19 Februari 2014

Tak Lagi Bingung Pilih Identitas Gender di Facebook

Facebook melakukan gebrakan di usianya yang 10 tahun dengan menjadi situs jejaring sosial yang menyediakan pilihan gender paling beragam bagi para penggunanya. Ini adalah bentuk pengakuan bagi keberagaman identitas gender dan seksual manusia

Seperti diberitakan Huffingtonpost, Facebook melakukan ini untuk memberikan pilihan yang lebih luas bagi penggunanya dalam menjelaskan siapa diri mereka, termasuk androgin, bi-gender, intersex dan sebagainya. Tidak tanggung-tanggung, ada kira-kira 50 pilihan istilah gender. Mungkin ini tidak berdampak bagi sebagian orang, tapi akan berarti banyak bagi mereka yang selama ini dipaksa manut pada pakem gender biner

Caranya mudah, tinggal masuk ke pilihan “Gender” di bagian “Basic Information” lalu kita akan menemukan kalau pilihannya tidak hanya Male dan Female saja, tapi juga bisa kita sesuaikan dengan mengklik “Custom”. Di situlah kita bisa menjelajah istilah mana yang tepat untuk menggambarkan diri kita. Ditambah juga, kata pengganti apa yang akan kita pilih sebagai orang ketiga (karena dalam Bahasa Inggris, kata-kata seperti ini masih bias gender).


Sayangnya, opsi ini hanya tersedia jika kita mengatur bahasa yang digunakan untuk akun Facebook kita dalam English (US). Bisa dibayangkan juga repotnya jika tersedia dalam Bahasa Indonesia. Menyenangkan memang, tapi pasti jadi pekerjaan rumah karena istilah-istilah yang masih sangat asing di telinga kita. 

Nah untuk membantu memahami istilah-istilah yang disediakan oleh Facebook, saya bantu terjemahkan dari artikel ini. Semoga membantu. Untuk istilah lain dan pemahaman yang lebih tentang seks dan gender, anda juga bisa mengintip ke trans-academics.org.


Siap? Lanjut!

Agender: seseorang yang tidak mengidentifikasi diri dengan identitas gender apapun. Istilah ini mungkin juga digunakan oleh seseorang yang secara intens penampilan gendernya tidak bisa ditebak. Beberapa orang menggunakan istilah yang mirip seperti “genderless” dan “gender netral”. 

Androgyne/Androgynous: seseorang yang tidak mengidentifikasi dan tidak menampilkan diri sebagai perempuan atau laki-laki. Androgynous dapat merujuk pada kepemilikan kualitas maskulin dan feminin. Istilah ini berakar dari Bahasa Latin, ‘Andro’ yang berarti ‘laki-laki’ dan ‘Gyne’ yang artinya ‘perempuan’. Beberapa androgyne mungkin mengidentifikasi sebagai “gender benders”, yang berarti mereka secara intens “melawan” (atau menantang/melampaui) peran-peran gender yang ada di lingkungan sosial.

Bigender: seseorang yang mengidentifikasi sebagai baik laki-laki maupun perempuan. Identitas “bigender” adalah kombinasi dari dua gender, meskipun tidak harus 50%-50%, sebagaimana gender-gender ini sering dirasakan dan diekspresikan secara utuh. Serupa dengan individu yang mengidentifikasi sebagai “gender fluid”, individu bigender dapat menampilkan diri sebagai laki-laki, perempuan atau gender-neutral di waktu yang berbeda.

Cis: semua istilah yang menggambarkan bahwa seseorang bukan “trans” atau mengidentifikasi dan menampilkan diri tidak di luar konteks gender yang umum.
  • Cis Female (Cis Woman, Cisgender Female, Cisgender Woman): seorang perempuan biologis yang mengidentifikasi sebagai perempuan/ memiliki identitas gender feminin.
  • Cis Male (Cis Man, Cisgender Male, Cisgender Man): seorang laki-laki biologis yang mengidentifikasi sebagai laki-laki/memiliki identitas gender maskulin.
  • Cisgender: seseorang yang memiliki identitas gender yang umumnya sejalan dengan jenis kelamin biologis mereka. Misalnya, seseorang yang ‘ditetapkan’ sebagai perempuan (secara biologis) saat dilahirkan dan hidup sebagai perempuan.

Female to Male/ FTM: seorang trans yang ditetapkan sebagai perempuan secara biologis dan hidup sebagai laki-laki serta memiliki identitas gender maskulin. Individu ini bisa saja tidak melakukan perubahan bentuk tubuh melalui operasi, hormone atau modifikasi lain (seperti latihan vokal agar suaranya lebih berat). FTM adalah singkatan dari “female-to-male”. Untuk panggilan atau kata pengganti orang ketiga (dalam Bahasa Inggris) biasanya menggunakan istilah maskulin, seperti “he”, “his”, “Mas”, “Pak” atau kata pengganti yang gender neutral.

Gender Fluid: seseorang yang identitas dan tampilan gendernya tidak terbatas hanya pada satu kategori gender. Individu gender fluid mungkin memiliki pemahaman yang sangat dinamis, fluktuatif atau cair mengenai gender mereka, berpindah antara kategori-kategori yang dirasakan tepat. Misalnya, seseorang dengan gender fluid bisa saja merasakan lebih seperti laki-laki pada suatu hari dan di hari yang lain merasa lebih seperti perempuan, atau merasa kedua istilah itu cocok.

Gender Nonconforming: seseorang yang terlihat dan/atau berperilaku dengan cara yang tidak menyesuaikan atau tidak tipikal dengan harapan-harapan lingkungan sosial mengenai bagaimana seseorang dari gender tertentu ‘seharusnya’ terlihat dan berperilaku. (Artikel menarik tentang gender conformity & gender non-conformity oleh Dr. Eric Grollman bisa dicek di sini)

Gender Questioning: seseorang yang mungkin sedang mempertanyakan gender atau identitas gender mereka, dan/atau sedang mempertimbangkan cara-cara lain untuk mengalami dan mengekspresikan gender atau penampilan gender mereka.

Gender Variant: istilah yang memayungi setiap orang yang, karena alasan apapun, tidak memiliki identitas cisgender (termasuk istilah payung “trans*”). Beberapa orang merasa istilah ini justru menyiratkan bahwa beberapa gender adalah “penyimpangan” dari gender yang standar, dan memperkuat “kealamian” dari sistem dua gender. Beberapa lebih memilih “gender diverse” atau “gender-nonconforming”.

Genderqueer: seseorang yang mengidentifikasi diri di luar, atau berharap untuk menantang, sistem dua gender (perempuan/laki-laki); mungkin mengidentifikasi sebagai multiple genders (gender ganda), kombinasi dari gender-gender, atau gender “di antara”. Orang-orang yang menggunakan istilah ini merasa mereka sedang melakukan klaim ulang atas istilah “queer”, yang secara sejarah telah digunakan sebagai hinaan terhadap komunitas gay perempuan dan laki-laki. Istilah ini lebih sering digunakan oleh generasi muda yang sedang melakukan “klaim ulang” itu dan jarang digunakan oleh generasi yang lebih tua yang secara personal mengalami masa dimana istilah “queer” masih digunakan sebagai hinaan.

Intersex: secara umum digunakan untuk merujuk seseorang yang kromosom, kelenjar kelaminnya, struktur hormon, dan anatomi tubuhnya tidak dapat ditetapkan sesuai dengan susunan yang diharapkan dari tubuh tipikal laki-laki ‘atau’ tubuh tipikal perempuan. Beberapa kondisi intersex muncul pada saat mereka dilahirkan, sedangkan beberapa yang lain baru terlihat atau disadari saat pubertas atau masa perkembangan selanjutnya. Beberapa orang tidak lagi menggunakan istilah “kondisi intersex” dan lebih memilih “kekacauan perkembangan jenis kelamin”. (Sila cek ISNA.org.)

Male to Female/MTF: seorang trans yang ditetapkan sebagai laki-laki secara biologis (biasanya saat lahir) dan hidup sebagai perempuan serta memiliki identitas gender feminin. Individu ini bisa saja tidak melakukan perubahan bentuk tubuh melalui operasi, hormon atau modifikasi lain (seperti latihan vokal, elektrolisis, dsb). MTF adalah singkatan dari “male-to-female”. Untuk panggilan atau kata pengganti orang ketiga (dalam Bahasa Inggris) biasanya menggunakan istilah maskulin, seperti “she”, “her”, “Mbak”, “Bu” atau kata pengganti yang gender neutral.

Neither: Tidak memberikan label pada gender seseorang

Neutrois: istilah payung di dalam istilah payung yang lebih besar dari transgender atau genderqueer. Termasuk orang yang tidak mengidentifikasi diri dalam sistem gender biner (perempuan/laki-laki). Berdasarkan Neutrois.com, beberapa identitas Neutrois yang umum termasuk "agender", "neither-gender", dan "gender-less".

Non-binary: non-biner, serupa dengan genderqueer, istilah ini adalah cara untuk menjelaskan gender seseorang di luar sistem dua gender (perempuan/laki-laki) dan/atau menantang sistem tersebut.

Other: memilih untuk tidak menyebutkan label yang umum ada untuk gender seseorang. Saat digunakan oleh seseorang untuk menjelaskan diri mereka, ini seperti memberikan kebebasan untuk menjelaskan (atau tidak secara spesifik menjelaskan) gender mereka. Istilah “other” sebaiknya tidak digunakan untuk merujuk seseorang yang kita tidak cukup memiliki pemahaman atas gender mereka.

Pangender: “pan” artinya semua, setiap, dan istilah ini adalah label identitas lain seperti genderqueer atau neutrois yang menantang konsep gender biner dan melingkupi orang-orang dengan gender beragam.

Transgender: istilah yang memayungi semua orang yang memiliki gender yang tidak sejalan dengan jenis kelamin biologis mereka. Individu yang mengidentifikasi diri sebagai transgender mungkin tidak atau mungkin saja melakukan perubahan pada tubuh mereka melalui operasi dan/atau hormon. Misalnya:
  • Trans Man (lihat penjelasan FTM): walaupun beberapa orang menulis istilah “transman” (tanpa spasi antara trans dan man) atau trans-man (perhatikan tanda penghubungnya), beberapa yang lain mengajukan penambahan spasi di antara “trans” dan “man” agar memberikan indikasi bahwa orang tersebut adalah laki-laki dan bagian “trans”-nya bukanlah karakteristik yang menegaskan atau pusat dari identitas individu tersebut.
  • Trans Woman (lihat penjelasan MTF): walaupun beberapa orang menulis istilah “transwoman” (tanpa spasi antara trans dan woman) atau trans-woman (perhatikan tanda penghubungnya), beberapa yang lain mengajukan penambahan spasi di antara “trans” dan “woman” agar memberikan indikasi bahwa orang tersebut adalah perempuan dan bagian “trans”-nya bukanlah karakteristik yang menegaskan atau pusat dari identitas individu tersebut.
  • Trans Female (lihat penjelasan MTF)
  • Trans Male (lihat penjelasan FTM)
  • Trans Person (lihat penjelasan Transgender): cara lain untuk mengatakan seseorang adalah transgender person. (Perhatikan “transgender” cenderung dipilih dibandingkan “transgendered”)

Trans*: adalah istilah inklusif yang merujuk pada banyak cara dari seseorang dapat ‘melampaui’ atau ‘melanggar’ gender atau norma-norma gender (termasuk individu yang mengidentifikasi diri sebagai transgender, transsexual, gender diverse, dsb). Pada banyak kasus, tanda bintang (*) tidak diikuti oleh istilah jenis kelamin atau gender, cukup ditulis Trans* untuk mengindikasikan bahwa tidak semua individu trans mengidentifikasi diri dengan label-label jenis kelamin atau gender yang sudah ada. Opsi lainnya adalah:
  • Trans*Person (lihat penjelasan Transgender)
  • Label jenis kelamin atau gender juga dapat digunakan:
  • Trans*Female (lihat MTF)
  • Trans*Male (lihat FTM)
  • Trans*Man (lihat FTM)
  • Trans*Woman (lihat MTF)

Transsexual person: bagi banyak orang, istilah ini mengindikasikan bahwa seseorang telah melakukan perubahan terhadap tubuh mereka, khususnya pada organ seksual (seperti alat kelamin dan/atau dada), melalui operasi. Bagi beberapa orang lain, istilah “transsexual” adalah istilah yang problematis karena sejarah patologis atau dikaitkannya dengan gangguan psikologis. Untuk mendapatkan operasi yang diperlukan bagi penyesuaian alat kelamin atau penyesuaian gender, individu-individu ini memerlukan diagnosis psikiatris (menurut sejarah, diagnosisnya adalah “transsexualism”) dan rekomendasi dari profesional di bidang kesehatan mental. Istilah “transsexual” cenderung lebih jarang digunakan oleh generasi muda trans.
  • Transsexual Woman: seseorang yang ditetapkan berjenis kelamin biologis laki-laki saat lahir dan memiliki kemungkinan beralih (melalui operasi dan/atau terapi hormon) agar dapat hidup sebagai perempuan.
  • Transsexual Man: seseorang yang ditetapkan berjenis kelamin biologis perempuan saat lahir dan memiliki kemungkinan beralih (melalui operasi dan/atau terapi hormon) agar dapat hidup sebagai laki-laki.
  • Transsexual Female (lihat Transsexual Woman)
  • Transsexual Male (lihat Transsexual Man)
Transmasculine: seseorang yang ditetapkan berjenis kelamin perempuan biologis saat lahir dan mengidentifikasi diri sebagai maskulin, namun mungkin tidak mengidentifikasi dirinya secara keseluruhan sebagai laki-laki. Seringkali kita menghadapi frasa “masculine of center” untuk mengindikasikan orang-orang yang mengidentifikasi diri sebagai transmasculine melihat diri mereka dalam hubungannya dengan gender yang lain.

Transfeminine: seseorang yang ditetapkan berjenis kelamin laki-laki biologis saat lahir dan mengidentifikasi diri sebagai feminin, namun mungkin tidak mengidentifikasi dirinya secara keseluruhan sebagai perempuan. Seringkali kita menghadapi frasa “feminine of center” untuk mengindikasikan orang-orang yang mengidentifikasi diri sebagai transfeminine melihat diri mereka dalam hubungannya dengan gender yang lain.

Two-spirit: istilah ini berakar dari suku Zuni di Amerika Utara, walaupun orang-orang two-spirit ini tercatat ada di suku-suku lain di seluruh dunia. Suku asli Amerika, yang memiliki karakter dan penampilan maskulin dan feminin, memiliki peran yang istimewa dalam suku mereka, dan mereka dilihat sebagai gender ketiga. (Terakhir, Jerman dan Nepal telah mengadopsi opsi gender ketiga ini bagi warga negara mereka).




baca selengkapnya

11 Februari 2014

Move On Itu Sebagian dari Iman

Siapa saya berani-beraninya bicara soal iman? Sadar akan jarak yang terbentang antara diri saya dengan praktik dan ritual keagamaan, saya memahami keimanan tidak hanya melekat pada agama. Keimanan bagi saya lebih menjurus pada spiritualitas, pada pemaknaan diri, hidup dan hubungannya dengan alam sekitar. Tentang nilai-nilai kebaikan, kebahagiaan dan perdamaian serta bagaimana menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari. Tunggu. Niat hati ingin menulis yang ringan-ringan, kenapa malah terjebak ngomongin spiritualitas? Haha…

Ok, jadi kenapa saya bilang ‘move on itu sebagian dari iman’? Nah, itulah alasan saya mesti menjelaskan sedikit soal ‘iman’ itu lebih dulu, daripada para fundamentalis agama yang over-protective teriak-teriak karena konsep ‘iman’-nya saya ambil alih. Iman itu, seperti yang sudah saya bilang, adalah soal pemaknaan diri, tentang kebahagiaan, perkara kekuatan untuk mengelola diri dan mencari kebahagiaan itu. Jadi tentu saja, ada hubungannya dengan move on. Gagal move on seringkali menyiksa hati dan membuat hari-hari kelabu, maka move on itu ibarat tiket untuk memulai lembar baru, yang penuh harapan akan diri yang lebih bahagia.

Ada satu teman yang bertahun-tahun susah move on. Oh, tunggu dulu, saya mesti garis bawahi juga ya move on yang dibahas ini adalah move on soal urusan hati alias cinta. Bolehlah saya sambung-sambungkan dengan perayaan hari kasih sayang beberapa hari lagi. Maksa? Terserah. Hehe… Ok, kembali ke kasus teman saya tadi itu. Saya mungkin terdengar seperti menghakimi kalau dia susah move on. Tapi bagaimana tidak, kalau hampir dalam setiap percakapan selalu mengajak serta memori tentang mantannya. Jujur saja, kadang bosan mendengarnya. Sedih juga melihat terawang matanya saat ingatannya terpaku pada sang mantan. Sebagai teman, saya cuma bisa kasih saran ini itu. Saran paling gampang, “Cari yang baru kek!” Gawat! Itu bukan solusi karena masalah gagal move on tidak sesederhana itu. Bagaimana kalau teman saya akhirnya hanya mencari pelampiasan?




Seminggu lalu saya nongkrong dengan teman lain. Bahasannya cukup berat. Tidak… tidak… kami tidak membicarakan nasib bangsa yang sedang krisis ini itu. Tapi soal lain. Teman saya awalnya bertanya,

“Apa tujuan hidupmu?” Otak saya berputar keras sekali. Itu karena saya hampir tidak pernah memikirkannya. Akhirnya yang keluar dari mulut saya adalah,

“Menjadi bahagia.”

Topik lalu berganti soal kebahagiaan, manakah yang lebih bahagia: berpasangan atau sendiri. Pendapat saya adalah tidak ada yang lebih di antara keduanya. Tanpa pasangan bisa bahagia, berpasangan juga bisa. Cuma bentuknya saja yang berbeda.

Nah, perkara gagal move on bisa jadi karena kita salah mempersepsi kebahagiaan itu. Saat kita menganggap kebahagiaan adalah dengan memiliki pasangan, boleh jadi saat hubungan kandas rasanya seperti akhir dunia. Apalagi kalau kita menganggap kebahagiaan kita adalah pasangan kita itu. Dialah yang memberikan kebahagiaan bagi kita. Bisa ditebak bagaimana jadinya kalau dia tiba-tiba pergi meninggalkan kita.

Lalu saya juga baca di artikel ini tentang attachment figure, sosok yang paling kita andalkan dalam memberikan dukungan dan kasih sayang. Adalah kebutuhan dasar manusia untuk ‘memiliki’ seseorang yang bisa kita percaya dan dapat kita andalkan. Pada orang yang berpasangan, seringnya pasangan itulah yang menjadi attachment figure yang utama. Maka wajar jika proses ‘melepaskan’-nya saat putus atau cerai tidaklah mudah.

Tidak mudah bukan berarti tidak bisa lho ya. Asal ada kemauan, pasti ada jalan. Kecuali kalau kita lebih senang hidup bergumul dengan drama dan air mata. Tidak jarang pula, bukan, orang yang gagal move on akhirnya malah menutup hati pada kehadiran orang lain dan aktivitas sehari-harinya terganggu, termasuk kehidupan pertemanan karena gencarnya status galau di jejaring sosial. Move on adalah pilihan terbaik untuk menata ulang hidup kita dan menunjukkan kemampuan kita untuk memaknai positif diri kita sendiri dan positif tentang konsep kebahagiaan. 

Cukup, segera ke bagian praktis saja: bagaimana caranya move on dari mantan dan hubungan masa lalu? Berikut beberapa tips yang bisa dicoba (saya campur-campur dari artikel yang sama dan dari artikel lain yang bisa diintip di sini dan di sini):

  • Percayalah kalau kebahagiaan bukan ada di pundak mantan. Bukan pula di hubungan yang sudah tutup buku itu. Kebahagiaan itu ada dalam diri kita sendiri. Kita yang menciptakan kebahagiaan.
  • Sayang sekali memori dalam otak kita tidak bisa dihapus secara permanen. Terima kenyataan itu. Tapi perlakukanlah hanya seperti album kenangan, tidak lebih. Ada teori yang mengatakan semakin kita berambisi melupakan sesuatu, justru semakin sulit melupakannya karena si 'sesuatu' itu terus-terusan kita hadirkan dalam pikiran kita meskipun dengan embel-embel 'lupakan'. Terus, harus bagaimana donk? Lanjutkan ke poin berikutnya hehe...
  • Temukan attachment figure lain. Eits, jangan diartikan mencari pasangan baru. Tak usah terburu-buru soal itu. Attachment figure ini bisa saja sahabat atau keluarga. Ingat ya, mantan kita bukan satu-satunya orang yang dekat dan memberikan dukungan kepada kita.
  • Kurangi intensitas bersama mantan. Apalagi malah menjadikan teman curhat dan berbagi kisah hidup. Lha, apa bedanya dengan tetap menjalin hubungan dengan dia? Kecuali kita sudah yakin kalau kita telah sukses melalui masa moving on. Masih satu sekolah, kampus atau kantor dengan mantan? Tidak masalah selama kita tetap menempatkan diri sebagai pribadi yang tidak punya ikatan lagi dengan mantan.
  • Masih lihat-lihat statusnya di Facebook, foto terbarunya di Instagram atau serius menyimak lini masanya di Twitter? Selain buang-buang waktu, ke-kepo-an itu akan berujung gagal move on akut. Punya soundtrack dengan mantan atau film spesial? Segera perbaiki playlist musik dan koleksi film. Akan lebih bagus jika musik dan film yang menyemangati, bukan malah yang menyek-menyek.
  • Tetap jalani kehidupan rutin kita seperti biasa. Tidur cukup, makan tepat waktu dan berkualitas, dan rutinitas menyehatkan lainnya akan membantu kita melewati masa galau. Ya, slogan ‘dalam tubuh yang kuat terdapat jiwa yang sehat’ bukannya main-main. Lupakan anggapan kalau dengan menambah pekerjaan dan kesibukan akan mengalihkan pikiran kita. Jalankan sesuai porsinya karena, sekali lagi, badan yang sehat membuat pikiran kita lebih positif, selain juga pekerjaan dan kesibukan yang terlalu banyak akan mengurangi kuantitas dan kualitas interaksi dengan orang lain.
  • Terakhir, cari bantuan profesional. Terutama jika gagal move on yang kita alami sudah sangat mengganggu dan menahun. Ada beberapa dari kita yang sulit menemukan sendiri tiang untuk berpegang saat kita jatuh, kekuatan yang sebetulnya ada dalam diri kita. Siapa tahu konselor atau terapis bisa membantu.


Ok, selamat mencoba dan semoga move on-nya sukses! Hidup kita terlalu berharga untuk dilalui hanya dengan menangisi masa lalu!
baca selengkapnya

9 Februari 2014

Pers dan Privasi

Atmosfir kompetisi sebagai efek samping dari bisnis lembaga pers atau media massa telah memberikan tantangan tersendiri bagi para pekerja dan pemilik media dalam menggaet sebanyak mungkin penonton, pendengar dan pembaca. Memaksimalkan teknologi adalah salah satu jalan yang ditempuh seperti yang bisa kita lihat dari transformasi bentuk media massa, dari bentuk yang sangat konvensional (media cetak) ke media elektronik dan kemudian media berbasis internet. 

Hal lain yang dilakukan adalah dengan meracik artikel atau program yang lebih menghibur dan dekat dengan kehidupan sehari-hari masyarakat. Human interest adalah satu dari sekian kata kunci dari artikel atau program yang atraktif, yang merefleksikan lika-liku kehidupan manusia. Namun, alih-alih mengangkat sosok atau permasalahan sosial dengan sentuhan emosional melalui kisah-kisah biografi atau feature yang indah dan kuat, beberapa media telah secara keliru, dan mungkin saja sengaja keliru, mendefinisikan ‘human-interest’ sebagai segala sesuatu yang berkaitan dengan kehidupan seseorang, termasuk privasi mereka. Tayangan dan berita gossip atau infotainment tentang para selebritis adalah yang paling nyata kita temui dari buka-bukaan kehidupan pribadi manusia. Namun, materi macam ini telah juga mengokupasi program atau kolom berita. Saya sendiri meyakini pemberitaan kehidupan pribadi seseorang itu tidak sejalan dengan fungsi dasar media massa dan justru berpotensi melanggar hak si individu yang seharusnya disadari oleh para pekerja media.

Pasal 3 UU No.40/1999 tentang Pers menyebutkan fungsi utama dari pers atau media massa adalah fungsi informasi, edukasi, hiburan, kontrol sosial dan lembaga ekonomi. Fungsi-fungsi ini dapat diterapkan pada satu artikel atau program. Maksudnya, program berita seharusnya informatif, membuat masyarakat terperbaharui mengenai apa yang sedang terjadi di dunia ini. Program berita juga menyediakan materi edukasi berupa pengetahuan dan nilai-nilai mengenai apa yang baik dan buruk dalam lingkungan sosial kita. Penyebaran berita tersebut dapat dilakukan dengan cara yang menghibur, misalnya dengan pemakaian kata-kata yang indah tapi penuh makna dalam sebuah artikel, atau pembaca acara yang lebih santai dan ‘good looking’ dalam program-program berita yang kini lebih interaktif. Bolehlah program atau artikel lain memuat lebih sedikit informasi dan lebih banyak muatan hiburannya, tapi program berita harus tetap mengedepankan fungsi informasinya karena ini merepresentasikan kredibilitas, profesionalitas dan komitmen dari media.

Saya akan mengajukan argumen saya mengapa pemberitaan kehidupan pribadi seseorang tidak sejalan dengan fungsi dasar media massa, bahkan jika hal itu dilakukan dalam kolom atau program berita. Pertama, penting untuk memahami apa itu informasi dalam bingkai media massa. Jika saya mengatakan, “Saya sudah bertunangan”, apakah itu termasuk informasi? Dalam hubungan interpersonal saya, bisa jadi ya. Kerabat dan sahabat perlu mengetahui status saya karena mungkin saja mereka ingin tahu apa rencana masa depan saya, syukur-syukur kalau mereka bisa memberikan dukungan. Saya, tentu saja, tidak akan memberikan informasi ini kepada orang yang tidak menanyakannya atau kepada orang-orang yang saya rasa tidak memerlukan informasi tersebut. Data yang informatif selalu melekat dengan konteksnya dan seberapa bergunakah itu bagi penerima informasi.

Nah, dalam media massa, sebuah informasi seharusnya didefinisikan sebagai data yang berguna bagi massa, masyarakat, orang banyak. Karena itulah dinamakan media massa, bukan? Maka pertanyaan saya adalah, seberapa bergunakah pemberitaan kehidupan pribadi seseorang bagi khalayak? Ya bisa saja itu berguna, misalnya bagi fans berat artis terkenal atau oposisi politikus A. Tapi bagaimana dengan masyarakat yang lebih luas? Apakah mereka setuju informasi itu penting bagi mereka? Apakah itu akan memberi mereka pesan moral tertentu? Saya meragukannya. Lagipula, apakah menjadi artis terkenal dan politikus itu berarti teken kontrak semua kehidupan pribadinya bisa diekspos, alih-alih prestasi mereka saja?

Pekerja dan pemilik media bisa jadi berlindung di balik alibi bahwa pemberitaan kehidupan pribadi hanyalah respon dari permintaan pasar. Mereka membuat asumsi bahwa itulah yang ingin dibaca dan didengar masyarakat. Jika memang demikian, mereka juga seharusnya mempertimbangkan kelompok masyarakat lain yang merasa data macam itu tidak penting, tidak menghibur, tidak mendidik dan justru mengganggu, mereka juga seharusnya melihat kembali fungsi dasar keempat dari pers, sebagai kontrol sosial. Secara tidak langsung, fungsi ini mengamini kekuatan dahsyat yang dimiliki pers dalam kehidupan bermasyarakat. Di sisi lain, permintaan pasar juga bisa diciptakan, atau boleh saya bilang, dimanipulasi. Maka, asumsi di atas sangat tidak masuk akal dan saya percaya media tidaklah sebodoh itu membiarkan masyarakat yang mengontrol mereka. Sebagai institusi yang memiliki kekuatan, media massa bisa menciptakan permintaan. Strategi ini adalah rahasia umum dalam dunia bisnis. Karena media massa adalah lembaga profit, tentu sah-sah saja jika mereka juga melakukan strategi ini. Namun tentu saja, strategi yang diambil harus tetap mempertimbangkan fungsi-fungsi media lainya sebagai dapur informasi dan penyebar edukasi. Apakah media massa menjalankan perannya yang sangat kuat tersebut dalam kontrol sosial? Atau lebih tepat untuk diajukan, kontrol sosial macam apa yang sedang media lakukan sekarang?

Pemberitaan kehidupan pribadi seseorang juga bisa dilihat sebagai bentuk pelanggaran hak asasi manusia. Hak privasi tercantum dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia yang diadopsi PBB pada 10 Desember 1948. Pasal 12 menyebutkan:

No one shall be subjected to arbitrary interference with his privacy, family, home or correspondence, nor to attacks upon his honor and reputation.

Namun, karena tidak ada definisi privasi yang pasti, persoalan privasi ini tampaknya menjadi kompleks. Dari sisi hukum, hak privasi termasuk dalam hak derogable, yang artinya pada kondisi tertentu pemenuhan hak ini bisa dikurangi atau dibatasi oleh pemerintah. Misalnya saja, merekam pembicaraan personal diijinkan jika bertujuan mendukung proses persidangan kasus kriminal, seperti korupsi.

Menarik isu privasi ini ke konteks media massa tentu saja tambah kompleks. Media massa mengklaim bahwa mereka punya kebebasan untuk memberitakan apapun, termasuk kehidupan pribadi seseorang. Pekerja media yang menyetujui ini saya kategorikan sebagai yang masih kurang paham isu hak asasi manusia. Kenapa bisa? Hak dan kebebasan seseorang atau sekelompok orang dibatasi oleh hak dan kebebasan orang lain. Konsekuensinya adalah kebebasan media massa juga seharusnya dibatasi oleh hak privasi orang-orang yang diberitakan. Problem selanjutnya adalah, sampai sejauh mana sesuatu itu bisa dikatakan sebagai privasi seseorang? Apakah memberitakan skandal seks mantan presiden dengan sekretarisnya bisa dikategorikan mencederai hak asasi manusia? Pada beberapa titik, ya. Misalnya saja, informasi berlebihan soal kehidupan pribadi sang sekretaris bisa jadi melanggar hak privasinya. Sensitivitas media massa sangat diperlukan saat akan memberitakan informasi yang terkait kehidupan pribadi seseorang. Media massa juga harus menyadari bahwa popularitas tidak bisa menghilangkan hak privasi seseorang.

Tulisan saya ini sebetulnya saya buat untuk pekerjaan rumah di kelas academic writing. Untuk memperingati Hari Pers Nasional ini, saya tulis ulang dalam Bahasa Indonesia. Tentu ini hanya satu masalah yang sedang dihadapi terkait kredibilitas lembaga pers di Indonesia, selain sekian masalah lain seperti tayangan-tayangan yang tidak mendidik, cengkraman media massa di tangan para politikus, atau kurangnya perlindungan bagi para jurnalis saat bekerja.

baca selengkapnya