25 April 2013

Untitled

Semingguan lalu saya mendapatkan berita yang sangat mengejutkan. Saya baru saja sampai di kantor ketika saya menerima pesan singkat, "Si A meninggal tadi pagi". Segera saya telepon kawan saya untuk memastikan, ternyata benar. A adalah teman saya, tidak hanya satu kampus, tapi juga sempat satu organisasi. Kepergiannya mendadak, tak ada berita dia sakit sebelumnya. Teman yang memutuskan untuk mengakhiri hidupnya dengan caranya sendiri.

Dua hari lalu, organisasi kami menggelar acara semacam pengajian untuk almarhum. Saya bilang itu semacam pengajian karena memang bukan tahlilan seperti yang biasa dilakukan umat muslim saat ada yang meninggal. Di awal acara, memang seorang ustadz memimpin kami berdoa dalam cara Islam, setelah itu salah satu senior di organisasi memimpin doa dengan cara Kristen. Indah rasanya kami bisa duduk bersamaan, berdoa dengan cara kami masing-masing. Selepas berdoa, kami dipersilakan untuk menceritakan kenangan yang diingat saat almarhum masih hidup. Tidak semua orang yang hadir melakukannya, mengingat waktu juga yang sangat terbatas. Tapi beruntung saya kebagian. Sedikit lega rasanya, bisa mengeluarkan apa yang saya simpan.

Saya ceritakan bagaimana saya dan almarhum bisa kenal lalu bekerja dalam satu tim. Saya belajar banyak darinya. Saya juga sampaikan penyesalan saya karena tidak melakukan apa yang bisa saya lakukan, meskipun sebetulnya saya mampu, kalau saya benar-benar mau. Ya, beberapa bulan sebelumnya, saya dan beberapa teman lain melihat ada gelagat yang tidak biasa dari almarhum. Walau saya mengenalnya sebagai pribadi yang ceria dan penuh semangat, senang becanda dan kalau tertawa kencangnya minta ampun. Tapi energi yang ia keluarkan akhir-akhir itu terasa aneh. Bikin orang kelabakan, sekaligus bertanya-tanya, "Ada apa dengan dia?"

Saya dan beberapa teman pernah bertanya langsung padanya, tapi selalu ia jawab ia sedang bersemangat, sambil sesekali bilang, "Aku akan mati muda". Sungguh, saat itu saya hanya menganggap kalimatnya itu sebagai caranya mengekspresikan semangat yang ia sendiri tak bisa bendung. Karena kejadiannya bertepatan dengan masa menjelang pernikahannya, saya dan teman-teman mengambil kesimpulan, mungkin itu hanya stres pra pernikahan. Ya namanya nikah, pasti banyak kan yang mesti diurus. Apalagi setelah ia menikah, saya sempat bertemu sekali dan ia terlihat lebih tenang. Semakin saya yakin dengan kesimpulan itu. Ternyata saya keliru besar.

Saya sadar satu hari setelah saya pergi melayat, saya whatsapp-an dengan seorang teman yang bilang kalau justru kalau seseorang yang biasanya bersemangat, sangat bersemangat, tiba-tiba tampak begitu tenang, mungkin ada sesuatu yang sedang ia pendam sendiri. Sial! saya lalai! Saya merasa bodoh, belajar ilmu kejiwaan tapi tidak bisa mempraktekkan. Saya merasa jahat, karena tidak menjadi teman baik untuknya. Itu penyesalan saya.

Niat saya untuk mengajaknya bicara secara serius, sekedar menanyakan apa yang sebetulnya sedang ia rasakan dan mungkin bisa saya bantu, tidak pernah saya lakukan. Alasan saya selalu saja karena belum ada moment yang pas, padahal moment itu sebetulnya bisa saya ciptakan. Setelah ia menikah, semakin saya mengurungkan niat untuk mengajaknya bicara.

Penyesalan memang tidak ada gunanya. Teman saya tidak akan pernah kembali. Tapi saya telah mengambil pelajaran yang luar biasa besar dari kejadian itu. Tidak ada salahnya menjadi lebih peka pada kondisi teman-teman kita. Mungkin kita tidak bisa menolong banyak, namun menyediakan telinga kita untuk mendengarkan keluh-kesah seorang teman bisa membantu mengurangi bebannya sedikit.

Selamat tinggal, kawan! Terima kasih telah mengajarkan saya sebuah arti ketulusan.
baca selengkapnya

23 April 2013

Karena Kita Punya Peran Masing-Masing

Sudah satu bulan saya bergabung dengan sekelompok orang muda kreatif di bisnis branding. Ya, saya bilang sekelompok orang muda karena tiba-tiba saya merasa tua di sana haha... Dan ya, kali ini saya 'beneran' menyelam di dunia bisnis, yang dikelola dengan cukup profesional. Wuis... kata terakhirnya ngeri ya? Profesional! Profesionalitas di mata saya bukan soal berbaju rapi, lengkap dengan dasi dan sepatu kulit mengkilap, menenteng macbook dan bicara bahasa alien. Karena kalau itu yang dimaksud, terima kasih selamat malam. Saya masih enggan meninggalkan kaos-kaos dan kets butut saya.

Saya mengartikan profesional di sini adalah saat apa yang kita kerjakan mendapatkan penghargaan dan kita melakukan apa yang memang sanggup kita lakukan, sesuai dengan posisi kita. Sesuai dengan peran kita.

Nah, ruang saya untuk berkreasi yang baru itu punya suasana yang asyik. Selain sering makan bersama (paling sering makan soto yang lewat tiap siang), kami juga sering ngobrol ngalor-ngidul. Dari mulai proyek, desain, perklenikan, hal-hal pribadi, sampai ngomongin seleb politikus dan seleb dunia maya. Kebetulan juga, kami memiliki titik-titik perjumpaan lain seperti rewo-rewo di aktivitas sosial yang sama, ternyata temannya atau saudaranya teman, dan sebagainya. Beberapa obrolan, atau tepatnya rumpian, membuat saya semakin yakin soal dimana saya sebaiknya berada.

Bukan sekali dua kali saya bertemu dan kadang harus bekerja dengan orang yang tidak paham dengan perannya. Bahkan saya juga pernah ada di posisi itu. Saya sendiri sih ngerasanya gak karuan. Saat saya tidak tahu apa yang harus saya lakukan dan akhirnya melakukan hal-hal yang seharusnya tidak saya lakukan. Kalau di dunia kerja, ya istilahnya tidak sesuai job desk (atau memang job desk-nya yang nggak jelas?). Saya boleh bangga pada diri saya sendiri karena saya berani memutuskan untuk berhenti. Risikonya jelas ada, saya tahu dan luar biasa khawatir melihat masa depan saya. Tapi toh, saya kembali berbincang dengan diri saya sendiri, soal apa yang sebenarnya saya inginkan dalam hidup.

Jika beberapa orang menjalankan peran sesuai dengan posisinya, mungkin saya, saat ini, termasuk orang yang sedang mencoba kebalikannya. Mencari posisi yang sesuai dengan peran saya. Kemarin-kemarin saya sempat mengirim lamaran ke beberapa lembaga, saya sadar, saya sangat selektif. Ketemu satu saja job desk yang nggak-gue-banget, langsung saya drop. Beberapa posisi yang dulu-dulu saya inginkan tiba-tiba menjadi tidak menarik lagi buat saya (dan saya juga tidak menarik buat posisi itu hahaha...). Ada juga tawaran dari beberapa kenalan, posisi yang lumayan, tapi saya tolak dengan halus. Mungkin saya dikira nggaya atau apalah. Terserah. Yang pasti, saya mulai tahu kapasitas saya, saya mulai paham peran saya. Soal ternyata nantinya di luar apa yang saya kira, itu urusan lain. Yang penting, saya sudah, sedang dan masih akan belajar tentang diri saya.

Soal peran itu, saya menganalogikan dengan proses pembuatan film. Ada sutradara, ada camera-person, ada aktris dan aktor, ada produser, penulis naskah, penata lampu, casting director, editor, penata lampu, penata rias, kostum, dan sebagainya. Memang ada beberapa film yang sutradaranya merangkap produser, ngambil gambar plus ngedit pula. Atau nyutradarain tapi jadi pemain juga. Tergantung genre, kelas dan keseriusan filmnya. Tapi coba tengok film-film yang mendapat penghargaan, film-film yang nembus box-office dan film-film yang berkualitas. Ada berapa kepala manusia di belakangnya? Setiap kepala itu menjalankan peran sesuai dengan posisinya masing-masing. Camera-person ya perannya ambil gambar, nggak tau-tau jadi pemeran pembantu, lha terus siapa yang ngambil gambar? Penata lampu ya perannya ngatur cahaya, nggak ujug-ujug milihin kostum yang pas buat tokoh utama. Hasilnya? Ya kalaupun nggak dapat penghargaan, nggak nembus box-office dan kurang berkualitas, tapi setidaknya jadi film beneran tho?

Dalam cerita film pun demikian. Anne Hathaway yang kebagian peran sebagai Fantine dalam Les Miserables, misalnya, ya memainkan perannya sebagai Fantine secara maksimal, sampai rela potong rambut pendek. Sedangkan Hugh Jackman yang kebagian peran sebagai Jean Valjean, ya jungkir baliklah dia sampai bisa menjiwai tokohnya itu, nggak mlipir-mlipir jadi tokoh Javert yang diperankan Russell Crowe. Sekalipun Mbak Anne dan Mas Jackman ini, misalnya, sangat menyukai kegilaan dan kenyentrikan pasangan Thernadier (Sascha Baron dan Helena Bonham), nggak profesional namanya kalau mereka memasukan unsur nyentrik Thernadier dalam peran Fantine dan Jean Valjean. Karena mereka sudah punya perannya masing-masing.

baca selengkapnya