29 April 2010

Berawal dari Mimpi



Lima huruf: M-I-M-P-I

Hanya dari lima huruf itu, hidup manusia mungkin bisa berubah 180 derajat. Sering saya dengar orang sukses lantaran berani bermimpi. Bukan hanya mimpi di siang bolong, tapi mimpi yang berkeringat.

Saya seorang pemimpi. Sampai sekarang, belum selesai juga mimpi saya untuk menjadi seorang komikus. Tidak mau berusaha? Mungkin iya. Pertama, karena bakat gambar saya tidak terlalu mengagumkan, saya harus memiliki waktu ekstra untuk mengasahnya. Kedua, kegiatan saya yang lain harus saya kesampingkan, mengingat pengalaman membuat komik 2-3 halaman saja sudah cukup mencerabut saya dari realita kehidupan. "Ya sudah, jangan bermimpi!" teriak hati kecil saya. Untunglah, itu bukan mimpi saya yang menjadi prioritas. Masih ada mimpi lain yang ingin saya gapai dan sedang pelan-pelan saya wujudkan.

Saya ingat dulu saat lulus SMA, saya bermimpi ingin menjadi psikolog. Akan menyenangkan rasanya jika saya bisa membantu orang lain mencari solusi masalah (dan informasi tambahan dari sang ayah kalau pekerjaan itu juga menghasilkan uang yang cukup banyak, tapi untunglah itu hanya saya anggap bonus). Tidak tanggung-tanggung, saat ujian masuk universitas (saat itu masih berjudul UMPTN) saya daftar di dua universitas berbeda dengan fakultas yang sama: psikologi. Bimbingan belajar ekstra dua bulan sebelum seleksi pun saya ambil. Hasilnya? Tidak satupun diterima.

Saya lantas banting stir. Desain grafis. Sekalian menyalurkan hobi. Mendaftarlah saya di fakultas desain ITB. Hasilnya setali tiga uang, gagal. Beruntung ada universitas swasta yang bersedia menampung (dengan judul "kerjasama" ITB dengan beberapa universitas swasta). Ayah saya sempat memanggil saya di meja makan (hal yang jarang sekali dilakukan, kecuali ada kelakuan anak-anaknya yang perlu untuk ditegur). "Yakin kamu dengan pilihan kamu?" Bukan tanpa alasan beliau bertanya seperti itu, pertama, kuliah desain jelas butuh dana lebih besar. Kedua, soal masa depan yang mungkin bagi beliau kurang menjanjikan. Ketiga, beliau mungkin bisa membaca apa yang sebetulnya saya impikan. Saya jawab saja hanya untuk meyakinkan beliau, "Yakin!"

Semester pertama saya kuliah. Serius. Semua tugas saya kerjakan maksimal. Segera saya sadar, usaha saya ternyata masih jauh jika dibandingkan karya kawan-kawan saya yang lain. Mendaratlah keyakinan saya. Saya semakin merasa meskipun dunia itu saya suka, tapi bukan benar-benar yang ingin saya seriusi. Masuk semester dua, saya bilang pada ibu, "semester ini mama nggak usah bayar uang kuliahku. Aku nggak ngelanjutin." Beruntung sekali punya ibu bijak, bukannya diceramahi, beliau hanya bertanya rencana apa yang akan saya lakukan. "Daftar psikologi lagi!" kata saya. Beliau mengangguk.

Semester kedua di desain grafis hanya saya isi dengan kunjungan kampus. Datang ke kampus, membuat tugas seenak udel, kadang malah tidak mengerjakan sama sekali. Sisanya, saya habiskan untuk membuka kembali buku-buku pelajaran saya dan buku-buku contoh soal ujian seleksi masuk. Saya enggan mengambil bimbingan belajar lagi karena tahun lalu sudah terbukti tidak membantu saya.

Sebagai cadangan, saya juga ikut seleksi fakultas psikologi di universitas swasta di Bandung. Lolos. Tapi saya tetap fokus di seleksi negeri.
Saya belajar sendiri mati-matian. Saking niatnya, di hari terakhir seleksi, saya sempat mendengarkan siaran radio yang khusus membahas jawaban soal ujian masuk sekaligus menghitung hasilnya. Dari hitungan kasar, saya mungkin akan lolos di pilihan kedua saya: psikologi UGM.

Benar saja, saat pengumuman, tidak seperti tahun sebelumnya yang saya dan teman-teman seperjuangan rela bangun pagi untuk hunting koran, saya justru mendapatkan kabar dari sepupu kalau saya lolos. Lega.

Namun keinginan saya menjadi psikolog justru runtuh saat saya masih kuliah di psikologi. Saya suka psikologi, tapi tidak menjadi psikolog. Ayah saya lagi-lagi bingung dengan keinginan saya yang berubah-ubah. Tapi sepertinya beliau tahu kalau anaknya yang satu ini sekalinya memiliki sebuah keinginan sulit sekali untuk dibelokan. Sepertinya beliau juga tahu, saya tidak main-main dengan mimpi lain saya ini. Hanya bertahan tidak sampai 3 bulan beliau bertanya lamaran kerja kemana saja yang sudah saya kirim dan selalu saya jawab, "saya di LSM juga kerja."

Sekarang, saya sedang berusaha membuat nyata mimpi saya tersebut. Pelan-pelan saya persiapkan. Kegagalan sudah beberapa kali saya rasakan, justru membuat saya harus lebih mematangkan diri saya. Saya pernah gagal. Tapi saya juga pernah berhasil. Semua saya awali dengan bermimpi dan saya coba wujudkan dengan usaha.

"Saya tidak akan mengejar mimpi. Saya akan menciptakannya!"
baca selengkapnya

13 April 2010

Rasa Manusia


Hampir setiap rabu saya pergi ke Solo, sayangnya bukan untuk plesir. Singkatnya saya diminta kantor saya yang bekerja dengan sebuah lembaga di Jakarta untuk melakukan monitoring pendidikan kesehatan reproduksi bagi siswa SLB. Lain kali saja mungkin saya ceritakan begitu semangatnya mereka ikut kelas tersebut.


Pulang dari sekolah, sekitar pukul setengah 4 sore. Berbarengan dengan pekerja-pekerja pabrik yang hendak kembali ke rumah setelah seharian bekerja. Ketika saya hendak menyeberangkan motor dari pagar sekolah, saya melihat dua siswi SLB juga akan menyeberang. Karena penglihatan mereka terganggu, urusan menyeberang menjadi cukup sulit. Beberapa kali kaki mereka sudah menyentuh aspal, namun segera ditarik lagi karena mendengar derum kendaraan yang lalai sopan santun. Saya perhatikan beberapa pekerja pabrik yang baru pulang hanya melewati mereka begitu saja tanpa ada keinginan membantu, entah karena pemandangan itu hal yang lumrah bagi mereka, terlalu capai bekerja, atau memang sudah tumpul nuraninya.


Saya baru saja akan turun dari motor ketika salah seorang pekerja menggaet tangan salah satu siswi itu lalu membantunya menyeberang jalan. Entah kenapa saya merinding. Ternyata masih ada manusia yang ingin membantu. Masih ada manusia yang memiliki rasa manusia.


...


Perjalanan dari Solo menuju Jogja saya tempuh dengan susah payah karena hujan di sepanjang jalan. Hujan sempat berhenti saat saya keluar dari Kota Klaten. Segera saya melipat kembali mantel hujan saya. Namun menjelang perbatasan Klaten-Jogja, lagi hujan turun. Saya pun menepi di sebuah bangunan tak terawat. Saya tak sendiri. Tiga pengendara motor juga menepi di bawah atap seng itu, menyiapkan diri menembus hujan: menggulung ujung celana dan jaket, mengamankan beberapa barang yang tak tahan air, dan memakai mantel.


Belum sempat mantel dibuka, tiba-tiba terdengar suara tabrakan dari arah belakang kami. Saya lihat dua motor jatuh, satu orang pengendara berjalan menepi sambil terseok, sementara yang satunya terkapar di atas aspal.


Segera saya dan dua orang pengendara motor lain berlari hendak berusaha membantu. Saya kebagian mengangkat korban ke tepi bersama seorang laki-laki. Beberapa orang lain membantu menyingkirkan motor dari tengah jalan.
Kami mengangkat laki-laki tersebut ke sebuah rumah yang segera disambut oleh pemiliknya. Si pemilik rumah segera membawakan air putih hangat. Beruntung, korban tidak mengalami luka parah namun jelas shock terpancar dari raut mukanya. Melihat sudah cukup banyak orang membantu, saya mengundurkan diri dan kembali ke motor saya, kemudian melanjutkan perjalanan.


...


Apa yang hendak saya sampaikan? Begini, ibu saya mengajarkan saya untuk selalu menolong orang yang kesusahan. Tanpa pamrih. Namun lantas, doktrin-doktrin agama memberi tahu saya jika saya menolong orang lain, saya akan mendapatkan pahala. Saya rasa, hampir semua agama memiliki konsep yang sama soal ini.


Saya sebetulnya ingin mengajukan pertanyaan pada pekerja pabrik yang menolong menyeberangkan siswi yang penglihatannya terganggu atau pada laki-laki yang membantu orang yang baru saja mengalami kecelakaan, apakah mereka melakukannya karena termotivasi oleh doktrin dan konsep pahala itu?
Saat saya melakukannya, saya hanya ingat satu hal, bagaimana jika justru saya berada di posisi orang yang sedang membutuhkan pertolongan. Mungkin saya percaya karma.


Saya merasa, ketika melakukan kebaikan, lebih banyak orang tergerak karena kemanusiaan mereka. Urusan pahala, baru ikut-ikut di belakangnya. Hubungan horizontal antar manusia, yang setiap hari kita geluti, nyata, mau tidak mau membuat kita semakin akrab dengan manusia lain, dengan diri kita sendiri. Sementara konsep tuhan yang saking abstraknya sepertinya menjadi mudah terlupakan oleh mereka yang justru mengaku memiliki agama, yang jelas-jelas mengajarkan prinsip ketuhanan. Ya mungkin itu jawaban mengapa banyak kekerasan terjadi atas nama agama. Mereka mungkin sudah tidak menginginkan pahala. Atau mungkin sudah mulai tidak percaya dengan konsep pahala. Parahnya, mungkin sudah lupa dengan tuhan yang secara lisan mereka yakini. Lantas untuk apa beragama? Satu yang pasti, mereka tidak berhasil mengakrabi dan menjadi diri mereka sendiri: manusia.
baca selengkapnya