan ijin kepada saya apakah saya memperbolehkan dia membukanya. Dia hanya bilang, "Ini hasilnya, saya juga belum tahu apa isinya. Lihat, masih disteples. Baik, saya buka."
Setelah saya tahu hasilnya, dengan hati-hati saya lipat kertas hasil dan bersiap-siap memasukan ke tas saya ketika kemudian sang konselor berkata,


"Hasilnya kami yang simpan."


"Lho? Ini bukan untuk saya?"


"Oh, tidak... kalau ini anda yang pegang, anda bisa menunjukan ini ke orang-orang kalau anda negatif." Apa? Ya terus kenapa? Betul-betul saya tak habis pikir. Saya memang tak membutuhkan kertas itu saat ini, tapi saya bilang kalau suatu saat saya membutuhkannya saya akan kembali ke rumah sakit tersebut. Hitung punya hitung, sesi post konseling itu hanya berlangsung sekitar 7 menit.


Ya begitulah pengalaman saya. Saya jadi berpikir, mau berkampanye sekuat apapun mengajak masyarakat untuk melakukan tes HIV, kalau pelayanannya seperti itu siapa yang mau? Tapi tenang, saudara-saudara, tak usah berkecil hati. Di beberapa rumah sakit dan puskesmas, layanan tes ini masih gratis. Ada memang yang lebih ribet prosedurnya, tapi ada juga yang pelayanannya jauh lebih ramah! Saya hanya menyarankan, cari informasi sebanyak-banyaknya dulu soal tempat tes yang nyaman dan ramah. Syukur-syukur masih bisa gratis.


Ketika menuju parkiran kendaraan, saya lewat di klinik psikologi. Saya tersenyum. Mungkin ada pasien yang sengaja datang ke klinik tersebut karena mengalami keluhan psikologis. Atau ada pasien dengan gangguan fisik yang berdampak pada psikisnya. Namun jujur saja, menurut saya pihak yang jauh lebih membutuhkan layanan itu adalah para petugas kesehatan di rumah sakit tersebut. Mungkin saking stresnya mereka lupa cara menjadi ramah. Lupa kalau pengobatan pertama bagi orang sakit adalah perhatian yang tulus dan kasih. Berharap saja semoga memang mereka, para petugas kesehatan itu, tidak dari orok sudah tidak bisa tersenyum. Akut itu namanya.
baca selengkapnya

1 Desember 2010

Islam Membawa Pesan Damai, Masihkah?


Saya dulu pernah dengar dari kawan saya soal sosialisasi anti Yahudi di sekolah setingkat TK berbasis Islam. Kata teman saya, beberapa guru mengajarkan lagu-lagu yang berisi kecaman terhadap Israel dan ajakan untuk membunuh Yahudi. Saya antara percaya dan tidak saat itu. Pertama, percaya karena tidak ada alasan teman saya untuk berbohong dan bagaimana muslim radikal melakukan cara apapun untuk memperkuat basisnya. Kedua, tidak percaya karena masak iya di sekolah tingkat TK diajarkan lagu yang mengandung lirik 'bunuh'? Dulu saya waktu TK cuma diajarkan lagu tentang pelangi, balon dan kapiten. Lalu saya juga masih percaya ajaran Islam tak pernah mengijinkan untuk menyebarkan kebencian.


Sore ini, dengan mata dan telinga saya sendiri, saya lihat dan dengar bagaimana akhirnya saya menjatuhkan keyakinan saya pada pilihan pertama: percaya bahwa muslim radikal melakukan cara apapun untuk memperkuat basis, dengan menyebarkan kebencian.


Saya dan beberapa kawan membuat aksi untuk memperingati Hari AIDS Sedunia, 1 Desember. Tahun ini, kami tak membuat acara besar-besaran. Sederhana saja (lihat postingan saya sebelumnya, kalau mau hehe..) Kebetulan sekali, Perda tentang HIV dan AIDS ditandatangani oleh Gubernur DIY pada tanggal 1 Desember 2010. Saya dan kawan-kawan merasa ingin mensosialisasikan Perda tersebut kepada masyarakat luas. Dengan judul Dukung dan Awasi Implementasi Perda HIV & AIDS DIY, kami membentangkan spanduk meminta dukungan dan komitmen masyarakat Yogya untuk mengawasi pelaksanaan Perda DIY No. 12 tahun 2010 tersebut.


Tidak lama kemudian, seorang kawan memberi tahu saya bahwa akan ada aksi lain dari organisasi Islam, juga tentang HIV dan AIDS. Saya paham. Biasanya memang tanggal 1 Desember ini terjadi aksi tanding-tandingan. Kepedulian yang sama soal HIV dan AIDS, namun dengan cara pandang yang 180 derajat berbeda. Tak heran. Mereka di posisi yang melihat kasus HIV dan AIDS dari perspektif moral. Saya di posisi yang realistis sajalah: isu kesehatan dan sosial.


Ketika rombongan longmarch organisasi agama tersebut sampai di titik aksi kami, kami memberikan jalan. Toh kami juga tidak menggunakan jalan, hanya memasang spanduk di trotoar dan beberapa orang 'menyerbu' pengguna jalan pada saat lampu merah, untuk membagikan bunga, pita merah dan kopian perda. Agak terkejut saya karena barisan longmarch ternyata diisi oleh anak-anak seusia SD. Mengikuti kakak-kakaknya, mereka berteriak-teriak soal isu HIV yang diakibatkan oleh penyimpangan seks, alias, menurut versi mereka, seks bebas (masih saja istilah ini dipakai ya... heran) dan homoseksual dan transseksual.


Kami berdiri saja di pinggir trotoar. Beberapa kawan saya lalu mencoba memberikan bunga sebagai tanda damai dari kami. Anggota rombongan yang lebih tua jangankan menerima, mereka sama sekali tidak mau melihat kami. Saya masih menghargai jika ditolak dengan senyum dan ucapan terima kasih, tapi sayang sekali tidak saya dapatkan. Beberapa anak tertarik untuk mengambil bunga tersebut dengan muka berseri-seri. Tapi apa yang kemudian terjadi membuat saya benar-benar kecewa. Orang-orang yang lebih tua di kelompok tersebut menyuruh anak-anak agar tidak menerima bunga-bunga tersebut, bahkan beberapa ada yang dikembalikan. Nyata di depan mata saya sendiri bagaimana anak-anak itu diajak untuk menjaga jarak terhadap kami, membenci kami.


Terus terang, saya buta soal etika pergaulan dalam Islam. Bagaimana bersikap harus bersikap pada orang lain yang kita anggap 'musuh'. Haruskah kita tolak pemberian dari mereka? Yang saya ingat adalah kisah Muhammad, Nabi yang (katanya) menjadi panutan orang Islam. Beliau yang mendatangi rumah seorang laki-laki buta yang setiap harinya selalu menghina dan menghujat sang Rasul. Muhammad datang ke rumah si lelaki itu karena beliau mendengar bahwa dia sakit. Tidak hanya menjenguk, Rasul bahkan menyuapinya! Silakan yang merasa sebagai pengikut Muhammad, tidakkah contoh itu nyata bagi kalian yang mempercayainya?


Saya masih percaya, inti ajaran Islam dan agama lain adalah kedamaian. Sayangnya, kedamaian ini seringkali diartikan oleh sekelompok orang sebatas kedamaian individu yang ujung-ujungnya egois. Bukan kedamaian lil alamin (benar ya bahasanya? Maksudnya: kedamaian bagi semesta alam). Citra Islam menjadi buruk karena oknum-oknum berpandangan seperti itu, mengharapkan kebahagiaan dunia dan akhirat bagi diri dan kelompoknya dengan cara yang merugikan atau melecehkan orang atau kelompok lain.


Soal rasa risih saya yang lain adalah kampanye yang mereka, organisasi agama tersebut, lakukan, tidak berdasarkan fakta medis. Mereka berteriak-teriak bahwa penyebab HIV adalah homoseksualitas. Mari kita bicara fakta saja. Data yang dilaporkan Kemenkes sampai September 2010, jumlah kasus AIDS berdasarkan faktor resiko dari hubungan seksual yang dilakukan oleh homoseksual itu sebesar 3 % saja. Tahukah anda berapa yang dari hubungan seks heteroseksual? Lima puluh satu persen! (Sisanya dari faktor resiko pemakaian napza suntik, transfusi darah dan ibu positif ke bayinya). 


Sekarang, bicara realistis, jika organisasi agama tersebut mampu membuat homoseksual menjadi heteroseksual (katakanlah itu mungkin), apakah dengan kemudian tidak adanya homoseksual, kasus HIV dan AIDS akan selesai?
Hal konyol yang lain, ketika kami menawarkan kopian perda kepada mereka, salah satu (laki-laki) dari mereka menolaknya dan mengatakan bahwa justru mereka berjuang untuk menolak perda tersebut, yang menurutnya, berarti menolak juga membaca isi perda! Wah, canggih! Menolak tanpa tahu apa yang mereka tolak. Berpikiran magis sih magis, tapi ya nggak segitunya kali... Kami saja harus mengopi berlembar-lembar perda tersebut agar orang yang akan mendukung tahu apa yang mereka dukung.


Kontras dengan perkara aksi organisasi agama yang radikal tersebut, pagi harinya saya hadir di pemutaran film, juga tentang HIV dan AIDS di organisasi keagamaan yang lain. Nahdlatul Ulama. Setelah memutar film, kami menggelar diskusi. Diskusi yang menyenangkan, hangat dan realistis. Fokus pada apa yang BENAR-BENAR terjadi dan apa yang kira-kira bisa dilakukan bersama-sama untuk menunjukan kepedulian terhadap isu HIV dan AIDS. Untungnya, setahu saya, organisasi agama yang satu ini punya pengaruh cukup kuat di Indonesia dengan jumlah dan loyalitas massa yang tak bisa dibandingkan dengan kelompok radikal. Sangat berharap sekali saya pada mereka, tunas-tunas muslim yang tetap berdiri pada keyakinannya namun bisa berkiprah dalam perubahan sosial dengan cara damai. Semoga!


Note: Saya bukan pengikut NU. Namun sejauh ini, saya menaruh penghargaan pada beberapa tokoh muslim dari kalangan ini yang saya tahu berpikiran terbuka, realistis dan sadar sosial.
baca selengkapnya