1 Juni 2014

Mari Bercermin

Sebuah kabar beberapa hari lalu membuat saya geram. Sedih. Marah. Bagaimana tidak, di kota yang sudah saya anggap rumah, kota yang katanya menjunjung tinggi nilai keberagaman karena berbagai suku bahkan bangsa tumpah ruah, sekelompok orang berulah. Komplotan oknum menyerang kelompok lain saat mereka beribadah. Ya, perlu saya perjelas, komplotan oknum yang mengatasnamakan agama Islam menyerang sekelompok warga Katholik yang sedang berdoa bersama di sebuah rumah di Yogyakarta. Serangannya lebih dari babi buta. Disebutkan salah satu korbannya adalah anak 8 tahun! Astaga!

Alibi ‘karena awalnya dipanas-panasi’ sangat sulit dicerna akal saya jika yang mereka lakukan itu adalah atas nama agama, terlepas dari analisis tragedi tersebut sarat muatan politis menjelang pemilihan pemimpin negara. Bukankah agama Islam mengajarkan kesantunan dan mengedepankan dialog? Bagaimanapun, kekerasan dalam bentuk apapun tidak bisa dibenarkan apalagi sampai angkat golok. Saat belajar agama Islam, entah berapa kali saya diingatkan untuk berserah diri kepada Tuhan. Latar belakangnya jelas, ada kehidupan setelah mati dan seadil-adilnya pengadilan. Artinya kalaupun kita merasa dikalahkan di dunia ini, selalu ingat bahwa kelak Tuhan akan memenangkan kita di kemudian hari. Lupakah kalian pada hukum hari pembalasan?

Atau, para oknum itu memang tidak pernah diajari tentang itu. Yang ditanamkan hanya benih-benih kebencian kepada kelompok lain yang diliyankan. Itu sebab kelompok muslim lain, yang mayoritas, kemudian mengatakan, “Itu bukan Islam”, “Itu oknum yang mengatasnamakan Islam”, “Islam tidak seperti itu”. Saya sepakat. Mereka bukan muslim, mereka tak lebih dari makhluk bejat. Yang berkamuflase di balik takbir yang dilantangkan dengan nada kebencian. Bukan kekaguman. Sama seperti politikus yang berkedok agama, mereka gemar mengumbar ayat demi egonya.

Teringat saya suatu ketika ada teman di sosial media yang memberikan komentar karena saking seringnya saya membeberkan noda-noda yang diperbuat oknum berkedok Islam. Katanya, “Kenapa kamu sering memposting berita tentang oknum dari Islam, padahal oknum dari agama lain juga banyak.” Sebelum saya merespon, beberapa teman yang lain sudah memberikan komentar duluan. Selain komentar yang mengatakan karena mayoritas di Indonesia itu Islam sehingga lebih mudah mencari oknum yang Islam, satu komentar yang sangat ‘kena’ adalah lebih baik bercermin pada diri kita dahulu sebelum menilai orang lain.

Bagi saya komentar teman saya itu ibarat tamparan bagi muslim di Indonesia, yang mayoritas, yang merasa tidak menjadi bagian kelompok oknum. Coba kita bercermin. Benar-benar berdiri di depan cermin, maksud saya. Lantas apa yang kita lakukan jika kita merasa wajah kita tampak kusam atau rambut kita terlihat kusut atau baju kita tampak bernoda? Kemungkinan besar adalah kita segera cuci muka, menyisir rambut atau membersihkan noda. Terlebih lagi jika memang kita merasa harus tampil prima di hari itu.

Kita melihat wajah Islam yang tercoreng dan tampak bengis. Citra Islam yang tidak diinginkan dan sejatinya memang tidak demikian. Lalu apa yang dilakukan, saudara-saudara saya yang muslim? Berdiam diri saja dan menganggap itu tak ada kaitannya dengan Islam yang kita yakini padahal jelas mereka telah menginjak-injak nilai-nilai yang kita percayai itu? Dan kita mencerca segala berembel liberal dan individualisme karena itu dianggap ajaran Barat yang kafir tapi bergeming melihat perlakuan tidak manusiawi terhadap saudara kita yang lain. Menganggapnya tak lebih dari berita pohon tumbang karena angin kencang. Seperti itukah Islam yang katanya rahmatan lil 'alamin, rahmat bagi seluruh alam?  Semakin banyak oknum bermunculan dan semakin giat mereka mengangkat gagang besi dan pentungan, bukankah seharusnya kita semakin bertanya-tanya, mengapa Islam di Indonesia sekarang menjadi seperti ini?

Kita membiarkan kelompok oknum itu tetap hidup bahkan semakin beringas. Kita mendiamkan anak-anak kecil kita diajari paham-paham kedengkian di sekolah. Atau jangan-jangan kita bagian dari yang diam-diam dalam hati menyetujui agenda para oknum terhadap kelompok agama lain, bahkan pada kelompok Islam yang tidak sesuai dengan kita? Jika memang demikian, lupakanlah cermin. Teruslah berdiam diri tapi tak perlu protes saat orang lain menilai Islam itu jauh dari pesan damai. 

Maka senang rasanya jika saya bertemu atau mendapat kabar ada saudara-saudara muslim yang terbukakan hatinya, bahkan mencoba melakukan sesuatu untuk menghilangkan kusam, kusut dan noda dalam Islam. Jelas bukan hal yang mudah bagi mereka saat mayoritas merasa sudah sangat mapan dengan posisinya dan menjadi mudah curiga pada riak kecil yang sesungguhnya mencoba kembali menggairahkan tradisi berpikir.

Salah satu yang saya temukan adalah Sakdiyah yang menggunakan stand-up comedy untuk mengajak umat Islam bercermin. Melihat kembali pada apa yang sedang terjadi dengan Islam, terutama di Indonesia. Menurut saya, ini adalah cara yang cerdas dan alternatif untuk membuka ruang diskusi bagi pikiran-pikiran yang sudah lama ditumpulkan. Ini juga pengingat bagi saya pribadi kalau sekarang bukan saatnya berdiam diri. Yakinlah kalau mereka, para oknum, akan kalah nyali jika kita, yang jumlahnya jauh lebih banyak, bersama berdiri.



baca selengkapnya