1 Maret 2009

Oleh-oleh Workshop Kantor Berita


Dua hari yang lalu, saya ikut workshop. Rencananya lembaga tempat saya kerja mau mengembangkan kantor berita. Agak menyesal saya datang terlambat karena harus memfasilitasi sebuah forum dulu, karena begitu saya nongol,  sesi sudah mulai dengan pembicara Bang Ashadi Siregar. Tak apalah.. Kantor berita yang akan kami kembangkan adalah kantor berita dengan perspektif HAM, kesehatan reproduksi, seksualitas, dan gender. Yah.. karena kami kecewa dengan pemberitaan di media mainstream yang kebanyakan bias gender, diskriminatif, melanggengkan stigma, dan macam-macam lainnya. Di akhir sesi hari pertama kami diberikan masing-masing sebuah berita yang diambil dari berbagai macam sumber, yang dianggap masih stigmatif dan diskriminatif. Tugas kami adalah menganalisa berita tersebut.

Saya kebagian berita dengan judul "106 ABG Diciduk Polisi" (Buset.. dari judulnya aja udah ketahuan tuh berita kayak gimana). Ceritanya, di berita itu, ada sebuah cafe yang diduga sedang melangsungkan pesta miras. Datanglah polisi. Gak dapet bukti ada pesta miras, ujung-ujungnya, remaja (ABG? Baru Gede mulu kapan gede benernya?) ini dimintain kartu identitas. Karena pada gak bawa, ditangkaplah mereka. Lha.. ya kontradiksi.. katanya ABG, tapi kok mesti punya kartu identitas? Kartu pelajar maksudnya? Ada aja... Kesannya tuh polisi emang nyari-nyari..  Nah kok ya jurnalisnya juga tetep aja nulis berita kayak gitu. Ganti kek pake judul "Tidak Jadi Operasi Miras, Polisi Razia Kartu Identitas Biar Ada Kerjaan" (judul apaan nih panjang betul), terus jadiin cerita dodolnya para polisi itu buat berita. Tapi ya.. tar jurnalisnya yang malah ditangkap. Atau nggak, belum-belum redakturnya udah mencak-mencak gara-gara beritanya gak "seksi". Susah ya para jurnalis itu..

Kalau ingat prinsip pertama dari 9 Prinsip Jurnalisme yang berbunyi: Kewajiban pertama jurnalisme adalah pada kebenaran. Sayangnya, kebanyakan jurnalis memaknai point ini dari sisi kebenaran empiris dan legalitas saja (begitu kata Bang Ashadi). Artinya, jurnalis melihat bahwa ada sebuah fakta dan bagaimana kaitan dengan hukum positif yang ada. Padahal, ada kebenaran lain yang lebih universal, yaitu kemanusiaan. Ketika berita tentang razia terhadap perempuan pekerja seks, misalnya, jurnalis melihat bahwa ada fakta tentang razia tersebut, dan bagaimana pekerja seks telah melakukan pelanggaran hukum dan norma sosial. Akhirnya berita yang muncul  semakin memojokkan posisi perempuan pekerja seks, tidak berusaha untuk menampilkan sisi yang lebih manusiawi. Secara teknis, kemanusiawian ini bisa ditampilkan dari pemilihan kata yang tidak bias, tidak menghakimi, dan sebagainya. Lebih dalam lagi, tentu bagaimana membuat pemberitaan menjadi berimbang, dari sisi narasumber, dari aspek yang digali, dan semacamnya (wah wah.. berasa gampang aja jadi jurnalis itu..). Bukan hanya mencari narasumber dari pelaku razia (polisi, satpol PP, dkk) dan melihat dari cara pandang mereka saja.  Toh, prinsip kedua jurnalisme adalah: Loyalitas pertama jurnalisme adalah kepada warga masyarakat, yang berarti bukan pada pihak tertentu, apalagi penguasa.

Saya sempat berpikir, mungkin ada banyak jurnalis yang mencoba menulis dari sisi ini, sisi yang lebih manusiawi. Tapi mungkin nanti dianggap beritanya tidak netral, lebih memihak kelompok tertentu, tidak sesuai norma, dan lainnya. Atau ada yang berusaha netral tapi kesulitan melepaskan diri dari doktrin yang sudah berkembang di masyarakat. Sama kasusnya dengan  ilmu pengetahuan. Sepertinya, tidak ada yang bisa benar-benar netral. Para ilmuwan misalnya, tetap saja senetral-netralnya menyusun teori tetap ada pengaruh lingkungan sosialnya. Ujung-ujungnya, teorinya malah menguntungkan beberapa pihak dan merugikan lebih banyak pihak lainnya.
baca selengkapnya