9 Oktober 2011

Ideal dan Realita: Saya

Bagi saya, mengunjungi Jogja adalah berarti pulang. Saya tidak punya keluarga di sana, jika yang dimaksud dengan keluarga adalah orang tua atau kakak adik kandung atau orang-orang yang berhubungan darah. Tidak pula ada rumah di sana, jika yang dipahami rumah sebagai sebuah bangunan berpintu dan berdaun jendela. Keterikatan saya dengan Kota Gudeg itu tidak sebatas hanya karena saya pernah kuliah di salah satu universitasnya. Lebih dari itu, sebagian proses penting dalam hidup saya dimulai di antara keramaian Malioboro dan heningnya Kaliurang di malam hari.

Bagaimana saya memandang konsep keluarga dan rumah yang berbeda hanya satu dari sekian banyak proses perubahan dalam diri saya. Toh saya lahir dan dibesarkan, sangat beruntung, dalam keluarga yang utuh, lengkap dengan rumah -dalam arti yang sebenarnya. Yogyakarta telah memberikan banyak pelajaran tentang hidup, cinta dan perjuangan. Dan sekali lagi, saat kemarin saya menghabiskan waktu hampir satu minggu di sana, Yogyakarta dengan nyata memberikan satu lagi pelajaran: bahwa materi bukan segalanya.

Bekerja di Jakarta tentu saja menjanjikan isi dompet lebih tebal, walaupun terkikis juga oleh pengeluaran sehari-hari yang selangit dan gaya hidup. Saya mendapatkan gaji berkali-kali lipat dibandingkan saat saya bekerja di Yogyakarta. Itu patut saya syukuri. Tapi tentu saja ada tebusannya. Awalnya saya pikir, kekalutan saya hidup dan bekerja di ibukota hanya sebuah proses saja. Toh banyak teman dan orang lain yang bisa menikmati hiruk pikuknya kota Jakarta. Saya mengira saya akan juga bisa seperti mereka. Tapi ternyata tidak.

Saya masih bisa tertawa di sini. Tapi tawanya terasa lain. Beberapa kali saya merasa ada sesak dalam tawa saya. Saat saya di Jogja kemarin, saya bisa tertawa lepas. Segar dan menyenangkan.

Saya bertemu banyak orang di sini. Beberapa yang sebelumnya hanya saya dengar saja nama mereka karena posisi dan kehebatan mereka. Siapa saya di depan mereka? Saat saya di Jogja kemarin, saya bertemu kenalan-kenalan lama yang mengakui keberadaan saya. Bangga dan melegakan.

Saya juga memiliki teman di sini. Sebagian besar hanya saya temui saat jam kantor. Saya akui saya yang membuat pagar karena merasa cara berpikir saya dengan mereka dalam beberapa hal agak berbeda. Saat saya di Jogja kemarin, kawan-kawan saya biarkan bebas bermain di halaman saya. Nyaman dan membuat saya hidup.


Dari yang hanya teori bahwa materi bukan segalanya, saya mengalami sendiri bagaimana kehidupan yang membuat segar, bangga dan nyaman itu tidak saya dapatkan dari materi. Hampir satu minggu saya hidup dalam dunia ideal saya: membuat desain dengan santai, mengobrol sampai larut malam ditemani kopi dua ribu lima ratus rupiah, mengata-ngatai dan dikata-katai kawan tanpa ada sakit hati, tidak mengalami lalu lintas macet berjam-jam.

Sekarang saya kembali ke realita yang sebetulnya saya sendiri yang menciptakan. Awalnya ada rasa sesal, tapi saat saya sadar bahwa apa yang sedang saya lakukan adalah juga untuk mendapatkan kehidupan ideal yang saya inginkan, saya berusaha menghidupkan kembali diri saya. Setidaknya, saya tahu kemana saya harus pulang saat saya nanti sudah merasa letih.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar