12 Maret 2012

Lagi: Otak Kotor, Rok Mini Jadi Kambing Hitam

Belum ada satu pekan diperingati Hari Perempuan Internasional pada 8 Maret lalu. Belum pula saya sempat menulis tentang isu perempuan lagi. Eh, sekalinya saya buka update-an di group di akun jejaring sosial, ada satu link yang menggelitik kaki tapi bikin panas hati. Ssayang, saya baru buka hari ini. Tak habis pikir, tiga hari sebelum peringatan skala global itu, ternyata Ketua DPR Republik Indonesia, Marzuki Ali, membuat pernyataan:


"Kita tahu banyak sekali terjadinya perkosa, kasus-kasus asusila itu, karena perempuannya tidak berpakaian yang pantas sehingga membuat hasrat laki-laki menjadi berubah. Itu yang harus dihindari. Namanya laki-laki, pakaian tidak pantas itu menarik laki-laki, akhirnya berbuat sesuatu." Berita lengkapnya silakan dibuka di sini.


Pernyataan seperti ini bukan pertama kalinya dilontarkan pejabat publik. Sebelumnya,Fauzi Bowo juga pernah bikin pernyataan serupa yang menuai protes dari aktivis perempuan. Minta maaf juga akhirnya sang Gubernur.


Saya tak bermaksud menggurui Ketua DPR tentu saja. Kalau iya, sudah jadi pejabat pula saya ini. Saya hanya hendak mengajak kita semua berpikir lebih matang sebelum menggelar pengadilan pribadi atas kasus yang hanya kita lihat lewat berita. Apalagi jika kita pejabat publik yang sekali cuap bisa langsung naik cetak dan disebarkan ke seantero negeri.


Dalam kasus perkosaan, saya melihat itu awalnya kasus kriminal dan kekerasan berbasis gender (sebanyak apa kasus laki-laki yang diperkosa?). Namun ketika Negara tidak melakukan apapun, tidak memberikan perlindungan terhadap korban, kasus itu menjadi perkara struktural. Pelanggaran hak asasi manusia judulnya, termasuk kalau ada pejabat Negara yang justru menyalahkan korban. 


Terdengar berat? Mungkin. Tapi begini logikanya. Hak asasi manusia adalah hak dasar yang dimiliki oleh setiap manusia dan dijamin pemenuhannya oleh Negara. Pelanggaran terhadap hak asasi ini terjadi jika Negara mengabaikan warganya dalam memenuhi hak mereka. Dalam hal ini, kasus perkosaannya itu sendiri itu soal pidana dan kekerasan berbasis gender. Tapi ketika Negara membuat suasana menjadi lebih tidak menguntungkan bagi perempuan (yang seringkali menjadi korban), apalagi dengan menerbitkan sekian kebijakan yang justru mengontrol tubuh perempuan alih-alih otak laki-laki, Negara telah melakukan pelanggaran pada hak asasi manusia, hak perempuan. Perempuan tidak bisa berekspresi, sementara laki-laki mau ngapa-ngapain aja terserah udel. Mana jaminan rasa aman yang dijanjikan Negara dalam Undang-undang Dasar? Mengutip data Komnas Perempuan, ada sekitar 93 ribu perempuan yang mendapatkan kekerasan seksual (1998-2010) dan kasus kekerasan kedua terbesar (24%) terjadi di ruang publik yang seharusnya menjadi ruang yang aman bagi semua orang!


Jangan main-main, Republik kita tercinta ini sudah meratifikasi CEDAW (Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women) sejak hampir tiga puluh tahun lalu melalui Undang-undang nomor 7 tahun 1984! Entah kita tidak pernah tahu ada undang-undang tersebut atau kita tak paham bagaimana mengimplementasikannya, seringkali diskriminasi ini hanya diterjemahkan sekedar dalam area dunia kerja, politik dan semacamnya. Namun kurang masuk ke ruang-ruang sosial dan budaya. Padahal jelas, dari namanya saja: Penghapusan SEMUA BENTUK diskriminasi. Seringkali justru dalam interaksi-interaksi sosial, yang dianggap sudah membudaya, perkara diskriminasi ini seringkali kita temui. Gawatnya, pengaruh persepsi sosial yang bias gender yang ada di otak para pejabat tak jarang pula terbawa dalam kerja-kerja mereka dalam menentukan kebijakan. Contoh yang paling mudah adalah perkara bagaimana menangani prostitusi perempuan yang tidak menyentuh akar masalah yang sebetulnya adalah pola diskriminasi terhadap perempuan dalam sektor pendidikan dan ekonomi. Yang terjadi adalah aksi kejar-kejaran terhadap perempuan yang dilacurkan, ditangkap dan diminta bayar denda, belum lagi dapat kekerasan, termasuk seksual, dari aparat (saya menuduh tanpa bukti?).


Balik lagi ke masalah perkosaan dan etika berpakaian, mari saya coba menalarkannya dari sisi kita-kita saja, nggak usah bawa-bawa pejabat publik. Pertama, saya mau tanya dulu deh sama para laki-laki heteroseksual, apa iya bawaannya ingin memperkosa kalau melihat perempuan berpakaian mini? Fantasi seksual mungkin-mungkin saja, dan tidak ada yang bisa menggugat alam berpikir siapapun. Tapi sampai memperkosa? Kalau Pak Marzuki Ali bilang "karena perempuannya tidak berpakaian yang pantas sehingga membuat hasrat laki-laki menjadi berubah", saya kok percaya beberapa laki-laki tidak mengalami perubahan drastis dalam hasratnya sampai-sampai ingin memperkosa perempuan ya. Ya mungkin pemerkosa-pemerkosa itu yang bakal sepakat sama Pak Marzuki Ali terhormat, yang artinya...


Lagipula, seseksi apa sih pakaian korban yang diperkosa yang baru pulang dari kampus atau hendak pergi ke pasar?
baca selengkapnya