23 April 2022

Pulang


Minggu siang, 17 April 2022. Saya sedang lari di Krommerijnpark ketika handphone saya bergetar. Nama adik saya tampil di layar, terbersit untuk mengacuhkan saja dan meneleponnya kembali ketika saya sudah di rumah. Tapi ada dorongan untuk menekan tombol hijau. Di ujung sana, sambil terisak adik saya berkata, “Papap pingsan, tapi udah nggak ada respon. Dede (panggilan saya di rumah) doain aja ya.”

Saya memintanya untuk menelpon ambulans agar ayah kami bisa dibawa ke rumah sakit, tapi dia bilang sedang menunggu kedua kakak saya sampai di rumah. Rumah mereka berdua hanya berjarak 200-300 meter dari rumah orang tua kami. Saya melanjutkan lari ke rumah walaupun pikiran saya sudah tidak karuan. Satu kilometer menjelang rumah, saya telepon kakak saya untuk menanyakan kondisi ayah. Jawabannya singkat, mengabarkan ayah sudah berpulang, baru saja. Kakak lalu menyerahkan handphone-nya ke ibu saya. Terbata-bata ibu bilang, “Kamu nggak usah pulang, nggak apa-apa, jauh...”. Seketika itu juga air mata saya pecah.

*

Sudah beberapa bulan belakangan kondisi ayah saya memburuk. Sejak terserang stroke dua puluh tahun lalu, kondisi kesehatannya memang tidak pernah seratus persen stabil, walaupun tidak pernah parah atau sampai harus dirawat di rumah sakit. Awal tahun ini ibu saya mengabarkan kondisi ayah yang kesulitan menelan dan sering merasa kesakitan di punggungnya. Bukan ayah saya namanya kalau bisa dibujuk begitu mudah untuk diperika ke dokter. Kalau dia sampai mau diperiksa, berarti memang sakitnya sudah tak tertahankan (atau mungkin juga sudah menyerah mendengar omelan istri dan anak-anaknya).

Bulan Februari, ayah minta video call dengan menggunakan handphone ibu. Suaranya serak kering, tidak sampai separuh yang dia ucapkan bisa saya bisa pahami. Ibu saya yang mencoba menjembatani percakapan kami. Ayah meminta maaf kalau selama ini tidak bisa memberikan banyak untuk anak-anaknya, meminta saya tidak perlu pulang kalau ada apa-apa, hal-hal seperti itu. Jauh di lubuk hati, saya tersentuh dengan kata-katanya, namun karena kami tidak pernah berbicara hati ke hati dan lebih banyak guyonnya, saya tanggapi dengan gaya becanda saja.

“Periksa ke dokter sana. Kalau nggak diobatin, nanti aku pulang ngobrolnya sama siapa?”

Tentu saat itu saya tidak tahu kalau itu akan menjadi momen terakhir saya berkomunikasi dengannya.

*

Hubungan saya dengan ayah mungkin tidak seperti ayah-anak kebanyakan orang. Mungkin baru setelah saya lulus kuliah saya baru bisa bercakap-cakap dengannya. Saat saya kecil, impresi saya terhadap ayah adalah galak, keras, nyleneh. Kepribadiannya ini seperti berubah bila ia bertemu dengan teman-temannya atau orang yang bertamu ke rumah. Mereka bisa bercakap-cakap berjam-jam lamanya sambil tertawa terbahak-bahak. Saya ingat saat saya SD kelas 3 atau 4, ada PR (pekerjaan rumah) matematika yang tidak bisa saya kerjakan. Saya hampir tidak pernah meminta bantuan orang tua saya, pun orang tua juga tidak pernah menawarkan bantuan. “Kapan belajarnya kalau dibantuin terus,” begitu seloroh ayah yang selalu saya ingat. Tapi untuk PR satu ini saya benar-benar menyerah. Saya selonjoran di lantai menunggu ayah saya selesai menerima tamunya sehingga saya bisa minta tolong mengerjakan PR saya. Tapi sampai jam 9 malam, saya tidak dipedulikannya sama sekali. Saya tidak ingat bagaimana akhirnya nasib si PR, tapi saya ingat apa yang saya rasakan: merasa tidak diperhatikan. Saya baru paham kemudian kalau dia ingin menanamkan nilai untuk berusaha semaksimal mungkin demi mendapatkan sesuatu yang saya harapkan.

Saat saya kecil, komunikasi lebih banyak satu arah dari ayah. Seringkali dia melontarkan pertanyaan-pertanyaan kritis, terutama soal agama, yang sulit dicerna oleh anak setingkat SD-SMP. Misalnya, tiba-tiba membagi pandangannya mengenai konsep surga dan neraka, yang tidak sama plek dengan pandangan banyak orang. Topik-topik yang memuat saya enggan berlama-lama di dekat dia.

Tapi kadang emosinya tidak dapat diduga. Pernah suatu kali saat saya SMA dan belajar menyetir, saya menjerembabkan mobil dinas ayah ke kubangan besar depan rumah. Dengan kemiringan hampir 45 derajat, 90% badan mobil berada di dalam kubangan. Untung sedang musim kemarau. Saya sudah panik, habis ini pasti saya didamprat ayah. Ketika ayah saya bangun dan mengetahui kondisi mobilnya, dia minta supirnya untuk memanggil mobil derek dan mengabari kantor kalau dia akan telat. Dia sama sekali tidak menengok ke arah saya --yang saya yakin sedang berkeringat dingin sebesar-besar biji jagung, justru kembali masuk ke kamarnya dan melanjutkan tidur. Lha…

Mungkin baru sekitar 10 tahunan ke belakang hubungan kami agak dekat. Saya semakin paham pola berpikir ayah saya yang tidak biasa, yang lebih banyak miripnya dengan pola berpikir saya hehehe… Saya sudah bisa menjadi mitra diskusinya, duduk berjam-jam, berbicara tentang politik, agama, mistis dan banyak hal lain. Saya bisa menyampaikan pandangan-pandangan saya, kadang dia meresponnya dengan diam sebentar, mencoba memahami. Dia pun semakin banyak terbuka tentang masa lalunya, tidak hanya apa yang sudah dia lakukan, tapi juga apa yang dia rasakan, membuat saya lebih paham mengapa dia berperilaku seperti ini dan itu.

Butuh waktu dan penjelasan berulang-ulang untuk meyakinkan dia mengenai beberapa pilihan hidup saya, seperti tidak bekerja sebagai PNS (yang dia harapkan) dan tidak menikah. Saya ingat pada awal-awal, dia masih berusaha menunjukkan kalau keputusan-keputusan saya tidak benar di matanya. Saya juga menjelaskan dengan malas-malas kenapa saya memutuskan ABCD. Tapi makin lama, dia mulai menjelaskan secara logika mengapa dia memojokkan saya terus dengan pertanyaan-pertanyaannya. Dan dia juga mulai mendengarkan. Sampai ketika saya pamit untuk pindah ke Belanda, dia memberikan restunya. Sambil merokok dan mencondongka badan ke arah saya, dia bilang, “Kalau kamu sudah yakin, ya sudah. Papap cuma tidak ingin kamu nantinya menyesal. Itu hak kamu untuk memutuskan jalan hidup kamu.” Dia melepas saya dengan air mata, hal yang jarang sekali saya lihat darinya. Karena pada saat bersamaan adik saya juga memutuskan pindah ke Bogor, saya pikir mungkin dia sedihnya karena kepindahan adik, yang saya selalu menganggapnya sebagai anak kesayangan ayah saya.

*

Setelah tahu kondisi ayah yang semakin memburuk, saya memutuskan untuk pulang ke Indonesia bulan Juni depan. Sekalian liburan. Sejak saya pindah ke Belanda, saya belum pernah pulang karena banyak alasan, terutama COVID-19. Saya merasa sudah waktunya pulang dan mengunjungi kedua orang tua dan saudara. Hanya kepada adik saya mengatakan rencana saya itu karena saya khawatir jika terjadi sesuatu yang membatalkan rencana saya, ayah dan ibu tidak akan terlalu kecewa.

*

Setelah mendengar kabar meninggalnya ayah, saya bergumul dengan apakah saya harus pulang saat itu juga atau tidak sama sekali, mengikuti kata-katanya dan ibu saya. Jelas tidak mungkin saya bisa mengikuti proses pemakaman karena saya tahu keluarga saya, sesuai keyakinan, tidak akan menunda pemakaman. Toh pulang saat itu juga tidak mungkin karena protokol COVID-19, saya harus melakukan tes PCR terlebih dulu dan hasilnya baru keluar 24 jam kemudian. Kepada adik, saya berpesan untuk tidak perlu menjadikan saya sebagai pertimbangan untuk proses jenazah selanjutnya. Saya mengatakan pada diri sendiri, mungkin setelah menyaksikan proses pemakaman, saya bisa memutuskan apakah saya harus pulang atau tidak. Pemakaman dilakukan Senin pagi dan saya hanya bisa melihat melalui video call.

Selasa, 19 April 2022, saya pulang. Kepulangan dengan perasaan asing. Ada satu sisi saya yang mengatakan kalau ini semua tidak benar-benar terjadi. Kalau saya pulang, ayah masih akan ada di sana, mengundang saya duduk di depan televisi dan mengajak saya bercakap-cakap, menertawakan politisi, berteori ini itu tentang COVID-19, perang Rusia-Ukraina, dan mungkin juga dia akan bercerita tentang kakak kandungnya yang baru meninggal tahun lalu. Ada bagian dalam diri saya yang menolak kalau saat saya pulang, ayah ternyata sudah “pulang”.

Pap, terima kasih atas didikannya, ajarannya, kasihnya dan keterbukaannya. Pulanglah dengan tenang.

baca selengkapnya

15 Agustus 2019

Mainnya Kurang Jauh (?)

Beberapa waktu lalu, seorang kawan menulis status di akun sosial medianya tentang temannya yang gemar menyebar hoax. Kawan saya merasa miris karena temannya itu tampak berpendidikan dan pergaulannya tingkat internasional, tapi berita yang disebarkan seringkali tak dapat dibuktikan kebenarannya dan diperparah dengan nada-nada kebencian. Agak mirip, kawan saya yang lain juga pernah update status, soal temannya yang tinggal di luar negeri bertahun-tahun tapi ya sebelas dua belas, hobi sebar hoax. Lha katanya yang pola pikirnya gitu-gitu aja itu karena mainnya kurang jauh? Kurang jauh apa itu Amerika? Masa iya harus sampe Saturnus?

Satu hal yang perlu digarisbawahi, Mbak, Mas, hoax itu aja istilahnya dari sono, yang artinya ya di Amerika, Inggris, Brazil, Spanyol, Jepang, India, sampai Haiti, yang percaya dan doyan sebar hoax ya banyak juga. Tapi saya nggak akan bahas soal dunia per-hoax-an ini, ada hal lain yang mencolek memori saya, yaitu saat saya tinggal di Jogja dan Belanda. 

Sebagai pelajar dari Indonesia, saat saya melanjutkan kuliah master di Belanda, saya juga bergabung di grup PPI. Tapi sebatas whatsapp group hahaha… Kegiatan lain macam jalan-jalan (menu utamanya kan ye?), diskusi, atau pengajian bagi yang muslim, tidak pernah saya ikuti. Selain alasan bedanya jadwal kuliah saya dengan jadwal kuliah kampus lain, saya juga merasa, “Lha di sini cuma kuliah setaun doang, masak ya ketemunya Indonesia melulu.” Bagi saya, tiga teman dari Indonesia yang kuliah bareng sudah cukup untuk tidak benar-benar tercerabut dari perindonesiaan (terutama kalo udah gatel banget pengen casciscus bahasa Indonesia!).

Adalah ayah saya yang agaknya punya peran soal sikap saya ini. Saya lahir dan besar di Majalengka, kota kecil di Jawa Barat. Karena letaknya lebih dekat ke Cirebon dan perbatasan Jawa Tengah, budaya Sundanya memang tak sekental di wilayah lain, seperti Bandung atau Cianjur. Bahasa Sunda yang kami pakai sehari-hari pun tergolong bukan bahasa halus, meskipun dari SD sampai SMP diajari tingkatan-tingkatan bahasa ini. Toh itu tidak melunturkan identitas saya sebagai orang Sunda. Kemudian saya mengikuti jejak ayah saya, kuliah di Yogyakarta. Saya ingat di awal-awal masa kuliah, teman SMA yang kuliah di UGM juga beberapa kali mengajak saya ikut kegiatan mahasiswa-mahasiswi Majalengka yang ada di Yogyakarta. Teman kuliah saya yang asal Ciamis juga pernah mengajak saya ke Asrama Kujang, asrama untuk pelajar yang datang dari Jawa Barat. Tapi saya tidak pernah tertarik untuk bergabung.

“Ya kalau kamu gaulnya sama orang Majalengka, kuliah di Unma* aja sana!” begitu seloroh ayah saya waktu saya pertama kali cerita tentang ajakan dari teman saya (sekedar informasi, Unma adalah Universitas Majalengka. Iya ada!). And I got the point! Kalau orang bilang kuliah jauh-jauh itu bisa memperluas wacana, itu benar. Tapi dengan syarat: otak sama hati juga disiapkan.

Tahun kedua saya kuliah di Jogja, saya memilih berkegiatan di luar kampus, jadi relawan di sebuah organisasi. Selain berjuang mengunyah informasi-informasi yang relatif baru buat saya, saya juga harus berjuang memahami bahasa Jawa. Saya bersyukur sekali karena kawan-kawan saya di sana tidak pernah menyerah berbicara dan bercanda dengan saya dalam bahasa Jawa. Dan ya, belajar bahasa itu tidak cukup soal perbendaharaan kata atau struktur kalimat, tapi lebih dari itu: konteks! Hasilnya memang tidak lantas saya jadi mahir berbahasa Jawa ya (apalagi kromo. Saya nyerah. Bahasa Sunda halus aja saya gelagepan haha…), tapi setidaknya saya merasa tidak terasing saat saya berkumpul dengan teman-teman saya yang asli Jogja atau Jawa. 

Berbaur dengan orang Jawa di tanah Jawa mengajarkan saya untuk menghormati dan menghargai mereka. Segala stigma negatif soal orang Jawa yang saya dengar selama saya tinggal di wilayah Sunda pun meluntur. Saya merasa ada lebih banyak kesamaan di antara kami, dibandingkan perbedaan. Menariknya, di sisi lain, saya justru merasa kadar kesundaan saya (jika memang ada), naik beberapa level. Dari yang dulunya sama sekali tidak pernah secara sadar dan penuh niat memutar lagu-lagu Sunda, eh lha pas di Jogja saya malah suka dengerin lagu-lagu Sunda, bahkan nyari-nyari di Youtube. Pengalaman yang mirip saya alami saat saya melanjutkan kuliah ke Belanda. Saya merasa saya lebih ngendonesia dibandingkan saat saya tinggal di Indonesia. Salah satu buktinya adalah saya lebih sering makan Indomie saat saya tinggal di sini dibandingkan saat saya di Indonesia (tolong, bedakan nasionalis dengan mahasiswa kurang duit dan kurang kreatif).

baca selengkapnya

31 Agustus 2018

Nepotisme?

Saya sudah menerima hasil basisexamen inburgering. Hasilnya? Memuaskan donk. Yang penting sih lulus jadi nggak harus tes ulang. Maka perjuangan untuk pindah Belanda pun berlanjut. Selain formulir dari IND yang harus diisi, saya juga harus menyiapkan beberapa dokumen yang harus diterjemahkan dan dilegalisir. Dokumen pertama adalah akte lahir, yang akan saya butuhkan saat saya lapor diri di gementee di Belanda. Tapi pengalaman saya saat kuliah di sana, pihak gementee di Diemen tidak meminta akte lahir. Nyesek juga sih soalnya udah bayar translasi dan legalisir eh taunya gak dipake. Untunglah untuk legalisir dokumen yang satu ini masih bisa dipakai tanpa ada validity period, tidak seperti surat keterangan belum kawin yang legalisirnya hanya diakui jika dibuat tidak lebih dari 6 bulan.

Nah, ngomong-ngomong soal surat keterangan belum kawin, hari Senin kemarin saya ngurus dokumen ini. Karena Kartu Keluarga saya masih jadi satu dengan orang tua, maka saya harus pulang kampung. Hasil browsing di internet memberikan saya informasi kalau surat ini bisa didapatkan dengan mengajukan permintaan dulu ke RT/RW lalu diproses di Kantor Kelurahan dan dilegalisir di Kantor Urusan Agama, jika pemohon tercatat beragama Islam (untuk agama lain bisa diurus di Kantor Catatan Sipil). Dari pengalaman beberapa orang yang bisa langsung ke Kantor Kelurahan, saya juga memutuskan untuk langsung ke Kantor Kelurahan yang hanya berjarak 300 meter dari rumah. Ibu saya ikut menemani. Bener, bukan saya yang minta lho! (gak mau banget dianggap anak mami). Alasan beliau, biar urusannya cepet, yang terbukti benar.

Sampai di Kantor Kelurahan, ibu saya langsung disapa oleh beberapa pegawai, tampaknya ibu saya cukup dikenal. Lalu ditanyakan ada keperluan apa. Salah satu pegawainya mengonfirmasi bahwa surat keterangan belum kawin bisa dibuatkan di sana, tanpa harus melewati RT/RW. Dengan sigap, sang pegawai langsung mengerjakan surat tersebut, dengan sebelumnya meminta fotokopi Kartu Keluarga. Saya dan ibu saya menunggu sekitar 10 menitan. Tidak ada biaya sama sekali untuk mengurus surat ini, tapi ibu saya merasa harus memberikan amplop terima kasih kepada pegawai yang telah membantu. Mungkin kebiasaan dari jaman dulu ya. 

Dari Kantor Kelurahan, kami meluncur ke Kantor Urusan Agama (lebih tepat disebut Kantor Urusan Agama Islam, nggak sih?). Di ruang depan kantor tersebut, seorang warga sedang berbincang dengan petugas perempuan, dalam Bahasa Sunda, tentu saja. Saya terjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia, kira-kira seperti ini:

“Jadi gimana? Gimana?” tanya sang petugas.

“Saya udah mendaftar untuk menikah bulan depan. Tapi saya mau pinjam dulu dokumennya untuk difotokopi karena tempat kerja saya minta,” terang si warga.

“Jadi udah daftar? Tapi mau fotokopi?” sang petugas sepertinya belum yakin dengan apa yang diinginkan si warga.

“Iya, surat keterangannya mau saya pinjam untuk difotokopi,” kata si warga.

Saya dan ibu saya hanya berpandang-pandangan. Walaupun saya tidak terlalu paham dengan apa yang mereka bicarakan, dan saya yakin ibu saya juga demikian, tapi sepertinya kami sama-sama merasakan kalau urusan di KUA ini akan sedikit ribet.

“Iya, Ibu ada urusannya apa?” kata sang pegawai kepada ibu saya, setelah menyuruh si warga untuk menunggu hingga ada pegawai lain yang bisa memahami maksudnya.

“Ini anak saya butuh legalisir surat,” jawab ibu saya sambal menyerahkan map yang tidak pernah lepas dari genggamannya. Sang petugas menerima map tersebut dan membaca sekilas isinya.

“Memangnya ini harus dilegalisir di sini ya, Bu?” tanya si petugas.

Lha…

Kemudian datang petugas lain, seorang laki-laki, menghampiri kami. Si petugas perempuan bertanya kepada si petugas laki-laki soal legalisir surat tersebut. Yang ditanya tampaknya juga tidak punya jawaban dan memberikan solusi agar kami menunggu sampai kepala KUA-nya datang, yang saat itu sedang ke luar kantor untuk menikahkan warga. Si petugas laki-laki lalu mengajak ibu saya berbincang, rasa-rasa pernah kenal sebelumnya. Eh ternyata iya, petugas ini saudaranya temannya bla bla... ibu saya. Dan dimulailah percakapan si A dimana sekarang, si B dimana, sampai HIJKLMN. Si petugas pamit untuk urusan lain sambil mengatakan kalau legalisir surat aja bisa cepat kok.

Kini tinggal saya dan ibu saya duduk di ruang depan mengamati petugas yang hilir mudik dan serombongan orang yang akan melakukan akad nikah di KUA. Ibu saya tiba-tiba bilang, 

“Tenang aja, mama tau kok kepalanya ini. Dia itu saudaranya saudara mama dari bla… bla… bla…” Yang sekarang saya tidak bisa ingat lagi simpul-simpul keluarga mana yang mempertemukan ibu saya dengan sang kepala KUA.

Setelah sekitar setengah jam kami menunggu, sang kepala KUA akhirnya datang. Dengan gesit, ibu saya langsung menghampiri dan tak lupa mengeluarkan jurus ‘ingat-gak-sama-saya’. Sang kepala KUA mengenali ibu saya, menanyakan kabar dan maksudnya datang ke KUA. Setelah membaca surat dari Kantor Kelurahan, dia menggangguk,

“Ah ya, ini dilegalisir di sini,” katanya sambal menyerahkan suratnya ke bawahannya. Beberapa petugas yang ada di sana mengangguk-angguk ‘Oh-I-see’ yang membuat saya semakin yakin kalau mereka mungkin tidak pernah menerima permintaan untuk melegalisir surat keterangan belum kawin sebelumnnya.

Lega rasanya karena urusan selesai. Jasa besar lagi diberikan oleh ibu untuk saya. Membuat urusan perbirokrasian ini menjadi lebih cepat. Eh, tapi cara-cara seperti ini termasuk nepotisme nggak sih? Hahaha… 

Saya coba cek di KBBI, hasilnya:

nepotisme/ne·po·tis·me/ /népotisme/ n 1 perilaku yang memperlihatkan kesukaan yang berlebihan kepada kerabat dekat; 2 kecenderungan untuk mengutamakan (menguntungkan) sanak saudara sendiri, terutama dalam jabatan, pangkat di lingkungan pemerintah; 3 tindakan memilih kerabat atau sanak saudara sendiri untuk memegang pemerintahan.

So, mungkin saya dan ibu saya mengambil keuntungan dari koneksi ibu saya di kantor-kantor pemerintahan untuk urusan surat ini. Kalau yang minta legalisir itu misalnya orang yang sama sekali tidak punya kenalan di KUA, apakah akan semudah kami mendapatkan legalisir? Tapi kok saya punya pembenaran ya. Toh para pegawai kantornya aja pada nggak paham apa yang diperlukan warganya. Jadi ya kita maen tembak aja prosedurnya gimana. Ya nggak? 
baca selengkapnya

9 Juli 2018

Saya dan Belanda

September 2016 saya ke Belanda. Itu memang bukan kali pertama saya menjejakkan kaki di negeri kincir angin tersebut. Tapi kali itu berbeda dengan perjalanan saya sebelumnya. Saya akan tinggal selama 1 tahun untuk kuliah. Akhirnya mimpi saya sejak kecil terwujud juga.

Adalah sepupu ibu saya yang pertama kali mengilhami saya untuk bisa ke Belanda. Saya lupa tepatnya, kira-kira saat saya masih kelas 2 atau 3 SD, ibu mengajak saya ke rumah salah satu tantenya yang anak pertamanya baru pulang dari Belanda. Saya tak yakin apakah sepupu ibu saya itu kuliah di sana untuk S1, S2 atau untuk short course, yang pasti saya terkesima dengan ceritanya tentang negeri di Eropa sana itu, dengan oleh-oleh keramik Blue Delft (ini baru saya tahu namanya bertahun-tahun kemudian). 

Cita-cita saya untuk kuliah ke Belanda sempat “terganggu” karena kecintaan saya terhadap manga dan anime. Ya saya pernah kepikiran untuk kuliah di Jepang. Bahkan, pilihan ketiga UMPTN (adek-adek, google lah apa itu UMPTN - saya ambil IPC yang 3 opsi) saya ambil Sastra Jepang. Gak jelas juga sebetulnya mimpi saya dulu itu apa. ‘Jepang kayaknya seru tuh’. Udah. Eh yang jebol justru pilihan pertama di Psikologi UGM. Tahun kedua saya kuliah di Jogja, saya bahkan ikut les Bahasa Jepang. Lumayan satu level doang, habis itu nyerah seiring dengan melunturnya hobi saya baca manga dan nonton anime. Plus, sepertinya psikologi dan isu-isu sosial yang semakin saya tekuni, agak kurang pas ya kalo dipelajari di Jepang. Mulai kembalilah saya pada mimpi saya dulu: Belanda. Lulus S1 tahun 2007, saya langsung hunting beasiswa sana-sini karena hal yang mustahil bagi saya untuk membiayai sendiri, atau minta orang tua. Beberapa kali saya ditolak, akhirnya males mau lanjut usaha. Ketahuilah saudara-saudara, buat apply beasiswa itu butuh energi dan waktu. Plus dana buat perbarui hasil IELTS atau TOEFL.

Sepupu saya dari pihak ayah, yang dari jaman sekolah selalu juara kelas, aktif di kegiatan sekolah, dan bahkan dapet jalur khusus kuliah di UI, berangkat ke Belanda, kalau tidak salah tahun 2009, dengan beasiswa StuNed. Terbit kembalilah hasrat saya untuk melanjutkan kuliah. Saya mulai persiapan lagi. Kali ini jauh lebih serius. Apalagi mengingat prestasi saya itu ibarat remahan rengginang jika dibandingkan setoples rengginang sepupu saya. Bertambah pula motivasi saya untuk ke Belanda karena tahun 2010 saya bertemu dengan seorang Belanda.

Tahun 2011, saya dapat dua LoA dari dua universitas di Belanda. Saya juga ambil les Bahasa Belanda di Erasmus Taalcentruum di Kedutaan Belanda di Jakarta. Saya lulus level 1. Sayangnya, beasiswa untuk kuliah belum saya dapatkan. Tahun 2012 saya coba lagi. Dewi Fortuna belum juga mau nyapa saya. Kendor lagi lah semangatnya. Gitu ya saya mah hahaha… Tapi masih lanjut kursus lagi. Kali ini di Karta Pustaka Yogyakarta karena saya memutuskan untuk balik ke Jogja. Karena sistem belajarnya agak berbeda dengan di ETC, meskipun menggunakan bahan ajar yang sama, saya tidak bisa benar-benar lanjut ke level 2. Jadi kalau ditanya, udah level berapa Bahasa Belanda saya, saya selalu jawab: 1,5. Hehehe…

Tahun 2014 saya pindah ke Jakarta lagi dan saya memutuskan untuk fokus kerja aja dulu lah, merapikan CV biar lebih mantap kalau mau daftar beasiswa lagi.

Well, akhirnya aplikasi StuNed saya tahun 2016 diterima juga. Saya beruntung karena di fase baru mereka sedang coba saring penerima beasiswa hanya melalui satu tahap seleksi: administrasi saja. Gila juga. Tapi mereka mengurangi hampir separuh kuotanya, jadinya ya boleh dibilang sama aja ketatnya. Oya, setelah saya coba ambil psikologi beberapa kali dan gagal, kemudian menyadari kalau jalur karir saya gak ada psikologi-psikologinya (ada sih, tapi dikit), lalu tiba-tiba dapet email blast dari seorang rekan dari jaringan kerja tentang Koninklijk Instituut voor de Tropen (KIT) yang punya program master’s degree in public health yang spesifik di isu sexual and reproductive health and rights dan saya daftar dan keterima, akhirnya saya masukkan KIT dalam aplikasi StuNed saya. Dan ya, berhasil! Keberuntungan saya yang lain adalah isu kesehatan sebetulnya bukan lagi prioritas untuk StuNed. Dan saat StuNed Day di Kedutaan Besar Indonesia tahun 2017, saya ngobrol dengan orang StuNed yang bilang kalau StuNed akan menghentikan kerja samanya dengan KIT karena, again, isu kesehatan tidak lagi menjadi prioritas mereka. Tapi jangan khawatir, handai taulan yang pengen kuliah di KIT dengan beasiswa, masih bisa coba curi kesempatan dari Orange Knowledge Programme (dulu bernama Netherlands Fellowship Programme) atau beasiswa dari KIT.

Satu tahun di Belanda saya tidak hanya belajar materi kuliah. Hmm… terdengar seperti promosi beasiswa-beasiswa luar negeri: Anda juga akan belajar untuk beradaptasi dengan lingkungan yang baru, belajar bekerja sama dengan orang-orang dari latar belakang dan pengalaman yang berbeda, belajar mengembangkan sayap dan menempatkan diri dalam kancah internasional, bla bla… Ya itu memang benar, saya rasakan sendiri saat saya kuliah. Tapi yang paling saya rasakan saat saya kembali ke Indonesia adalah… sepertinya Belanda memang lebih cocok dengan pilihan hidup saya. Ayah saya sepertinya sudah mencium niat saya ini. Saat saya pulang ke rumah orang tua setelah menyelesaikan kuliah saya di Belanda, dia bilang, “Lho, kirain kamu nggak akan pulang ke Indonesia…” Saya cuma nyengir.

Kalau kuliah ke Belanda sudah nongkrong di otak saya sejak kecil, pindah ke Belanda mungkin relatif baru. Seringnya juga keinginan itu datang dan pergi. Mungkin karena sebelum-sebelumnya otak saya masih mengategorikan rencana itu sebagai mimpi, perasaan yang muncul lebih ke excitement gak jelas. Sekarang saat saya benar-benar (ingin) membulatkan tekad untuk pindah ke sana, justru muncul keragu-raguan: siapkah saya meninggalkan Indonesia? Keluarga, teman, pekerjaan, gorengan pinggir jalan, ojek online? Sebetulnya saya ini kepedean terlalu dini. Sebelum bisa pindah ke sana, jalannya gak gampang. Pertama saya harus lulus inburgeringsexamen, alias tes Bahasa Belanda dasar (level A1) dan pengetahuan seputar Belanda. Untuk tes ini, saya masih sedang mempersiapkan sejak saya kembali ke tanah air. Walaupun belum pede, saya nekad aja daftar dulu untuk tes. Lima hari kemudian saya dapat konfirmasi, dan saya diminta untuk mengontak Kedutaan Belanda untuk membuat janji kapan akan tes. Dan keluarlah tanggal 9 Juli 2018! Dag dig dug kan…(**) Jika hasil tesnya memenuhi syarat, barulah saya bisa apply visa MVV untuk resident permit. Tentu saja ada sekian dokumen yang harus saya urus terlebih dulu, tidak seperti saat saya apply MVV untuk kuliah yang jauh lebih mudah. Setelah mendapatkan MVV dan terbang ke Belanda, saya harus ambil inburgeringsexamen A2 dalam waktu 3 tahun agar saya benar-benar bisa dianggap terintegrasi dengan masyarakat Belanda. Dan, tentu saja, saya harus cari pekerjaan di sana. Well, it is still hard to believe that in a few months, if I pass the exam and the visa is granted, I will start my new journey. It won’t be easy, indeed. But I’m preparing myself to be ready.


(**) Kabar gembira datangnya tidak hanya dari mastin. Saya baru aja selesai inburgeringsexamen! Cukup pede sih dengan ujiannya (ga tau juga hasilnya gimana tar haha…), berkat rajin latihan dan minum milo setiap hari. Buat kalian yang mau ikut ujian ini dan mau latihan, cek blog satu ini. Berguna banget, dan Mbak Geraldine-nya ramah dan suka menolong. Pengalaman saya pribadi tentang inburgeringsexamen ini? Tar aja deh kalo hasilnya udah keluar, gak enak sama tetangga.

baca selengkapnya

6 Februari 2018

Maaf dan Terima Kasih

Hari Minggu kemarin saya belanja untuk keperluan harian di supermarket yang ada di mall yang jaraknya hanya lima menit jalan kaki dari tempat saya tinggal (Ya Tuhan, berikan hamba-Mu ini kekuatan…). Salahnya saya sendiri tidak mempertimbangkan kalau hari Minggu itu pusat-pusat perbelanjaan pasti ramai, jadilah acara belanja yang harusnya singkat dan padat, acara kali ini tidak hanya memakan waktu lama tapi juga menguji mental. Ya elah, masak beli pisang, roti, sama susu aja pake ujian mental segala? Begini ceritanya.

Kejadian pertama, saat saya ngantri untuk minta ditimbangkan pisang, di depan saya adalah seorang ibu yang menerima buah yang sudah ditimbangkan dan diberi label harga oleh petugas supermarketnya. Sambil tersenyum, si petugas mengucapkan terima kasih. Yang diberi ucapan justru melengos aja gitu dengan muka judes. Kok saya agak gimana gitu ya?

Saya lalu ke bagian camilan. Saat saya sedang mempertimbangkan dengan penuh seksama wafer mana yang akan saya beli, jari kelingking kaki saya digilas roda baby stroller. Sadar kalau baby strollernya sudah tidak berada di jalan yang benar, saya rasakan si stroller ditarik balik. Otomatis saya lihat siapa oknumnya. Yang dipandang balik melihat saya dengan muka datar. Sungguh datar. Saya coba mengernyitkan dahi dan memberi kode, “Ada sesuatu yang seharusnya kamu katakan, bukan?” Tidak ada suara apapun, saudara-saudara. Santai aja gitu belokin strollernya.

Kejadian selanjutnya adalah saat saya antri di kasir. Di depan saya adalah seorang bapak usia paruh baya dengan kereta dorongan penuh belanjaan. Kemudian datang seorang perempuan usia SMA, menambahkan belanjaan ke dalam kereta, berbicara sesuatu kepada si bapak yang membuat saya mengambil kesimpulan kalau dia anaknya, lalu si perempuan itu pergi. Si bapak sudah berada di depan petugas kasir ketika si anak perempuan kembali dengan barang lain, lalu ia bergabung dengan perempuan lain, yang mungkin ibunya, yang menunggu di pintu masuk supermarket. Lalu mereka pergi entah kemana.

Si bapak sibuk sendiri memindahkan belanjaan ke counter kasir. Petugas kasir memberikan sehelai nota yang baru saja dia cap, “Pak, ini barangnya diambil lagi di counternya ya.”

“Ini barang apa ya, Mbak?”

“Ini kosmetik, Pak. Diambil di counter (menyebut merek).”

Saat si bapak itu membayar dengan kartu debitnya, seorang laki-laki muda, kira-kira usia SMA juga, muncul dari balik komputer kasir, menyodorkan deodorant roll-on kepada si bapak,

“Ini. Eh, masih bisa kan, Pak?” Tanpa melihat adanya beberapa orang yang sedang mengantri. Si bapak mengatakan kalau belanjaannya baru dibayar dengan kartu. Laki-laki muda itu lalu merangsek mendekati si bapak, “Jadi harus cash ya? Mama kemana?”

Ya, saudara-saudara, antrian harus terhenti karena si anak sibuk dengan hapenya mencoba menghubungi sang mama demi bisa membayar deodorant roll-on nya, sang mama nggak ngangkat-ngangkat telpon, dan akhirnya si bapak berkata kepada petugas kasir, “Dibatalkan saja, Mbak.” Dua orang yang mengantri di belakang saya tidak bisa menutup tawa nyinyir mereka. Sementara bapak-anak itu berlalu begitu saja dengan belanjaan mereka, tanpa rasa bersalah sudah membuat kami menunggu.

Ini orang-orang kok susah amat sih bilang maaf dan terima kasih?

*

Beberapa minggu lalu, saya bertemu dengan seorang sahabat di Jogja. Sambil makan bakso yang pernah jadi idola banget karena dekat dengan kantor saya dulu, kami mengobrol ngalor-ngidul, sampai ke topik soal minta maaf dan mengucapkan terima kasih. Saya bilang kalau saya dulu sebetulnya orang yang cukup kesulitan untuk minta maaf dan tidak terbiasa juga mengucapkan terima kasih untuk hal-hal yang saya anggap kecil, seperti saat tidak sengaja menabrakkan baby stroller, saat menerima buah yang baru ditimbangkan, atau membuat orang lain menunggu. Paling banter ya saya nyengir aja kalau bikin salah. Baru beberapa tahun belakangan saja kebiasaan minta maaf dan berterima kasih saya lakukan karena melihat orang yang paling dekat dengan saya melakukan hal tersebut dan saya melihatnya sebagai sesuatu yang memang layak untuk dicontoh.

Jujur, bukan hal yang mudah untuk mengubah kebiasaan ini. Di awal-awal, beberapa kali saya harusnya bilang terima kasih, yang keluar malah maaf. Serius lho! Sampai akhirnya saya sadar kalau saya harus melakukannya karena memang saya benar-benar ingin meminta maaf dan ingin mengatakan terima kasih. Bukan karena basa-basi. Saat saya minta maaf, saya mencoba memposisikan diri saya pada pihak yang dirugikan atas apa yang sudah saya lakukan. Nggak enak ‘kan kalau nunggu orang pake ATM lama banget kayak ATM punya dia sendiri? (Note: Tolong jangan dipraktekkan bayar gaji pekerja via ATM yang ada di lokasi dan waktu yang ramai ya).

Juga saat kita mengucapkan terima kasih. Kecuali Anda sudah mati rasa, ada perasaan senang ‘kan saat orang lain mengucapkan terima kasih kepada kita dengan ekspresi muka yang tidak dibuat-buat? Mungkin kita merasa kalau yang kita lakukan hanyalah hal yang kecil, tapi mungkin bagi orang lain perbuatan kita itu memberikan manfaat yang tidak sedikit.

Karena saya tidak percaya dengan konsep dosa dan pahala, bagi saya meminta maaf dan mengucapkan terima kasih melatih saya untuk lebih reflektif, sekaligus menyambung kembali rasa keterhubungan antara sesama. Jangan kemana-mana, tetap di…..!
baca selengkapnya

6 Desember 2017

Just Do It

Sudah hampir tiga bulan ini saya menganggur setelah saya kembali ke Indonesia di pertengahan September kemarin. Well, tidak benar-benar nganggur juga sih. Selain ada “bantu-bantu” teman (perlu pakai tanda kutip karena bantu-bantunya tetap dihargai secara profesional), pada beberapa masa saya cukup sibuk: nongkrong sana sini, jumpa teman ini itu, sambil tetap kirim lamaran ke sana kemari. Setelah kerjaan “bantu-bantu” selesai, teman-teman sibuk dengan pekerjaan mereka, dan tidak ada lowongan pekerjaan yang menarik untuk saya daftar, mulailah saya dilanda kebosanan. Mau ngapain lagi ya?

Tahun 2012 saya pernah juga mengalami masa-masa menganggur seperti ini. Tanpa pekerjaan dan tabungan yang ala kadar, saya nekad resign dari Jakarta dan kembali ke Jogja. Saya merasa saat itu saya lebih termotivasi untuk melakukan banyak hal. Saya beli sepeda dan kemana-mana dengan modal gowes. Walaupun pada akhirnya saya bergabung dengan teman saya di dunia per-branding-an, toh saya masih sempat dan punya energi untuk kegiatan lain-lainnya, bahkan sampai akhirnya bisa kecapaian juga menyusun buku. Sekarang rasanya lain. Entah apakah karena sekarang saya nganggurnya di Jakarta, atau faktor lain yang enggan saya akui: umur. Hahaha…

Beberapa teman, yang sebagian sudah bertahun-tahun tidak bertemu, saya jumpai untuk sekedar menuntaskan rindu, update gossip (ini menu utama sebetulnya), atau sekedar haha-hihi. Saat saya mengutarakan kebosanan yang saya rasakan, beberapa dari mereka malah bertanya, “Kenapa nggak nulis lagi, Link?” Jleb.

Gara-gara itulah sebenarnya tulisan ini saya buat. Saya coba untuk kembali ke blog ini, yang andaikan rumah, mungkin sudut-sudutnya sudah dipenuhi sarang laba-laba dan kayu-kayunya melapuk digerogoti rayap. Asal tau saja, untuk bikin paragraf kedua tulisan ini, saya perlu nonton film Detektif Conan dulu, tutup laptop, makan, main Angry Birds 2, mandi, tidur. Saya merasa kemampuan saya menulis menurun drastis. Maksudnya menulis kreatif, bukan ngerjain tugas kuliah atau tesis lho ya (jangan curhat… jangan curhat…). Apa memang untuk memulai kembali sesuatu yang sudah lama ditinggalkan itu butuh energi luar biasa besar, atau memang sayanya saja yang malas? Atau, lagi-lagi, faktor umur? Hahaha…

Pengalaman nulis saya memang tidak banyak. Selain blog, yang alhamdulillah pernah menang kompetisi, hanya satu buku yang saya tulis di masa “nganggur” pertama, dan saya lebih sering bilang kalau buku itu lebih mirip kliping informasi (pun kabarnya entah gimana itu buku). Tulisan-tulisan saya yang lainnya tersebar di buku-buku kompilasi, plus laporan proyek. Duh mak! Maka ketika beberapa teman mulai mendorong saya untuk nulis lagi, saya merasa mendapatkan tantangan. Lebih untuk membuktikan kepada diri saya sendiri kalau saya bisa.

Menerima tantangan tersebut tentu ada konsekuensinya: saya harus mulai membaca lagi. Saya sadar bahwa kejumudan saya dalam menulis adalah, selain malas, juga kurangnya asupan bacaan. Satu tahun kemarin, otak saya dijajah oleh berpuluh-puluh jurnal -yang alhamdulillah karena daya ingat saya yang luar biasa buruk, sulit saya ingat lagi isinya. Mungkin karena terlalu banyak baca jurnal-jurnal itu, ada rasa-rasa eneg kalau liat tulisan yang banyak. Ya Tuhan, inikah yang namanya trauma? Jadi, apa kabar keinginan lanjut PhD? Well, saya saat ini sedang berusaha kembali menjalin kasih dengan buku karena saya sadar saya harus memperkaya referensi lagi, baik itu secara perspektif maupun teknis.

Hanya dua buku yang selesai saya baca dalam rentang tiga bulan ini: Sejuta Warna Pelangi-nya Clara Ng dan Gadis Naik Bujang-nya Shanti Agustiani. Eh, buku pertama itu bukannya buku anak-anak ya? Betul. Sengaja saya beli untuk referensi karena masih ada hasrat untuk menuntaskan mimpi membuat buku untuk anak-anak. Oke, buku ini memang selesai dibaca dalam waktu kurang dari satu jam hahaha…. Tapi beberapa malam saya habiskan untuk menikmati ilustrasi-ilustrasinya yang digarap beberapa ilustrator buku anak berpengalaman. Nah, kalau buku yang kedua itu novel pendek karya teman saya, tentang masa pubertas remaja perempuan. Awalnya saya beli sebagai bentuk dukungan terhadap teman. Lalu ketika saya diajak untuk berkolaborasi menulis dengannya, saya merasa ada kebutuhan untuk menyelesaikan buku tersebut untuk menjajaki cara berpikirnya yang akan penting bagi saya jika memang nantinya kami berdua akan bekerja bersama. Sekarang, saya sedang mulai membaca buku Psikologi Terapan yang disunting dosen saya di Psikologi UGM. Aih, katanya trauma baca bacaan berat? Hehehe… Anggaplah ini transisi, karena isinya tidak seberat jurnal dan teori-teori kuliah.

Bagi yang menunggu-nunggu apa sebetulnya inti dari tulisan saya kali ini, silakan berhenti berharap hahaha… Tulisan ini tak lebih dari sekedar uji coba saja. Meminjam tagline-nya Nike “Just do it”, saya hanya sedang ingin menulis apa yang ada dalam kepala. Karena kalau nunggu “Ah nanti kalau ada topik seru. Tar aja kalau ada pengalaman asik. Ganti laptop dulu ah biar semangat nulisnya”, sampai lebaran kuda tujuh kali pun, JK Rowling mungkin tidak akan melahirkan Harry Potter.


*Disclaimer: saya tidak mendapatkan keuntungan apapun dari Nike. Sepatu lari saya aja merk-nya lain #kodekerasbuatyangmaudiendorse

baca selengkapnya