14 Desember 2014

Pesan yang Tak Sampai dari Supernova

Sebelumnya saya ucapkan selamat kepada Dee yang bukunya telah menjelma menjadi film layar lebar. Terlepas dari kekecewaan saya (masih gemas luar biasa dengan tokoh Diva), saya senang karena karya tersebut bisa diperluas pasarnya. Ya, sebagai fondasi Supernova, Kesatria, Putri dan Bintang Jatuh bukan buku yang mudah dipahami karena kreativitas sang penulis mengawinkan istilah sains dan kata-kata romantis, ide besar tentang alam dan pengalaman sekian manusia yang walaupun hanya bagian titik-titik kecil dari ide besar itu tapi masing-masing saling terhubung. Jadi mungkin saja ada orang yang sudah membaca tapi tidak dapat esensinya, atau baru baca satu bab langsung tutup buku karena rasa baca buku pelajaran fisika, maka film ini bisa jadi alternatifnya.


Seperti satu narasi dalam bagian akhir film (saya lupa tepatnya, itu kelemahan saya yang paling menyebalkan), “Bagi Anda yang terbiasa melihat dunia hitam dan putih…”, Supernova memang menyajikan banyak fenomena yang dianggap masih tabu oleh masyarakat kita: pasangan sesama jenis, prostitusi, perselingkuhan. Cara Dee menghadirkan fenomena-fenomena itu menarik, memang mendobrak pola pikir hitam-putih kebanyakan orang. Misalnya saja, gay yang seringkali dilekatkan dengan hedonisme dan sering gonta-ganti pasangan. Dee justru menggambarkan tokoh gay yang berpasangan bertahun-tahun, tidak terjebak pada ‘mengapa aku seperti ini?’, party, fashion dan seks. Juga dari tokoh Diva, yang sebagai pekerja seks high-class, Dee ingin menunjukkan suatu otonomi atas tubuh seorang individu. (Tentu ini menjadi catatan karena bisa dijadikan senjata bagi para moralis menggeneralisir semua fenomena prostitusi)

Sayangnya, dobrakan yang coba ditawarkan oleh Dee tidak mendapatkan respon semestinya dari penikmat Supernova. Pesannya tidak sampai. Setidaknya begitu yang saya rasakan saat saya menonton filmnya kemarin sore. Cekikikan serta lontaran “iiih..” dan “jijik”, saat Reuben dan Dimas menunjukkan afeksi di antara mereka, mengisyaratkan saya satu hal: masyakarat belum siap dengan hal ini.

Namun yang paling membuat saya terganggu adalah saat adegan Arwin mengajak, secara tersirat, untuk berhubungan seks dengan istrinya, Rana, yang sedang tidak menginginkan hal tersebut karena hatinya sudah terpaut pada Ferre. Rana berteriak dalam hati, “Re, tolong aku. Aku diperkosa.*” Kebanyakan penonton, dan kebanyakan perempuan, tertawa. Heran saya.

Tidakkah mereka tahu adanya perkosaan dalam rumah tangga? Ya, itu terjadi ketika salah satu pihak tidak menginginkan berhubungan seks, tapi pihak lain tetap memaksa, dengan cara apapun sehalus apapun. Ini bukan lelucon. Saya jadi bertanya pada perempuan-perempuan penonton itu, jika mereka memang belum pernah melakukan hubungan seks, pernahkah setidaknya membayangkan apa rasanya harus mengikuti kehendak suami saat diri tidak menginginkan? Apakah hanya alasan sakit saja yang bisa membuat seorang istri dapat menolak ajakan suami? Ah ya, dalam agama bukankah istri harus melayani suami, dalam kondisi apapun ya, daripada dilaknat malaikat sampai pagi? Salah nonton film sepertinya, Ayat-ayat Cinta saja kalau begitu. 

Pertanyaannya saya justru, jika untuk hubungan seksual saja Rana tidak asertif pada suaminya, lalu apa yang menjadi landasan rumah tangga mereka? Komunikasi yang saling? Saya rasa tidak.

Dugaan saya yang lain adalah, tokoh Rana yang menjalin hubungan dengan laki-laki yang bukan suaminya, dianggap telah menurunkan martabatnya sendiri, setidaknya mungkin di hadapan para penonton seperti itu. Sehingga apa yang dialami dan dirasakan Rana akan dianggap main-main dan dikomentari “Ya salahnya sendiri…” termasuk saat merasa dirinya diperkosa oleh suami sendiri. Apakah saya saja yang terlalu sensitif dengan isu perkosaan ini? Bisa jadi, tapi bukan berarti tanpa alasan. 

Perkosaan bukan hal main-main. Saya bahkan sedapat mungkin tidak menggunakan kata tersebut untuk berkelakar, karena setiap kali mendengar kata perkosaan yang saya bayangkan adalah seseorang yang tersiksa tidak hanya secara fisik tapi juga mental. Maka ketika ada orang yang mengatakan, “Saya diperkosa” saya merasakan pedih yang luar biasa dalam, luka batin yang akan sulit untuk disembuhkan.

Well, jika memang dugaan-dugaan saya itulah yang menjadi dasar dari respon penonton terhadap adegan Rana dan Arwin tersebut, berarti ini adalah pekerjaan rumah bagi para pejuang hak asasi manusia, terutama hak perempuan. Faktor X dari penerima pesan film Supernova memang terlalu kompleks, dan tentu kita paham bahwa pola pikir masyarakat yang sudah mapan tidak dapat diubah begitu saja hanya dengan satu karya novel atau film.

Jika respon ini terjadi karena medianya, karena kehilangan daya untuk menggiring emosi penikmat karya karena proses adaptasi dari buku ke film (yang memang tidak mudah), ya ini pekerjaan rumah bagi para pembuat film. Terutama bagi yang ingin menggebrak cara-cara pikir tradisional.

Tapi saya sungguh-sungguh berharap bahwa respon tersebut memang tidak dikehendaki oleh sang pengirim pesan, sang pencipta karya. Bahwa apa yang dirasakan oleh Rana tersebut tidak dimaksudkan untuk main-main.


*Keping 9, Kestaria, Putri dan Bintang Jatuh

baca selengkapnya

12 Desember 2014

Email dan Etika

Beberapa hari lalu seorang kawan membuat status di akun jejaring sosialnya yang intinya menyindir seseorang –entah siapa, tak ia sebutkan, tak penting juga buat saya tahu- yang tak kunjung membalas email yang ia kirimkan. Padahal, si terkirim email punya gawai canggih yang terhubung dengan internet setiap waktu.

Lain lagi di kantor saya, ada satu staf yang mendapat teguran gara-gara caranya berkomunikasi melalui email. Tampak sepele sebetulnya: kegemarannya menggunakan akun pribadi dibandingkan dengan akun email kantor, penggunaan kata yang dianggap kurang sopan dan tata bahasanya yang membingungkan, panjang lebar tapi berputar-putar.

Nah, bertepatan dengan Jumat sore nan kelabu dan karena posisi saya di kantor membuat saya beberapa bulan lalu ketiban merampungkan bagian komunikasi internal dan eksternal, termasuk etikanya sebagai pedoman organisasi, maka dengan ini saya hendak berbagi apa yang telah saya dapatkan, baik berdasarkan pengalaman maupun hasil berselancar di jaring-jaring internet. (Luar biasa bukan bahasa saya?)

Intinya, berkomunikasi melalui email tetap butuh etika. Namanya etika, bisa jadi setiap budaya dan lingkaran sosial akan berbeda. Pada dasarnya sama saja seperti kita berkomunikasi langsung dengan orang alias tatap muka. Itu yang biasanya saya jadikan patokan beremail ria secara sopan dan santun. Taruh kata saat kita mengirim email kepada teman lama soal rancangan bisnis yang akan dibangun bersama, tentu berbeda dengan email kita untuk meminta informasi lebih detail soal produk asuransi. Saat beremail dengan teman, kita bisa bayangkan duduk bersamanya di sebuah coffee-shop sambil diselingi haha-hihi. Masak iya seperti itu juga saat berbicara dengan petugas asuransi? Ya, kecuali kalau petugas asuransinya ya sahabat kental kita. Oke, berikut poin-poinnya, dan ya, saya sengaja hanya fokus pada etika berkomunikasi dalam konteks profesional alias dunia kerja, walaupun bisa saja dipakai untuk urusan lain.

  • Kebanyakan organisasi atau perusahaan saat ini sudah menyediakan akun email untuk masing-masing stafnya dengan server organisasi atau perusahaan. Gunakan akun ini untuk semua urusan pekerjaan dan yang berkaitan dengan organisasi atau perusahaan kita. Tetap gunakan akun pribadi untuk email-email yang personal, untuk membuat akun jejaring sosial atau untuk menjadi anggota mailing-list backpacker-an atau pencarian jodoh. Akun email organisasi atau perusahaan menunjukkan bahwa kita memang bagian dari organisasi atau perusahaan tersebut. Ia menjadi identitas pertama kita saat kita hadir membawa nama lembaga. Bayangkan, kita akan presentasi proposal proyek di sebuah perusahaan besar dan kita datang dengan bersandal jepit dengan celana jeans belel. Tidak salah memang. Tapi ya… tetap ada tapinya.
  • Gunakan kalimat lengkap, jelas dan hindari singkatan-singkatan yang tidak baku. Komunikasi adalah menu sehari-hari kita dalam bekerja, bukan? Tidak jarang komunikasi ini berpengaruh pada atmosfer kerja. Drama yang muncul di internal organisasi juga ada kalanya muncul karena kesalahpahaman dalam berkomunikasi. Juga saat kita berkomunikasi dengan orang di luar lembaga kita. Sadari bahwa setiap orang memiliki kapasitas, latar belakang dan sensitivitas yang berbeda-beda. 
  • Jangan lupa memberi judul untuk setiap email yang kita kirimkan karena selain memudahkan penerima email mengetahui maksud email kita, risiko terdeteksi sebagai spam juga bisa berkurang. Sama pentingnya adalah melengkapi email dengan pengantar dan penutup, termasuk saat meneruskan email atau melampirkan dokumen. Ibarat kita masuk ruangan orang lain, masak iya kita ujug-ujug masuk dan taruh dokumen di atas meja padahal si empunya ruangan duduk terus di kursinya.
  • Nah ini dia yang dialami kawan saya: balas email yang ditujukan kepada kita! Tidak perlu berpanjang-panjang jika memang tidak diperlukan, cukup dengan kalimat singkat bahwa maksud email sudah kita terima. Jika memang kita butuh waktu untuk mempelajari isi emailnya terlebih dahulu, bilang saja demikian. Tapi tidak perlu selalu membalas email yang di-CC kepada kita, kecuali, lagi-lagi, jika sangat diperlukan. Sama halnya dengan tidak perlu selalu “reply all” untuk email yang dikirimkan ke banyak orang pada waktu bersamaan. “Reply all” hanya dipakai jika semua orang membutuhkan jawaban kita.
  • Kita seringkali lupa jika setiap tanda baca memiliki arti sendiri. Demikian juga dengan penggunaan huruf kapital, bold dan warna-warni yang sering kali ditafsirkan berbeda oleh orang. 
Coba baca ini.
Coba baca ini!
Coba baca ini!
Coba baca ini!!!!
Coba baca ini?!!!
COBA BACA INI!!!

COBA BACA INI!!!

 
  • Emoticon? Walaupun sebaiknya dihindari, sebetulnya tergantung dengan siapa kita berkirim email. Terkadang ada yang menggunakan emoticon sederhana untuk lebih menunjukkan ekspresinya seperti :( atau :) saat mengirim email pada kolega. Bisa jadi atasan kita juga menggunakannya. Lebih peka saja dengan siapa kita beremail dan topik apa yang sedang dibicarakan.
  • Ingat, email hanya salah satu alat kita untuk berkomunikasi. Jika kita memang butuh jawaban segera dari orang yang kita kirimi email tapi tidak kunjung juga mendapatkan respon bak punguk merindukan bulan, segera saja temui atau hubungi lewat telepon. Siapa tahu yang bersangkutan sedang ada urusan yang jauh lebih penting atau mungkin ada di lokasi dengan koneksi internet kembang kempis.
  • Terakhir dan sebetulnya yang paling penting, sopan santun berlaku di mana pun, meski caranya berbeda. Lagi, lagi dan lagi, email hanya salah satu media untuk bisa berkomunikasi. Soal bagaimana caranya bertutur sopan, saya yakin tak ada satupun dari pembaca blog ini yang hidup dari kecil sendirian di tengah belantara. 


Have a nice weekend!
baca selengkapnya

17 November 2014

Oleh-oleh dari Bone

Tugas ke lapangan sering kali memberikan saya banyak pelajaran. Tak jarang, siraman yang saya dapat tidak berhubungan langsung dengan pekerjaan. Namun justru pelajaran-pelajaran itu yang membuat kenop-kenop dalam otak tersambung dan mengalirkan getaran sampai ke hati.

Sore itu, saya tiba di Desa Waji, Bone, Sulawesi Selatan, setelah kurang lebih empat jam perjalanan dari Makassar. Tujuan saya adalah menemui salah satu pengguna biogas yang hendak saya wawancara lalu dipublikasikan. Pak Amir namanya.

Seperti kebanyakan petani dan peternak di Indonesia yang saya temui sebelumnya, penampilan Pak Amir juga tampak sederhana. Ia baru saja selesai menemani beberapa remaja SMA yang diantar salah satu gurunya untuk praktek  pembuatan biogas. Saat saya datang, mereka sedang duduk-duduk di teras rumah. Saya duga itu adalah bagian adat kesopanan yang tidak langsung angkat kaki setelah urusan selesai. Perlulah kiranya mencicipi apa yang sudah tuan rumah hidangkan sambal sedikit mengobrol ini itu.

“Saya hanya pesan satu hal kepada adik-adik ini saat pulang ke rumah nanti,” kata Pak Amir. Tamu yang lain mengangguk-angguk kompak, sepertinya sudah tahu apa kelanjutannya karena sudah disampaikan Pak Amir sebelumnya. 

“Saya minta mereka merenung.”

Sungguh di luar dugaan saya. Saya pikir ia akan memberikan dorongan para remaja ini untuk merawat ternak para orang tuanya, atau coba mengaplikasikan pupuk kompos dari ampas biogas, atau nasihat klasik lainnya: belajar yang rajin, bantu orang tua dan rajin menabung.

Merenung yang dimaksud Pak Amir bukanlah ala para filsuf yang sedang mencari apa hakikat hidup atau ala para negarawan yang sedang menggali cara terampuh membangkitkan semangat nasionalisme  rakyat. Para remaja ini diminta untuk merenungkan apa yang sudah dilakukan orang tuanya untuk mereka. Lalu coba mensyukuri apa yang sudah mereka dapatkan sekarang, bisa tumbuh dan bersekolah.

Ya, Pak Amir hanya lulus SD. Putusnya pendidikan adalah pengalaman paling menyakitkan dalam hidupnya. Dengan jujur ia mengatakan seringkali hatinya berdesir saat melihat remaja-remaja yang dengan riang gembira pergi ke sekolah. Bahkan sampai sekarang. Namun putus sekolah tak membuatnya patah arang. Ia punya modal lain, semangat dan kerja keras. Dua tahun lalu, ia dipercaya mendapatkan dana hibah dari bank besar di negeri ini. Ia adalah peternak yang sukses mengembangkan pupuk kompos ampas biogas di Bone, yang karena kesuksesannya tersebut ia sering dikunjungi banyak pihak yang ingin belajar darinya, termasuk para remaja sekolah. Ia telah menjadi guru bagi banyak orang.

“Pak Amir ini profesor lapangan,” kata guru yang mendampingi remaja sekolah ini. Belakangan, setelah rombongan sekolah ini pamit,Pak Amir memberi tahu saya bahwa perempuan tersebut adalah guru honorer tapi punya pengabdian luar biasa dalam dunia pendidikan.

Dalam perjalanan pulang ke Makassar sambil keliling mencari pom bensin yang masih buka gara-gara isu harga BBM naik, saya memikirkan nasihat Pak Amir sore itu. Saya belum sampai rumah dan saya pun sudah bukan remaja sekolah. Saya hanya tahu saya sudah mendapatkan oleh-oleh dari Bone, sebuah renungan: 

Kapan terakhir saya mensyukuri apa yang sudah saya dapatkan?
baca selengkapnya

5 Agustus 2014

Lelaki Berambut Keperakan

Kopi yang tersuguh di atas meja tinggal separuh cangkir. Hangat dan aromanya sudah menguap bergabung dengan partikel lain di langit-langit rumah. Sebuah tangan yang telah berkeriput meraih gagang cangkir, mengangkatnya dan mendekatkan bibir cangkir pada bibir yang menghitam karena nikotin. 

Sang pemilik tangan, seorang lelaki separuh baya berambut keperakan, meletakkan kembali cangkir itu dan meraih sebatang rokok yang menyala, melintang di atas asbak. Ia hirup asap rokok pelan-pelan. Semuanya ia lakukan dalam gerakan lambat. Bukan hanya karena badannya yang menua, tapi ia butuh beberapa waktu untuk menenangkan diri.

Lelaki lain yang lebih muda, separuh usianya dari si lelaki berambut keperakan, duduk di depannya dengan tatapan menerawang. Tangannya memain-mainkan korek api, tapi sepertinya ia sama sekali tak berniat menyalakan rokok.

"Jadi, kamu tidak ingin punya anak, begitu?" kata si lelaki berambut keperakan. Ia sengaja meninggalkan nada rendah di akhir kalimatnya, berharap mendapatkan bantahan dari kesimpulan yang ia buat.

"Bukan seperti itu," jawab si lelaki muda yang lalu sibuk dengan pikirannya. Tampak sekali ia sangat memperhitungkan pilihan kata yang akan keluar dari mulutnya. "Punya anak itu bukan prioritas dalam hidupku. Ya, seperti itu. Jadi kalau suatu saat, tiba-tiba, aku ingin punya anak ya aku akan berusaha. Untuk saat ini... tidak."

Si lelaki berambut keperakan menghembuskan asap rokok dari mulutnya. Lambat-lambat. Lalu katanya,

"Lihat teman-temanmu, saudara-saudara seusiamu bahkan yang lebih muda, mereka sudah punya anak. Tidakkah kau ingin juga?"

"Tidak." Kali ini si lelaki muda menjawab mantap.

"Iya, tapi kenapa?" Si lelaki berambut keperakan mulai tak sabar.

Hening sejenak, lalu si lelaki muda mengambil nafas dalam dan menjawab,

"Sekarang untuk apa aku punya anak? Meneruskan keturunan? Aku merasa tidak butuh itu. Lagipula mungkin ada anak-anak lain yang bisa aku urus yang bahkan orang tuanya sendiri enggan mengurusi. Khawatir masa tuaku akan kesepian? Aku rasa tidak. Aku bisa masuk ke panti jompo dan menghabiskan waktu di sana, jika perlu," jawab si lelaki muda. 

Si lelaki berambut keperakan agak terkejut dengan jawaban panjang itu. Biasanya lelaki muda itu hanya menjawab pendek-pendek. Lebih sering ia diam dan mendengarkannya menuturkan kisah ini itu. Namun kali ini, di luar kebiasaan, lelaki muda di hadapannya seperti orang yang sudah lama sekali memendam apa yang ingin ia katakan. Si lelaki berambut keperakan harus kembali menelan kekecewaan setelah konsep pernikahan yang ia yakini ternyata tak diimani sama oleh si lelaki muda. Ia berharap dari soal beranak pinak mungkin bisa terbuka celah lagi membahas konsep pernikahan. Pikirannya memutar memori saat ia berusia dua puluhan dan nekad ingin menikahi perempuan yang ia cintai. 

Muda dan berjaya, mungkin tepat disandangkan kepadanya saat rambutnya belum dipenuhi uban seperti sekarang. Lahir dari keluarga terpandang tak membuatnya bermalas-malasan. Lagipula bukan dengan cara manja ia dibesarkan, justru sebaliknya. Didikan keras telah menjadikannya orang yang juga keras. Pun keras pada dirinya sendiri, pada keinginan dan tujuan hidupnya. Di usia mudanya, ia sudah menargetkan pada usia berapa ia harus menikah, pada usia berapa ia harus punya anak. Perencanaan itu ia lakukan agar perjalanan hidupnya sesuai perhitungan: menua tanpa khawatir anak-anak tak bisa dikasih makan.

Kebanyakan kawannya pun seperti itu. Mengikuti orang-orang tua mereka pun yang seperti itu. Seolah tak ada jalan lain yang mungkin bisa diambil oleh seorang manusia sejak ia keluar dari rahim ibunya bersama cairan ketuban sampai kemudian renta menggerogoti tubuh dan hanya meninggalkan jiwa. Tumbuh, sekolah, lulus, bekerja, menikah, memiliki anak, anak kedua, dan seterusnya.

Tinggal di kota kecil, si lelaki berambut keperakan dilingkupi cara hidup yang tampak sederhana namun sebetulnya tetap juga penuh liku itu. Selain kegemarannya merenungi arti hidup, si lelaki berambut keperakan juga setiap hari menonton televisi, apalagi di saat roda dunia tak lagi ramah menggandeng tubuhnya. Seperti kopi dan rokok, televisi adalah bagian dari dirinya. Bukan hanya siaran lokal yang ia tonton, jadi ia cukup tahu bagaimana dunia di luar sana. Bagaimana orang-orang menjalani kehidupan dengan cara yang seratus delapan puluh derajat berbeda dari kehidupan yang ia miliki sekarang. Ia bisa mengerti tapi tak pernah ia bayangkan jika salah satunya saja hadir tepat di depan batang hidungnya. Ibarat membaca kisah Ramayana, agak sulit dicerna akal jika dalam kehidupan nyata kita berjumpa kijang emas di tengah hutan dan mendadak menjelma Narisa, pengiring Rahwana.

Si lelaki berambut keperakan tahu betul dunia ini berubah terus. Mana ada anak muda jaman sekarang yang mau bercelana cutbray yang dulu ia bangga-banggakan namun dicaci habis-habisan oleh orang-orang yang lebih tua. Itu baru soal celana. Belum lagi soal cara berpikir.  

Ia lalu mengalihkan pandangan kepada si lelaki muda yang masih tampak menerawang. Tersadar ia tak bisa lagi mengenali sosok yang ada di depannya, apalagi menembus alam berpikirnya. Namun seketika itu juga ia temui sorot mata yang serupa dirinya di usia muda.

"Ya... setiap orang punya jalan hidupnya sendiri-sendiri. Dan kita tidak bisa saling memaksakan," kata si lelaki berambut keperakan, akhirnya.

"Ya, ayah..." Terima kasih.

baca selengkapnya

1 Juni 2014

Mari Bercermin

Sebuah kabar beberapa hari lalu membuat saya geram. Sedih. Marah. Bagaimana tidak, di kota yang sudah saya anggap rumah, kota yang katanya menjunjung tinggi nilai keberagaman karena berbagai suku bahkan bangsa tumpah ruah, sekelompok orang berulah. Komplotan oknum menyerang kelompok lain saat mereka beribadah. Ya, perlu saya perjelas, komplotan oknum yang mengatasnamakan agama Islam menyerang sekelompok warga Katholik yang sedang berdoa bersama di sebuah rumah di Yogyakarta. Serangannya lebih dari babi buta. Disebutkan salah satu korbannya adalah anak 8 tahun! Astaga!

Alibi ‘karena awalnya dipanas-panasi’ sangat sulit dicerna akal saya jika yang mereka lakukan itu adalah atas nama agama, terlepas dari analisis tragedi tersebut sarat muatan politis menjelang pemilihan pemimpin negara. Bukankah agama Islam mengajarkan kesantunan dan mengedepankan dialog? Bagaimanapun, kekerasan dalam bentuk apapun tidak bisa dibenarkan apalagi sampai angkat golok. Saat belajar agama Islam, entah berapa kali saya diingatkan untuk berserah diri kepada Tuhan. Latar belakangnya jelas, ada kehidupan setelah mati dan seadil-adilnya pengadilan. Artinya kalaupun kita merasa dikalahkan di dunia ini, selalu ingat bahwa kelak Tuhan akan memenangkan kita di kemudian hari. Lupakah kalian pada hukum hari pembalasan?

Atau, para oknum itu memang tidak pernah diajari tentang itu. Yang ditanamkan hanya benih-benih kebencian kepada kelompok lain yang diliyankan. Itu sebab kelompok muslim lain, yang mayoritas, kemudian mengatakan, “Itu bukan Islam”, “Itu oknum yang mengatasnamakan Islam”, “Islam tidak seperti itu”. Saya sepakat. Mereka bukan muslim, mereka tak lebih dari makhluk bejat. Yang berkamuflase di balik takbir yang dilantangkan dengan nada kebencian. Bukan kekaguman. Sama seperti politikus yang berkedok agama, mereka gemar mengumbar ayat demi egonya.

Teringat saya suatu ketika ada teman di sosial media yang memberikan komentar karena saking seringnya saya membeberkan noda-noda yang diperbuat oknum berkedok Islam. Katanya, “Kenapa kamu sering memposting berita tentang oknum dari Islam, padahal oknum dari agama lain juga banyak.” Sebelum saya merespon, beberapa teman yang lain sudah memberikan komentar duluan. Selain komentar yang mengatakan karena mayoritas di Indonesia itu Islam sehingga lebih mudah mencari oknum yang Islam, satu komentar yang sangat ‘kena’ adalah lebih baik bercermin pada diri kita dahulu sebelum menilai orang lain.

Bagi saya komentar teman saya itu ibarat tamparan bagi muslim di Indonesia, yang mayoritas, yang merasa tidak menjadi bagian kelompok oknum. Coba kita bercermin. Benar-benar berdiri di depan cermin, maksud saya. Lantas apa yang kita lakukan jika kita merasa wajah kita tampak kusam atau rambut kita terlihat kusut atau baju kita tampak bernoda? Kemungkinan besar adalah kita segera cuci muka, menyisir rambut atau membersihkan noda. Terlebih lagi jika memang kita merasa harus tampil prima di hari itu.

Kita melihat wajah Islam yang tercoreng dan tampak bengis. Citra Islam yang tidak diinginkan dan sejatinya memang tidak demikian. Lalu apa yang dilakukan, saudara-saudara saya yang muslim? Berdiam diri saja dan menganggap itu tak ada kaitannya dengan Islam yang kita yakini padahal jelas mereka telah menginjak-injak nilai-nilai yang kita percayai itu? Dan kita mencerca segala berembel liberal dan individualisme karena itu dianggap ajaran Barat yang kafir tapi bergeming melihat perlakuan tidak manusiawi terhadap saudara kita yang lain. Menganggapnya tak lebih dari berita pohon tumbang karena angin kencang. Seperti itukah Islam yang katanya rahmatan lil 'alamin, rahmat bagi seluruh alam?  Semakin banyak oknum bermunculan dan semakin giat mereka mengangkat gagang besi dan pentungan, bukankah seharusnya kita semakin bertanya-tanya, mengapa Islam di Indonesia sekarang menjadi seperti ini?

Kita membiarkan kelompok oknum itu tetap hidup bahkan semakin beringas. Kita mendiamkan anak-anak kecil kita diajari paham-paham kedengkian di sekolah. Atau jangan-jangan kita bagian dari yang diam-diam dalam hati menyetujui agenda para oknum terhadap kelompok agama lain, bahkan pada kelompok Islam yang tidak sesuai dengan kita? Jika memang demikian, lupakanlah cermin. Teruslah berdiam diri tapi tak perlu protes saat orang lain menilai Islam itu jauh dari pesan damai. 

Maka senang rasanya jika saya bertemu atau mendapat kabar ada saudara-saudara muslim yang terbukakan hatinya, bahkan mencoba melakukan sesuatu untuk menghilangkan kusam, kusut dan noda dalam Islam. Jelas bukan hal yang mudah bagi mereka saat mayoritas merasa sudah sangat mapan dengan posisinya dan menjadi mudah curiga pada riak kecil yang sesungguhnya mencoba kembali menggairahkan tradisi berpikir.

Salah satu yang saya temukan adalah Sakdiyah yang menggunakan stand-up comedy untuk mengajak umat Islam bercermin. Melihat kembali pada apa yang sedang terjadi dengan Islam, terutama di Indonesia. Menurut saya, ini adalah cara yang cerdas dan alternatif untuk membuka ruang diskusi bagi pikiran-pikiran yang sudah lama ditumpulkan. Ini juga pengingat bagi saya pribadi kalau sekarang bukan saatnya berdiam diri. Yakinlah kalau mereka, para oknum, akan kalah nyali jika kita, yang jumlahnya jauh lebih banyak, bersama berdiri.



baca selengkapnya

19 Februari 2014

Tak Lagi Bingung Pilih Identitas Gender di Facebook

Facebook melakukan gebrakan di usianya yang 10 tahun dengan menjadi situs jejaring sosial yang menyediakan pilihan gender paling beragam bagi para penggunanya. Ini adalah bentuk pengakuan bagi keberagaman identitas gender dan seksual manusia

Seperti diberitakan Huffingtonpost, Facebook melakukan ini untuk memberikan pilihan yang lebih luas bagi penggunanya dalam menjelaskan siapa diri mereka, termasuk androgin, bi-gender, intersex dan sebagainya. Tidak tanggung-tanggung, ada kira-kira 50 pilihan istilah gender. Mungkin ini tidak berdampak bagi sebagian orang, tapi akan berarti banyak bagi mereka yang selama ini dipaksa manut pada pakem gender biner

Caranya mudah, tinggal masuk ke pilihan “Gender” di bagian “Basic Information” lalu kita akan menemukan kalau pilihannya tidak hanya Male dan Female saja, tapi juga bisa kita sesuaikan dengan mengklik “Custom”. Di situlah kita bisa menjelajah istilah mana yang tepat untuk menggambarkan diri kita. Ditambah juga, kata pengganti apa yang akan kita pilih sebagai orang ketiga (karena dalam Bahasa Inggris, kata-kata seperti ini masih bias gender).


Sayangnya, opsi ini hanya tersedia jika kita mengatur bahasa yang digunakan untuk akun Facebook kita dalam English (US). Bisa dibayangkan juga repotnya jika tersedia dalam Bahasa Indonesia. Menyenangkan memang, tapi pasti jadi pekerjaan rumah karena istilah-istilah yang masih sangat asing di telinga kita. 

Nah untuk membantu memahami istilah-istilah yang disediakan oleh Facebook, saya bantu terjemahkan dari artikel ini. Semoga membantu. Untuk istilah lain dan pemahaman yang lebih tentang seks dan gender, anda juga bisa mengintip ke trans-academics.org.


Siap? Lanjut!

Agender: seseorang yang tidak mengidentifikasi diri dengan identitas gender apapun. Istilah ini mungkin juga digunakan oleh seseorang yang secara intens penampilan gendernya tidak bisa ditebak. Beberapa orang menggunakan istilah yang mirip seperti “genderless” dan “gender netral”. 

Androgyne/Androgynous: seseorang yang tidak mengidentifikasi dan tidak menampilkan diri sebagai perempuan atau laki-laki. Androgynous dapat merujuk pada kepemilikan kualitas maskulin dan feminin. Istilah ini berakar dari Bahasa Latin, ‘Andro’ yang berarti ‘laki-laki’ dan ‘Gyne’ yang artinya ‘perempuan’. Beberapa androgyne mungkin mengidentifikasi sebagai “gender benders”, yang berarti mereka secara intens “melawan” (atau menantang/melampaui) peran-peran gender yang ada di lingkungan sosial.

Bigender: seseorang yang mengidentifikasi sebagai baik laki-laki maupun perempuan. Identitas “bigender” adalah kombinasi dari dua gender, meskipun tidak harus 50%-50%, sebagaimana gender-gender ini sering dirasakan dan diekspresikan secara utuh. Serupa dengan individu yang mengidentifikasi sebagai “gender fluid”, individu bigender dapat menampilkan diri sebagai laki-laki, perempuan atau gender-neutral di waktu yang berbeda.

Cis: semua istilah yang menggambarkan bahwa seseorang bukan “trans” atau mengidentifikasi dan menampilkan diri tidak di luar konteks gender yang umum.
  • Cis Female (Cis Woman, Cisgender Female, Cisgender Woman): seorang perempuan biologis yang mengidentifikasi sebagai perempuan/ memiliki identitas gender feminin.
  • Cis Male (Cis Man, Cisgender Male, Cisgender Man): seorang laki-laki biologis yang mengidentifikasi sebagai laki-laki/memiliki identitas gender maskulin.
  • Cisgender: seseorang yang memiliki identitas gender yang umumnya sejalan dengan jenis kelamin biologis mereka. Misalnya, seseorang yang ‘ditetapkan’ sebagai perempuan (secara biologis) saat dilahirkan dan hidup sebagai perempuan.

Female to Male/ FTM: seorang trans yang ditetapkan sebagai perempuan secara biologis dan hidup sebagai laki-laki serta memiliki identitas gender maskulin. Individu ini bisa saja tidak melakukan perubahan bentuk tubuh melalui operasi, hormone atau modifikasi lain (seperti latihan vokal agar suaranya lebih berat). FTM adalah singkatan dari “female-to-male”. Untuk panggilan atau kata pengganti orang ketiga (dalam Bahasa Inggris) biasanya menggunakan istilah maskulin, seperti “he”, “his”, “Mas”, “Pak” atau kata pengganti yang gender neutral.

Gender Fluid: seseorang yang identitas dan tampilan gendernya tidak terbatas hanya pada satu kategori gender. Individu gender fluid mungkin memiliki pemahaman yang sangat dinamis, fluktuatif atau cair mengenai gender mereka, berpindah antara kategori-kategori yang dirasakan tepat. Misalnya, seseorang dengan gender fluid bisa saja merasakan lebih seperti laki-laki pada suatu hari dan di hari yang lain merasa lebih seperti perempuan, atau merasa kedua istilah itu cocok.

Gender Nonconforming: seseorang yang terlihat dan/atau berperilaku dengan cara yang tidak menyesuaikan atau tidak tipikal dengan harapan-harapan lingkungan sosial mengenai bagaimana seseorang dari gender tertentu ‘seharusnya’ terlihat dan berperilaku. (Artikel menarik tentang gender conformity & gender non-conformity oleh Dr. Eric Grollman bisa dicek di sini)

Gender Questioning: seseorang yang mungkin sedang mempertanyakan gender atau identitas gender mereka, dan/atau sedang mempertimbangkan cara-cara lain untuk mengalami dan mengekspresikan gender atau penampilan gender mereka.

Gender Variant: istilah yang memayungi setiap orang yang, karena alasan apapun, tidak memiliki identitas cisgender (termasuk istilah payung “trans*”). Beberapa orang merasa istilah ini justru menyiratkan bahwa beberapa gender adalah “penyimpangan” dari gender yang standar, dan memperkuat “kealamian” dari sistem dua gender. Beberapa lebih memilih “gender diverse” atau “gender-nonconforming”.

Genderqueer: seseorang yang mengidentifikasi diri di luar, atau berharap untuk menantang, sistem dua gender (perempuan/laki-laki); mungkin mengidentifikasi sebagai multiple genders (gender ganda), kombinasi dari gender-gender, atau gender “di antara”. Orang-orang yang menggunakan istilah ini merasa mereka sedang melakukan klaim ulang atas istilah “queer”, yang secara sejarah telah digunakan sebagai hinaan terhadap komunitas gay perempuan dan laki-laki. Istilah ini lebih sering digunakan oleh generasi muda yang sedang melakukan “klaim ulang” itu dan jarang digunakan oleh generasi yang lebih tua yang secara personal mengalami masa dimana istilah “queer” masih digunakan sebagai hinaan.

Intersex: secara umum digunakan untuk merujuk seseorang yang kromosom, kelenjar kelaminnya, struktur hormon, dan anatomi tubuhnya tidak dapat ditetapkan sesuai dengan susunan yang diharapkan dari tubuh tipikal laki-laki ‘atau’ tubuh tipikal perempuan. Beberapa kondisi intersex muncul pada saat mereka dilahirkan, sedangkan beberapa yang lain baru terlihat atau disadari saat pubertas atau masa perkembangan selanjutnya. Beberapa orang tidak lagi menggunakan istilah “kondisi intersex” dan lebih memilih “kekacauan perkembangan jenis kelamin”. (Sila cek ISNA.org.)

Male to Female/MTF: seorang trans yang ditetapkan sebagai laki-laki secara biologis (biasanya saat lahir) dan hidup sebagai perempuan serta memiliki identitas gender feminin. Individu ini bisa saja tidak melakukan perubahan bentuk tubuh melalui operasi, hormon atau modifikasi lain (seperti latihan vokal, elektrolisis, dsb). MTF adalah singkatan dari “male-to-female”. Untuk panggilan atau kata pengganti orang ketiga (dalam Bahasa Inggris) biasanya menggunakan istilah maskulin, seperti “she”, “her”, “Mbak”, “Bu” atau kata pengganti yang gender neutral.

Neither: Tidak memberikan label pada gender seseorang

Neutrois: istilah payung di dalam istilah payung yang lebih besar dari transgender atau genderqueer. Termasuk orang yang tidak mengidentifikasi diri dalam sistem gender biner (perempuan/laki-laki). Berdasarkan Neutrois.com, beberapa identitas Neutrois yang umum termasuk "agender", "neither-gender", dan "gender-less".

Non-binary: non-biner, serupa dengan genderqueer, istilah ini adalah cara untuk menjelaskan gender seseorang di luar sistem dua gender (perempuan/laki-laki) dan/atau menantang sistem tersebut.

Other: memilih untuk tidak menyebutkan label yang umum ada untuk gender seseorang. Saat digunakan oleh seseorang untuk menjelaskan diri mereka, ini seperti memberikan kebebasan untuk menjelaskan (atau tidak secara spesifik menjelaskan) gender mereka. Istilah “other” sebaiknya tidak digunakan untuk merujuk seseorang yang kita tidak cukup memiliki pemahaman atas gender mereka.

Pangender: “pan” artinya semua, setiap, dan istilah ini adalah label identitas lain seperti genderqueer atau neutrois yang menantang konsep gender biner dan melingkupi orang-orang dengan gender beragam.

Transgender: istilah yang memayungi semua orang yang memiliki gender yang tidak sejalan dengan jenis kelamin biologis mereka. Individu yang mengidentifikasi diri sebagai transgender mungkin tidak atau mungkin saja melakukan perubahan pada tubuh mereka melalui operasi dan/atau hormon. Misalnya:
  • Trans Man (lihat penjelasan FTM): walaupun beberapa orang menulis istilah “transman” (tanpa spasi antara trans dan man) atau trans-man (perhatikan tanda penghubungnya), beberapa yang lain mengajukan penambahan spasi di antara “trans” dan “man” agar memberikan indikasi bahwa orang tersebut adalah laki-laki dan bagian “trans”-nya bukanlah karakteristik yang menegaskan atau pusat dari identitas individu tersebut.
  • Trans Woman (lihat penjelasan MTF): walaupun beberapa orang menulis istilah “transwoman” (tanpa spasi antara trans dan woman) atau trans-woman (perhatikan tanda penghubungnya), beberapa yang lain mengajukan penambahan spasi di antara “trans” dan “woman” agar memberikan indikasi bahwa orang tersebut adalah perempuan dan bagian “trans”-nya bukanlah karakteristik yang menegaskan atau pusat dari identitas individu tersebut.
  • Trans Female (lihat penjelasan MTF)
  • Trans Male (lihat penjelasan FTM)
  • Trans Person (lihat penjelasan Transgender): cara lain untuk mengatakan seseorang adalah transgender person. (Perhatikan “transgender” cenderung dipilih dibandingkan “transgendered”)

Trans*: adalah istilah inklusif yang merujuk pada banyak cara dari seseorang dapat ‘melampaui’ atau ‘melanggar’ gender atau norma-norma gender (termasuk individu yang mengidentifikasi diri sebagai transgender, transsexual, gender diverse, dsb). Pada banyak kasus, tanda bintang (*) tidak diikuti oleh istilah jenis kelamin atau gender, cukup ditulis Trans* untuk mengindikasikan bahwa tidak semua individu trans mengidentifikasi diri dengan label-label jenis kelamin atau gender yang sudah ada. Opsi lainnya adalah:
  • Trans*Person (lihat penjelasan Transgender)
  • Label jenis kelamin atau gender juga dapat digunakan:
  • Trans*Female (lihat MTF)
  • Trans*Male (lihat FTM)
  • Trans*Man (lihat FTM)
  • Trans*Woman (lihat MTF)

Transsexual person: bagi banyak orang, istilah ini mengindikasikan bahwa seseorang telah melakukan perubahan terhadap tubuh mereka, khususnya pada organ seksual (seperti alat kelamin dan/atau dada), melalui operasi. Bagi beberapa orang lain, istilah “transsexual” adalah istilah yang problematis karena sejarah patologis atau dikaitkannya dengan gangguan psikologis. Untuk mendapatkan operasi yang diperlukan bagi penyesuaian alat kelamin atau penyesuaian gender, individu-individu ini memerlukan diagnosis psikiatris (menurut sejarah, diagnosisnya adalah “transsexualism”) dan rekomendasi dari profesional di bidang kesehatan mental. Istilah “transsexual” cenderung lebih jarang digunakan oleh generasi muda trans.
  • Transsexual Woman: seseorang yang ditetapkan berjenis kelamin biologis laki-laki saat lahir dan memiliki kemungkinan beralih (melalui operasi dan/atau terapi hormon) agar dapat hidup sebagai perempuan.
  • Transsexual Man: seseorang yang ditetapkan berjenis kelamin biologis perempuan saat lahir dan memiliki kemungkinan beralih (melalui operasi dan/atau terapi hormon) agar dapat hidup sebagai laki-laki.
  • Transsexual Female (lihat Transsexual Woman)
  • Transsexual Male (lihat Transsexual Man)
Transmasculine: seseorang yang ditetapkan berjenis kelamin perempuan biologis saat lahir dan mengidentifikasi diri sebagai maskulin, namun mungkin tidak mengidentifikasi dirinya secara keseluruhan sebagai laki-laki. Seringkali kita menghadapi frasa “masculine of center” untuk mengindikasikan orang-orang yang mengidentifikasi diri sebagai transmasculine melihat diri mereka dalam hubungannya dengan gender yang lain.

Transfeminine: seseorang yang ditetapkan berjenis kelamin laki-laki biologis saat lahir dan mengidentifikasi diri sebagai feminin, namun mungkin tidak mengidentifikasi dirinya secara keseluruhan sebagai perempuan. Seringkali kita menghadapi frasa “feminine of center” untuk mengindikasikan orang-orang yang mengidentifikasi diri sebagai transfeminine melihat diri mereka dalam hubungannya dengan gender yang lain.

Two-spirit: istilah ini berakar dari suku Zuni di Amerika Utara, walaupun orang-orang two-spirit ini tercatat ada di suku-suku lain di seluruh dunia. Suku asli Amerika, yang memiliki karakter dan penampilan maskulin dan feminin, memiliki peran yang istimewa dalam suku mereka, dan mereka dilihat sebagai gender ketiga. (Terakhir, Jerman dan Nepal telah mengadopsi opsi gender ketiga ini bagi warga negara mereka).




baca selengkapnya

11 Februari 2014

Move On Itu Sebagian dari Iman

Siapa saya berani-beraninya bicara soal iman? Sadar akan jarak yang terbentang antara diri saya dengan praktik dan ritual keagamaan, saya memahami keimanan tidak hanya melekat pada agama. Keimanan bagi saya lebih menjurus pada spiritualitas, pada pemaknaan diri, hidup dan hubungannya dengan alam sekitar. Tentang nilai-nilai kebaikan, kebahagiaan dan perdamaian serta bagaimana menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari. Tunggu. Niat hati ingin menulis yang ringan-ringan, kenapa malah terjebak ngomongin spiritualitas? Haha…

Ok, jadi kenapa saya bilang ‘move on itu sebagian dari iman’? Nah, itulah alasan saya mesti menjelaskan sedikit soal ‘iman’ itu lebih dulu, daripada para fundamentalis agama yang over-protective teriak-teriak karena konsep ‘iman’-nya saya ambil alih. Iman itu, seperti yang sudah saya bilang, adalah soal pemaknaan diri, tentang kebahagiaan, perkara kekuatan untuk mengelola diri dan mencari kebahagiaan itu. Jadi tentu saja, ada hubungannya dengan move on. Gagal move on seringkali menyiksa hati dan membuat hari-hari kelabu, maka move on itu ibarat tiket untuk memulai lembar baru, yang penuh harapan akan diri yang lebih bahagia.

Ada satu teman yang bertahun-tahun susah move on. Oh, tunggu dulu, saya mesti garis bawahi juga ya move on yang dibahas ini adalah move on soal urusan hati alias cinta. Bolehlah saya sambung-sambungkan dengan perayaan hari kasih sayang beberapa hari lagi. Maksa? Terserah. Hehe… Ok, kembali ke kasus teman saya tadi itu. Saya mungkin terdengar seperti menghakimi kalau dia susah move on. Tapi bagaimana tidak, kalau hampir dalam setiap percakapan selalu mengajak serta memori tentang mantannya. Jujur saja, kadang bosan mendengarnya. Sedih juga melihat terawang matanya saat ingatannya terpaku pada sang mantan. Sebagai teman, saya cuma bisa kasih saran ini itu. Saran paling gampang, “Cari yang baru kek!” Gawat! Itu bukan solusi karena masalah gagal move on tidak sesederhana itu. Bagaimana kalau teman saya akhirnya hanya mencari pelampiasan?




Seminggu lalu saya nongkrong dengan teman lain. Bahasannya cukup berat. Tidak… tidak… kami tidak membicarakan nasib bangsa yang sedang krisis ini itu. Tapi soal lain. Teman saya awalnya bertanya,

“Apa tujuan hidupmu?” Otak saya berputar keras sekali. Itu karena saya hampir tidak pernah memikirkannya. Akhirnya yang keluar dari mulut saya adalah,

“Menjadi bahagia.”

Topik lalu berganti soal kebahagiaan, manakah yang lebih bahagia: berpasangan atau sendiri. Pendapat saya adalah tidak ada yang lebih di antara keduanya. Tanpa pasangan bisa bahagia, berpasangan juga bisa. Cuma bentuknya saja yang berbeda.

Nah, perkara gagal move on bisa jadi karena kita salah mempersepsi kebahagiaan itu. Saat kita menganggap kebahagiaan adalah dengan memiliki pasangan, boleh jadi saat hubungan kandas rasanya seperti akhir dunia. Apalagi kalau kita menganggap kebahagiaan kita adalah pasangan kita itu. Dialah yang memberikan kebahagiaan bagi kita. Bisa ditebak bagaimana jadinya kalau dia tiba-tiba pergi meninggalkan kita.

Lalu saya juga baca di artikel ini tentang attachment figure, sosok yang paling kita andalkan dalam memberikan dukungan dan kasih sayang. Adalah kebutuhan dasar manusia untuk ‘memiliki’ seseorang yang bisa kita percaya dan dapat kita andalkan. Pada orang yang berpasangan, seringnya pasangan itulah yang menjadi attachment figure yang utama. Maka wajar jika proses ‘melepaskan’-nya saat putus atau cerai tidaklah mudah.

Tidak mudah bukan berarti tidak bisa lho ya. Asal ada kemauan, pasti ada jalan. Kecuali kalau kita lebih senang hidup bergumul dengan drama dan air mata. Tidak jarang pula, bukan, orang yang gagal move on akhirnya malah menutup hati pada kehadiran orang lain dan aktivitas sehari-harinya terganggu, termasuk kehidupan pertemanan karena gencarnya status galau di jejaring sosial. Move on adalah pilihan terbaik untuk menata ulang hidup kita dan menunjukkan kemampuan kita untuk memaknai positif diri kita sendiri dan positif tentang konsep kebahagiaan. 

Cukup, segera ke bagian praktis saja: bagaimana caranya move on dari mantan dan hubungan masa lalu? Berikut beberapa tips yang bisa dicoba (saya campur-campur dari artikel yang sama dan dari artikel lain yang bisa diintip di sini dan di sini):

  • Percayalah kalau kebahagiaan bukan ada di pundak mantan. Bukan pula di hubungan yang sudah tutup buku itu. Kebahagiaan itu ada dalam diri kita sendiri. Kita yang menciptakan kebahagiaan.
  • Sayang sekali memori dalam otak kita tidak bisa dihapus secara permanen. Terima kenyataan itu. Tapi perlakukanlah hanya seperti album kenangan, tidak lebih. Ada teori yang mengatakan semakin kita berambisi melupakan sesuatu, justru semakin sulit melupakannya karena si 'sesuatu' itu terus-terusan kita hadirkan dalam pikiran kita meskipun dengan embel-embel 'lupakan'. Terus, harus bagaimana donk? Lanjutkan ke poin berikutnya hehe...
  • Temukan attachment figure lain. Eits, jangan diartikan mencari pasangan baru. Tak usah terburu-buru soal itu. Attachment figure ini bisa saja sahabat atau keluarga. Ingat ya, mantan kita bukan satu-satunya orang yang dekat dan memberikan dukungan kepada kita.
  • Kurangi intensitas bersama mantan. Apalagi malah menjadikan teman curhat dan berbagi kisah hidup. Lha, apa bedanya dengan tetap menjalin hubungan dengan dia? Kecuali kita sudah yakin kalau kita telah sukses melalui masa moving on. Masih satu sekolah, kampus atau kantor dengan mantan? Tidak masalah selama kita tetap menempatkan diri sebagai pribadi yang tidak punya ikatan lagi dengan mantan.
  • Masih lihat-lihat statusnya di Facebook, foto terbarunya di Instagram atau serius menyimak lini masanya di Twitter? Selain buang-buang waktu, ke-kepo-an itu akan berujung gagal move on akut. Punya soundtrack dengan mantan atau film spesial? Segera perbaiki playlist musik dan koleksi film. Akan lebih bagus jika musik dan film yang menyemangati, bukan malah yang menyek-menyek.
  • Tetap jalani kehidupan rutin kita seperti biasa. Tidur cukup, makan tepat waktu dan berkualitas, dan rutinitas menyehatkan lainnya akan membantu kita melewati masa galau. Ya, slogan ‘dalam tubuh yang kuat terdapat jiwa yang sehat’ bukannya main-main. Lupakan anggapan kalau dengan menambah pekerjaan dan kesibukan akan mengalihkan pikiran kita. Jalankan sesuai porsinya karena, sekali lagi, badan yang sehat membuat pikiran kita lebih positif, selain juga pekerjaan dan kesibukan yang terlalu banyak akan mengurangi kuantitas dan kualitas interaksi dengan orang lain.
  • Terakhir, cari bantuan profesional. Terutama jika gagal move on yang kita alami sudah sangat mengganggu dan menahun. Ada beberapa dari kita yang sulit menemukan sendiri tiang untuk berpegang saat kita jatuh, kekuatan yang sebetulnya ada dalam diri kita. Siapa tahu konselor atau terapis bisa membantu.


Ok, selamat mencoba dan semoga move on-nya sukses! Hidup kita terlalu berharga untuk dilalui hanya dengan menangisi masa lalu!
baca selengkapnya

9 Februari 2014

Pers dan Privasi

Atmosfir kompetisi sebagai efek samping dari bisnis lembaga pers atau media massa telah memberikan tantangan tersendiri bagi para pekerja dan pemilik media dalam menggaet sebanyak mungkin penonton, pendengar dan pembaca. Memaksimalkan teknologi adalah salah satu jalan yang ditempuh seperti yang bisa kita lihat dari transformasi bentuk media massa, dari bentuk yang sangat konvensional (media cetak) ke media elektronik dan kemudian media berbasis internet. 

Hal lain yang dilakukan adalah dengan meracik artikel atau program yang lebih menghibur dan dekat dengan kehidupan sehari-hari masyarakat. Human interest adalah satu dari sekian kata kunci dari artikel atau program yang atraktif, yang merefleksikan lika-liku kehidupan manusia. Namun, alih-alih mengangkat sosok atau permasalahan sosial dengan sentuhan emosional melalui kisah-kisah biografi atau feature yang indah dan kuat, beberapa media telah secara keliru, dan mungkin saja sengaja keliru, mendefinisikan ‘human-interest’ sebagai segala sesuatu yang berkaitan dengan kehidupan seseorang, termasuk privasi mereka. Tayangan dan berita gossip atau infotainment tentang para selebritis adalah yang paling nyata kita temui dari buka-bukaan kehidupan pribadi manusia. Namun, materi macam ini telah juga mengokupasi program atau kolom berita. Saya sendiri meyakini pemberitaan kehidupan pribadi seseorang itu tidak sejalan dengan fungsi dasar media massa dan justru berpotensi melanggar hak si individu yang seharusnya disadari oleh para pekerja media.

Pasal 3 UU No.40/1999 tentang Pers menyebutkan fungsi utama dari pers atau media massa adalah fungsi informasi, edukasi, hiburan, kontrol sosial dan lembaga ekonomi. Fungsi-fungsi ini dapat diterapkan pada satu artikel atau program. Maksudnya, program berita seharusnya informatif, membuat masyarakat terperbaharui mengenai apa yang sedang terjadi di dunia ini. Program berita juga menyediakan materi edukasi berupa pengetahuan dan nilai-nilai mengenai apa yang baik dan buruk dalam lingkungan sosial kita. Penyebaran berita tersebut dapat dilakukan dengan cara yang menghibur, misalnya dengan pemakaian kata-kata yang indah tapi penuh makna dalam sebuah artikel, atau pembaca acara yang lebih santai dan ‘good looking’ dalam program-program berita yang kini lebih interaktif. Bolehlah program atau artikel lain memuat lebih sedikit informasi dan lebih banyak muatan hiburannya, tapi program berita harus tetap mengedepankan fungsi informasinya karena ini merepresentasikan kredibilitas, profesionalitas dan komitmen dari media.

Saya akan mengajukan argumen saya mengapa pemberitaan kehidupan pribadi seseorang tidak sejalan dengan fungsi dasar media massa, bahkan jika hal itu dilakukan dalam kolom atau program berita. Pertama, penting untuk memahami apa itu informasi dalam bingkai media massa. Jika saya mengatakan, “Saya sudah bertunangan”, apakah itu termasuk informasi? Dalam hubungan interpersonal saya, bisa jadi ya. Kerabat dan sahabat perlu mengetahui status saya karena mungkin saja mereka ingin tahu apa rencana masa depan saya, syukur-syukur kalau mereka bisa memberikan dukungan. Saya, tentu saja, tidak akan memberikan informasi ini kepada orang yang tidak menanyakannya atau kepada orang-orang yang saya rasa tidak memerlukan informasi tersebut. Data yang informatif selalu melekat dengan konteksnya dan seberapa bergunakah itu bagi penerima informasi.

Nah, dalam media massa, sebuah informasi seharusnya didefinisikan sebagai data yang berguna bagi massa, masyarakat, orang banyak. Karena itulah dinamakan media massa, bukan? Maka pertanyaan saya adalah, seberapa bergunakah pemberitaan kehidupan pribadi seseorang bagi khalayak? Ya bisa saja itu berguna, misalnya bagi fans berat artis terkenal atau oposisi politikus A. Tapi bagaimana dengan masyarakat yang lebih luas? Apakah mereka setuju informasi itu penting bagi mereka? Apakah itu akan memberi mereka pesan moral tertentu? Saya meragukannya. Lagipula, apakah menjadi artis terkenal dan politikus itu berarti teken kontrak semua kehidupan pribadinya bisa diekspos, alih-alih prestasi mereka saja?

Pekerja dan pemilik media bisa jadi berlindung di balik alibi bahwa pemberitaan kehidupan pribadi hanyalah respon dari permintaan pasar. Mereka membuat asumsi bahwa itulah yang ingin dibaca dan didengar masyarakat. Jika memang demikian, mereka juga seharusnya mempertimbangkan kelompok masyarakat lain yang merasa data macam itu tidak penting, tidak menghibur, tidak mendidik dan justru mengganggu, mereka juga seharusnya melihat kembali fungsi dasar keempat dari pers, sebagai kontrol sosial. Secara tidak langsung, fungsi ini mengamini kekuatan dahsyat yang dimiliki pers dalam kehidupan bermasyarakat. Di sisi lain, permintaan pasar juga bisa diciptakan, atau boleh saya bilang, dimanipulasi. Maka, asumsi di atas sangat tidak masuk akal dan saya percaya media tidaklah sebodoh itu membiarkan masyarakat yang mengontrol mereka. Sebagai institusi yang memiliki kekuatan, media massa bisa menciptakan permintaan. Strategi ini adalah rahasia umum dalam dunia bisnis. Karena media massa adalah lembaga profit, tentu sah-sah saja jika mereka juga melakukan strategi ini. Namun tentu saja, strategi yang diambil harus tetap mempertimbangkan fungsi-fungsi media lainya sebagai dapur informasi dan penyebar edukasi. Apakah media massa menjalankan perannya yang sangat kuat tersebut dalam kontrol sosial? Atau lebih tepat untuk diajukan, kontrol sosial macam apa yang sedang media lakukan sekarang?

Pemberitaan kehidupan pribadi seseorang juga bisa dilihat sebagai bentuk pelanggaran hak asasi manusia. Hak privasi tercantum dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia yang diadopsi PBB pada 10 Desember 1948. Pasal 12 menyebutkan:

No one shall be subjected to arbitrary interference with his privacy, family, home or correspondence, nor to attacks upon his honor and reputation.

Namun, karena tidak ada definisi privasi yang pasti, persoalan privasi ini tampaknya menjadi kompleks. Dari sisi hukum, hak privasi termasuk dalam hak derogable, yang artinya pada kondisi tertentu pemenuhan hak ini bisa dikurangi atau dibatasi oleh pemerintah. Misalnya saja, merekam pembicaraan personal diijinkan jika bertujuan mendukung proses persidangan kasus kriminal, seperti korupsi.

Menarik isu privasi ini ke konteks media massa tentu saja tambah kompleks. Media massa mengklaim bahwa mereka punya kebebasan untuk memberitakan apapun, termasuk kehidupan pribadi seseorang. Pekerja media yang menyetujui ini saya kategorikan sebagai yang masih kurang paham isu hak asasi manusia. Kenapa bisa? Hak dan kebebasan seseorang atau sekelompok orang dibatasi oleh hak dan kebebasan orang lain. Konsekuensinya adalah kebebasan media massa juga seharusnya dibatasi oleh hak privasi orang-orang yang diberitakan. Problem selanjutnya adalah, sampai sejauh mana sesuatu itu bisa dikatakan sebagai privasi seseorang? Apakah memberitakan skandal seks mantan presiden dengan sekretarisnya bisa dikategorikan mencederai hak asasi manusia? Pada beberapa titik, ya. Misalnya saja, informasi berlebihan soal kehidupan pribadi sang sekretaris bisa jadi melanggar hak privasinya. Sensitivitas media massa sangat diperlukan saat akan memberitakan informasi yang terkait kehidupan pribadi seseorang. Media massa juga harus menyadari bahwa popularitas tidak bisa menghilangkan hak privasi seseorang.

Tulisan saya ini sebetulnya saya buat untuk pekerjaan rumah di kelas academic writing. Untuk memperingati Hari Pers Nasional ini, saya tulis ulang dalam Bahasa Indonesia. Tentu ini hanya satu masalah yang sedang dihadapi terkait kredibilitas lembaga pers di Indonesia, selain sekian masalah lain seperti tayangan-tayangan yang tidak mendidik, cengkraman media massa di tangan para politikus, atau kurangnya perlindungan bagi para jurnalis saat bekerja.

baca selengkapnya

5 Januari 2014

Bahasa, Target Pasar dan Pengakuan Dosa

Saya sedang asyik berselancar di dunia maya, ketika saya menemukan satu Fanpage Facebook. Dari deskripsinya cukup menarik karena si empunya sepertinya hendak menyediakan wadah diskusi dan informasi tentang seksualitas. Sayangnya, deskripsi tersebut ditulis dalam Bahasa Inggris. Sayang bagi saya karena embel-embel ‘Indonesia’ di belakang nama fanpage itu ternyata hanya perkara geografi. Padahal jelas dituliskan kepada orang Indonesialah fanpage tersebut ditujukan. Saya tengok isinya, kebanyakan adalah kata-kata mutiara yang, lagi-lagi, berbahasa internasional tersebut.

Saya tak hendak mengatakan kalau nasionalisme mengalir deras dalam darah saya sampai-sampai saya anti Bahasa Inggris. Nyatanya toh tidak demikian. Saya lebih percaya humanisme daripada nasionalisme. Setiap hari saya juga ada masa harus berkomunikasi dalam Bahasa Inggris, walaupun kemampuan saya berbahasa yang secara resmi dipakai di lebih dari 50 negara itu masih saja Senin-Kamis.

Ini soal kampanye. Soal pesan yang hendak disampaikan kepada ratusan, ribuan mungkin jutaan kepala di luar sana. Saya lalu teringat kejadian sekitar satu bulan lalu.

Suatu saat, saya dan teman-teman sedang mempersiapkan kampanye viral di sosial media soal kekerasan terhadap perempuan. Setiap dari kami membuat papan pesan untuk diunggah di akun sosial media masing-masing. Salah satu teman saya meminta saya menuliskan pesan di papannya. Kurang pede dengan tulisan tangannya sendiri, katanya. 

“Oh pakai Bahasa Inggris?” tanya saya saat dia menyebutkan pesannya. Kepalanya mengangguk mantap, lalu dia melihat papan saya.

“Kamu kok pakai Bahasa Indonesia?”

“Karena teman-teman saya di Facebook dan Twitter kebanyakan orang Indonesia,” kata saya jujur. 

“Tapi kan ini bisa buat international exposure…” kata teman saya. Sukses membuat jantung saya berhenti sekian detik. Ingin protes tapi segera saya sadar kalau tujuan kami berkampanye ternyata bak bumi dan langit.

Oh silakan cap saya berlebihan dengan perandaian itu. Tapi menurut saya memang demikian adanya. Teman saya memilih berkampanye dengan berbahasa Inggris agar pesannya sampai bahkan ke penduduk Alaska. Dia mengharapkan komitmen global dari isu yang sedang diperjuangkan karena isu tersebut faktanya memang terjadi di belahan Bumi manapun.

Sedangkan saya berkampanye agar orang-orang terdekat saya punya pemahaman seperti saya. Syukur-syukur kalau sampai berubah sikap dan perilakunya. Saya tidak bermaksud merendahkan kemampuan teman-teman saya di jejaring sosial dalam hal cas cis cus berbahasa Inggris. Kebanyakan bahkan jauh di atas saya. Namun dari pengalaman saya pribadi, saya percaya ada emosi dalam setiap kata yang kadang menjadi 'nggak-dapet' saat diterjemahkan ke bahasa lain. Kedekatan emosi itu yang coba saya bangun dengan target pasar saya. Nah, sasaran saya dan teman saya nyata berbeda, bukan? Itu kenapa saya bilang bagai langit dan bumi.

Kesadaran yang muncul akibat saya menemukan fanpage, memori kampanye viral dan menuliskan ulang pengalaman saya itu di sini malah menggiring saya untuk segera mencari tembok ratapan. Astaga, apa yang sudah saya lakukan di masa lalu? Membuat media kampanye seragam untuk beraneka komunitas karena alasan efisiensi anggaran dan bla bla bla? Bagaimana dengan mereka yang emosinya lebih dekat dengan bahasa daerah alih-alih Bahasa Indonesia? Itu baru perkara bahasa, bagaimana soal struktur kalimat, banyaknya kata dalam kalimat, istilah yang dipakai? Duh!

baca selengkapnya

2 Januari 2014

Tahun Baru dan Dugaan Kebahagiaan

Kaki saya menghentikan kayuhan sepeda di depan mini market. Hujan yang mengguyur Jogja di hari pertama 2014, membuat saya kerepotan melepas mantel hujan demi mendapatkan sekaleng susu murni untuk menghilangkan sisa-sisa alkohol yang tertinggal dari pesta tahun baru semalam.

Sudut mata saya menangkap pemandangan di undak-undakan dekat pintu masuk toko. Sepasang istri suami duduk mengapit sepasang anak perempuan laki-laki. Oh sial, saya sudah berpraduga saja ya. Bagaimana kalau mereka itu tante, oom dan keponakan? Bagaimana kalau mereka itu tak punya hubungan darah? Ah sudahlah, anggap saja demikian. Si ibu dan kedua anaknya sedang sibuk menjilati es krim yang saya pastikan baru mereka beli dari toko. Sedangkan sang ayah hanya duduk-duduk saja menatap langit. 

Setelah sekaleng susu plus beberapa camilan masuk dalam tas saya, saya raih mantel hujan sambil kembali mengarahkan pandangan pada keluarga kecil yang sedang menunggu hujan reda itu. Kali ini si ayah bangkit dari duduknya, berdiri berjarak dan menyalakan rokok. Ah, cukup mengerti juga kalau anak-anak tak pantas terkena imbas asap rokok. Si ibu dan kedua anaknya masih sibuk menjilati es krim. Melihat pancaran wajah mereka yang bahagia dan tanpa beban, tiba-tiba saya berdesir. 

Dugaan saya, mereka mungkin terjebak hujan saat akan pergi ke suatu tempat untuk, atau akan pulang ke rumah dari, merayakan, katakanlah hari libur, kalau saya beranggapan tidak semua orang ingin merayakan tahun baru. Kebetulan si ibu dan ayah libur bekerja, anak-anakpun tak perlu berangkat sekolah. Alih-alih sampai tujuan dengan kondisi basah kuyup karena berkendara motor, mereka memilih duduk-duduk di undakan sebuah mini market dan membeli es krim. Tentu saja, selain permen, es krim punya daya majis meredam kerewelan anak. Ini juga cuma dugaan saya saja.

Saya bayangkan saya yang harus terjebak hujan. Menjilati es krim tak akan membuat saya senang. Apalagi hanya duduk-duduk di undakan sebuah mini market! Desir hati saya mungkin mengisyaratkan iri pada mereka, keluarga kecil itu yang masih bisa menemukan sepotong kebahagiaan dalam kondisi yang, bagi saya, tidak menyenangkan. Kebahagiaan seringkali sederhana, bukan melulu soal pekerjaan yang diincar banyak orang, tabungan membengkak, pasangan yang sempurna atau cuaca yang menyesuaikan kehendak hati. 

Pada kayuhan pertama, sambil tersenyum saya sempatkan lagi menengok pada keluarga itu. Kali ini si anak laki-laki, yang paling kecil, balik menatap saya sambil terus menjilat es krim cokelatnya yang tinggal separuh. Tatapannya… Ah, apakah dia sebetulnya kesal dan tak tahan menanti sinar matahari menyeruak dari balik awan dan justru berpikir bisa bersepeda sambil hujan-hujanan itu adalah hal yang membahagiakan?

Well, kadang kita menduga orang lain bisa bahagia dengan cara-cara kita mendapatkan kebahagiaan. Nyatanya tidak selalu. Pun tidak selalu apa yang membuat orang lain bahagia bisa juga mendatangkan kebahagiakan bagi kita. Setiap orang punya porsi kebahagiaan masing-masing. Saya paksakan nyambung dengan gegap gempita pesta kembang api yang baru usai, Selamat Tahun Baru 2014, Temukan Kebahagiaanmu!

baca selengkapnya