5 Mei 2012

Yang Diancam Yang Dipaksa Mengalah


Dan sang polisi menyuruh kami pulang. Seperti bapak galak pada anaknya yang sedang asyik nongkrong kemalaman. Konyolnya, seperti dia tahu saja dimana rumah kami. Lupa dia, inipun bukan rumahnya” (4 April 2012, 20.33)

Geram. Sakit hati.

Itu perasaan saya beberapa jam lalu, dan mungkin juga dialami oleh beberapa orang lain yang datang ke Salihara untuk menghadiri kuliah umum dan diskusi buku Irshad Manji. Bagaimana tidak, kami yang berkumpul di tempat yang selayaknya orang berkumpul, dengan niatan belajar dan berbagi ilmu, diminta bubar karena alasan ada pihak yang tidak menyetujui diskusi tersebut dan tidak adanya perijinan. Cuh!

Adalah seorang polisi laki-laki yang mengaku Kapolsek Pasar Minggu yang tiba-tiba menginterupsi diskusi yang baru saja berjalan sekitar 15 menitan. Melupakan kesopanan, dia tiba-tiba member tanda break (layaknya di pertandingan olahraga) dan menyeruak ke depan menghampiri Irshad yang baru saja membagi ide-idenya. Ketidaksopanannya sebetulnya sudah tampak ketika diskusi baru saja dimulai. Tanpa perasaan bersalah, dia berdiri di depan saya yang duduk di bangku belakang, lalu seenaknya menelepon dengan suara cukup kencang sampai-sampai Irshad sempat menghentikan kuliahnya, memberikan waktu bagi si bapak, yang baru diketahui belakangan ternyata polisi, untuk menyadari ketidaksopanannya, yang sayangnya, tidak disadari juga.

Di depan peserta, dia kemudian berkata:

“Saya menerima SMS dari warga sekitar yang keberatan dengan diskusi ini. Juga dari organisasi Islam. Saya bisa tunjukkan SMS nya. Saya minta diskusi ini dihentikan sekarang juga.” Sontak disambut teriakan “Huuuuu!” dari peserta. Tidak habis di situ, sang bapak polisi lalu mengatakan kalau tidak ada perijinan untuk diskusi ini. Terlebih, pembicaranya adalah warga negara asing. Irshad Manji berkewarganegaraan Kanada. Menurutnya, itu menyalahi aturan yang ada di kepolisian.

Saya tidak ingin meributkan kelakuan oknum (karena tidak semua) ormas fundamentalis yang teriak “Allahu Akbar” dengan nada penuh kebencian, ironisnya kontradiksi dengan diskusi buku terbaru Irshad tentang bagaimana mendamaikan iman dan kebebasan dalam lingkungan yang dipenuhi kebencian atas baik itu atas nama agama, budaya, identitas atau lainnya. Membahas topik ini membutuhkan pemahaman agama yang mumpuni, saya rasa. Sayangnya, saya tidak. Irshad sempat membahas hal ini, bahwa kelemahan kelompok agama liberal adalah kurangnya telaah dan kajian pada teks-teks agama padahal kita tidak harus menjadi akademisi di bidang ini, toh para fundamentalis yang merasa paling benar pun bukan akademisi.

Yang saya sesalkan adalah bagaimana tindakan polisi dalam menghadapi kasus-kasus seperti ini. Bukan sekali dua kali acara pertemuan, entah itu diskusi, pelatihan atau gathering, terpaksa dibubarkan dengan alasan ada ancaman dari pihak-pihak tertentu. Jelas tidak bijaksana jika melulu yang harus mengalah adalah yang mendapatkan ancaman! Apa gunanya embel-embel pelindung masyarakat jika masyarakat merasa terancam? Masyarakat mana yang sebetulnya mereka lindungi? Jika kejadiannya dibalik, kami beramai-ramai mengirim SMS kepada kepolisian mengatakan kami tidak setuju kalau ormas A mengadakan acara diskusi, bedah buku atau arisan, apakah acara diskusi, bedah buku atau arisannya akan diminta bubar juga? Sebagai warga Negara, kami, para fundamentalis dan non-fundamentalis, punya hak sama untuk berkumpul. Itu diatur dalam Undang-Undang Dasar Negara ini! Kepolisian sebagai tangan pemerintah, telah nyata-nyata melanggar hak asasi manusia.

Saya bikin analogi iseng-isengan. Pak Beye yang doyan sekali curhat dan terakhir (terakhir saya dengar maksudnya) adalah soal ancaman yang ditujukan kepadanya lewat SMS, lalu suatu waktu ketahuan siapa yang mengirim pesan itu, alih-alih menangkap si pengirim pesan, polisi akan menyarankan Pak Beye, “Ganti nomor aja kali, Bos!” atau “Sudah, tidak usah pakai HP, banyak mudharatnya!” atau bagaimana?

Kemudian urusan perijinan yang kata sang Kapolsek tidak dikantongi oleh panitia, itu dagelan lain. Apa dia pikir ini konser Lady Gaga, Suju atau Laruku yang antrian penontonnya sampai bikin tambah macet ibu kota? Hitung-hitung, peserta diskusi Irshad ini paling 50 orang saja. Ada yang bawa motor, mobil, ada juga yang berkendaraan umum seperti saya. Kalau Jalan Salihara macet, memang sudah dari sononya, tidak perlu ditambah jumlah pengunjung Teater Salihara yang tiba-tiba banyak. Dan tak mungkin juga, sekelas Salihara baru kali ini ramai pengunjung. Minimal seminggu sekali pasti ada pementasan yang menarik banyak orang berdatangan. Plus, tentu saja, tidak akan ada fansnya Irshad yang saking histerisnya lantas sampai cakar-cakar muka atau pingsan kehabisan nafas karena berdesak-desakan. Jadi perijinan apa yang sebetulnya dimaksud Bapak Kapolsek?

Penasaran, saya coba cari tahu tugas pokok polisi. Dalam Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia disebutkan tugas pokok mereka adalah a. memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat; b. menegakkan hukum; dan c. memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat. Selanjutnya, terkait perijinan, pada Pasal 15 ayat 2 point b dijelaskan bahwa Kepolisian Negara Republik Indonesia sesuai dengan peraturan perundang-undangan lainnya berwenang memberikan izin dan mengawasi kegiatan keramaian umum dan kegiatan masyarakat lainnya. Goenawan Muhammad, sang pendiri Salihara, yang saat kejadian juga ada di lokasi, mengatakan sebelumnya Salihara mengundang banyak artis dan pembicara dari luar negeri tanpa perijinan, toh lancar-lancar saja. Bingung saya sama hukum di Negara ini.

Saat saya memutuskan pulang setelah Irshad akhirnya bersedia meninggalkan Salihara, saya mampir sejenak di warung rokok, beberapa warga yang ingin tahu ada kejadian apa di Salihara berkumpul di sana dan bertanya-tanya,

“Ini ada apa sih kok banyak polisi?”

Lha! Warga yang mana yang kata Bapak Kapolsek tadi keberatan dengan acara diskusi? Wong acaranya apa warga saja tidak tahu! Saya jelaskan siapa Irshad dan ide apa yang ia coba bagi dengan peserta diskusi.

Hal yang menarik bagi saya adalah semakin saya yakin kalau oknum ormas itu hanya modal nekad saja. Contohnya, mereka meneriaki Irshad “Yahudi!” yang padahal jelas Irshad adalah seorang Muslim. Jangankan baca bukunya, mungkin orangnya yang mana juga mereka tidak tahu. Kedua, ternyata oknum-oknum itu cepat terbakar jenggotnya dan takut tiket surganya bakal invalid hanya karena seorang feminis muslim asal Kanada diundang untuk berdiskusi. Tidak bisa dibayangkan kalau para feminis-feminis Muslim yang lantang menyuarakan isu kemanusiaan bersepakat untuk membuat semacam girl/boyband lalu menggelar konser tiga malam. Kebakaran apanya lagi ya para oknum itu?

Buku Irshad Manji terbaru “Allah, Liberty and Love” sudah di tangan saya. Saatnya membaca! Terima kasih, Irshad, sore ini kamu tunjukkan bagaimana untuk tidak cepat mengalah kepada situasi dan bagaimana menjadi orang memiliki keyakinan luar biasa!


Ingin tahu lebih banyak tentang Irshad Manji? Kunjungi langsung official websitenya di sini.

6 komentar:

  1. ya, sempet ikut geram juga meski cuma baca beritanya di media onlen. :/
    polisi udah bisa digerakin sama ormas-ormas, kehilangan wibawanya. bagaimana masyarakat mau merasa aman.
    btw, lucu juga itu yang analogi Pa Beye. wkwk
    kalo ada diskusi ajak2 dong. :D

    BalasHapus
  2. pak Beye kan lucu-lucu gemesin gimana gituuuu... ya tar gw ajak diskusi bareng FPI ya, mat =)

    BalasHapus
  3. Makannya min, hati n otak sama2 diisi. Kalau hati ente kosong n otak aja yg dipenuhi, ntar jadi pengikut Gay kayak Irshad Manji.. Weleh2 orang udah jelas bobroknya, masih aja dibela. Yang ngasih nasehat, dimaki2.. Sableng...

    BalasHapus
  4. Ya betul sekali, hati dan otak harus sama-sama diisi, tapi ya jangan juga hatinya diisi sama kemarahan dan dengki saja. Kalau kita bisa duduk bareng-bareng dan berdiskusi kan enak tuh, gak ngotot-ngototan. By the way, Irshad Manji tidak hendak 'merekrut' pengikut gay kok, jangan khawatir kalau anda sudah yakin dengan orientasi seksual anda..

    BalasHapus
  5. kalau mbak galink lesbi apa normal? trims.

    BalasHapus
  6. @ Anonymous: saya tanya balik dulu ah hehe.. kalau saya lesbi kenapa, kalau bukan kenapa? dan menurut saya, lesbian bukan abnormalitas

    BalasHapus