14 Desember 2014

Pesan yang Tak Sampai dari Supernova

Sebelumnya saya ucapkan selamat kepada Dee yang bukunya telah menjelma menjadi film layar lebar. Terlepas dari kekecewaan saya (masih gemas luar biasa dengan tokoh Diva), saya senang karena karya tersebut bisa diperluas pasarnya. Ya, sebagai fondasi Supernova, Kesatria, Putri dan Bintang Jatuh bukan buku yang mudah dipahami karena kreativitas sang penulis mengawinkan istilah sains dan kata-kata romantis, ide besar tentang alam dan pengalaman sekian manusia yang walaupun hanya bagian titik-titik kecil dari ide besar itu tapi masing-masing saling terhubung. Jadi mungkin saja ada orang yang sudah membaca tapi tidak dapat esensinya, atau baru baca satu bab langsung tutup buku karena rasa baca buku pelajaran fisika, maka film ini bisa jadi alternatifnya.


Seperti satu narasi dalam bagian akhir film (saya lupa tepatnya, itu kelemahan saya yang paling menyebalkan), “Bagi Anda yang terbiasa melihat dunia hitam dan putih…”, Supernova memang menyajikan banyak fenomena yang dianggap masih tabu oleh masyarakat kita: pasangan sesama jenis, prostitusi, perselingkuhan. Cara Dee menghadirkan fenomena-fenomena itu menarik, memang mendobrak pola pikir hitam-putih kebanyakan orang. Misalnya saja, gay yang seringkali dilekatkan dengan hedonisme dan sering gonta-ganti pasangan. Dee justru menggambarkan tokoh gay yang berpasangan bertahun-tahun, tidak terjebak pada ‘mengapa aku seperti ini?’, party, fashion dan seks. Juga dari tokoh Diva, yang sebagai pekerja seks high-class, Dee ingin menunjukkan suatu otonomi atas tubuh seorang individu. (Tentu ini menjadi catatan karena bisa dijadikan senjata bagi para moralis menggeneralisir semua fenomena prostitusi)

Sayangnya, dobrakan yang coba ditawarkan oleh Dee tidak mendapatkan respon semestinya dari penikmat Supernova. Pesannya tidak sampai. Setidaknya begitu yang saya rasakan saat saya menonton filmnya kemarin sore. Cekikikan serta lontaran “iiih..” dan “jijik”, saat Reuben dan Dimas menunjukkan afeksi di antara mereka, mengisyaratkan saya satu hal: masyakarat belum siap dengan hal ini.

Namun yang paling membuat saya terganggu adalah saat adegan Arwin mengajak, secara tersirat, untuk berhubungan seks dengan istrinya, Rana, yang sedang tidak menginginkan hal tersebut karena hatinya sudah terpaut pada Ferre. Rana berteriak dalam hati, “Re, tolong aku. Aku diperkosa.*” Kebanyakan penonton, dan kebanyakan perempuan, tertawa. Heran saya.

Tidakkah mereka tahu adanya perkosaan dalam rumah tangga? Ya, itu terjadi ketika salah satu pihak tidak menginginkan berhubungan seks, tapi pihak lain tetap memaksa, dengan cara apapun sehalus apapun. Ini bukan lelucon. Saya jadi bertanya pada perempuan-perempuan penonton itu, jika mereka memang belum pernah melakukan hubungan seks, pernahkah setidaknya membayangkan apa rasanya harus mengikuti kehendak suami saat diri tidak menginginkan? Apakah hanya alasan sakit saja yang bisa membuat seorang istri dapat menolak ajakan suami? Ah ya, dalam agama bukankah istri harus melayani suami, dalam kondisi apapun ya, daripada dilaknat malaikat sampai pagi? Salah nonton film sepertinya, Ayat-ayat Cinta saja kalau begitu. 

Pertanyaannya saya justru, jika untuk hubungan seksual saja Rana tidak asertif pada suaminya, lalu apa yang menjadi landasan rumah tangga mereka? Komunikasi yang saling? Saya rasa tidak.

Dugaan saya yang lain adalah, tokoh Rana yang menjalin hubungan dengan laki-laki yang bukan suaminya, dianggap telah menurunkan martabatnya sendiri, setidaknya mungkin di hadapan para penonton seperti itu. Sehingga apa yang dialami dan dirasakan Rana akan dianggap main-main dan dikomentari “Ya salahnya sendiri…” termasuk saat merasa dirinya diperkosa oleh suami sendiri. Apakah saya saja yang terlalu sensitif dengan isu perkosaan ini? Bisa jadi, tapi bukan berarti tanpa alasan. 

Perkosaan bukan hal main-main. Saya bahkan sedapat mungkin tidak menggunakan kata tersebut untuk berkelakar, karena setiap kali mendengar kata perkosaan yang saya bayangkan adalah seseorang yang tersiksa tidak hanya secara fisik tapi juga mental. Maka ketika ada orang yang mengatakan, “Saya diperkosa” saya merasakan pedih yang luar biasa dalam, luka batin yang akan sulit untuk disembuhkan.

Well, jika memang dugaan-dugaan saya itulah yang menjadi dasar dari respon penonton terhadap adegan Rana dan Arwin tersebut, berarti ini adalah pekerjaan rumah bagi para pejuang hak asasi manusia, terutama hak perempuan. Faktor X dari penerima pesan film Supernova memang terlalu kompleks, dan tentu kita paham bahwa pola pikir masyarakat yang sudah mapan tidak dapat diubah begitu saja hanya dengan satu karya novel atau film.

Jika respon ini terjadi karena medianya, karena kehilangan daya untuk menggiring emosi penikmat karya karena proses adaptasi dari buku ke film (yang memang tidak mudah), ya ini pekerjaan rumah bagi para pembuat film. Terutama bagi yang ingin menggebrak cara-cara pikir tradisional.

Tapi saya sungguh-sungguh berharap bahwa respon tersebut memang tidak dikehendaki oleh sang pengirim pesan, sang pencipta karya. Bahwa apa yang dirasakan oleh Rana tersebut tidak dimaksudkan untuk main-main.


*Keping 9, Kestaria, Putri dan Bintang Jatuh

baca selengkapnya

12 Desember 2014

Email dan Etika

Beberapa hari lalu seorang kawan membuat status di akun jejaring sosialnya yang intinya menyindir seseorang –entah siapa, tak ia sebutkan, tak penting juga buat saya tahu- yang tak kunjung membalas email yang ia kirimkan. Padahal, si terkirim email punya gawai canggih yang terhubung dengan internet setiap waktu.

Lain lagi di kantor saya, ada satu staf yang mendapat teguran gara-gara caranya berkomunikasi melalui email. Tampak sepele sebetulnya: kegemarannya menggunakan akun pribadi dibandingkan dengan akun email kantor, penggunaan kata yang dianggap kurang sopan dan tata bahasanya yang membingungkan, panjang lebar tapi berputar-putar.

Nah, bertepatan dengan Jumat sore nan kelabu dan karena posisi saya di kantor membuat saya beberapa bulan lalu ketiban merampungkan bagian komunikasi internal dan eksternal, termasuk etikanya sebagai pedoman organisasi, maka dengan ini saya hendak berbagi apa yang telah saya dapatkan, baik berdasarkan pengalaman maupun hasil berselancar di jaring-jaring internet. (Luar biasa bukan bahasa saya?)

Intinya, berkomunikasi melalui email tetap butuh etika. Namanya etika, bisa jadi setiap budaya dan lingkaran sosial akan berbeda. Pada dasarnya sama saja seperti kita berkomunikasi langsung dengan orang alias tatap muka. Itu yang biasanya saya jadikan patokan beremail ria secara sopan dan santun. Taruh kata saat kita mengirim email kepada teman lama soal rancangan bisnis yang akan dibangun bersama, tentu berbeda dengan email kita untuk meminta informasi lebih detail soal produk asuransi. Saat beremail dengan teman, kita bisa bayangkan duduk bersamanya di sebuah coffee-shop sambil diselingi haha-hihi. Masak iya seperti itu juga saat berbicara dengan petugas asuransi? Ya, kecuali kalau petugas asuransinya ya sahabat kental kita. Oke, berikut poin-poinnya, dan ya, saya sengaja hanya fokus pada etika berkomunikasi dalam konteks profesional alias dunia kerja, walaupun bisa saja dipakai untuk urusan lain.

  • Kebanyakan organisasi atau perusahaan saat ini sudah menyediakan akun email untuk masing-masing stafnya dengan server organisasi atau perusahaan. Gunakan akun ini untuk semua urusan pekerjaan dan yang berkaitan dengan organisasi atau perusahaan kita. Tetap gunakan akun pribadi untuk email-email yang personal, untuk membuat akun jejaring sosial atau untuk menjadi anggota mailing-list backpacker-an atau pencarian jodoh. Akun email organisasi atau perusahaan menunjukkan bahwa kita memang bagian dari organisasi atau perusahaan tersebut. Ia menjadi identitas pertama kita saat kita hadir membawa nama lembaga. Bayangkan, kita akan presentasi proposal proyek di sebuah perusahaan besar dan kita datang dengan bersandal jepit dengan celana jeans belel. Tidak salah memang. Tapi ya… tetap ada tapinya.
  • Gunakan kalimat lengkap, jelas dan hindari singkatan-singkatan yang tidak baku. Komunikasi adalah menu sehari-hari kita dalam bekerja, bukan? Tidak jarang komunikasi ini berpengaruh pada atmosfer kerja. Drama yang muncul di internal organisasi juga ada kalanya muncul karena kesalahpahaman dalam berkomunikasi. Juga saat kita berkomunikasi dengan orang di luar lembaga kita. Sadari bahwa setiap orang memiliki kapasitas, latar belakang dan sensitivitas yang berbeda-beda. 
  • Jangan lupa memberi judul untuk setiap email yang kita kirimkan karena selain memudahkan penerima email mengetahui maksud email kita, risiko terdeteksi sebagai spam juga bisa berkurang. Sama pentingnya adalah melengkapi email dengan pengantar dan penutup, termasuk saat meneruskan email atau melampirkan dokumen. Ibarat kita masuk ruangan orang lain, masak iya kita ujug-ujug masuk dan taruh dokumen di atas meja padahal si empunya ruangan duduk terus di kursinya.
  • Nah ini dia yang dialami kawan saya: balas email yang ditujukan kepada kita! Tidak perlu berpanjang-panjang jika memang tidak diperlukan, cukup dengan kalimat singkat bahwa maksud email sudah kita terima. Jika memang kita butuh waktu untuk mempelajari isi emailnya terlebih dahulu, bilang saja demikian. Tapi tidak perlu selalu membalas email yang di-CC kepada kita, kecuali, lagi-lagi, jika sangat diperlukan. Sama halnya dengan tidak perlu selalu “reply all” untuk email yang dikirimkan ke banyak orang pada waktu bersamaan. “Reply all” hanya dipakai jika semua orang membutuhkan jawaban kita.
  • Kita seringkali lupa jika setiap tanda baca memiliki arti sendiri. Demikian juga dengan penggunaan huruf kapital, bold dan warna-warni yang sering kali ditafsirkan berbeda oleh orang. 
Coba baca ini.
Coba baca ini!
Coba baca ini!
Coba baca ini!!!!
Coba baca ini?!!!
COBA BACA INI!!!

COBA BACA INI!!!

 
  • Emoticon? Walaupun sebaiknya dihindari, sebetulnya tergantung dengan siapa kita berkirim email. Terkadang ada yang menggunakan emoticon sederhana untuk lebih menunjukkan ekspresinya seperti :( atau :) saat mengirim email pada kolega. Bisa jadi atasan kita juga menggunakannya. Lebih peka saja dengan siapa kita beremail dan topik apa yang sedang dibicarakan.
  • Ingat, email hanya salah satu alat kita untuk berkomunikasi. Jika kita memang butuh jawaban segera dari orang yang kita kirimi email tapi tidak kunjung juga mendapatkan respon bak punguk merindukan bulan, segera saja temui atau hubungi lewat telepon. Siapa tahu yang bersangkutan sedang ada urusan yang jauh lebih penting atau mungkin ada di lokasi dengan koneksi internet kembang kempis.
  • Terakhir dan sebetulnya yang paling penting, sopan santun berlaku di mana pun, meski caranya berbeda. Lagi, lagi dan lagi, email hanya salah satu media untuk bisa berkomunikasi. Soal bagaimana caranya bertutur sopan, saya yakin tak ada satupun dari pembaca blog ini yang hidup dari kecil sendirian di tengah belantara. 


Have a nice weekend!
baca selengkapnya