23 September 2008

Tolak UU Pornografi


PERNYATAAN SIKAP BERSAMA
Forum Yogyakarta untuk Keberagaman (YuK!)

Mengingat asas persatuan dan kesatuan NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia)kebhinnekaan merupakan harta yang paling berharga bagi masa depan bangsa Indonesia. Realitas bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang multikultur adalah sesuatu yang –TAK TERBANTAHKAN. Oleh karena itu, segala upaya yang ditujukan untuk menjaga dan merawat kebhinnekaan merupakan keniscayaan bagi seluruh komponen masyarakat di Indonesia. Menyikapi munculnya problematisasi akan disahkannya RUU Pornografi, Forum Yogyakarta untuk Keberagaman (YuK!) keberatan dengan beberapa pertimbangan sebagai berikut :

1. Aspek muatan (isi) RUU Pornografi belum mencerminkan semangat reformasi. Yakni, semangat yang mengarusutamakan pentingnya kesadaran atas realitas bangsa Indonesia yang multikultur. Asumsi dasar tentang konsekuensi dalam mekanisme operasionalisasi/impementasi RUU Pornografi justru akan berdampak pada munculnya potensi-potensi konflik horizontal bahkan vertikal yang mengancam persatuan bangsa dan keutuhan NKRI.

2. Prinsip-prinsip dasar tata pemerintahan yang baik (penyelenggaraan good governance) proses pembahasan dan upaya politik untuk melegislasi RUU Pornografi oleh DPR RI –TIDAK didasari oleh niatan yang mulia. Yakni, tidak transparan dan tidak partisipatif. Hal itu merupakan preseden buruk yang semakin memperparah citra parlemen di mata publik.

3. RUU Pornografi –TIDAK mencerminkan semangat kebersamaan seluruh komponen bangsa Indonesia, mengingat keberagaman budaya bagi masa depan bangsa Indonesia adalah suatu keniscayaan. Padahal saat ini, masyarakat membutuhkan kepercayaan, khususnya dari kalangan
legislatif, eksekutif, dan yudikatif yang mampu bekerjasama dengan berbagai komponen masyarakat sipil untuk merestorasi semangat persatuan dan kesatuan di tengah arus perubahan global.

4. Persoalan pornografi tetap merupakan concern bersama seluruh masyarakat Indonesia, maka regulasi yang berkenaan dengan upaya untuk menangkal pornografi dapat dilakukan dengan merestorasi perangkat-perangkat hukum yang telah tersedia. Sehingga tidak terjadi tumpang tindih di dalam mekanisme penyelenggaraannya yang justru dapat mengancam hak-hak asasi manusia (HAM). Hal tersebut didasari oleh kepentingan untuk menghargai perbedaan antar individu, antar-kelompok, dan antar-golongan di dalam masyarakat dengan semangat merawat ke-Bhinneka Tunggal Ika-an Indonesia.


Dengan beberapa pertimbangan di atas, maka: "Forum Yogyakarta untuk Keberagaman (YuK!) menyatakan 'MENOLAK' disahkannya RUU Pornografi".

Yogyakarta, 22 September 2008


baca selengkapnya

16 September 2008

Penemuan Baru Cara Membunuh Rakyat Miskin


Innalillahi wa inailaihi rajiun…
Sedih
Kaget
Bingung
Marah
Bulu kuduk saya benar-benar berdiri ketika saya pulang buka puasa dan melihat tayangan di televisi. Dua puluh satu orang tewas di Pasuruan, Jawa Timur. Semuanya perempuan. Semuanya meninggal karena menjadi korban, entah terinjak-injak atau kehabisan oksigen, saat antri untuk mendapatkan zakat. Bayangkan! Antri mendapatkan zakat harus ditebus dengan nyawa…
Numbness
Tadi pagi saya berbincang-bincang dengan beberapa kawan di kantor. Sambil membuka-buka koran yang semuanya menaruh berita duka di Pasuruan di halaman depan. Lantas teman saya berkata, “Yang aneh tuh, masak orang-orang yang lagi gali lubang kuburan buat korbannya tuh nggak kelihatan sedih, malah ketawa-tawa, kesannya kayak tragedinya tuh cuma berlalu begitu aja.” Saya lantas ingat ceritanya Mas Iwan Piliang, pas pelatihan Jurnalisme sebulan yang lalu. Dia bercerita tentang pengalamannya memberikan sumbangan kepada pemulung sampah yang ditanggapi dengan sangat dingin oleh si penerima sumbangan. Kesannya tidak tahu terima kasih. Tapi, sungguh, mereka memang benar-benar tidak tahu bagaimana caranya berterima kasih, mereka sudah lupa rasanya terharu, rasanya sedih, rasanya bahagia. Mereka lupa bagaimana caranya mengekspresikan diri karena tidak ada waktu buat mereka untuk itu. Yang harus mereka pikirkan setiap detik dalah bagaimana cara bertahan hidup. Atau mungkin berapa kali mereka melihat kemunafikan orang-orang yang sok berbuat baik padahal ada udang di balik batu.
Numbness atau kekakuan emosi, biasanya dialami oleh orang-orang yang mengalami trauma berat, diterpa badai besar. Namun tak usah badai, tetesan-tetesan air terus meneruspun bisa meluluhlantakan batu. Kerasnya kehidupan telah membuat banyak orang kehilangan cara berpikir sehat (dalam Islam saya pernah mendengar kalimat bahwa kefakiran itu mendekati kekafiran), termasuk untuk mendapatkan uang. Saya terhenyak ketika tahu uang zakat yang dibagikan besarnya “hanya” Rp. 20.000,- per orang (sebelumnya dijanjikan Rp. 30.000,- tapi pihak pemberi zakat membuat keputusan baru setelah begitu banyaknya orang yang meminta zakat). Saya bilang “hanya” karena bagi saya, uang itu hanya cukup untuk makan 1 hari (bahkan mungkin bagi orang lain uang itu hanya cukup untuk membeli segelas air putih dinginnya saja). Tapi bagi mereka?
Kemiskinan dapat mendorong manusia untuk melakukan apapun. Tindak kriminal sampai antre zakat berbuah kematian. Gak cuma antre zakat… coba lihat pas pembagian BLT lah, apalah, kalau nggak kisruh, kayaknya ada yang kurang. Nah pertanyaannya, kemiskinan itu tanggung jawab siapa? Sang Haji, yang (mungkin) niatnya baik tapi sayang malah bikin orang kehilangan nyawa, mungkin merasa bertanggung jawab terhadap kemiskinan yang ada di daerahnya. Ya mungkin beliau merasa perlu memberikan 2,5% dari kekayaannya di bulan puasa ini. Lumayan, pahalanya kan dobel bel bel. Apalagi kalau uangnya hasil beliau ngasih ceramah dimana-mana (tau sendiri lah harga ustadz kondang sekali panggil berapa, yang belum kondang ya dikurangi dikit-dikit lah), pahalanya tambah bel bel bel… (saya sebenarnya tidak tahu pasti pekerjaan sang haji apa)
Salah Siapa?
Saya gemas melihat berita itu. Sama gemasnya pas saya menemukan iklan sebuah partai berwarna biru dengan segitia aneh di tengahnya, dipampang di halaman 0 (karena memang menutupi halaman depan) surat kabar terbesar di negeri ini, yang langsung saya sobek dan saya buang ke tempat sampah. “Ganggu aja! Nutupi tanggal terbit korannya!” saya bilang begitu ketika teman saya mau memarahi saya.
Tragedi di Pasuruan menimbulkan pertanyaan, salah siapakah sebenarnya ini? Mau fair? Saya tunjuk langsung aja: Negara. Kenapa saya bilang begitu, ini alasan saya, dari mulai yang paling simple sampai yang rumit, mungkin ngawur, jadi boleh dikritik:
1.  Negara tidak mampu membudayakan budaya antre yang baik dan benar. Ya.. gimana mau masyarakatnya ngantre, orang kursi aja direbutin rame-rame sama pejabat. Mbok ngantre pak, bu… Cara membudayakannya? Ya dibuat sistem lah. Di bank, di pom bensin, di McD, di Hero aja orang bisa ngantre karena sistemnya tidak memungkinkan orang berebutan. Coba kalau ibu-ibu di Pasuruan itu ngantre tertib…
2.  Negara tidak bisa mengatur subsidi silang dari orang-orang berduit dengan orang kekurangan duit. Ya maklum, pejabatnya aja ngerasa kuraaaaang terus walau udah dikasi laptop, mobil, rumah, sampai piknik ke luar negeri. Coba kalau orang-orang kaya mau bayar pajak sesuai ketentuan, plus zakat-nya, gak cuma pas bulan puasa. Coba kalau ibu-ibu di Pasuruan itu dapat bantuan rutin tiap bulan…
3.  Negara tidak bisa mengatasi kemiskinan. Bukannya membuka lapangan kerja, malah sibuk jual asset negara ke pihak asing, malah harga terus-terusan dinaikin. Untungnya buat siapa? Jelas bukan buat ibu-ibu di Pasuruan dan rekan-rekan senasibnya. BBM dinaikin, terus bikin program BLT lah… Ya nggak ngedidik namanya. Bukannya dari kecil kita diajarin, daripada ngasih ikannya, lebih baik kita kasih pancing dan kail. Meskipun angka kemiskinan di Indonesia aja nggak jelas karena kriterianya yang sengawur pemerintahnya, bukan berarti kalau, “Saudara sebangsa setanah air, angka kemiskinan di Indonesia menurun tahun ini, berarti kita… bisa enjoy karaokean! Hore! Hore!” Goblok. Tetap ada aja yang hidup miskin, dan mereka tetap harus diperhatikan (Inga-inga Pasal 34 UUD 45 dan halo apa kabar soal jaminan hak azasi manusia) Coba kalau ibu-ibu itu tidak miskin…
4.  Negara terlalu banyak korupsi. Ini nih mungkin yang bikin Sang Haji tidak percaya, tidak mau memberikan zakat lewat badan amil. Departemen Agama pernah menduduki posisi tertinggi di tangga lagu perkorupsian! Bayangkan! departemen yang kebanyakan isinya ngaku ustadz! Weleh… Ini juga yang bikin kas negara rugi, terus hasilnya banyak warga yang tadinya nggak miskin jadi miskin, yang miskin makin miskin. Coba kalau ibu-ibu itu tidak tinggal di negara penuh koruptor…
5.  Nah, sekarang baru saya mau nyalahin pihak Sang Haji dan panitianya, jelas salah. Bikin acara nggak siap (saya sama teman iseng menghitung. Katanya mereka menyediakan Rp. 50 juta, setelah diitung-itung, dengan uang segitu terus dibagi per kepala Rp. 30.000, berarti cukup buat 1.667 orang. Tau berapa banyak perempuan yang mengantre? 5.000! jelas nggak siap), nggak laporan sama pihak berwajib (padahal itu kan mengumpulkan massa), dan terakhir cuma nyari gampang. Kalo emang mau bagi-bagi rezeki lebih bagus datengin aja rumah penduduk satu-satu, lebih bagus lagi kalau jangan sampai ada orang lain yang tau, capek deh. Kok ya tega gitu nenek-nenek umur 65 tahun dibiarkan ngantre dari jam 6 pagi sampai kehabisan oksigen? Saya sih mencium ada “sesuatu” yang diinginkan dari pengumpulan massa itu. Hussh! Bulan puasa gak boleh suudzon. Kalau sampai Pak Haji and the gank gak diusut secara hukum… wah tambah lagi muka jelek hukum Indonesia.
baca selengkapnya

6 September 2008

Salah Kaprah: Hari Jilbab Internasional


Lagi-lagi saya (akan) sok tau soal agama… tapi ya bagaimanapun, saya tercekat begitu membuka koran pagi ini. Ada aksi bagi-bagi 1000 jilbab di kota Yogyakarta (sayang, saya sendiri tidak sempat melihat). Aksi itu dilakukan untuk memperingati Hari Jilbab Internasional tanggal 4 September 2008. Saya baru tahu ada peringatan macam itu. Katanya, peringatan ini untuk mengenang kejadian di Perancis beberapa tahun silam.
Pada tahun 2004, pemerintah Perancis sempat mengeluarkan larangan pemakaian jilbab dan atribut agama ke sekolah. Kebijakan ini lalu ditentang oleh banyak orang di banyak negara, tidak hanya oleh kaum muslim, tapi juga para aktivis HAM.
“Lha iya kalau yang dibagiin terus mau pake jilbabnya, kalau nggak?” komentar saya pertama kali. Teman saya yang membaca koran berbeda namun dengan berita yang sama hanya tersenyum. ”Aneh-aneh aja ya...” komentarnya singkat.
Saya merasa ada salah paham dalam hal jilbab berjilbab ini. Pertama, untuk peringatan hari jilbabnya itu. Bagus memang, dilakukan untuk memperingati hak azasi manusia dalam berperilaku sesuai keyakinan masing-masing. Setahu saya, hak azasi manusia itu adalah hak yang individual. Artinya, setiap orang memiliki hak untuk mendapatkan atau melakukan sesuatu. Salah satunya adalah hak untuk memeluk agama. Konsekuensinya adalah hak untuk beribadah, bertutur, dan berperilaku sesuai agamanya tersebut. Pelanggaran terhadap HAM jika ada sebuah sistem atau golongan yang tidak menghargai hak tersebut. Contohnya ya kebijakan di Perancis itu. Peringatan International Hijab Muslimah Solidarity lalu dilakukan untuk menunjukkan kepedulian terhadap kebebasan beragama serta mencegah terjadinya pelanggaran-pelanggaran serupa di kemudian hari.
Dari situ saja sudah berbeda tujuannya. Yang satu sisi memperjuangkan bagaimana agar setiap orang dihormati atas segala perbedaan dan kebebasan yang dimiliki, kok ya di sisi lain (dalam aksi 1000 jilbab itu maksudnya) malah memperjuangkan berdirinya sebuah nilai. Malah promosi keseragaman.
Saya coba analogikan. Misalnya, pada suatu pemilihan walikota, saya tidak diperbolehkan mencalonkan diri. Setelah ditelusuri, alasannya ternyata karena saya kidal, dan ke-kidal-an tidak bisa diterima di kota saya karena dianggap tidak sopan. Setelah perjuangan mati-matian, menggalang massa, melakukan negosiasi segala macam, akhirnya saya lolos seleksi. Mungkin setelah itu akan diperingati Hari Kidal di kota saya. Nah, apakah peringatannya adalah dengan mengajak semua orang untuk bisa menulis dengan tangan kiri? Tentu tidak. Bayangan saya, bentuk peringatannya adalah dengan menekankan: hormati hak-hak orang kidal, orang kidal juga punya kesempatan sama. Saya tidak bisa memaksakan orang lain untuk jadi kidal juga. Hak setiap orang untuk kidal atau tidak kidal. Itulah hak azasi manusia.
Saya jadi teringat ketika saya mengobrol di suatu sore dengan teman-teman Youth Forum yang masih berseragam putih abu-abu. Beberapa teman perempuan mengenakan jilbab hanya di sekolah, karena memang peraturan di sekolah demikian. Ada sekolah yang mewajibkan (karena memang sekolah berbasis Islam), ada yang ’menghimbau’ dengan tekanan-tekanan tertentu dari guru. Dan itu terjadi di sekolah negeri! Sekolah yang notabene milik umum, siapapun, mau Islam, Hindu, Jawa, Sunda, kidal.
”Iya mas, kita kalau tidak pakai jilbab biasanya diceramahi guru ’udah dikasih kuping, dikasih mata, tinggal pake. Eh disuruh pake jilbab aja susah!’ Disindir-sindir gitu. Kalau yang non muslim sih emang nggak disuruh pakai jilbab.” Berbeda 180 derajat dengan kasus di Perancis. Di sana, ada siswi mendapatkan kekerasan dengan dilarang memakai jilbab ke sekolah. Sementara di kota ini, banyak siswi yang justru mendapatkan kekerasan karena tidak memakai jilbab! Jika kasus yang pertama kemudian menang atas nama hak azasi manusia, lantas bagaimana hak azasi manusia diterapkan untuk kasus siswi-siswi sekolah negeri yang ’diwajibkan’ berjilbab? Untuk kasus pertama berarti negosiasinya adalah, meskipun berjilbab, juga bisa bersekolah dengan nyaman. Nah, untuk kasus kedua, meskipun tidak berjilbab, bisakah bersekolah dengan nyaman?
Salah paham kedua soal jilbab berjilbab ini adalah penafsiran atas agama Islam yang masih bias dengan budaya Arab (entah berapa kali saya menyinggung soal ini). Kita tentu tahu bagaimana orang Arab berpakaian. Lantas itu yang banyak orang Islam tiru. Sepanjang pemahaman saya, kewajiban berhijab pada awalnya diperuntukan bagi istri-istri Nabi Muhammad. Saya kutip tulisan Siti Musdah Mulia yang memang lebih berkompeten soal urusan Islam dibanding saya:
-- Satu-satunya ayat Al-Qur’an yang secara eksplisit menggunakan istilah jilbab adalah ayat 59 surah al-Ahzab: “Wahai Nabi, katakanlan kepada para isterimu dan anak-anak perempuanmu, serta para perempuan mukmin agar mereka mengulurkan jilbabnya. Sebab, yang demikian itu akan membuat mereka lebih mudah dikenali sehingga terhindar dari perlakuan tidak sopan. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun dan Maha Penyayang.”
Para ulama sepakat bahwa ayat tersebut merespon tradisi perempuan Arab ketika itu yang terbiasa bersenang ria. Mereka membiarkan muka mereka terbuka seperti layaknya budak perempuan, mereka juga membuang hajat di padang pasir terbuka karena belum ada toilet. Para perempuan beriman juga ikut-ikutan seperti umumnya perempuan Arab tersebut. Kemudian mereka diganggu oleh kelompok laki-laki jahat yang mengira mereka adalah perempuan dari kalangan bawah. Mereka lalu datang kepada Nabi mengadukan hal tersebut. Lalu turunlah ayat ini menyuruh para isteri Nabi, anak perempuannya dan perempuan beriman agar memanjangkan gaun mereka menutupi sekujur tubuh.
Memakai jilbab bukanlah suatu kewajiban bagi perempuan Islam. Itu hanyalah ketentuan Al-Quran bagi para istri dan anak-anak perempuan Nabi, dan semua perempuan beriman di masa itu untuk menutup tubuh mereka atau bagian dari tubuh mereka sedemikian rupa sehingga tidak mengundang kaum munafik untuk menghina mereka. Jadi illat hukumnya adalah perlindungan terhadap perempuan. Jika perlindungan itu tidak dibutuhkan lagi karena sistem keamanan yang sudah demikian maju dan terjamin, tentu perempuan dapat memilih secara cerdas dan bebas apakah ia masih mau menggunakan jilbab atau tidak--

Beberapa kalangan, terutama dari arus feminis, menganggap jilbab adalah salah satu bentuk kontrol atas tubuh perempuan. Lagi-lagi dalangnya adalah budaya patriarki. Para patriark ketakutan jika perempuan tidak menutupi tubuhnya, banyak laki-laki yang akan tergoda. Lha... yang nafsu siapa, yang jadi korban siapa.
Saya dulu punya kucing. Nalurinya kucing ya kalau ada ikan, mesti langsung diembat. Mana dia mau mikir itu ikan buat siapa. Tiap ada ikan saya sembunyikan. Tapi kok ya dia tau saja di mana saya menyimpannya. Ditaruh di atas lemari, si kucing naik. Ditutup pakai tudung saji, si kucing bisa membuka dengan kuku-kukunya. Beruntung kalau saya sembunyikan dalam lambung, si kucing tidak mencakar-cakar perut saya. Akhirnya daripada pusing mikirin gimana memperlakukan ikan, saya lebih baik melatih si kucing. Tiap dia mendekati ikan yang bukan miliknya, saya jewer kupingnya. Begitu terus. Lama kelamaan, cukup dengan menujukkan tanda jeweran, si kucing diam tak berkutik. Oya, saya juga harus memastikan perut si kucing selalu terisi jadi dia tidak perlu repot-repot mencari cara mendapatkan makanan lewat nyolong ikan.
Saya tidak bermaksud merendahkan perempuan dengan menganalogikannya dengan ikan. Sungguh. Perempuan bukan pemuas nafsu seperti ikan, nasi, atau semacamnya. Fokus cerita saya lebih pada sang kucing. Tentu tidak ada juga laki-laki yang terima begitu saja disamakan dengan kucing. Kecuali kalau memang masih butuh jeweran untuk mengendalikan nafsu kita.
baca selengkapnya

5 September 2008

KPI feat. MUI: Larang Tayangan “Banci” di TV


Jam 10.00 malam, saya baru pulang dari RRI. Diajak siaran tentang isu yang sedang santer, larangan penayangan “banci” di Tv selama Ramadhan yang didengungkan KPI dan didukung MUI. Saya diminta memberikan pendapat dari aspek psikologi bagaimana pengaruhnya terhadap anak, dan sebagainya.
Beberapa hari belakangan, isu ini juga sempat menjadi topik perbincangan di milis jurnal perempuan dan womenlbt. Saya hanya membaca sekilas. Barulah ketika saya diminta sebagai narasumber di radio pemerintah tersebut, saya buka-buka lagi milis itu, plus nyari-nyari berita di internet yang ada sangkut pautnya.
Awalnya saya pikir KPI (Komisi Penyiaran Indonesia) akhirnya merespon juga desakan kawan-kawan di gerakan LGBTQ mengenai penayangan tokoh banci (laki-laki yang berdandan perempuan, bukan waria sebenarnya) di sejumlah acara di televisi yang cenderung merendahkan komunitas waria. Waria selalu ditampilkan sebagai tokoh kocak, penuh banyolan. Intinya, hanya jadi bahan tertawaan. Jelas ini harus dikritisi. Harus digugat.
Namun, ketika saya tahu kebijakan KPI ini diboncengi MUI, saya jadi khawatir. Betul saja, larangan penayangan tokoh waria di TV yang dikeluarkan KPI lebih ditekankan pada pengaruhnya pada psikologis anak-anak. Banyak pihak mengklaim, termasuk orang tua, tokoh-tokoh itu akan diimitasi anak-anak. Mereka ketakutan jika anak-anak mereka “keterusan” ngiku-ngikut waria. Dalih agama tak ketinggalan menjadi bahan pertimbangan. Akh, lagi-lagi...
Di usia 3-6 tahun, anak-anak memang sedang mengalami perkembangan yang luar biasa. Mereka belajar tentang banyak hal di lingkungannya. Semua diserap. Beberapa (yang menarik perhatian) kemudian ditiru. Bahasa kerennya, modeling, yang menjadi kunci teori belajar sosial pada manusia. Belajar berdasarkan pengamatan dan pemahaman terhadap lingkungan sosial. Wajar saja, jika mereka kemudian meniru tokoh-tokoh yang ada di televisi, termasuk tokoh waria. Apakah ini perlu dikhawatirkan berkaitan dengan perkembangan si anak selanjutnya? Tergantung. Tergantung bagaimana anak mendapatkan pemahaman selanjutnya mengenai waria, mengenai dunia akting, mengenai cara menghargai orang lain yang berbeda, mengenai seksualitas. Itu tanggung jawab orang tua.
Nah, sudahkah sebagai orang tua, kita memberikan pemahaman itu? Ataukah cukup dengan menyalahkan televisi, urusan selesai? Kalau untuk urusan “ketularan”, transgender bukan penyakit menular. Jangan khawatir. Menurut saya, kalau anak Anda memang tidak punya potensi transgender ya tidak akan ”jadi” waria. Kalaupun memang punya potensi, tugas Anda sebagai orang tua, sekali lagi, memberikan pemahaman yang BENAR tentang seksualitas, transgender, dan tentu saja, tetap memberikan kasih sayang sebagai orang tua.
Waria. Saya baru saja berkegiatan bersama mereka di acara pembukaan Jogja Fashion Week 2008, pekan silam. Mereka jelas tidak semenyeramkan bayangan orang. Memang ada, waria yang genit, suka maling, susah diatur. Tapi ayo kita tengok teman atau saudara kita yang bukan waria, ada yang genit juga kan? Ada yang suka maling juga? Yang susah diatur? Intinya sama saja. Mereka punya potensi, jelas. Saya sampai geleng-geleng kepala melihat kemampuan mereka mendandani diri mereka, menentukan bahan dan warna kain yang akan dipakai. Teman perempuan saya sampai mengaku kalah dalam soal itu.
Eits... tapi tunggu. Potensi mereka bukan cuma di urusan dandan, fashion, dan dunia hiburan. Saya kenal beberapa waria yang pintar menulis. Saya juga sempat baca ada waria yang mencalonkan diri sebagai anggota legislatif. Sekali lagi, intinya sama. Masalahnya adalah, mereka tidak pernah diberikan hak dan kesempatan yang sama dengan warga negara lain. Ada teman waria yang bisa dapat gelar sarjana. Tapi lebih banyak lagi yang boro-boro buat kuliah, untuk makan sehari-hari saja mereka harus membanting tulang. Keluarga sudah tidak mau tahu dengan keadaan mereka. Apa kabar negara yang seharusnya menjamin semua warganya mendapatkan hak azasi mereka?
Nasib teman-teman waria yang berada di daerah yang masih kental mempertahankan budaya Nusantara, mungkin lebih baik. Banyak budaya-budaya Nusantara yang mengizinkan fenomena transgender ini. Bahkan di suatu daerah di Sulawesi (mungkin di banyak daerah lain juga), dikenal istilah bissu, orang yang dianggap suci, memegang peranan vital dalam upacara-upacara adat, karena memiliki semua elemen: laki-laki dan perempuan, maskulinitas dan femininitas.
Sayang, kian hari kita kian dicecar budaya Barat. Yang saya maksud benar-benar baratnya Indonesia. Bukan baratnya bule-bule yang sering jadi kambing hitam. Agama dijadikan senjata untuk mempreteli budaya-budaya asli Nusantara. Esensi agama sebagai pembawa damai di dunia, mengendur karena jauh lebih mementingkan ritual dan kenampakan. Kehilangan sisi kemanusiaannya, termasuk dalam menghadapi fenomena waria atau perbedaan-perbedaan lainnya. Sebagai sebuah bangsa, lagi-lagi kita dijajah, kali ini oleh sebuah sistem agama yang dipandang secara sempit. Itu pendapat saya. Anda?

Ngomong-ngomong, banci kamera dilarang tayang di TV juga ga?
baca selengkapnya