30 Mei 2010

Sendiri Tanpa Kesepian


Saya sedang duduk sendiri di sebuah kedai kopi. Entah, tiba-tiba haus latte. Jarang saya nongkrong sendiri cuma buat ngopi. Tapi apa boleh buat, pulang dari sebuah acara, di akhir long weekend, mengharapkan kawan seperti menangkap angin saja.
Beruntung, saya orang yang cukup bisa menikmati kesendirian. Bahkan saya sering dengan sengaja menciptakan kesendirian untuk saya sendiri, walaupun tak jarang pula saya tiba-tiba merasa sendirian. Misalnya, saya rela tidak pergi kemana-mana di akhir minggu hanya untuk menikmati sendiri. Berbuat apapun yang saya mau tanpa harus terikat orang lain. Nonton tv, film, obrak-abrik corel, ngetik ini itu, baca buku yang segelnya belum sempat terbuka sejak saya beli beberapa bulan lalu. Buat saya, selalu ada hal yang bisa saya lakukan saat sendiri. Membuat kesendirian tidak menjelma menjadi kesepian.
Saya jadi ingat kawan baik saya yang sering tidak bisa menikmati waktu sendiri yang sebetulnya sangat ia inginkan. Ceritanya, dia punya teman satu kos yang hampir tiap malam menyambangi kamarnya untuk bercerita ini itu. Kasihan... Dua-duanya saya kasihani.


Saya kasihan pada kawan saya karena meskipun dia sudah asertif mengatakan ia sedang ingin sendiri (dengan alibi ingin belajar, sudah ngantuk, dan sebagainya) nyatanya, sang teman tidak kunjung mengerti juga. Walaupun kawan saya bukan tipe orang yang tidak mau peduli pada urusan orang lain, tapi mendengarkan cerita yang itu-itu saja pastilah bosan juga. Gawatnya lagi, kawan saya ini, hampir mirip dengan saya, sering lebih nyaman saat sendiri dibandingkan ditemani orang lain.


Saya juga kasihan pada temannya. Mungkin (karena saya juga tidak tahu betul), dia tipe kebalikan kawan saya. Temannya ini mungkin justru orang yang lebih nyaman saat ada orang lain dibandingkan harus menghabiskan hari sendirian. Mungkin juga dia tidak punya hobi yang lebih seru dilakukan sendirian. Kedua orang ini punya kebutuhan yang berbeda karena karakteristik yang berbeda. Yang satu merasa tanpa orang lain adalah hanya kesendirian, sementara yang lain menganggapnya sebagai suatu kesepian.


Saya dulu juga pernah mengalami hal ini. Di kos saya dulu ada tetangga kamar yang rajin berkunjung ke kamar saya. Entah untuk bertanya ini itu, curhat, atau mengajak ngobrol biasa. Padahal, saya sendiri bukan orang dengan tingkat sosialisasi level advance. Tapi, untung saja, teman saya juga punya pengertian. Kalau saya bilang mau belajar atau mengantuk, dia segera undur diri (entah pindah ke kamar lain atau masuk kamarnya sendiri, setel musik kencang).


Di kantor, sekarang saya punya ruangan sendiri yang agak terpisah dengan ruangan lain. Membuat saya sangat nyaman berada di ruangan saya yang meskipun lebih cocok disebut gudang dibandingkan ruang kerja. Apalagi kalau saya sudah di depan komputer, kawan-kawan saya sering mengatai saya, yang saya sangat tidak suka karena cenderung melecehkan orang-orang tertentu.


Saat saya kecil, selain bermain dengan satu anak depan rumah, saya biasanya bermain sendiri. Bisa dihitung berapa kali teman sekolah yang main ke rumah saya secara bergerombol. Saat itu, luasnya rumah saya dan mainan yang diberikan orang tua, sudah cukup menghibur saya. Sementara dua kakak saya juga sudah punya dunia mereka sendiri. Ya sudah... Efek langsungnya, saat sekolah saya merasa kuper. Kadang minder juga. Tapi lagi-lagi, selalu ada komik, TV, games, yang menjadi 'teman' saya. Saya sendiri tapi tidak kesepian.


Efek jangka panjangnya, ya saya sekarang ini. Mungkin agak sulit diterima orang lain, apalagi kultur di kita yang masih guyub. Ya mereka mungkin dari kecil merasakan keseruannya bermain bersama teman. Saya juga sadar, teman itu penting. Sering kok saya mengerem keinginan saya untuk sendiri demi bisa bersosialisasi dengan kawan karib. Mungkin karena saking seringnya, orang lain sampai tidak melihat sisi saya yang sesungguhnya ini. Buat saya tidak masalah, toh saya sering juga senang saat berada di antara teman-teman.


Yang jadi masalah, sekarang kesendirian saya yang merembet pada kesepian adalah saat saya akan tidur. Kok rasa-rasanya bakal lebih nyaman jika ada orang lain yang menemani tidur ya? Sindrom orang dewasakah? Semakin bertambah usia, teman dekat kita semakin sedikit, bukan? Atau naluri manusia untuk menemukan pasangannya? Entah... Tapi yang jelas, saya tidak kebelet ingin menikah (setidaknya dalam waktu dekat)
baca selengkapnya

2 Mei 2010

S.E.K.S


Beberapa hari lalu, saya bertemu seorang kawan di sebuah coffee shop. Sengaja janjian di tempat yang agak elit bukan karena gaya, tapi karena kawan saya butuh tempat yang nyaman untuk bercerita. Ya, dia mau curhat. Selesai memesan lattee irish, sang kawan tanpa babibu langsung bertanya, “menurut lo, dalam sebuah hubungan seks penting gak sih?”


“Tergantung,” saya jawab singkat. Jawaban yang sebetulnya juga menggantung.


Kemudian dia bercerita tentang kehidupan asmaranya dengan pasangan yang sudah berlangsung hampir 4 tahun. Dia tidak menutupi kalau dalam hubungan mereka, hubungan seks juga hal yang biasa mereka lakukan. Yang menjadi masalah, ia merasa akhir-akhir ini hubungan seks mereka terasa hambar.


“Kayaknya gue terus yang minta,” katanya. Selama ini, ia mengaku lebih sering ia yang menginisiasi perilaku seks. Saya katakan mungkin pasangannya memang tipe pasif dalam urusan bercinta. Dia mengangguk setuju. “Tapi lo masih sayang dia?” tanya saya. Dia lagi-lagi mengangguk.


Ada kalanya sang pasangan bisa memberinya tidak hanya orgasme, namun kenikmatan. Sebuah kualitas. Subjektif. Setiap orang mungkin punya kriteria sendiri soal seks yang berkualitas seperti apa. Apakah karena variasinya, romantisme yang dibangun, foreplaynya, dan bla bla bla.


“Lo bayangin aja, gue udah nafsu, tapi dianya adem ayem. Foreplay aja kayak basa-basi. Seringnya sih gitu. Ya pernah sih yang gue ngerasa puas banget. Nah gue pengen kayak gitu terus,” jelasnya panjang lebar. Jika kawan saya ini mendapatkan kualitas yang dia inginkan, dia merasa bertambah rasa sayangnya. Tapi kalau tidak... “bikin males.”


Kualitas hubungan seks tak jauh-jauh dari bagaimana kita mengkomunikasikannya dengan pasangan. Itu saya dapat dari bahan bacaan saat saya masih sering cuap-cuap di radio. Terdengar mudah, tapi mungkin sulit untuk dilakukan karena alasan tidak enak dengan pasangan, merasa terlalu banyak menuntut, takut dikira macem-macem, dan sejuta alasan lain.


Dari kisah kawan saya, saya jadi tahu kalau kualitas hubungan seks sedikit banyak punya peran dalam memupuk rasa sayang. Kawan saya juga cerita kalau seks bisa jadi obat kangen mujarab. Maksudnya?


“Kadang kalau lama nggak ketemu kan garing-garing gimana gitu. Atau pas lagi ada masalah yang boro-boro pengen ketemu. Tapi setelah melakukan hubungan seks, kayaknya jadi plong aja. Dan biasanya dia ‘hot’ kalau lagi pas kayak gitu. Masak iya gue mesti nyari-nyari masalah dulu?”


Saya hanya mengangguk-angguk. Lagi, saya ingat bacaan saya dulu. Kepuasan yang dirasakan saat orgasme dipicu oleh aliran hormon –yang sayang sekali saya lupa namanya- yang meningkat. Hormon ini juga yang punya peran pada munculnya mood positif. Wajar kalau setelah berhubungan seks, kawan saya merasa plong. Tapi apa menyelesaikan masalah? “Ya nggaklah! Cuma kan habis itu kita bisa jadi ngobrol dalam kondisi relaks.”


Setelah mendengar cerita kawan saya, saya bisa menjawab kalau seks penting dalam sebuah hubungan. Bagi pasangan yang seksual aktif, kualitas seks punya andil dalam hubungan. Kualitasnya baik, hubungannya juga mungkin akan tambah baik (kecuali ada masalah lain seperti lupa janji, selingkuh, kebiasaan pasangan yang sering bikin ilfil, dan masalah lainnya). Apalagi jika seperti kawan saya, seks bisa menjadi ‘pintu’ untuk mengkomunikasikan masalah dengan pasangan. Sex after war mungkin istilahnya ya. Nah, bagi pasangan yang tidak seksual aktif, pentingnya seks berarti bagaimana saling menjaga komitmennya masing-masing untuk tidak berhubungan seks. Kalau ada pasangan yang tiba-tiba melanggar komitmen, kualitas hubungan mungkin juga akan renggang.


Ah ah... ini baru secuil tentang seks. Problem seks masih banyak di luar sana. Yang gara-gara seks ada orang bunuh pacarnya, gara-gara seks ada kerajaan yang siap berperang dengan kerajaan lain, gara-gara seks ada pejabat yang kehilangan mukanya. Seks juga yang menjadikan bumi ini padat penghuninya. Seks tidak hanya penting dalam sebuah hubungan, tapi jelas pentingnya dalam kehidupan manusia. Sayang, masih suka ditutup-tutupi!
baca selengkapnya