13 April 2010

Rasa Manusia


Hampir setiap rabu saya pergi ke Solo, sayangnya bukan untuk plesir. Singkatnya saya diminta kantor saya yang bekerja dengan sebuah lembaga di Jakarta untuk melakukan monitoring pendidikan kesehatan reproduksi bagi siswa SLB. Lain kali saja mungkin saya ceritakan begitu semangatnya mereka ikut kelas tersebut.


Pulang dari sekolah, sekitar pukul setengah 4 sore. Berbarengan dengan pekerja-pekerja pabrik yang hendak kembali ke rumah setelah seharian bekerja. Ketika saya hendak menyeberangkan motor dari pagar sekolah, saya melihat dua siswi SLB juga akan menyeberang. Karena penglihatan mereka terganggu, urusan menyeberang menjadi cukup sulit. Beberapa kali kaki mereka sudah menyentuh aspal, namun segera ditarik lagi karena mendengar derum kendaraan yang lalai sopan santun. Saya perhatikan beberapa pekerja pabrik yang baru pulang hanya melewati mereka begitu saja tanpa ada keinginan membantu, entah karena pemandangan itu hal yang lumrah bagi mereka, terlalu capai bekerja, atau memang sudah tumpul nuraninya.


Saya baru saja akan turun dari motor ketika salah seorang pekerja menggaet tangan salah satu siswi itu lalu membantunya menyeberang jalan. Entah kenapa saya merinding. Ternyata masih ada manusia yang ingin membantu. Masih ada manusia yang memiliki rasa manusia.


...


Perjalanan dari Solo menuju Jogja saya tempuh dengan susah payah karena hujan di sepanjang jalan. Hujan sempat berhenti saat saya keluar dari Kota Klaten. Segera saya melipat kembali mantel hujan saya. Namun menjelang perbatasan Klaten-Jogja, lagi hujan turun. Saya pun menepi di sebuah bangunan tak terawat. Saya tak sendiri. Tiga pengendara motor juga menepi di bawah atap seng itu, menyiapkan diri menembus hujan: menggulung ujung celana dan jaket, mengamankan beberapa barang yang tak tahan air, dan memakai mantel.


Belum sempat mantel dibuka, tiba-tiba terdengar suara tabrakan dari arah belakang kami. Saya lihat dua motor jatuh, satu orang pengendara berjalan menepi sambil terseok, sementara yang satunya terkapar di atas aspal.


Segera saya dan dua orang pengendara motor lain berlari hendak berusaha membantu. Saya kebagian mengangkat korban ke tepi bersama seorang laki-laki. Beberapa orang lain membantu menyingkirkan motor dari tengah jalan.
Kami mengangkat laki-laki tersebut ke sebuah rumah yang segera disambut oleh pemiliknya. Si pemilik rumah segera membawakan air putih hangat. Beruntung, korban tidak mengalami luka parah namun jelas shock terpancar dari raut mukanya. Melihat sudah cukup banyak orang membantu, saya mengundurkan diri dan kembali ke motor saya, kemudian melanjutkan perjalanan.


...


Apa yang hendak saya sampaikan? Begini, ibu saya mengajarkan saya untuk selalu menolong orang yang kesusahan. Tanpa pamrih. Namun lantas, doktrin-doktrin agama memberi tahu saya jika saya menolong orang lain, saya akan mendapatkan pahala. Saya rasa, hampir semua agama memiliki konsep yang sama soal ini.


Saya sebetulnya ingin mengajukan pertanyaan pada pekerja pabrik yang menolong menyeberangkan siswi yang penglihatannya terganggu atau pada laki-laki yang membantu orang yang baru saja mengalami kecelakaan, apakah mereka melakukannya karena termotivasi oleh doktrin dan konsep pahala itu?
Saat saya melakukannya, saya hanya ingat satu hal, bagaimana jika justru saya berada di posisi orang yang sedang membutuhkan pertolongan. Mungkin saya percaya karma.


Saya merasa, ketika melakukan kebaikan, lebih banyak orang tergerak karena kemanusiaan mereka. Urusan pahala, baru ikut-ikut di belakangnya. Hubungan horizontal antar manusia, yang setiap hari kita geluti, nyata, mau tidak mau membuat kita semakin akrab dengan manusia lain, dengan diri kita sendiri. Sementara konsep tuhan yang saking abstraknya sepertinya menjadi mudah terlupakan oleh mereka yang justru mengaku memiliki agama, yang jelas-jelas mengajarkan prinsip ketuhanan. Ya mungkin itu jawaban mengapa banyak kekerasan terjadi atas nama agama. Mereka mungkin sudah tidak menginginkan pahala. Atau mungkin sudah mulai tidak percaya dengan konsep pahala. Parahnya, mungkin sudah lupa dengan tuhan yang secara lisan mereka yakini. Lantas untuk apa beragama? Satu yang pasti, mereka tidak berhasil mengakrabi dan menjadi diri mereka sendiri: manusia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar