27 Mei 2012

Kebun Binatang (Seharusnya) Bukan Etalase

Hari ini saya diajak seorang kawan ke Ragunan. Ya, Ragunan yang kebun binatang itu. Saya langsung mengiyakan tawaran teman saya itu karena saya belum pernah mengunjungi kebun binatang yang terletak di daerah Pasar Minggu, Jakarta Selatan, tersebut. Dan terakhir saya ke mengunjungi kebun binatang adalah saat saya SMP, study tour ke Yogyakarta, dan mampir ke Gembira Loka. Plus, saya juga penasaran dengan Pusat Primata Schmutzer yang dimiliki kebun binatang ini.


Awalnya saya pikir tidak akan banyak orang yang datang ke sana. Saya pikir, kebanyakan orang Jakarta pada hari Minggu memilih untuk tinggal di rumah atau pergi ke pusat perbelanjaan yang lebih mudah dijangkau dari rumah mereka. Rupanya dugaan saya salah besar. Sampai-sampai saya berkomentar pada kawan saya:


"Ini sih bukan kebun binatang. Ini kebun orang!" saking banyaknya pengunjung! Segera saya sadar saat membeli tiket masuk yang harganya Rp. 4.000,- per orang, pastinya banyak warga Jakarta yang memanfaatkan wisata murah meriah, apalagi lingkungan tempat wisata tersebut hijau dan sejuk. Cocok untuk menghilangkan kepenatan setelah lima hari beraktivitas, sekalian mengajak keluarga mengenal lebih dekat dunia fauna.


Setelah berkeliling di Pusat Primata melalui gua buatan yang sangat panjang, saya dan kawan saya berkeliling melihat koleksi binatang yang dilindungi oleh kebun binatang tersebut. Ketika kami tiba di area harimau, kami melihat beberapa Harimau Sumatra yang ditempatkan dalam kandang yang terpisah-pisah. Segera saya mengagumi loreng-lorengnya yang cantik sekaligus menunjukkan kekuatan. Ironis sekali dengan nasibnya yang sekarang dikategorikan sebagai hewan yang terancam punah. Seekor harimau tampak berkeliling-keliling di kandangnya yang, menurut saya, sempit jika dibandingkan dengan hutan sebagai habitat aslinya. Sesekali ia menggulingkan badannya di atas rumput dan bermain dengan pelepah pisang kering. Di kandang lain, seekor harimau sedang asyik berendam di sungai buatan. Ada rasa kasihan saya rasakan. Juga sedikit mengernyitkan dahi, sama seperti saat saya melihat sebuah poster orang utan dengan tulisan: "Ragunan Rumah Kami." Benarkah?


Kebun binatang memang konsep yang masih menjadi pertanyaan yang berputar-putar dalam kepala saya. Sebetulnya saya cenderung tidak sepakat dengan konsep pengandangan binatang. Tempat hidup mereka jelas bukan di dalam kandang. Itu pula yang membuat saya saat dulu memelihara kucing, tidak pernah menaruhnya di dalam kandang, tapi melepasnya begitu saja, membiarkan dia bebas berkeliaran di dalam rumah, bahkan ke rumah tetangga juga hehe... Bagi saya, mencintainya bukan dengan mengagumi bulu-bulunya, memberinya makan dan melihat tingkah lucunya saja, tapi juga memberikannya kebebasan. 




Kondisinya tentu berbeda dengan beberapa hewan yang ada di kebun binatang. Habitat mereka sudah sedemikian rupa berubah sehingga alih-alih memberikan penghidupan, tapi justru mengancam keberadaan mereka. Harimau Sumatera ini misalnya. Hewan dengan nama latin Panthera Tigris Sumatrae ini, semakin terdesak oleh manusia, entah itu karena alasan perluasan lahan bangunan dan perkebunan di Sumatera, ataupun kelakuan oknum yang mengincar bulu cantiknya. Di alam liar, jumlahnya diperkirakan tinggal 400-an ekor saja. Masih lebih baik nasibnya dibandingkan saudara mereka, Harimau Bali dan Harimau Jawa yang sudah dinyatakn punah pada tahun 40-an dan 80-an. Harimau Sumatera yang tersisa tersebut kebanyakan tinggal di hutan-hutan lindung. Sayangnya, kadang perlindungan diterobos juga, lagi-lagi oleh oknum yang mengincar hewan ini.


Kebun binatang atau taman margasatwa mungkin bisa menjadi salah satu alternatif usaha untuk menyelamatkan keberadaan mereka. Itu terjadi juga di Ragunan. Setiap tahunnya, ada bayi harimau yang menjadi penghuni baru kebun binatang ini atau yang dilahirkan di tempat lain dari induk penghuni Ragunan. Untuk alasan ini, saya setuju dengan keberadaan kebun binatang dan taman margasatwa asalkan persiapan bagi bayi-bayi ini untuk masuk ke habitat mereka perlu direncanakan dengan matang, termasuk bagaimana membuat kondisi yang lebih kondusif bagi mereka, tak ada lagi ketakutan akan menjadi mangsa para pemburu liar. Boleh saya ibaratkan kalau kebun binatang hanya berfungsi sebagai shelter, bukan akan menjadi tempat tinggal mereka selamanya. Alasan demi melindungi mereka namun tanpa menyelesaikan akar permasalahan (pembalakan dan perburuan liar, pembangunan yang tanpa perencanaan matang dengan menghiraukan alam), hanya akan menjadi alasan belaka untuk mengecilkan keberadaan mereka dengan menempatkannya dalam etalase-etalase jeruji, menjadikannya sebagai tontonan saja. Hal seperti ini juga penting untuk diinformasikan kepada pengunjung kebun binatang dan taman margasatwa, bagaimana agar tidak hanya menonton saja keelokan rupa dan corak hewan-hewan yang ada, namun apa yang bisa mereka lakukan untuk membantu menyelamatkan eksistensi mereka.


Satu hal yang saya sesalkan dari Ragunan adalah perilaku pengunjung yang membuang sampah sembarangan di lingkungan kebun binatang. Saya lihat memang jumlah tempat sampah tidak terlalu banyak untuk area seluas 140 hektar tersebut. Selain itu, kurangnya pengawasan dan aturan juga agaknya menjadikan pengunjung merasa bebas saja membuang sampah dimana pun. Ah, masih banyak yang harus kita lakukan untuk menyadarkan diri kita bahwa kita membutuhkan alam ini.
baca selengkapnya

23 Mei 2012

Menjadi Pemimpin Itu...

Ayah saya dulu pejabat. Bukan, bukan niat saya buat sombong-sombongan. Ada satu cerita yang saya dengar di hari ini dan tiba-tiba saya jadi teringat ayah saya. Kisahnya adalah soal pimpinan sebuah institusi yang kelakuannya sukses membuat saya geleng-geleng kepala tak habis pikir. Tidak cukup dengan gaji yang lumayan besar, sang pimpinan dengan seenaknya memanfaatkan fasilitas-fasilitas kantor untuk kepentingan pribadi. 


Bukan rahasia umum kalau para staf dan karyawan dimanapun pasti sekali dua kali menggunakan fasilitas kantor bukan untuk kepentingan pekerjaan. Dari yang paling sederhana seperti numpang ngeprint sampai ke pinjam mobil buat antar anak. Well, tapi karena yang ini pelakunya adalah pimpinan, otomatis jadi sorotan, apalagi kalau sampai merugikan yang lain.


Hubungannya dengan ayah saya yang mantan pejabat? Sebagai pejabat, meskipun di kota kecil, bermacam-macam fasilitas diberikan oleh kantor (baca: pemerintah). Di posisinya yang terakhir, selain mobil dinas, ayah saya juga dapat sopir pribadi, selain fasilitas untuk biaya rekening telepon, listrik dan air. Namun, sejak awal ayah saya mendapatkan fasilitas-fasilitas tersebut, beliau sudah mengingatkan anak-anaknya bahwa itu semua adalah fasilitas kantor atas jabatannya, bukan untuk keluarga. Ayah saya bahkan merasa perlu untuk mengunci telepon kami agar kami tidak seenaknya haha-hihi di telepon (saya dan kakak-kakak saya kalang kabut mencari lidi atau apapun yang bisa digunakan untuk mengakali kunci telepon, tentu saat ayah saya tidak di rumah). Saya diantar ke sekolah juga karena kebetulan kantor ayah saya dekat dengan sekolah, itupun saya diturunkan di kantor ayah saya. Kami hanya boleh minta tolong diantar sopir ayah kalau memang sangat mendesak dan tidak terlalu sore agar sang sopir tidak terganggu. Ayah saya memang mendidik kami untuk tidak menjadi manja dan terbiasa melakukan banyak hal dengan usaha kami sendiri.


Perkara idealisme macam ini, ayah saya kembali menunjukkannya saat beliau mencoba membongkar kasus di kantornya. Usut punya usut, pejabat sebelumnya ternyata diketahui melakukan korupsi. Alih-alih mendapatkan dukungan, ayah saya diminta untuk tutup mulut oleh atasannya. Lalu keputusan ayah saya adalah: mengajukan pensiun muda. Beliau merasa tidak nyaman bekerja di lingkungan seperti itu.


Terlepas dari bagaimana performa ayah saya di kantor (karena saya tidak pernah masuk ke kantornya), saya melihat satu hal yang membuat saya salut pada ayah saya. Dari apa yang telah dia lakukan, dia telah menunjukkan a leadership as personality, meskipun seringkali sulit dipahami oleh kebanyakan orang. Oya, termasuk saat semua orang memberikan selamat saat ayah saya baru diangkat menjadi pejabat, beliau malah bersungut-sungut:


"Kok dikasih selamat! Semakin tinggi jabatan itu bukan makin enak, makin banyak bebannya. Tanggung jawabnya besar!"


Pelajaran dari ayah saya adalah bahwa menjadi pemimpin itu bukan berarti seenaknya main perintah, apalagi perintah yang tidak ada kaitannya dengan pekerjaan. Menjadi pemimpin itu bukan berarti berjarak dengan orang-orang yang bekerja dengan kita, namun justru harus semakin dekat dengan mereka karena merekalah yang berada di belakang kita, menyokong kita. Menjadi pemimpin itu bukan hanya harus jujur, kompeten, visioner, adil, berpikiran luas, cerdas, kreatif, menginspirasi serta cepat dan tepat dalam mengambil keputusan. Menjadi pemimpin adalah menjaga perilaku kita karena kita adalah contoh bagi yang lain. 


Kecuali memiliki perusahaan kita sendiri dan hanya tersisa sedikit rasa kemanusiaan, pemimpin yang menganggap dirinya lebih dari yang lain adalah sesuatu yang sama sekali tidak diperlukan, apalagi jika kita menjadi pemimpin dalam institusi pemerintahan atau lembaga. Teringat kata-kata seorang teman saya yang bekerja di sebuah organisasi:


"Dalam sebuah organisasi, tidak ada bos. Karena semuanya sama-sama digaji oleh organisasi, bukan pimpinan yang menggaji." 


Hal ini juga berlaku dalam institusi pemerintahan. Mau kepala bidang, kepala bagian, staf keuangan atau janitor, semua mendapatkan gaji dari negara. Dari rakyat. 
baca selengkapnya

5 Mei 2012

Yang Diancam Yang Dipaksa Mengalah


Dan sang polisi menyuruh kami pulang. Seperti bapak galak pada anaknya yang sedang asyik nongkrong kemalaman. Konyolnya, seperti dia tahu saja dimana rumah kami. Lupa dia, inipun bukan rumahnya” (4 April 2012, 20.33)

Geram. Sakit hati.

Itu perasaan saya beberapa jam lalu, dan mungkin juga dialami oleh beberapa orang lain yang datang ke Salihara untuk menghadiri kuliah umum dan diskusi buku Irshad Manji. Bagaimana tidak, kami yang berkumpul di tempat yang selayaknya orang berkumpul, dengan niatan belajar dan berbagi ilmu, diminta bubar karena alasan ada pihak yang tidak menyetujui diskusi tersebut dan tidak adanya perijinan. Cuh!

Adalah seorang polisi laki-laki yang mengaku Kapolsek Pasar Minggu yang tiba-tiba menginterupsi diskusi yang baru saja berjalan sekitar 15 menitan. Melupakan kesopanan, dia tiba-tiba member tanda break (layaknya di pertandingan olahraga) dan menyeruak ke depan menghampiri Irshad yang baru saja membagi ide-idenya. Ketidaksopanannya sebetulnya sudah tampak ketika diskusi baru saja dimulai. Tanpa perasaan bersalah, dia berdiri di depan saya yang duduk di bangku belakang, lalu seenaknya menelepon dengan suara cukup kencang sampai-sampai Irshad sempat menghentikan kuliahnya, memberikan waktu bagi si bapak, yang baru diketahui belakangan ternyata polisi, untuk menyadari ketidaksopanannya, yang sayangnya, tidak disadari juga.

Di depan peserta, dia kemudian berkata:

“Saya menerima SMS dari warga sekitar yang keberatan dengan diskusi ini. Juga dari organisasi Islam. Saya bisa tunjukkan SMS nya. Saya minta diskusi ini dihentikan sekarang juga.” Sontak disambut teriakan “Huuuuu!” dari peserta. Tidak habis di situ, sang bapak polisi lalu mengatakan kalau tidak ada perijinan untuk diskusi ini. Terlebih, pembicaranya adalah warga negara asing. Irshad Manji berkewarganegaraan Kanada. Menurutnya, itu menyalahi aturan yang ada di kepolisian.

Saya tidak ingin meributkan kelakuan oknum (karena tidak semua) ormas fundamentalis yang teriak “Allahu Akbar” dengan nada penuh kebencian, ironisnya kontradiksi dengan diskusi buku terbaru Irshad tentang bagaimana mendamaikan iman dan kebebasan dalam lingkungan yang dipenuhi kebencian atas baik itu atas nama agama, budaya, identitas atau lainnya. Membahas topik ini membutuhkan pemahaman agama yang mumpuni, saya rasa. Sayangnya, saya tidak. Irshad sempat membahas hal ini, bahwa kelemahan kelompok agama liberal adalah kurangnya telaah dan kajian pada teks-teks agama padahal kita tidak harus menjadi akademisi di bidang ini, toh para fundamentalis yang merasa paling benar pun bukan akademisi.

Yang saya sesalkan adalah bagaimana tindakan polisi dalam menghadapi kasus-kasus seperti ini. Bukan sekali dua kali acara pertemuan, entah itu diskusi, pelatihan atau gathering, terpaksa dibubarkan dengan alasan ada ancaman dari pihak-pihak tertentu. Jelas tidak bijaksana jika melulu yang harus mengalah adalah yang mendapatkan ancaman! Apa gunanya embel-embel pelindung masyarakat jika masyarakat merasa terancam? Masyarakat mana yang sebetulnya mereka lindungi? Jika kejadiannya dibalik, kami beramai-ramai mengirim SMS kepada kepolisian mengatakan kami tidak setuju kalau ormas A mengadakan acara diskusi, bedah buku atau arisan, apakah acara diskusi, bedah buku atau arisannya akan diminta bubar juga? Sebagai warga Negara, kami, para fundamentalis dan non-fundamentalis, punya hak sama untuk berkumpul. Itu diatur dalam Undang-Undang Dasar Negara ini! Kepolisian sebagai tangan pemerintah, telah nyata-nyata melanggar hak asasi manusia.

Saya bikin analogi iseng-isengan. Pak Beye yang doyan sekali curhat dan terakhir (terakhir saya dengar maksudnya) adalah soal ancaman yang ditujukan kepadanya lewat SMS, lalu suatu waktu ketahuan siapa yang mengirim pesan itu, alih-alih menangkap si pengirim pesan, polisi akan menyarankan Pak Beye, “Ganti nomor aja kali, Bos!” atau “Sudah, tidak usah pakai HP, banyak mudharatnya!” atau bagaimana?

Kemudian urusan perijinan yang kata sang Kapolsek tidak dikantongi oleh panitia, itu dagelan lain. Apa dia pikir ini konser Lady Gaga, Suju atau Laruku yang antrian penontonnya sampai bikin tambah macet ibu kota? Hitung-hitung, peserta diskusi Irshad ini paling 50 orang saja. Ada yang bawa motor, mobil, ada juga yang berkendaraan umum seperti saya. Kalau Jalan Salihara macet, memang sudah dari sononya, tidak perlu ditambah jumlah pengunjung Teater Salihara yang tiba-tiba banyak. Dan tak mungkin juga, sekelas Salihara baru kali ini ramai pengunjung. Minimal seminggu sekali pasti ada pementasan yang menarik banyak orang berdatangan. Plus, tentu saja, tidak akan ada fansnya Irshad yang saking histerisnya lantas sampai cakar-cakar muka atau pingsan kehabisan nafas karena berdesak-desakan. Jadi perijinan apa yang sebetulnya dimaksud Bapak Kapolsek?

Penasaran, saya coba cari tahu tugas pokok polisi. Dalam Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia disebutkan tugas pokok mereka adalah a. memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat; b. menegakkan hukum; dan c. memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat. Selanjutnya, terkait perijinan, pada Pasal 15 ayat 2 point b dijelaskan bahwa Kepolisian Negara Republik Indonesia sesuai dengan peraturan perundang-undangan lainnya berwenang memberikan izin dan mengawasi kegiatan keramaian umum dan kegiatan masyarakat lainnya. Goenawan Muhammad, sang pendiri Salihara, yang saat kejadian juga ada di lokasi, mengatakan sebelumnya Salihara mengundang banyak artis dan pembicara dari luar negeri tanpa perijinan, toh lancar-lancar saja. Bingung saya sama hukum di Negara ini.

Saat saya memutuskan pulang setelah Irshad akhirnya bersedia meninggalkan Salihara, saya mampir sejenak di warung rokok, beberapa warga yang ingin tahu ada kejadian apa di Salihara berkumpul di sana dan bertanya-tanya,

“Ini ada apa sih kok banyak polisi?”

Lha! Warga yang mana yang kata Bapak Kapolsek tadi keberatan dengan acara diskusi? Wong acaranya apa warga saja tidak tahu! Saya jelaskan siapa Irshad dan ide apa yang ia coba bagi dengan peserta diskusi.

Hal yang menarik bagi saya adalah semakin saya yakin kalau oknum ormas itu hanya modal nekad saja. Contohnya, mereka meneriaki Irshad “Yahudi!” yang padahal jelas Irshad adalah seorang Muslim. Jangankan baca bukunya, mungkin orangnya yang mana juga mereka tidak tahu. Kedua, ternyata oknum-oknum itu cepat terbakar jenggotnya dan takut tiket surganya bakal invalid hanya karena seorang feminis muslim asal Kanada diundang untuk berdiskusi. Tidak bisa dibayangkan kalau para feminis-feminis Muslim yang lantang menyuarakan isu kemanusiaan bersepakat untuk membuat semacam girl/boyband lalu menggelar konser tiga malam. Kebakaran apanya lagi ya para oknum itu?

Buku Irshad Manji terbaru “Allah, Liberty and Love” sudah di tangan saya. Saatnya membaca! Terima kasih, Irshad, sore ini kamu tunjukkan bagaimana untuk tidak cepat mengalah kepada situasi dan bagaimana menjadi orang memiliki keyakinan luar biasa!


Ingin tahu lebih banyak tentang Irshad Manji? Kunjungi langsung official websitenya di sini.
baca selengkapnya