25 Oktober 2011

Serumit Membalik Telapak Tangan

Beberapa teman saya belum menikah, banyak diantaranya yang berusia di atas saya. Sebagian memang seperti tidak berminat dengan pernikahan, bahkan mungkin juga tidak dengan berpasangan. Tapi sebagian yang lain tampak sekali mendambakan pernikahan, cuma saja 'belum ketemu yang cocok' atau 'belum diberi jodoh'.

Untuk alasan pertama, yang 'belum ketemu yang cocok', di telinga saya terdengar lebih baik daripada yang alasan kedua. Mungkin karena saya berprasangka kalau alasan kedua itu sebetulnya sebelas dua belas dengan yang pertama, cuma dibungkus 'diberi' yang lebih terkesan ada kaitannya dengan yang namanya nasib, dengan takdir, dengan Sang Pengatur Hidup, dengan yang sampai saat ini masih saya ragukan. Mereka percaya kalau Ia belum berkehendak, mau dicari sampai tujuh samudera juga si jodoh itu tidak akan ketemu. Saya melihatnya, urusan mencari pasangan ini jadi begitu rumit, berkelindan dengan roda takdir.

Ayah saya, punya teorinya soal takdir -yang belakangan saya percaya teori tersebut- termasuk urusan jodoh perjodohan. Beliau bilang seperti ini kira-kira, "Takdir itu turun saat kita sudah memilih, jadi kalau kita tidak mencari dan memilih jodoh, tak akan ada juga takdir berjodoh bagi kita". Dulu saya anggap ide itu gila karena keyakinan buta saya saat itu. Sekarang saya tahu darimana otak liar ini saya dapatkan.

Terus terang saya bingung memberi jawaban saat ada orang yang bertanya bagaimana cara mendapatkan pasangan. Apalagi kalau orang yang bertanya bisa dengan mudah menarik perhatian orang lain. Ya ya... saya tahu berpasangan itu berbeda dengan berhubungan seks. Meskipun dua-duanya kadang tak bisa dipisahkan, tapi pada beberapa kasus ada yang berpasangan dan memilih untuk menunda berhubungan seks karena alasan nilai-nilai individu, dan ada juga yang bisa melakukan hubungan seks dengan orang yang baru dikenal satu atau dua jam lalu, tanpa terikat oleh kata "pasangan".

Biasanya saya jawab dengan kalimat klise, "Mungkin kamu belum benar-benar membuka hati?", "Mungkin kamu butuh bersosialisasi di lingkungan lain?", "Mungkin kamu punya kriteria yang belum bisa kamu temukan dari orang-orang yang ada di sekitar kamu sekarang?". Mungkin... Selalu banyak kemungkinan, tapi saya hampir selalu mencoba menghindari mengatakan, "Mungkin bukan takdirmu..."

Bagi beberapa orang, berpasangan bukan perkara yang mudah. Pertama, kadang kita terikat dengan kriteria-kriteria yang terlalu sempurna mengenai seperti apa pasangan yang kita inginkan. Ini salah satu mungkin lain dari sulitnya orang mendapatkan pasangan atau menjadi begitu mudahnya orang memutuskan hubungan dengan pasangannya karena ada sesuatu yang sangat tidak kita suka, mengupil di depan banyak orang, misalnya.

Saya tidak sengaja menemukan buku Erich Fromm, The Art of Loving, di rumah teman saya. Saya cuma baca satu halaman (saya harus mendapatkan buku itu!) dan ya... dia mengatakan, banyak orang seringkali hanya terfokus bagaimana agar diri kita dicintai. Menganggap itu sebagai kebutuhan. Butuh memiliki pasangan yang mencintai dan bisa menerima diri kita alih-alih sebaliknya. Kita sendiri menekan kebutuhan kita yang lain, kebutuhan untuk mencintai. Bahkan untuk urusan cinta mencintai, kita masih saja egois.

Apakah egois soal cinta itu salah? Tentu tidak. Dalam kadar tertentu, cinta itu memang egois. Jika ada dua orang yang memenuhi kriteria kita datang bersamaan menyatakan cinta kepada kita, apa kita akan lantas menerima dua-duanya sekaligus? Mungkin. Tapi jika kita termasuk penganut monogami, yang menekankan kita untuk memlih satu saja pasangan, siapa yang akan kita pilih? Sama seperti ketika kita meninggalkan orang yang sudah menjadi pasangan selama bertahun-tahun karena tanpa sengaja kita mendapatkan kenyamanan yang lebih dari orang yang kita temui di suatu senja dan hati kita mengatakan, "Ya, dia orangnya!". Mungkin kita memikirkan perasaan orang yang tidak kita pilih, orang yang kita tinggalkan, tapi saat kita memilih yang lain dan meninggalkan yang lainnya, kita tak lebih dari seorang egois, bukan?

Perkara lain dalam berpasangan adalah saling memahami satu sama lain. Beruntung jika dua orang yang berpasangan bisa meraih mimpinya masing-masing dan masih terikat pada sebuah komitmen. Namun tak jarang, salah satu atau mungkin dua-duanya, harus mengalah. Kita harus mengubur mimpi kita sebelumnya lalu memupuk mimpi yang baru bersama pasangan. Bagi saya, inilah saat-saat ujian. Ujian bagi kadar keegoisan kita. Saat kita bertanya, apakah jika kita lupakan mimpi pribadi kita demi bisa berpasangan akan membuat kita tetap bahagia?

Maaf, saya tidak sedang bicara tentang cinta buta yang artinya kita menurut begitu saja apa yang dikehendaki pasangan kita. Kata kuncinya ada di negosiasi. Apakah kita dan pasangan sama-sama menawarkan alternatif pilihan? Ada proses dialog bagaimana untuk meminimalisir kerugian di masing-masing pihak. Win and win solution bagi saya itu fatamorgana. Pasti selalu ada yang harus mengalah. Mengalah bukan pada pasangan, tapi pada kondisi yang memaksa kita untuk mencari alternatif solusi terbaik bagi diri kita dan pasangan.

Nah, saya malah seperti sedang tambah menakut-nakuti orang yang sedang mencari pasangan. Hehehe... tidak, tidak. Cinta bisa begitu kompleks jika kita membuatnya seperti itu, demikian juga sebaliknya, karena bagi saya, cinta itu energi yang luar biasa, kita bisa membuat prosesnya menjadi sederhana dan mudah. As easy as one, two, three... (Plain White T's - 1234)



baca selengkapnya

9 Oktober 2011

Ideal dan Realita: Saya

Bagi saya, mengunjungi Jogja adalah berarti pulang. Saya tidak punya keluarga di sana, jika yang dimaksud dengan keluarga adalah orang tua atau kakak adik kandung atau orang-orang yang berhubungan darah. Tidak pula ada rumah di sana, jika yang dipahami rumah sebagai sebuah bangunan berpintu dan berdaun jendela. Keterikatan saya dengan Kota Gudeg itu tidak sebatas hanya karena saya pernah kuliah di salah satu universitasnya. Lebih dari itu, sebagian proses penting dalam hidup saya dimulai di antara keramaian Malioboro dan heningnya Kaliurang di malam hari.

Bagaimana saya memandang konsep keluarga dan rumah yang berbeda hanya satu dari sekian banyak proses perubahan dalam diri saya. Toh saya lahir dan dibesarkan, sangat beruntung, dalam keluarga yang utuh, lengkap dengan rumah -dalam arti yang sebenarnya. Yogyakarta telah memberikan banyak pelajaran tentang hidup, cinta dan perjuangan. Dan sekali lagi, saat kemarin saya menghabiskan waktu hampir satu minggu di sana, Yogyakarta dengan nyata memberikan satu lagi pelajaran: bahwa materi bukan segalanya.

Bekerja di Jakarta tentu saja menjanjikan isi dompet lebih tebal, walaupun terkikis juga oleh pengeluaran sehari-hari yang selangit dan gaya hidup. Saya mendapatkan gaji berkali-kali lipat dibandingkan saat saya bekerja di Yogyakarta. Itu patut saya syukuri. Tapi tentu saja ada tebusannya. Awalnya saya pikir, kekalutan saya hidup dan bekerja di ibukota hanya sebuah proses saja. Toh banyak teman dan orang lain yang bisa menikmati hiruk pikuknya kota Jakarta. Saya mengira saya akan juga bisa seperti mereka. Tapi ternyata tidak.

Saya masih bisa tertawa di sini. Tapi tawanya terasa lain. Beberapa kali saya merasa ada sesak dalam tawa saya. Saat saya di Jogja kemarin, saya bisa tertawa lepas. Segar dan menyenangkan.

Saya bertemu banyak orang di sini. Beberapa yang sebelumnya hanya saya dengar saja nama mereka karena posisi dan kehebatan mereka. Siapa saya di depan mereka? Saat saya di Jogja kemarin, saya bertemu kenalan-kenalan lama yang mengakui keberadaan saya. Bangga dan melegakan.

Saya juga memiliki teman di sini. Sebagian besar hanya saya temui saat jam kantor. Saya akui saya yang membuat pagar karena merasa cara berpikir saya dengan mereka dalam beberapa hal agak berbeda. Saat saya di Jogja kemarin, kawan-kawan saya biarkan bebas bermain di halaman saya. Nyaman dan membuat saya hidup.


Dari yang hanya teori bahwa materi bukan segalanya, saya mengalami sendiri bagaimana kehidupan yang membuat segar, bangga dan nyaman itu tidak saya dapatkan dari materi. Hampir satu minggu saya hidup dalam dunia ideal saya: membuat desain dengan santai, mengobrol sampai larut malam ditemani kopi dua ribu lima ratus rupiah, mengata-ngatai dan dikata-katai kawan tanpa ada sakit hati, tidak mengalami lalu lintas macet berjam-jam.

Sekarang saya kembali ke realita yang sebetulnya saya sendiri yang menciptakan. Awalnya ada rasa sesal, tapi saat saya sadar bahwa apa yang sedang saya lakukan adalah juga untuk mendapatkan kehidupan ideal yang saya inginkan, saya berusaha menghidupkan kembali diri saya. Setidaknya, saya tahu kemana saya harus pulang saat saya nanti sudah merasa letih.
baca selengkapnya