6 Februari 2018

Maaf dan Terima Kasih

Hari Minggu kemarin saya belanja untuk keperluan harian di supermarket yang ada di mall yang jaraknya hanya lima menit jalan kaki dari tempat saya tinggal (Ya Tuhan, berikan hamba-Mu ini kekuatan…). Salahnya saya sendiri tidak mempertimbangkan kalau hari Minggu itu pusat-pusat perbelanjaan pasti ramai, jadilah acara belanja yang harusnya singkat dan padat, acara kali ini tidak hanya memakan waktu lama tapi juga menguji mental. Ya elah, masak beli pisang, roti, sama susu aja pake ujian mental segala? Begini ceritanya.

Kejadian pertama, saat saya ngantri untuk minta ditimbangkan pisang, di depan saya adalah seorang ibu yang menerima buah yang sudah ditimbangkan dan diberi label harga oleh petugas supermarketnya. Sambil tersenyum, si petugas mengucapkan terima kasih. Yang diberi ucapan justru melengos aja gitu dengan muka judes. Kok saya agak gimana gitu ya?

Saya lalu ke bagian camilan. Saat saya sedang mempertimbangkan dengan penuh seksama wafer mana yang akan saya beli, jari kelingking kaki saya digilas roda baby stroller. Sadar kalau baby strollernya sudah tidak berada di jalan yang benar, saya rasakan si stroller ditarik balik. Otomatis saya lihat siapa oknumnya. Yang dipandang balik melihat saya dengan muka datar. Sungguh datar. Saya coba mengernyitkan dahi dan memberi kode, “Ada sesuatu yang seharusnya kamu katakan, bukan?” Tidak ada suara apapun, saudara-saudara. Santai aja gitu belokin strollernya.

Kejadian selanjutnya adalah saat saya antri di kasir. Di depan saya adalah seorang bapak usia paruh baya dengan kereta dorongan penuh belanjaan. Kemudian datang seorang perempuan usia SMA, menambahkan belanjaan ke dalam kereta, berbicara sesuatu kepada si bapak yang membuat saya mengambil kesimpulan kalau dia anaknya, lalu si perempuan itu pergi. Si bapak sudah berada di depan petugas kasir ketika si anak perempuan kembali dengan barang lain, lalu ia bergabung dengan perempuan lain, yang mungkin ibunya, yang menunggu di pintu masuk supermarket. Lalu mereka pergi entah kemana.

Si bapak sibuk sendiri memindahkan belanjaan ke counter kasir. Petugas kasir memberikan sehelai nota yang baru saja dia cap, “Pak, ini barangnya diambil lagi di counternya ya.”

“Ini barang apa ya, Mbak?”

“Ini kosmetik, Pak. Diambil di counter (menyebut merek).”

Saat si bapak itu membayar dengan kartu debitnya, seorang laki-laki muda, kira-kira usia SMA juga, muncul dari balik komputer kasir, menyodorkan deodorant roll-on kepada si bapak,

“Ini. Eh, masih bisa kan, Pak?” Tanpa melihat adanya beberapa orang yang sedang mengantri. Si bapak mengatakan kalau belanjaannya baru dibayar dengan kartu. Laki-laki muda itu lalu merangsek mendekati si bapak, “Jadi harus cash ya? Mama kemana?”

Ya, saudara-saudara, antrian harus terhenti karena si anak sibuk dengan hapenya mencoba menghubungi sang mama demi bisa membayar deodorant roll-on nya, sang mama nggak ngangkat-ngangkat telpon, dan akhirnya si bapak berkata kepada petugas kasir, “Dibatalkan saja, Mbak.” Dua orang yang mengantri di belakang saya tidak bisa menutup tawa nyinyir mereka. Sementara bapak-anak itu berlalu begitu saja dengan belanjaan mereka, tanpa rasa bersalah sudah membuat kami menunggu.

Ini orang-orang kok susah amat sih bilang maaf dan terima kasih?

*

Beberapa minggu lalu, saya bertemu dengan seorang sahabat di Jogja. Sambil makan bakso yang pernah jadi idola banget karena dekat dengan kantor saya dulu, kami mengobrol ngalor-ngidul, sampai ke topik soal minta maaf dan mengucapkan terima kasih. Saya bilang kalau saya dulu sebetulnya orang yang cukup kesulitan untuk minta maaf dan tidak terbiasa juga mengucapkan terima kasih untuk hal-hal yang saya anggap kecil, seperti saat tidak sengaja menabrakkan baby stroller, saat menerima buah yang baru ditimbangkan, atau membuat orang lain menunggu. Paling banter ya saya nyengir aja kalau bikin salah. Baru beberapa tahun belakangan saja kebiasaan minta maaf dan berterima kasih saya lakukan karena melihat orang yang paling dekat dengan saya melakukan hal tersebut dan saya melihatnya sebagai sesuatu yang memang layak untuk dicontoh.

Jujur, bukan hal yang mudah untuk mengubah kebiasaan ini. Di awal-awal, beberapa kali saya harusnya bilang terima kasih, yang keluar malah maaf. Serius lho! Sampai akhirnya saya sadar kalau saya harus melakukannya karena memang saya benar-benar ingin meminta maaf dan ingin mengatakan terima kasih. Bukan karena basa-basi. Saat saya minta maaf, saya mencoba memposisikan diri saya pada pihak yang dirugikan atas apa yang sudah saya lakukan. Nggak enak ‘kan kalau nunggu orang pake ATM lama banget kayak ATM punya dia sendiri? (Note: Tolong jangan dipraktekkan bayar gaji pekerja via ATM yang ada di lokasi dan waktu yang ramai ya).

Juga saat kita mengucapkan terima kasih. Kecuali Anda sudah mati rasa, ada perasaan senang ‘kan saat orang lain mengucapkan terima kasih kepada kita dengan ekspresi muka yang tidak dibuat-buat? Mungkin kita merasa kalau yang kita lakukan hanyalah hal yang kecil, tapi mungkin bagi orang lain perbuatan kita itu memberikan manfaat yang tidak sedikit.

Karena saya tidak percaya dengan konsep dosa dan pahala, bagi saya meminta maaf dan mengucapkan terima kasih melatih saya untuk lebih reflektif, sekaligus menyambung kembali rasa keterhubungan antara sesama. Jangan kemana-mana, tetap di…..!
baca selengkapnya