4 Juni 2008

Warna dan Gender


Warna mempengaruhi kehidupan kita dalam banyak cara, seperti saat menentukan baju apa yang akan kita pakai, atau saat menentukan kapan kita harus menghentikan kendaraan kita di jalan raya. Sir Isaac Newton adalah ilmuwan pertama yang menemukan spektrum warna. Pada tahun 1893, ilmuwan lain, Chevreul's, menulis prinsip harmonisasi dan kontras warna. Para artis seperti Leonardo da Vinci dan Monet memerlukan waktu bertahun-tahun untuk mempelajari cahaya dan proses warna dalam kehidupan sehari-hari. Mereka berhasil menciptakan karya-karya yang memanipulasi warna sehingga menggelitik kita secara emosional ( http://www.gatra.com ).


Dalam dunia bisnis, warna juga memainkan peranan yang cukup penting, terutama untuk menarik perhatian pembeli dan juga sebagai identitas dari suatu produk. Misalnya saja Coca Cola yang identik dengan warna merah atau Baygon dengan warna hijaunya. Warna menjadi variabel yang kritis dalam international-marketing, karena warna yang sama memiliki makna yang berbeda di kebudayaan yang berbeda, misalnya warna biru. Di Belanda, warna biru berarti hangat, sedangkan di Iran, biru melambangkan kematian. Di Swedia, biru menunjukkan sesuatu yang dingin, sementara orang di India menggunakan warna biru untuk menunjukkan kesucian (Schiffman, 2004)
Dari sisi psikologis, warna dianggap memiliki karakter dan sifat-sifat tertentu. Hartman (2004) menggolongkan tipe kepribadian dengan menggunakan warna Merah, Biru, Putih, dan Kuning, dimana masing-masing warna mewakili suatu tipe kepribadian tertentu (Tipe Kepribadian Kode Warna dan Kreativitas, M As’ad Djalali, Anima, vol.20, 2004)


Menjadi hal yang menarik ketika warna juga digunakan untuk membedakan identitas gender seseorang. Misalnya, pink berarti perempuan, dan biru berarti laki-laki. Beberapa penelitian telah dilakukan untuk melihat adanya perbedaan respon terhadap warna antara laki-laki dan perempuan. Dorcus (1926) menemukan bahwa warna kuning memiliki nilai afeksi yang lebih tinggi untuk laki-laki dibandingkan perempuan dan St.George ( 1938 ) memaparkan bahwa warna biru untuk laki-laki jauh lebih menonjol daripada untuk perempuan. Penelitian sebelumnya dilakukan oleh Janstrow (1897) yang menemukan bahwa laki-laki lebih memilih warna biru daripada warna merah, dan perempuan memilih sebaliknya. Birren (1952), melanjutkan penelitian Eysenck, menemukan bahwa laki-laki lebih memilih warna orange (jingga) dibandingkan kuning, sementara perempuan justru menempatkan warna orange di tempat terakhir (http://colormatters.com)


Dari penelitian yang dilakukan oleh Guilford dan Smith (1959), ditemukan bahwa laki-laki lebih bisa menerima warna-warna akromatik (hitam, putih, abu-abu) dibandingkan perempuan. Guilford dan Smith kemudian berasumsi bahwa perempuan mungkin lebih sadar akan warna dan selera mereka terhadap warna lebih fleksibel. Sementara itu, McInnis, dan Shearer (1964) menemukan bahwa warna biru hijau lebih disukai oleh perempuan dibandingkan laki-laki, dan perempuan lebih suka memberikan banyak warna daripada menebalkannya (dalam hal mewarnai). Mereka juga menemukan 56% laki-laki dan 76% perempuan memilih warna yang lembut, 51% laki-laki dan 45% perempuan memilih warna yang terang. Dalam penelitian yang serupa yang dilakukan oleh Plater (1967), ditemukan bahwa laki-laki memiliki kecenderungan yang lebih besar untuk memilih warna-warna kromatis yang lebih kuat dibandingkan dengan perempuan (http://colormatters.com)


Suatu hasil penelitian yang dilakukan oleh F. S. Breed dan S.E. Katz terhadap 2000 siswa (Darmaprawira, 2002) menunjukkan bahwa warna yang disukai oleh kebanyakan siswa adalah warna biru. Warna merah lebih popular untuk perempuaan dan warna biru lebih popular untuk laki-laki.


Hal ini tak lepas dari perhatian para produsen. Produk-produk dikeluarkan dengan warna tertentu sesuai dengan segmentasi pasar berdasarkan jenis kelamin. Misalnya pada Oriflame, produk parfum dan kosmetik untuk konsumen laki-laki dikemas dengan warna hitam, biru, abu-abu, sementara produk untuk konsumen perempuan dikemas dengan warna-warna yang lebih beragam, merah, hijau, kuning, putih, hitam, dan sebagainya. Demikian juga pada produk Rexona yang melebarkan pangsa pasarnya dengan menembak konsumen laki-laki. Warna kemasan yang dipakai adalah hitam dan abu-abu, berbeda dengan kemasan produk untuk perempuan, putih dan pink. Sama halnya dengan produk Biore. Di deretan produk Biore dengan variasi warna (yang juga menunjukkan perbedaan aroma dan fungsi), Biore For Men dikemas dengan warna biru tua. Duane P Schultz dalam Psychology and Work Today mengatakan :
“Overall, the package must reinforce the product’s image or personality as established by its advertising campaign. For example, a man’s cologne should not be packaged in a pink tube with letters in script…” (Psychology and work Today hal 498, 1994)


Pernyataan ini tentu didasari suatu asumsi bahwa laki-laki tidak pantas dengan sesuatu yang berwarna pink, yang juga menjadi dasar bagi para produsen dalam memilih warna kemasan produk mereka.



Produk fashion juga sama halnya. Dari mulai T-shirt, celana, tas, sepatu, topi, didesain dengan warna tertentu sehingga terlihat ada perbedaan mana produk untuk laki-laki dan mana produk untuk perempuan. Saya mengamati hal ini dengan melakukan observasi di pusat perbelanjaan. Ketika memasuki counter pakaian untuk perempuan, produk-produk didominasi oleh warna-warna yang terkesan lembut seperti pink, biru muda, putih, krem, ungu, kuning. Sedangkan di counter laki-laki, lebih banyak ditemui warna hitam, merah, biru tua. Seorang teman, laki-laki yang menyukai warna pink, mengakui bahwa ia mengalami kesulitan untuk mencari baju atau pakaian lainnya dengan warna pink yang diperuntukkan bagi kaum laki-laki.


Konvensi mengenai warna dan jenis kelamin ini hampir sama di kebanyakan negara, biru untuk laki-laki dan pink untuk perempuan. Akan tetapi, sejarah ternyata memaparkan fakta lain. Pada tahun 1914, The Sunday Sential, sebuah harian di Amerika memberikan saran untuk para ibu, “ If you like the color note on the little one’s garments, use pink for the boy and blue for the girl, if you are a follower of convention.” Hal ini kemudian dijelaskan oleh majalah wanita, Ladies Home Journal, pada tahun 1918, bahwa warna pink terlihat lebih nyata dan lebih kuat sehingga lebih cocok digunakan untuk anak laki-laki, sementara warna biru lebih lembut dan cantik, cocok untuk anak perempuan. Perubahan mulai terjadi pada tahun 1940 an. Pada bab “Clothes at the Christening” dalam buku Etiquette-The Blue Book of Sosial Usage, penulisnya mengatakan, “At the christening everything the baby wears is white. But at other times the various colored accessories for a girl are supposed to be pink, and for boy, blue.” Tahun 1950, kebiasaan mengenai pink itu untuk perempuan mulai merebak di Amerika, dan akhirnya menjalar ke berbagai negara hingga sekarang (http://histclo.hispeed.com)


Di iklim yang serba terbuka seperti sekarang ini, segala kekakuan mengenai konsep laki-laki dan perempuan seolah semakin mencair. Saya mengamati beberapa tahun belakangan ini, beberapa produsen dengan latar belakang indie-label, dan kemudian produsen-produsen kelas kakap juga latah, berani melakukan inovasi mengeluarkan produk pakaian (T-shirt, polo, kemeja) berwarna pink untuk laki-laki, dan yang menjadi sasarannya adalah remaja atu eksmud dengan aliran fashionista.


Kendati demikian, stereotype masyarakat terhadap warna tertentu masih menjadi patokan beberapa orang, dalam hal ini laki-laki, untuk memilih dan memakai pakaian dengan warna tertentu. Hal ini diakui oleh teman laki-laki saya yang kadang merasa tidak nyaman jika memakai baju warna pink, meskipun ia menyukainya. Alasannya adalah biasanya karena ditertawakan oleh teman atau bahkan oleh dosen, sehingga ia merasa tidak sopan memakai baju pink saat kuliah. Hal ini sebenarnya menunjukkan efek dari budaya patriarki yang di satu sisi banyak merugikan perempuan, sementara di sisi lain juga tidak selamanya berefek positif bagi laki-laki. Laki-laki dituntut untuk bersikap dan bertingkah laku sesuai dengan apa yang diharapkan oleh masyarakat tentang konsep kemaskulinan, termasuk dalam memilih warna. Warna pink yang identik dengan kelembutan dan feminin, dianggap tidak pantas digunakan oleh laki-laki karena hal tersebut dianggap akan mengurangi sisi kemaskulinannya.
baca selengkapnya