2 Januari 2011

"Pak Menakertrans, ini ada cerita!"


(Tulisan ini dibuat pada 16 Desember 2010)


Empat puluhan, mungkin lebih, perempuan. Semua berjilbab. Bergerombol dalam kelompok-kelompok kecil. Saya tahu mereka akan bekerja di luar negeri saat sama-sama antri untuk boarding. Kebetulan mereka akan satu pesawat dengan saya, hanya saja mereka turun enam jam lebih cepat.  Dubai.
Awalnya, saya ingin bercerita tentang perjalanan saya, bagaimana prosesnya, fasilitas, dan sebagainya. Tapi keberadaan perempuan-perempuan itu jauh lebih menarik untuk saya tulis. Ya mungkin nanti saya akan menulis bagaimana (mudahnya) mengurus visa schengen, tiket pesawat yang murah meriah, dan sebagainya.


Saat saya tahu mereka adalah para calon pekerja migran, mau tidak mau pikiran saya langsung melayang ke kisah-kisah tragis para pekerja migran, yang kebanyakan perempuan. Perlakuan majikan yang buruk, kurangnya perhatian dari pemerintah dan sebagainya. Kisah konyol juga muncul di benak saya ingat saat bapak presiden kita memiliki program ‘cemerlang’ agar para pekerja migran tersebut bisa terlindungi: diberi handphone! Pak Presiden ini meremehkan atau bagaimana, sini deh tengok ke Soekarno-Hatta, mereka sedang asyik berbincang dengan sanak familinya di Jawa Barat sana lewat handphone (dugaan saya saja keluarga mereka di Jawa Barat karena mereka kebanyakan berbicara bahasa Sunda). Ya semoga saja, nanti sang majikan tidak merampas handphone mereka. Yang paling penting lagi, semoga saja kedutaan besar Indonesia di masing-masing negara tujuan pekerja migran bisa dihubungi 24 jam dan langsung turun tangan begitu ada kasus. Itu yang paling penting!


Kasus pekerja migran terakhir yang saya ingat itu kasus Sumiyati, walaupun setelah itu saya lihat beberapa kali di televisi ada kasus-kasus serupa juga. Terima kasih kepada media yang hanya mengekspos kasus Sumiyati terus-terusan. Itu bukan kasus pertama. Saya jadi penasaran apakah pemerintah punya data tahunan berapa banyak pekerja migran yang mendapatkan kekerasan dari majikan, berapa yang tidak pernah mendapatkan gaji, berapa yang tidak kembali. Mungkin pemerintah tidak punya data yang akurat karena angka pekerja migran ilegal yang masih cukup tinggi.


Saya hanya penasaran, dengan pemberitaan tentang kekerasan yang dialami pekerja migran, mengapa masih banyak juga yang berangkat ke sana ya? Ini baru satu penerbangan lho saya lihat ada puluhan perempuan akan berangkat ke Dubai. Bagaimana dengan penerbangan yang lain? Ke Malaysia, Taiwan, Hong Kong, Saudi Arabia? Bagaimana dengan hari-hari dan jam yang lain? Apa mereka tidak menonton televisi, mendengarkan radio atau membaca koran? Tidak ciutkah nyali mereka? Atau mereka paksa beranikan diri sendiri karena di tanah airnya sendiri mereka seakan tak dibutuhkan?


Satu hal yang membuat saya tersenyum adalah bagaimana maskapai penerbangan nasional ini memperlakukan mereka. Saya tidak sempat melihat bagaimana petugas bandara memperlakukan calon pekerja migran itu, walaupun yang saya dengar seringkali tidak sedap. Petugas maskapain ini sangat ramah. Sang petugas sambil tersenyum tidak hanya membantu mereka boarding, namun juga sempat mengajukan pertanyaan hangat, yang, bagi mereka, mungkin tidak biasa mendapatkan perhatian seperti itu, terbiasa diacuhkan, sehingga tidak tahu harus menjawab apa selain tersenyum.
Harapan saya satu, semoga saya bisa duduk bersebelahan dengan mereka. Sepuluh jam perjalanan mungkin akan menjadi sangat menyenangkan jika bisa mendengarkan kisah mereka. Harapan saya terkabul! Seorang perempuan muda duduk di samping saya, menemani perjalanan sampai Dubai.
Sebut saja Wiwin namanya. Asli Cirebon, hanya berjarak sekitar satu jam perjalanan dari kota tempat saya lahir dan dibesarkan. Awalnya agak canggung saya ingin bertanya, tapi akhirnya saya beranikan juga karena rasa penasaran.


“Ini yang kedua kali. Sebelumnya saya kerja di Suriah 3 tahun,” jawabnya saat saya bertanya soal tujuannya ke Dubai untuk bekerja.


“Tidak takut, Mbak? Kan banyak cerita menyeramkan soal pekerja Indonesia di Arab,” tanya saya.


“Ah, nggak, Mas. Majikan saya yang di Suriah baik kok.”


“Ya semoga yang di Dubai nanti juga baik ya, Mbak.”


“Hehehe... iya. Saya pasrah saja.” Deg! Kalimat terakhirnya ia ucapkan sambil tersenyum. Jika saya menjadi dia, saya tidak mungkin bisa pasrah begitu saja melihat berita di tivi soal kekerasan yang dialami para pekerja migran.


“Sudah lancar bahasa Arab donk, Mbak?” tanya saya lagi, mengalihkan topik dari hal-hal yang mungkin akan menambah hati saya tersayat. Saya egois.


“Nggak juga, Mas. Mengerti sedikit-sedikit saja.”


“Lho? Memang selama di Suriah bagaimana? Terus sebelum berangkat bekerja, tidak dikasi kursus bahasa dulu?” tanya saya penasaran.


“Dulu sih kalau bicara pakai bahasa Tarzan hehehe... Nggak ada kursus-kursus gitu. Saya di Jakarta cuma tiga hari, terus berangkat.”


“Selama tiga hari itu ngapain aja, Mbak?” saya bayangkan tiga hari pelatihan kecakapan, pengenalan budaya dan pembekalan lainnya yang akan berguna bagi para pekerja migran yang akan diberangkatkan.


“Nggak ngapa-ngapain. Cuma tidur, makan, tidur, makan hehehe... Enak tho?” jawabnya jujur.


Astaga! Terkejut saya. Tidak ada pembekalan sama sekali! Jadi biro-biro pekerja itu hanya menampung begitu saja lantas memberangkatkan mereka. Ckckck... lantas pemerintah juga diam saja? Tidak tahu, pura-pura tidak tahu atau bagaimana?


Sudah habis pertanyaan saya untuk Wiwin. Yang hendak ditanyai pun rupanya sudah bersiap-siap tidur, membentangkan selimut lalu menggunakannya untuk menutup seluruh tubuhnya. Kakinya diangkat ke atas kursi. Saya hanya bisa memandang langit gelap lewat jendela pesawat. Campur aduk pikiran saya. Saya hanya bisa berdoa semoga Wiwin dan rekan-rekannya diberikan keselamatan selama bekerja. Semoga juga bapak-bapak yang katanya wakil rakyat itu ada yang tidak sengaja baca blog saya (tapi buat apa juga ya kalau otak dan hatinya nggak jalan?)
baca selengkapnya