24 Agustus 2013

Dua Perempuan di Pinggir Jalan

Seperti biasa, saya bersepeda hari itu menuju kantor. Tapi karena harus mampir kampus dulu, jalur saya agak memutar dari yang biasanya. Mendekati perempatan terakhir, saya melihat pemandangan yang tidak hanya membuat kepala saya berputar seratus delapan puluh derajat menandingi kecepatan sepeda, namun membuat hati saya tersentuh.

Di dekat perempatan, duduk seorang perempuan yang sudah sangat tua di atas trotoar. Saya payah urusan naksir umur, tapi sepertinya sudah di atas 70 tahun. Di depannya tergelar sapu lidi, sapu ijuk dan beberapa barang lain. Ya, dia berjualan di sana. Hal pertama yang membuat saya tersentuh adalah setua itu dia masih harus berjualan. Perasaan yang selalu datang setiap kali melihat orang-orang tua yang seakan tak kenal letih mencari sesuap nasi. Dulu saya pernah berpikir, kemana para anak dari orang-orang tua ini? Atau saudaranya yang lain? Tapi kemudian, saya pernah sedikit mengobrol, karena keterbatasan bahasa, dengan satu orang tua yang dengan lembut memberi tahu alasannya tetap bekerja di usia senja, "Saya tidak mau membebani anak." Deg!

Hal kedua yang membuat saya takjub siang itu adalah saat seorang ibu yang membonceng anaknya di atas sepeda yang hanya beberapa meter di depan saya, berhenti dekat si perempuan tua. Saya pikir si ibu hendak membeli sapunya. Ternyata ia datang dengan satu plastik putih berisi beras. "Ini buat ibu...," katanya. 

Mungkin perkiraan saya ini tidak benar. Tapi melihat penampilan si ibu dengan kaos entah-event-apa, celana pendek dan sepedaan, saya menduga, dan kemungkinan salahnya bisa jadi besar sekali, si ibu bukanlah orang kaya yang kebetulan murah hati. Justru itu yang membuat hati saya terketuk. Dibandingkan orang-orang lain yang seliweran di jalan dalam mobil mereka, sekiloan beras itu bisa jadi barang yang juga berharga bagi si ibu. Dibandingkan orang-orang yang mengantri bensin di pom tak jauh dari sana, sekantung beras itu bisa saja dia tukarkan dengan barang lain yang dia atau keluarganya butuhkan. Mungkin tepatnya saya merasa tertampar alih-alih takjub.

Seringnya saya menunggu dulu sampai saya merasa lebih saat hendak memberikan sesuatu pada orang lain. Padahal merasa lebih itu yang jarang saya rasakan. Jadilah saya ngasihnya juga kapan-kapan. Itu kalau sedang ingat. Kalau tidak ya sudah. Malu saya pada diri sendiri.

Pemandangan yang hanya beberapa detik itu membuat memori saya sibuk mengeluarkan kembali kata-kata bijak yang pernah saya dengar. Dua orang perempuan di pinggir jalan yang tidak saya kenal itu telah memberi saya pelajaran. Dari perempuan tua penjual sapu, saya diingatkan untuk bekerja keras dan tak kenal menyerah. Dari ibu pemberi beras, saya diingatkan bahwa tak perlu menunggu untuk berbuat sesuatu bagi orang lain.
baca selengkapnya