24 Desember 2013

Gagal Paham Soal Haram Ucap Natal

Keluarga saya tidak pernah merayakan Natal. Tapi Natal selalu menorehkan kesan bagi saya, sisa-sisa kenangan masa kecil yang terus saya pelihara sampai sekarang. Alasan saya dulu suka Natal sangatlah sederhana, banyak film bagus yang berlatar atau bercerita tentang Natal dan dekorasi perayaan Natal yang indah. 

Oh, tidak. Tak usah terburu-buru menuduh saya terobsesi dengan ajaran Nasrani, toh kegilaan saya pada film, lagu dan suasana Natal tidak menjadikan saya Protestan atau Katolik, pun sampai sekarang. Plus, dalam putaran waktu yang sama itu pula saya sangat tertarik dengan dewi-dewa dari jaman Yunani Kuno. Dan saya tidak lantas menjadi penyembah Zeus.

Saat SD, hanya satu teman saya yang merayakan Natal. Entah sejak kelas berapa saya mulai dengar doktrin haram hukumnya mengucapkan Natal. Tapi bukan dari keluarga saya larangan itu muncul. Saya yakin orang tua saya sedikit terbuka untuk hal itu, Bapak yang cenderung bablas melemparkan kritik terhadap agama dan Ibu yang, saat itu, punya bisnis yang memungkinkan dia terkoneksi dengan baik dengan orang dari latar beragam. Selain teman sekelas, saya punya sahabat pena yang juga merayakan Natal. Menulikan telinga sendiri dari doktrin haram, saya kecil berpegang pada satu ajaran, 'segala sesuatu tergantung dari niatnya'. Niat saya memberikan selamat atas kebahagiaan yang sedang mereka cecap. Itu saja. 

Itu berarti sekitar dua puluh tahun lalu.

Ealaaah... kok ya sekarang ramai lagi itu isu haram-haraman mengucapkan Selamat Natal. Saya masih saja gagal paham dengan cara berpikirnya. 

Kalau keharamannya itu berbasis kekhawatiran akan menyerupai orang yang merayakan Natal, dan itu dianggap dosa besar, saya yang masih kecil itu saja bisa kok ya berprinsip yang penting niatnya. Lagipula, logikanya membingungkan buat otak mini saya. Lha kalau dengan mengucapkan selamat saja akan membuat saya seperti orang yang diselamati, saya bakal kumpulkan orang-orang hebat dan saya ucapkan selamat satu per satu biar saya ketularan jadi hebat. Ucapan selamat dari lubuk hati paling dalam akan saya alamatkan kepada para ibu yang baru melahirkan bayi karena saya mau juga tetiba punya bayi.

Pertanyaan saya justru, itu kekhawatiran atau ketakutan? Kalau merasa imannya sudah sekokoh berlapis-lapis beton, masak iya berucap Selamat Natal saja itu iman langsung luntur?

Jika keharamannya didasarkan karena mereka yang merayakan Natal itu dianggap musuh, maka sungguh tak pantas ikut berbahagia atas kebahagiaan musuh... Ehm... Kalau untuk itu, saya angkat tangan. Kalau bermusuhan boro-boro mau saling menyapa. Tak ada kontak, tak usah bersentuhan! Apalagi bertransaksi, tertutup semua pintu. Ogah pakai celana jeans, pakai shampoo atau deterjen, dan segera ganti nama karena nama lahirnya dirasa terlalu berbau 'kafir'. Tolong itu laptop segera dijual saja, karena ia tidak diciptakan di Tanah Arab dan huruf yang dipakainya juga Latin, apalagi yang jual juga juragan Glodok. Tolong itu akun Facebook dan Twitter ditutup saja, karena pencipta dan yang membuatnya heboh itu mereka yang tidak bisa baca alif-ba-ta. Eh? Tambah lagi, lebih musuh mana sih orang yang merayakan Natal atau yang korupsinya trilyunan?

Realitanya, kita tidak hidup sendirian di dunia ini. Banyak hal yang tidak bisa kita penuhi sendiri, dan tidak menutup kemungkinan kita akan membutuhkan pertolongan dari orang yang bersuka ria atas lahirnya Isa Al-Masih. Pun demikian sebaliknya. Bukankah terdengar lebih indah jika kita hidup damai berdampingan dan saling berbahagia atas kebahagiaan teman dan tetangga kita? Kecuali anda lebih senang hidup hanya bersama orang-orang yang meyakini hal yang sama dengan anda, silakan pertimbangkan untuk mengooptasi salah satu satelitnya Saturnus. Tapi tolong, berangkatlah dengan teknologi dari tempat dimana anda yakin ajaran anda berasal.

Saya pribadi, lebih memilih tetap tinggal di Bumi, bersama teman dan sahabat yang bisa saya percaya, tak peduli apakah mereka menyembah Wisnu, menapaki ajaran Sidharta, mengimani Yahweh, memuja ilmu pengetahuan atau merayakan Natal.


baca selengkapnya

7 November 2013

"Permisi..."

Kaki-kaki saya sedang sibuk mengayuh pedal sepeda di daerah Klitren, menuju rumah, ketika lampu motor di belakang saya mengisyaratkan sang pengendara sedang berusaha mendekati saya. Mengurangi laju motornya dan lebih menepi. Tenang dulu, ini bukan berita kriminal apalagi cerita horor. Saya pikir, si pengendara adalah orang yang saya kenal yang mungkin hendak menyapa. Saya tengok, tak saya kenali wajahnya.

“Pameran buku dimana?” tanya sang pengendara motor, tanpa basa-basi. Ia laki-laki muda yang dari logatnya saya perkirakan bukan orang Jogja.

“Hah?” respon saya. Gelagapan juga tiba-tiba ada orang asing di jalan yang tanpa ba-bi-bu main tanya saja. Saya juga tidak tahu sedang ada pameran buku di Jogja. Kalaupun ada, pameran buku yang mana, yang dimana? Saya berhentikan sepeda saya yang segera ia ikuti. Saya bilang, kalau pameran buku saya tidak tahu, tapi kalau sebut nama gedungnya mungkin saya paham dan bisa bantu. Yang ditanya malah bingung. Untunglah, otak saya yang tidak seberapa segera memberi sinyal, ‘sebutkan saja nama gedung-gedung yang biasa dijadikan tempat pameran, mungkin dia bisa sedikit tercerahkan’. Dan berhasil.

Kejadian ini mengingatkan saya pada saat saya dan seorang kawan tersesat di daerah Kulon Progo. Waktu itu kami bermaksud mendatangi kader-kader desa yang akan bekerja sama membuat fotonovela. Niat hati mencari jalan dengan pemandangan alam yang lebih indah, maklum, kawan saya fotografer, kami malah tersesat di jalanan kecil di antara rerimbunan pohon-pohon tua yang, memang, indah. Beruntung kami menemukan sebuah warung dimana beberapa orang bapak sedang duduk-duduk santai. Kawan saya segera menghentikan motornya dan menanyakan arah tujuan kami. Jawab salah satu bapak,

“Mas, kalau mau nanya, mbok ya turun dulu dari motor.”

Entah seperti apa muka kami berdua ditampar kalimat itu. Turun dari motor, kawan saya mengulang pertanyaannya dan kali ini si bapak memberikan jawaban nyambung.

Adat istiadat. Tata krama. Etika. Entah apalagi namanya. Menjadi hal penting dalam pergaulan sehari-hari manusia. Ia yang menentukan apakah kita termasuk orang yang cukup punya adab atau malah tidak tahu aturan. Pada kasus saya tersesat di hutan Kulon Progo, “cara” bertanya akan menentukan nasib kami. Beruntung, si bapak yang menegur kami masih berbaik hati. Tidak seperti tokoh antagonis dalam sinetron yang api dendamnya mudah dinyalakan. Setelah saya tahu, begitulah cara bertanya di sini, lalu kenapa saya tidak melakukan hal yang sama dengan si bapak saat pengendara motor, memintanya turun dulu dari motor?

Alasannya sederhana, kami berdua sedang berada di jalan. Saya tidak ada waktu juga menunggunya turun dari motor, menurunkan standar motor, membungkukkan sedikit badannya, memasang senyum, baru bertanya. Saya juga mungkin akan kikuk. 

Kawan saya yang lain beberapa hari lalu baru curhat colongan soal persiapan pernikahannya. Bisa terbayang bukan akan seperti apa jadinya dia yang disebut orang tuanya sebagai ‘anak jaman sekarang’ harus  berhadapan dengan adat kebiasaan pernikahan ‘jaman baheula’ yang dipegang orang tuanya? Ribet pastinya. 

Perkara etika, adat, tata krama ini pada beberapa kasus kadang malah jadi biang masalah. Yaitu saat ada pihak yang mulai mempertanyakan apa maksud di balik adat dan kebiasaan tersebut dan melihat lebih banyak tidak manfaatnya jika kebiasaan atau adat tersebut tetap dilakukan. Contohnya ya kasus numpang tanya dan pernikahan tadi. Kawan saya yang tidak turun dari motor berpikir akan lebih efektif jika numpang tanya tanpa harus turun dari motor. Kawan saya yang akan menikah inginnya bikin acara sesederhana mungkin, tapi sang orang tua keukeuh menggenggam apa yang mereka yakini sebagai budaya.

Atau contoh lain, karena saya bertahun-tahun bekerja di isu seksualitas, adalah ketika membicarakan seksualitas di depan banyak orang. Adanya tabu untuk mendiskusikan seksualitas justru membuat lebih banyak orang yang mencari informasi dari sumber entah berantah: mulut teman yang dapatnya juga entah dari berantah mana, situs di internet yang entah mengutip dari berantah mana, atau malah video dan majalah porno, atau malah pasrah mengikuti naluri badan. Hasilnya? Bukannya tambah pinter malah keblinger

Tapi ya, untuk beberapa hal, kebiasaan dan adat memang sebaiknya tetap kita jaga, terutama yang bisa mempererat persaudaraan, mengangkat martabat manusia. Bertanya alamat dan mengawalinya dengan kalimat, “Permisi, saya mau tanya.” adalah salah satunya. Selain diterima universal, akan dianggap tidak sopan jika orang tahu-tahu menembakkan pertanyaan pada orang asing yang ditemui di jalan tanpa bilang permisi, kalimat pembuka ini juga bisa mengkondisikan calon penjawab kalau yang mendatanginya bukan akan menagih utang atau malak receh.
baca selengkapnya

5 November 2013

Satu Siang di Amersfoort

Perut saya yang keroncongan menggiring saya ke De Blauw Engel, Malaikat Biru. Satu restoran di pojok sebuah square di pusat Amersfoort. Tak perlu waktu lama bagi segelas Heineken dan setumpuk roti dengan keju dan ham tersaji di meja saya, di teras restoran. Tiga perempuan dan satu lelaki paruh baya serta dua perempuan muda duduk di sisi lain teras. Hampir semua pengunjung restoran memilih menyantap makan siangnya di luar. Meskipun angin di Belanda sedang kurang ramah, usaha keras matahari menyelinap dari balik awan dimanfaatkan betul oleh pengunjung restoran ini.

Ini musim gugur pertama yang saya alami. Saya yang besar di negeri tropis berlimpah sinar matahari sepanjang tahun. Sejauh ini saya masih bisa menikmatinya. Jauh lebih baik dibandingkan tumpukan salju yang menyulap landscape negeri kincir angin ini menjadi putih. Semua putih. Sekarang saya masih bisa menikmati alam yang lebih indah. Pepohonan mewarnai daun-daunnya dengan warna-warni menakjubkan. Kuning kecoklatan. Beberapa merah. Sebagian telah menjatuhkan dedaunannya dan menjadi sarana bermain bocah-bocah. 

Dari teras di samping sebuah Gereja Protestan, sambil menikmati makan siang, mata saya disuguhi bangunan-bangunan tua yang difungsikan menjadi restoran-restoran, kebanyakan masih tertidur karena hanya menyediakan menu makan malam. Dari kejauhan, menjulang menara gereja lain dengan jam dan lonceng di atasnya. Gumpalan awan besar berarak di belakangnya. Tampak buncit, siap menurunkan air hujan sore ini. Begitu kata ramalan cuaca. Bagi orang Belanda, ramalan cuaca sangat penting, terutama di musim yang kurang jelas seperti ini. Bisa jadi siang hari kau rasakan hangatnya matahari, namun menjelang sore awan-awan hitam menendang begitu saja sang raja siang, menyerbu daratan dengan jutaan kubik air.

Beberapa pasangan usia senja tampak berjalan santai di antara bangunan-bangunan itu. Dari cara mereka memperhatikan dengan penuh seksama setiap bangunan dan tentengan kameranya, bisa saya pastikan mereka turis juga. Seperti saya. 

Tiba-tiba saya didera rasa cemburu. Cemburu pada kemesraan yang mereka tunjukkan. Saya ingin seperti mereka. Ah, betapa menyenangkannya jika kau bisa bersama orang yang kau kasihi dan juga mengasihimu, bahkan sampai bersama-sama menghabiskan masa tua. Tentu saja itu bukan hal yang tidak mungkin bagi saya. Tapi membayangkan langkah demi langkah yang harus saya lalui untuk sampai pada kebersamaan itu kadang membuat saya menciut. Bagaimana tidak, ada sekian banyak proses administrasi yang harus kami terjang. Belum lagi urusan pribadi soal biaya hidup bersama dan sebagainya.

Ah tunggu... mereka, pasangan-pasangan usia senja itu, yang mungkin telah bertahun-tahun bersama, pasti juga sudah mencecap tidak hanya manisnya sebuah relasi, tapi juga asam dan pahitnya. Siapa yang tahu, salah satunya mungkin dulu tidak direstui oleh orang tuanya menjalin komitmen dengan orang yang ia pilih sendiri. Siapa yang bisa mengira, salah satunya mungkin juga harus urus pindah negara plus kewarganegaraannya. Siapa yang tahu dan siapa yang bisa mengira?

Sama saja seperti orang yang sedang kesepian melihat orang lain yang berpasangan itu mengasyikan. Tidak pernahkah terpikirkan bahwa terkadang ada insting merasa diri ingin bebas bisa mengusik sebuah hubungan? Bahwa indahnya hubungan itu tak akan nyata tanpa dialog terus menerus yang mungkin saja melelahkan? Bahwa kompromi itu bisa berarti mengubur ego sedalam-dalamnya?

Segelas Heineken sudah berpindah ke dalam perut saya. Saya jelajahi sekali lagi sajian bangunan tua dan meresapi dengan penuh ikhlas angin kencang yang menerpa tubuh tipis ini. Sudah saatnya saya mulai belajar dengan alam baru. Karena besar kemungkinkan, angin dan pemandangan ini yang akan menjadi kawan masa depan saya. Bersama orang yang saya kasihi, yang saya tinggal di kamarnya di Havikshorts.

Amersfoort, 17 Oktober 2013
baca selengkapnya

24 Agustus 2013

Dua Perempuan di Pinggir Jalan

Seperti biasa, saya bersepeda hari itu menuju kantor. Tapi karena harus mampir kampus dulu, jalur saya agak memutar dari yang biasanya. Mendekati perempatan terakhir, saya melihat pemandangan yang tidak hanya membuat kepala saya berputar seratus delapan puluh derajat menandingi kecepatan sepeda, namun membuat hati saya tersentuh.

Di dekat perempatan, duduk seorang perempuan yang sudah sangat tua di atas trotoar. Saya payah urusan naksir umur, tapi sepertinya sudah di atas 70 tahun. Di depannya tergelar sapu lidi, sapu ijuk dan beberapa barang lain. Ya, dia berjualan di sana. Hal pertama yang membuat saya tersentuh adalah setua itu dia masih harus berjualan. Perasaan yang selalu datang setiap kali melihat orang-orang tua yang seakan tak kenal letih mencari sesuap nasi. Dulu saya pernah berpikir, kemana para anak dari orang-orang tua ini? Atau saudaranya yang lain? Tapi kemudian, saya pernah sedikit mengobrol, karena keterbatasan bahasa, dengan satu orang tua yang dengan lembut memberi tahu alasannya tetap bekerja di usia senja, "Saya tidak mau membebani anak." Deg!

Hal kedua yang membuat saya takjub siang itu adalah saat seorang ibu yang membonceng anaknya di atas sepeda yang hanya beberapa meter di depan saya, berhenti dekat si perempuan tua. Saya pikir si ibu hendak membeli sapunya. Ternyata ia datang dengan satu plastik putih berisi beras. "Ini buat ibu...," katanya. 

Mungkin perkiraan saya ini tidak benar. Tapi melihat penampilan si ibu dengan kaos entah-event-apa, celana pendek dan sepedaan, saya menduga, dan kemungkinan salahnya bisa jadi besar sekali, si ibu bukanlah orang kaya yang kebetulan murah hati. Justru itu yang membuat hati saya terketuk. Dibandingkan orang-orang lain yang seliweran di jalan dalam mobil mereka, sekiloan beras itu bisa jadi barang yang juga berharga bagi si ibu. Dibandingkan orang-orang yang mengantri bensin di pom tak jauh dari sana, sekantung beras itu bisa saja dia tukarkan dengan barang lain yang dia atau keluarganya butuhkan. Mungkin tepatnya saya merasa tertampar alih-alih takjub.

Seringnya saya menunggu dulu sampai saya merasa lebih saat hendak memberikan sesuatu pada orang lain. Padahal merasa lebih itu yang jarang saya rasakan. Jadilah saya ngasihnya juga kapan-kapan. Itu kalau sedang ingat. Kalau tidak ya sudah. Malu saya pada diri sendiri.

Pemandangan yang hanya beberapa detik itu membuat memori saya sibuk mengeluarkan kembali kata-kata bijak yang pernah saya dengar. Dua orang perempuan di pinggir jalan yang tidak saya kenal itu telah memberi saya pelajaran. Dari perempuan tua penjual sapu, saya diingatkan untuk bekerja keras dan tak kenal menyerah. Dari ibu pemberi beras, saya diingatkan bahwa tak perlu menunggu untuk berbuat sesuatu bagi orang lain.
baca selengkapnya

6 Juli 2013

Belajar dari Launching SRRC

Akhirnya... Terwujud juga resolusi saya (beberapa) tahun lalu: nulis buku! Ya! Akhirnya saya rampung menulis satu buku: Seksualitas Rasa Rainbow Cake (SSRC), Memahami Keberagaman Orientasi Seksual Manusia, diterbitkan oleh PKBI DIY dan hari Jumat (5/7) kemarin di-launch di Kedai Kebun Forum, Jogja. Seorang teman saya bertanya bagaimana perasaan saya setelah buku saya dirilis. Saya jawab,

"Plong. Deg-degan luar biasa menjelang prosesnya, tapi setelah semua selesai, rasanya ya.. plong. Tenang. Dan ada dorongan buat lagi... lagi... Kayak make love lah. Hehehe..."

Bagaimana tidak deg-degan, prosesnya saya mulai setelah rampung skripsi. Itu sekitar 6 tahun lalu (Apaaah?). Karena tema skripsi yang saya angkat dianggap cukup menarik beberapa orang, tentang lesbian, ada satu dua orang yang menganjurkan saya untuk membukukan skripsi saya, tentu dengan beberapa perubahan agar tidak terlalu terkesan akademis. Termotivasilah saya. Singkat cerita, sudah beberapa bagian saya format ulang dan karena suatu kecerobohan, file-file-nya hilang lang. Menguap seperti kentut. Saya lalu disibukkan dengan aktivitas saya dan sama sekali tak menyentuhnya lagi. Sampai akhirnya saya kembali ke Jogja dan atmosfirnya tepat sekali untuk memulai kembali proyek pribadi saya tersebut.

Hasil akhirnya cukup jauh dari apa yang saya rencanakan. Buku saya lebih mirip kumpulan kliping. Ya, banyak sekali informasi yang ingin saya sampaikan. Sudah saya pilih-pilih, tetap saja tidak berkurang banyak. Tapi saya puas dengan apa yang saya lakukan. Saya coba bahasakan ulang wacana tentang orientasi seksual dengan bahasa tutur sehari-hari yang lebih ringan dan menyenangkan. Saya kemas ala-ala chef biar lebih renyah, sesuai juga lah sama judulnya.

Yang bikin deg-degan lagi adalah saat menjelang launching buku. Satu 'pembedah'nya adalah seorang peneliti dari kajian Islam yang saya tidak pernah bertemu sebelumnya. Saya bahkan tidak tahu bagaimana pandangannya tentang seksualitas. Saya cuma dikasih tahu pihak penerbit kalo beliau cukup open-minded. Kekhawatiran saya adalah, berapa banyak orang yang tampak open-minded masih bisa mempertahankan keterbukaan pikirnya saat membahas orientasi seksual? Isu ini masih sangat sensitif dibahas dalam kajian agama.

Beruntung saya. Walaupun saya tidak cukup bisa mendalami alam berpikir si narasumber tentang isu orientasi seksual, tapi dia bisa menunjukkan keberpihakan bahwa LGBT adalah manusia yang sudah seharusnya mendapatkan hak yang sama dengan para heteroseksual. Lebih lagi, bagaimana masukan-masukan yang dia berikan, semacam strategi, untuk menyebarkan isu sensitif ini ke lebih banyak orang. Misalnya, dari yang paling dasar dulu adalah soal pengemasan. Buku saya dianggap cukup mampu menjawab persoalan selama ini dimana isu seksualitas lebih sering didiskusikan dengan bahasa-bahasa 'tinggi' yang cukup sulit dipahami banyak orang. Sementara para 'pesaing' isu gerakan hak asasi manusia, alias kelompok fundamentalis, sudah bergerak dengan lebih cerdik: menggunakan bahasa-bahasa yang mudah dicerna dengan kemasan ngepop, tapi isinya tetep aja doktrin. So, don't judge a book by its cover itu memang masih kata-kata manis semu. Nyatanya tidak demikian. Saya jadi tidak sabar menantikan pihak penerbit menghubungi saya dan bilang, "Cetakan berikutnyaaa..." jadi saya bisa kemas ulang buku saya lebih menarik lagi. 

Komentar lain dari yang hadir di launching dan diskusi buku saya adalah,

"Kok saya lebih suka tulisan Galink di blog ya dibandingkan di buku?"

Nah ini. Pe-eR banget! Dulu saya sempat terinspirasi dari Raditya Dika untuk membukukan blog saya. Tapi setelah saya tengok lagi isi blog saya, isinya kayak gado-gado campur es teler. Apa-apa masuk. Yang penting menarik untuk saya tulis. Kadang isinya tidak tajam. Cuma cuap-cuap saja. Katarsis lah istilahnya. Beda dengan buku yang saya susun, sesuatu banget prosesnya. Milih kata aja gak cuma yang enak didenger tapi juga pertimbangan pantas atau tidak, terlalu begini begitu atau tidak.

Ya masukan dan komentar yang saya dapat selama diskusi banyak mencerahkan saya. Selain soal bagaimana memperbaiki beberapa hal dalam buku yang sudah diterbitkan. Saya jadi tidak sabar untuk memulai proyek selanjutnya... #wink! Dan tentu saja, semakin perhatian lagi sama blog yang belakangan lebih banyak dianggurin #snap!

Oya, ada yang tertarik untuk memiliki dan membaca bukunya? Tetep ya promo hehehe... Bisa dipesan di perpustakaanpkbidiy@yahoo.com. Harganya 45 ribu, belum termasuk ongkos kirim.



baca selengkapnya

8 Mei 2013

Lang Leve de Liefde: Pendidikan Seks Model Belanda


Masa depan suatu bangsa ada di pundak generasi muda. 

Ok, saya minta maaf kalau kalimat pembuka tulisan ini lebih mirip pidato Pak Camat. Tapi saya serius ingin menunjukkan kalau kata-kata itu bukan cuma basa-basi di upacara bendera atau sambutan untuk mahasiswa KKN. 

Beberapa negara, terutama negara maju, telah menunjukkan komitmen untuk mewujudkan slogan tersebut dengan menyediakan sistem pendidikan yang baik, lingkungan yang mendukung, ruang kreatif bagi orang-orang muda, bahkan hal-hal lain yang bagi sebagian orang masih dianggap tidak penting. Pendidikan seksualitas bagi remaja, misalnya. Alih-alih dianggap mampu menopang kualitas generasi muda, banyak orang yang justru masih berpandangan miring terhadap pendidikan macam ini. Pendidikan seks dituduh akan menjerumuskan remaja pada perilaku seks lebih dini. Benarkah?

Negara-negara yang berpikiran terbuka dan menganggap pendidikan seks itu penting, menyadari tidak mungkin negaranya bisa maju jika generasi mudanya disibukkan dengan dampak-dampak perilaku seksual yang tidak sehat seperti kehamilan di usia dini, infeksi HIV dan sebagainya. 

Belanda, salah satunya. Negeri kincir angin ini bahkan menjadi pionir dalam pendidikan seks karena telah memulainya sejak tahun 80-an. Tidak tanggung-tanggung, program yang diberi nama Lang Leve de Liefde (Long Live Love) ini bahkan diapresiasi oleh UNESCO sehingga muncul istilah pendidikan seks dengan model Belanda (Dutch model). Artinya, model pendidikan ini telah menjadi rujukan banyak negara lain di dunia!


Homepage Lang Leve de Liefde
http://www.langlevedeliefde.nl/
Kenapa program ini begitu menarik perhatian? Keberhasilan adalah jawabannya. Angka kehamilan pada remaja di Belanda paling rendah se-Eropa, yaitu 8,4/1000. Bandingkan dengan di Inggris, yang masih tabu soal seksualitas, angkanya 63/1000. Menariknya, remaja Belanda melakukan hubungan seks pertama kali rata-rata pada usia 17 tahun, setahun di atas rata-rata remaja Inggris. So, anggapan kalau pendidikan seks akan mendorong remaja untuk mencoba berhubungan seks, menjadi tidak terbukti.

Meskipun bukan kewajiban, Lang Leve de Liefde ini telah diterapkan di hampir seluruh sekolah menengah dan lebih dari separuh sekolah dasar di Belanda. Beberapa murid bahkan telah mendapatkan pendidikan ini sejak usia 6 tahun. Selain bahasan biologis, pendidikan ini juga membahas hal-hal lain yang justru terpenting dan sangat dibutuhkan remaja terkait seksualitasnya, seperti nilai-nilai, sikap, kemampuan komunikasi, pengambilan keputusan dan bernegosiasi.

Pemerintah memberikan dukungan dengan mengadakan penelitian-penelitian mengenai perencanaan keluarga, termasuk pendidikan seks. Buku-buku pelajaran direvisi dan sekarang telah dirancang sehingga memiliki pendekatan yang lebih komprehensif terkait seksualitas.

Dukungan pun diberikan oleh orang tua yang secara aktif mendiskusikan isu ini dengan anak-anak mereka sejak dini agar mereka lebih bertanggung jawab. Media juga memainkan peran besar. Di awal 90-an, acara-acara talk show menyajikan diskusi tentang seksualitas dan menghadirkan selebriti-selebriti terkenal. Organisasi-organisasi memberikan dukungan dengan mengadakan pelatihan bagi guru-guru serta menyediakan materi-materi pendukung. Program-program lain di luar sekolah juga dikembangkan, misalnya dengan memasukkan isu ini dalam layanan remaja atau ruang publik lainnya.

Keterbukaan pola pikir adalah salah satu kunci yang dipegang oleh orang-orang Belanda untuk memastikan masyarakatnya hidup sehat dan sejahtera, tidak hanya untuk generasi kini tapi juga generasi yang akan datang. Sejalan dengan teori Maslow, kebutuhan seseorang untuk mengaktualisasikan dirinya, termasuk mengoptimalkan potensi yang dimiliki dan memberikan kontribusi bagi bangsanya, bisa dicapai setelah kebutuhan-kebutuhan dasar lainnya terpenuhi. Seksualitas juga kebutuhan dasar manusia, bukan?


Remaja Indonesia menuntut hak mendapatkan pendidikan seks
(foto koleksi PKBI DIY)


Referensi:




baca selengkapnya

25 April 2013

Untitled

Semingguan lalu saya mendapatkan berita yang sangat mengejutkan. Saya baru saja sampai di kantor ketika saya menerima pesan singkat, "Si A meninggal tadi pagi". Segera saya telepon kawan saya untuk memastikan, ternyata benar. A adalah teman saya, tidak hanya satu kampus, tapi juga sempat satu organisasi. Kepergiannya mendadak, tak ada berita dia sakit sebelumnya. Teman yang memutuskan untuk mengakhiri hidupnya dengan caranya sendiri.

Dua hari lalu, organisasi kami menggelar acara semacam pengajian untuk almarhum. Saya bilang itu semacam pengajian karena memang bukan tahlilan seperti yang biasa dilakukan umat muslim saat ada yang meninggal. Di awal acara, memang seorang ustadz memimpin kami berdoa dalam cara Islam, setelah itu salah satu senior di organisasi memimpin doa dengan cara Kristen. Indah rasanya kami bisa duduk bersamaan, berdoa dengan cara kami masing-masing. Selepas berdoa, kami dipersilakan untuk menceritakan kenangan yang diingat saat almarhum masih hidup. Tidak semua orang yang hadir melakukannya, mengingat waktu juga yang sangat terbatas. Tapi beruntung saya kebagian. Sedikit lega rasanya, bisa mengeluarkan apa yang saya simpan.

Saya ceritakan bagaimana saya dan almarhum bisa kenal lalu bekerja dalam satu tim. Saya belajar banyak darinya. Saya juga sampaikan penyesalan saya karena tidak melakukan apa yang bisa saya lakukan, meskipun sebetulnya saya mampu, kalau saya benar-benar mau. Ya, beberapa bulan sebelumnya, saya dan beberapa teman lain melihat ada gelagat yang tidak biasa dari almarhum. Walau saya mengenalnya sebagai pribadi yang ceria dan penuh semangat, senang becanda dan kalau tertawa kencangnya minta ampun. Tapi energi yang ia keluarkan akhir-akhir itu terasa aneh. Bikin orang kelabakan, sekaligus bertanya-tanya, "Ada apa dengan dia?"

Saya dan beberapa teman pernah bertanya langsung padanya, tapi selalu ia jawab ia sedang bersemangat, sambil sesekali bilang, "Aku akan mati muda". Sungguh, saat itu saya hanya menganggap kalimatnya itu sebagai caranya mengekspresikan semangat yang ia sendiri tak bisa bendung. Karena kejadiannya bertepatan dengan masa menjelang pernikahannya, saya dan teman-teman mengambil kesimpulan, mungkin itu hanya stres pra pernikahan. Ya namanya nikah, pasti banyak kan yang mesti diurus. Apalagi setelah ia menikah, saya sempat bertemu sekali dan ia terlihat lebih tenang. Semakin saya yakin dengan kesimpulan itu. Ternyata saya keliru besar.

Saya sadar satu hari setelah saya pergi melayat, saya whatsapp-an dengan seorang teman yang bilang kalau justru kalau seseorang yang biasanya bersemangat, sangat bersemangat, tiba-tiba tampak begitu tenang, mungkin ada sesuatu yang sedang ia pendam sendiri. Sial! saya lalai! Saya merasa bodoh, belajar ilmu kejiwaan tapi tidak bisa mempraktekkan. Saya merasa jahat, karena tidak menjadi teman baik untuknya. Itu penyesalan saya.

Niat saya untuk mengajaknya bicara secara serius, sekedar menanyakan apa yang sebetulnya sedang ia rasakan dan mungkin bisa saya bantu, tidak pernah saya lakukan. Alasan saya selalu saja karena belum ada moment yang pas, padahal moment itu sebetulnya bisa saya ciptakan. Setelah ia menikah, semakin saya mengurungkan niat untuk mengajaknya bicara.

Penyesalan memang tidak ada gunanya. Teman saya tidak akan pernah kembali. Tapi saya telah mengambil pelajaran yang luar biasa besar dari kejadian itu. Tidak ada salahnya menjadi lebih peka pada kondisi teman-teman kita. Mungkin kita tidak bisa menolong banyak, namun menyediakan telinga kita untuk mendengarkan keluh-kesah seorang teman bisa membantu mengurangi bebannya sedikit.

Selamat tinggal, kawan! Terima kasih telah mengajarkan saya sebuah arti ketulusan.
baca selengkapnya

23 April 2013

Karena Kita Punya Peran Masing-Masing

Sudah satu bulan saya bergabung dengan sekelompok orang muda kreatif di bisnis branding. Ya, saya bilang sekelompok orang muda karena tiba-tiba saya merasa tua di sana haha... Dan ya, kali ini saya 'beneran' menyelam di dunia bisnis, yang dikelola dengan cukup profesional. Wuis... kata terakhirnya ngeri ya? Profesional! Profesionalitas di mata saya bukan soal berbaju rapi, lengkap dengan dasi dan sepatu kulit mengkilap, menenteng macbook dan bicara bahasa alien. Karena kalau itu yang dimaksud, terima kasih selamat malam. Saya masih enggan meninggalkan kaos-kaos dan kets butut saya.

Saya mengartikan profesional di sini adalah saat apa yang kita kerjakan mendapatkan penghargaan dan kita melakukan apa yang memang sanggup kita lakukan, sesuai dengan posisi kita. Sesuai dengan peran kita.

Nah, ruang saya untuk berkreasi yang baru itu punya suasana yang asyik. Selain sering makan bersama (paling sering makan soto yang lewat tiap siang), kami juga sering ngobrol ngalor-ngidul. Dari mulai proyek, desain, perklenikan, hal-hal pribadi, sampai ngomongin seleb politikus dan seleb dunia maya. Kebetulan juga, kami memiliki titik-titik perjumpaan lain seperti rewo-rewo di aktivitas sosial yang sama, ternyata temannya atau saudaranya teman, dan sebagainya. Beberapa obrolan, atau tepatnya rumpian, membuat saya semakin yakin soal dimana saya sebaiknya berada.

Bukan sekali dua kali saya bertemu dan kadang harus bekerja dengan orang yang tidak paham dengan perannya. Bahkan saya juga pernah ada di posisi itu. Saya sendiri sih ngerasanya gak karuan. Saat saya tidak tahu apa yang harus saya lakukan dan akhirnya melakukan hal-hal yang seharusnya tidak saya lakukan. Kalau di dunia kerja, ya istilahnya tidak sesuai job desk (atau memang job desk-nya yang nggak jelas?). Saya boleh bangga pada diri saya sendiri karena saya berani memutuskan untuk berhenti. Risikonya jelas ada, saya tahu dan luar biasa khawatir melihat masa depan saya. Tapi toh, saya kembali berbincang dengan diri saya sendiri, soal apa yang sebenarnya saya inginkan dalam hidup.

Jika beberapa orang menjalankan peran sesuai dengan posisinya, mungkin saya, saat ini, termasuk orang yang sedang mencoba kebalikannya. Mencari posisi yang sesuai dengan peran saya. Kemarin-kemarin saya sempat mengirim lamaran ke beberapa lembaga, saya sadar, saya sangat selektif. Ketemu satu saja job desk yang nggak-gue-banget, langsung saya drop. Beberapa posisi yang dulu-dulu saya inginkan tiba-tiba menjadi tidak menarik lagi buat saya (dan saya juga tidak menarik buat posisi itu hahaha...). Ada juga tawaran dari beberapa kenalan, posisi yang lumayan, tapi saya tolak dengan halus. Mungkin saya dikira nggaya atau apalah. Terserah. Yang pasti, saya mulai tahu kapasitas saya, saya mulai paham peran saya. Soal ternyata nantinya di luar apa yang saya kira, itu urusan lain. Yang penting, saya sudah, sedang dan masih akan belajar tentang diri saya.

Soal peran itu, saya menganalogikan dengan proses pembuatan film. Ada sutradara, ada camera-person, ada aktris dan aktor, ada produser, penulis naskah, penata lampu, casting director, editor, penata lampu, penata rias, kostum, dan sebagainya. Memang ada beberapa film yang sutradaranya merangkap produser, ngambil gambar plus ngedit pula. Atau nyutradarain tapi jadi pemain juga. Tergantung genre, kelas dan keseriusan filmnya. Tapi coba tengok film-film yang mendapat penghargaan, film-film yang nembus box-office dan film-film yang berkualitas. Ada berapa kepala manusia di belakangnya? Setiap kepala itu menjalankan peran sesuai dengan posisinya masing-masing. Camera-person ya perannya ambil gambar, nggak tau-tau jadi pemeran pembantu, lha terus siapa yang ngambil gambar? Penata lampu ya perannya ngatur cahaya, nggak ujug-ujug milihin kostum yang pas buat tokoh utama. Hasilnya? Ya kalaupun nggak dapat penghargaan, nggak nembus box-office dan kurang berkualitas, tapi setidaknya jadi film beneran tho?

Dalam cerita film pun demikian. Anne Hathaway yang kebagian peran sebagai Fantine dalam Les Miserables, misalnya, ya memainkan perannya sebagai Fantine secara maksimal, sampai rela potong rambut pendek. Sedangkan Hugh Jackman yang kebagian peran sebagai Jean Valjean, ya jungkir baliklah dia sampai bisa menjiwai tokohnya itu, nggak mlipir-mlipir jadi tokoh Javert yang diperankan Russell Crowe. Sekalipun Mbak Anne dan Mas Jackman ini, misalnya, sangat menyukai kegilaan dan kenyentrikan pasangan Thernadier (Sascha Baron dan Helena Bonham), nggak profesional namanya kalau mereka memasukan unsur nyentrik Thernadier dalam peran Fantine dan Jean Valjean. Karena mereka sudah punya perannya masing-masing.

baca selengkapnya

17 Maret 2013

Remaja Itu Masa Storm & Stress, Mitos?

Pernah dengar teori yang bilang kalau masa remaja adalah fase penuh stres dan badai (storm and stress)? Kalau masa remaja adalah masa pencarian jati diri yang sering menyebabkan individu menjadi labil? Masa penuh tekanan dari teman sebaya?

Ya, silakan cari teori-teori psikologi tentang itu. Beberapa dari anda mungkin menyetujui teori tersebut dengan berkaca dari diri sendiri atau orang-orang di sekitar, termasuk anda yang sekarang masih berada di rentang remaja. Tapi bagi beberapa orang, termasuk saya, terutama yang sudah melewati masa remaja (beraaaat sekali mengakui ini hahaha...), mungkin akan berpikir lagi tentang benar tidaknya teori tersebut. Karena sebagai orang yang sedang berada di jenjang dewasa awal, stres dan badai tersebut saya rasakan lebih kencang dibandingkan dengan saat saya remaja. Dan bukan hanya saya, belakangan saya bertemu dengan beberapa kawan yang intinya sepakat dengan hal ini: masa remaja adalah masa storm and stress itu cuma mitos!

Kenapa saya dan kawan-kawan saya itu berkeputusan demikian? Karena pengalaman yang kami rasakan ya memang demikian. 

"Sekarang kita mesti mikir hidup kita sendiri. Padahal masih bingung juga apa yang sebenarnya ingin kita lakukan," kata seorang kawan.

"Kayaknya, yang kita lakukan itu ya hanya bekerja untuk menunjukkan kepada orang lain kalau kita bisa. Bukan untuk diri sendiri," kata kawan yang lain.

Tuntutan dari lingkungan sekitar juga bukannya semakin hilang, justru semakin kuat. Tentang bagaimana kita menjadi manusia ideal, hmm uhuk.. yang mainstream. Tuntutan untuk menikah, tuntutan untuk bekerja, tuntutan untuk dewasa. Tuntutan-tuntutan dengan cabang tuntutan yang lebih banyak: tuntutan untuk menikah bercabang menjadi menikahi orang yang seagama, menikahi orang yang mapan, menikahi orang satu bangsa, menikahi anak pejabat, menikahi orang yang berbeda jenis, yang segera diikuti dengan tuntutan untuk memiliki anak, tuntutan untuk memiliki anak lagi, dan seterusnya. Tuntutan bekerja pun bercabang menjadi tuntutan untuk kerja kantoran, tuntutan untuk kerja dengan gaji tinggi, tuntutan untuk kerja di kota yang nggak jauh-jauh dari orang tua, dan seterusnya.

Dengan gegabah, saya membuat kesimpulan kalau para penyusun teori perkembangan itu adalah mereka yang di usia dewasanya tunduk pada pakem-pakem sosial yang ada. Jadi ketika tuntutan beruntun itu datang, mereka mungkin nyantei-nyantei saja, ngikutin arus, leha-leha di teras minum kopi sambil bikin-bikin teori. 

Praduga ngawur saya yang lain adalah lebih mudah menyoroti dunia remaja, menganggap mereka sedang berada di atas jembatan rapuh menuju sisi kedewasaan. Mana ada orang (yang umurnya cukup) dewasa yang mau dicap labil, kan? Ini juga yang akhirnya memunculkan istilah 'kenakalan remaja' atau 'juvenile delinquency' sementara orang-orang dewasa yang kelakuannya nakal gak dikasih istilah macam ini (masuknya kategori kriminal, tapi kriminalitas juga berlaku buat remaja, gimana tuh?)

Back to the topic, kegalauan para manusia dewasa muda ditambah lagi dengan semakin menciutnya lingkaran pertemanan. Kalau waktu remaja, galau dikit, tinggal kontak teman-teman, happy-happy deh. Begitu masuk usia dewasa, kita sibuk dengan kehidupan pribadi kita. Yang serius kerja sibuk dengan kerjaan, yang serius bikin anak juga sibuk ngurus ini itu. Mengumpulkan teman-teman dalam satu waktu harus siap dengan balasan: 'aduh, sorry, tanggal itu aku tugas ke luar kota', 'maaf nih, itu pas aku mau antar anak nonton badut', bla bla... 

Di usia remaja kita lebih bebas pula berekspresi. Nangis sesenggukan tiga hari tiga malam gara-gara patah hati, menjadi hal yang bisa dimaklumi, teman-teman bahkan datang dan memberikan dukungan (termasuk ikut ngumpat-ngumpati). Lihat artis idola bisa teriak-teriak histeris, teman kita juga ikut loncat-loncat (walaupun nggak ngefans). Begitu masuk usia dewasa, teman-teman yang tadinya ikut melonjak kegirangan atau ikut mengumpat itu  akan disibukkan dengan urusan mereka masing-masing.

Oh oh... tulisan ini bukan untuk menginspirasi pembaca untuk menghindari masa dewasa lho. Ini hanya gambaran soal tantangan yang akan dihadapi pembaca sekalian yang masih remaja, terutama yang akan segera memasuki gerbang usia dewasa. Expect the best and be prepared for the worst lah istilahnya, jangan lihat enaknya saja dari kehidupan dewasa.

That's all. Bye
baca selengkapnya

25 Februari 2013

Imlek Jogja: Kita Bisa Hidup Bersama


Tahun baru Cina kali ini saya berniat mengambil beberapa foto di titik-titik perayaan. Agak telat memang karena mestinya saya sudah siap sejak tiga hari sebelum pergantian tahun, saat masyarakat keturunan Tionghoa mendatangi klenteng untuk sembahyang, mengucap syukur dan meminta berkah di tahun yang baru. Saya baru sempat keliling tepat di tahun baru Imlek, 10 Februari 2013.

Kauw Lang Teng to Kauw Lang Teng

Saya mulai dengan mendatangi dua klenteng besar di Kota Yogyakarta. Klenteng pertama terletak di daerah Poncowinatan, utara Tugu Jogja. Segera saya menemui petugas di sana yang lalu menyambut saya dengan ramah dan sepertinya sudah tahu maksud kedatangan saya (menenteng kamera dan tidak berciri fisik keturunan),

"Mau ambil foto ya, Mas? Silakan! Dari kemarin juga ramai wartawan ke sini," katanya.

Saya merasa perlu menjelaskan kalau saya bukan jurnalis, tapi hanya untuk koleksi dan blog. Dia tetap mempersilakan dan sedikit memberikan penjelasan tentang denah klenteng tersebut.

Klenteng Poncowinatan adalah klenteng tertua di Jogja yang berdiri pada 1881. Klenteng dengan nama asli Zhen Ling Gong berdiri di atas area yang diberikan Sultan Hamengkubuwono VII kepada penduduk Tionghoa. Mungkin inilah yang bisa disebut China Town di Yogyakarta. Bedanya, jika di negara-negara lain kawasan seperti ini bisa berkembang dengan identitas orientalnya tak peduli dimana ia berada, di Indonesia kondisinya berbeda, terkait dengan sejarah politik bangsa ini yang boleh dikata cukup pahit bagi warga keturunan Tionghoa.

Di bangunan utama, wangi dupa menyambut setiap pengunjung yang hari itu tidak begitu ramai. Belakangan saya baru tahu kalau kebanyakan umat datang ke klenteng pada malam tahun barunya. Yang menarik dari klenteng yang telah ditetapkan sebagai cagar budaya ini adalah, selain lampion dan ornamen merah-emas, adalah dupa yang melingkar mirip obat nyamuk yang digantung di langit-langit. Di belakang bangunan utama, terdapat bangunan lain, yang dari lantai duanya kita bisa menikmati indahnya atap klenteng yang kaya ornamen, kontras dengan langit yang saat itu cukup cerah.

Dupa Melingkar
Dupa Altar
Atap Klenteng Poncowinatan

Perjalanan saya lanjutkan ke klenteng lain yang terletak di daerah Gondomanan. Imlek tahun lalu saya sempat ke klenteng yang berdiri sejak 1900 ini, tapi tidak sempat foto-foto.  Berbeda dengan klenteng Poncowinatan, klenteng bernama asli Hok Tik BIo ini lebih banyak dikunjungi warga untuk memohon berkah. Mungkin itu juga yang membuat saya menemukan satu pemandangan yang tidak saya temukan di klenteng sebelumnya: beberapa orang pengemis tampak duduk-duduk di undakan depan dan lampion-lampion yang digantungi label-label perusahaan yang mengharapkan rejeki lebih banyak di tahun baru.

Lampion "Titipan Berkah"
Meskipun ukurannya lebih kecil dibandingkan klenteng Poncowinatan, saya lebih menyukai  klenteng Gondomanan ini. Detail-detailnya lebih banyak dan menarik. Sayangnya, di pelataran depan, tenda besar masih berdiri yang digunakan untuk umat yang ingin bersembahyang bersama tapi tidak mendapatkan ruang di dalam klenteng, membuat landscape indah klenteng tertutupi. Tapi tak masalah, pemandangan di dalam klenteng tetap sedap memanjakan mata.

Atap Altar Utama
Lampion dan  Beduk
Sembahyang

Selamat Datang di Kampoeng Ketandan!


Jogja: Pertemuan Tradisi dan Modernitas,
Perjumpaan Budaya-budaya
Perayaan Imlek belum rampung. Masih ada puncaknya Cap Go Meh yang justru lebih meriah. Ya, pada hari kelima belas di tahun yang baru adalah perayaan yang sebenarnya dari Tahun Baru Cina. Cap Go Meh sendiri berarti Sepuluh (Cap), Lima (Go) dan Malam (Meh) dalam bahasa Hokkien. Di Yogyakarta, perayaan ini biasa dilakukan selama lima hari atau seminggu menjelang Cap Go Meh dan dipusatkan di daerah sekitar Malioboro, sentra dan ikon Kota Jogja yang dihuni oleh banyak warga keturunan Cina. Ketandan adalah salah satu kampung yang berada di sana.

Tahun 2013 ini menjadi lebih istimewa bagi warga Jogja karena tepat di pintu masuk Jalan Ketandan berdiri gerbang megah dengan gaya oriental tentu saja. Gapura yang diresmikan Sultan Hamengkubuwono X pada pembukaan Pekan Budaya Tionghoa Yogyakarta ini semakin mengukuhkan pengakuan Yogyakarta terhadap keberagaman warganya.

Selama lima hari, warga Jogja bisa mengunjungi Festival yang diadakan Kampung Ketandan. Aneka panganan, aksesoris dan hiburan khas Tionghoa bisa ditemukan di sana. Saya dan beberapa kawan datang di hari kedua. Luar biasa ramainya! Beruntung, pas di malam itu ada pemilihan Cici dan Koko Jogja dengan pembuka sebuah tarian menarik dari Mongol, salah satu suku bangsa yang ada di Cina. 


Dipilih-dipilih...

Kue Keranjang
Wayang Poo Tee Hie
Tarian Menunggang Kuda dari Mongol

Kue Keranjang dan Naga Raksasa

Sejak pukul 4 sore, ribuan warga Jogja sudah memadati Malioboro, mencari tempat strategis. Ya, ini dia malam yang ditunggu-tunggu oleh seluruh warga Jogja. Tepat di malam Cap Go Meh, karnaval naga dan barongsai diadakan di sepanjang jalan terpadat di kota gudeg ini. Banyaknya penonton yang datang ini membuat saya semakin yakin bahwa perbedaan-perbedaan yang nyata dalam kehidupan sehari-hari sejatinya tak akan berujung pada konflik jika kita bisa menyikapinya dengan lebih positif.

Iring-iringan karnaval dikawal oleh pasukan berbeskap, menunjukkan bahwa Kasultanan memberikan perlindungan bagi setiap aktivitas yang dilakukan oleh warganya yang keturunan Tionghoa. 

Pasukan Pengawal
Kue Keranjang Raksas
Kemudian muncul sebuah mobil bak terbuka mengangkut tumpukan besar kue keranjang yang disusun menyerupai tumpeng. Betul, ini dia kue keranjang raksasa setinggi dua setengah meter yang tercatat di MURI. Tumpeng dan kue keranjang. Ide keren untuk menyatukan dua budaya, bukan?

Pengunjung kemudian dihibur dengan atraksi naga dan barongsai yang rupa-rupa warna dan ukuran, juga penampilan dari peserta karnaval yang memakai dan membawa atribut-atribut oriental.




Iring-iringan terakhir adalah yang paling ditunggu-tunggu. Bagaimana tidak, pasukan AU, lengkap dengan drumb band nya, mengusung naga terpanjang di Asia! Ya, naga liong sepanjang 134 meter tersebut harus dibawa oleh 150 an personil!


Well, perayaan Imlek dan Cap Go Meh 2013 memang telah usai. Tapi semangat kebersamaan warga Jogja akan terus terpelihara. Semoga Tahun Ular Air membawa berkah dan kedamaian bagi kita semua! 
baca selengkapnya

1 Februari 2013

Thanks, Universe!

Dua jam lalu saya dapat email dari organisasi yang saya ingin bekerja di sana. Alasannya, organisasi itu ada di Jogja, bekerja untuk isu kemanusiaan dan sedang membutuhkan orang yang berpengalaman dan terampil dalam urusan media kampanye. Surga rasanya menemukan lowongan macam itu bagi saya yang sangat pemilih untuk urusan kerja. Bukannya sombong, tapi keterampilan saya yang paling saya jagoin di situ, pengalaman yang saya punya juga cuma kerja di organisasi kemanusiaan. Apalagi ini di Jogja! Wah! Tes tulis dan wawancara pun sudah saya lalui. Tapi email dua jam lalu itu langsung membenamkan angan saya.

Ya, saya tidak diterima.

Sedih, kecewa, campur aduk lah rasanya. Tapi ya mau gimana lagi? Bukan sekali ini saja saya merasa sedih, bukan sekali ini juga saya pernah merasa kecewa. Dan saya harus membuktikan pada diri saya sendiri kalau saya bukan orang yang mudah menyerah. Saya segera sadar, ada tumpukan proyek pribadi saya yang masih menunggu untuk diselesaikan, yang, kalau saya diterima di tempat kerja yang saya inginkan itu, kemungkinan akan berakhir tanpa pernah mencicipi lahir.

Ya, ini juga soal tanggung jawab. Tanggung jawab saya pada diri saya sendiri. Saya berangan-angan ini itu, sudah beberapa langkah saya lalui untuk mewujudkannya, tapi di tengah jalan mesti berpaling demi urusan lain yang lebih mendesak (baca: perut dan isi dompet). Saya yang mengusulkan ide ini pada diri saya sendiri lalu menyepakatinya, maka saya yang harus menyelesaikan. Hahaha... saya jadi ingat pengalaman saya dulu bersama kawan-kawan di organisasi. Ada kebiasaan kami, "Yang punya ide yang tanggung jawab!" Agak menyebalkan memang. Karena kadang ide yang kita punya hanya bisa diwujudkan jika orang lain juga urun tangan. Dan kadang, ada hal-hal di luar dugaan yang menghambat terwujudnya ide itu tapi tanggung jawab tetap mesti kita yang tanggung. 

Beruntung, saya bukan orang yang cepat euforia pada sebuah ide. Terima kasih, oh otak dodol yang butuh waktu lebih lama untuk berproses! Saya butuh waktu untuk mencerna informasi baru, apalagi wacana, dan mempertimbangkan ABCDEFGH-nya. Saya suka heran dengan orang yang bisa dengan cepat menanggapi ide orang lain, sampai memberikan dukungan. Heran dengan kecepatannya yang tidak saya miliki. Tidak cepat euforia ini juga saya pertahankan saat saya mencoba mewujudkan impian saya. Saya tidak mau melahirkan anak prematur. Bakal repot belakangan. 

Dan kali ini, saya mesti berterima kasih kepada semesta yang saat ini belum memberi saya kesempatan untuk bekerja di tempat yang saya inginkan! Memberi saya waktu ekstra untuk menyelesaikan tanggung jawab saya terlebih dulu. Thanks, Universe!

Well, ini cuma tulisan curhat. Mutar-muter nggak jelas kemana. Ya lumayanlah, menyalurkan energi negatif, daripada dipake buat mentungin anak orang.


baca selengkapnya

30 Januari 2013

Jam Biologis Acakadut dan Balas Dendam


Saya bangun kesiangan lagi hari ini. Kelewat siang malah, menjelang tengah hari. Gara-garanya kemarin-kemarin, karena harus menyelesaikan pekerjaan, saya terpaksa tidur dekat-dekat subuh, itupun hanya 3-4 jam. Bangun lagi melanjutkan kerjaan sampai pagi lagi. Untung rutinitas tidak sehat itu cuma semingguan, nggak kebayang deh kalau sampai ada berita: 'Tukang grafis ditemukan tinggal kulit membungkus tulang di depan laptopnya' (by the way, emang sekarang di balik kulit saya ada isinya?)

Soal saya yang sekarang sulit memejamkan mata di waktunya tidur dan akhirnya bangun kesiangan, mungkin itu adalah mekanisme balas dendam badan dan mata saya yang pengen istirahat tapi belakangan nggak kesampaian. Tapi, apakah dengan mekanisme itu badan saya terus jadi segar? Jreng.. jreng.. ternyata tidak, sodara-sodara. Bangun siang itu dampaknya nggak enak di kepala, pusing-pusing nggak jelas. Udah gitu seharian bawaannya ngantuk terus. Lemes. Makan nggak selera. Kopi yang biasanya nambah semangat, tidak ada lagi efeknya. Ibarat orang patah hati lah (lho?)

Saya lalu dapat saran untuk mengatasi ini, yaitu: jangan ikuti maunya mata. Alias, saya harus melawan dia datang di waktu-waktu yang saya seharusnya bisa produktif, dan memaksanya untuk datang kepada saya saat saya seharusnya beristirahat (alamak, bisa pakai jelangkung nggak?). Dengan cara ini, saya akan bisa mengembalikan jam biologis saya yang belakangan acakadut. Berhasil? Jangan tanya itu dulu. Ini baru hari pertama saya mencoba. Susah juga. Saya tetap ambruk di sore hari, terbangun dengan tidak hanya kepala pusing (lagi) tapi juga perasaan yang tidak mengenakkan. Entah, apa cuma saya atau dialami oleh orang lain juga ya, tertidur saat matahari akan tenggelam dan bangun saat hari mulai malam, terdengar burung hantu suaranya.. (halaaah) itu rasanya nggak enak, macam depresi.

Saya memang masih mencoba trik mengembalikan waktu tidur saya, tapi saya belajar satu hal dari itu. Bahwa balas dendam macam apapun itu efeknya nggak enak. Saya sendiri bukan orang yang senang mendendam. Tidak melupakan apa yang pernah orang lakukan pada saya yang sifatnya negatif  sih iya, tapi kalau sampai kebayang-kebayang terus bahkan ingin melakukan sesuatu yang setimpal pada mereka, hmmm... sepertinya tidak (sepertinya lho...). Mungkin karena saya orangnya nggak mau ribet ya. Lha ya iyalah, nggak ribet apa mikirin enaknya orang yang udah nyakitin kita ini dibikin rujak atau dijadiin oseng-oseng padahal ngurusin hidup sekarang aja loncat sana sini? Pernah juga sih saya benci pada seseorang sampai bertahun-tahun, dan rasanya tidak enak. Sampai di satu titik, saya merasa harus melepaskan perasaan itu, saya merasa bebas.

Balas dendam itu butuh energi. Memikirkan strategi yang efektif untuk membalaskan dendam kita mungkin menyerap energi lebih banyak dibandingkan dengan saat mengeksekusinya. Hasilnya apa? Selain rasa puas kalau rencana kita berhasil, ya kita juga sudah menyalurkan energi dan mengisi waktu luang kita haha... Duh! Sama seperti urusan jam biologis itu, kalau saya teruskan keinginan mendendam badan saya, mungkin si mata merasa senang ya. Ooo... itu cuma sementara, jangan terperdaya nafsumu, duhai Mata... Gimana dengan pusing dan lemasnya? Badan saya sedang tidak sadar kalau kebiasaan barunya ini, dalam jangka panjang, justru bakal memberikan lebih banyak lagi kerugian bagi dirinya.

Jadi ingat saya pada episode Oprah dimana dia menceritakan kalau dia juga pernah membenci seseorang dalam waktu lama dan sosok orang itu terus membayanginya. Suatu saat, Oprah bertemu lagi dengan orang tersebut yang menyapanya dengan santai tanpa beban, dan pastinya itu bikin Oprah gondok. Iyalah, Oprah sudah meluangkan waktu dan pikirannya untuk membenci orang itu, eh si oknum boro-boro inget apa yang sudah dia lakukan, mikirin Oprah juga mungkin nggak! Tambah akutlah kekesalan Oprah. Tapi, Oprah belajar dari kejadian itu. Dia sadar, lha ya apa untungnya pikiran kita tersedot untuk seseorang yang bahkan sudah tidak punya pengaruhnya lagi pada kehidupan kita?

Well, tipe orang memang berbeda-beda. Kadang justru ada orang yang senang dengan kebiasaan memendam dan mendendam ini. Walaupun drama kehidupan bisa datang tanpa skenario dan sementara orang-orang tertentu menghindari drama ini, tapi bagi orang-orang tertentu, hidup rasanya hampa kalau nggak ada drama. Cocoklah buat yang punya banyak waktu luang. Sama seperti meluangkan waktu ngikutin sinetron sampai tamat. Padahal, Tersanjung atau Cinta Fitri saja sampai sekuel berapa tau.

baca selengkapnya

29 Januari 2013

Facebookan Sehat


Hari-hari (dan juga malam) bercinta dengan corel dan photoshop akhirnya menghasilkan anak juga. Empat anak dalam waktu berdekatan. Pekerjaan saya yang satu itu akhirnya selesai. Dengan deadline yang kemunculannya bak kuntilanak, menyita waktu saya beberapa hari ini, termasuk menenggelamkan ide-ide yang ingin saya tulis. Beberapa benar-benar tenggelam, tapi yang satu ini yang terus mondar-mandir di kepala saya.

Pemantiknya adalah gara-gara saya iseng ngasih komentar di status salah satu akun di jejaring sosial. Saya terima saja permintaan pertemanannya karena mutual friends-nya cukup banyak. Lagipula, nama yang dipakai di akun adalah nama perkumpulan atau organisasi, jadi saya confirm saja.

Nah, di hari Daming Sunusi harus mempertanggungjawabkan leluconnya saat dia diwawancarai sebagai calon hakim MA, yang sama sekali tidak lucu dan sangat melecehkan perempuan, beberapa orang langsung nulis status, ngetwit, ngeblog atau goblok-goblokin sang calon hakim lewat media lain. Termasuk akun tersebut. Statusnya berisi cacian pada sang calon hakim. Biasanya saya tidak ambil pusing orang mau bikin status atau ngetwit apa, toh itu akun mereka pribadi, dan kalau saya tidak suka, saya bisa hide. Jika sudah sangat mengganggu, bisa saya unfollow atau remove dari pertemanan. Yang jadi masalah buat saya adalah, akun tersebut tidak menunjukkan identitas pribadi si pemilik, tapi identitas kelompoknya, termasuk kelompok remaja yang tercantum di akhir nama akun tersebut. Saya khawatir saja kalau status tersebut tidak mewakili si kelompok, tapi hanya opini sang admin.

Saling komentar pun terjadi antara saya dan si admin akun tersebut (admin atau bukan, terserah, intinya ya orang yang memakai akun itu hehe...), termasuk temannya yang lain yang manas-manasi. Hahaha... sudah lewat masa-masa emosi saya mudah terpancing ya. Saya tanggapi santai saja. Semakin santai karena belakangan mereka tahu saya ternyata satu suku dengan mereka (agak sukuisme juga nih hehe...). Interaksi saya dengan si akun tersebut memang selesai dalam satu malam, tapi ternyata masih ada buntutnya. Seorang kawan yang saya temui esok harinya bilang kalau dia baru chatting dengan admin akun itu. Si admin bertanya tentang saya, dan kawan saya mengambil kesempatan itu untuk memberikan masukan tentang status-status akun tersebut yang ternyata memang sering kali lebih bersifat personal, tidak mewakili kelompok yang tertera sebagai nama akunnya. Tidak terima, si admin bilang ya itu hak nya dia mau pakai nama akun apa, nulis status apa. Toh tidak ada aturannya, katanya. Belakangan, nama akunnya diganti. Hmmm... Lagi, bukan sekali ini urusan etis tidak etis di dunia jejaring sosial jadi masalah.

Ya, berapa kali kita pernah kesal saat berseluncur di jejaring sosial? Berapa kali kita pernah bergumam dalam hati 'kok gitu sih?' saat melihat status atau postingan teman maya? Berapa orang yang pernah kita unfollow postingannya? Berapa orang yang pernah kita remove dari pertemanan? Atau bahkan, berapa orang yang pernah kita block? (yang terakhir sih saya belum pernah me- tapi sudah pernah di- hahaha..). Pengelola jejaring sosial macam Facebook atau Twitter, memang menuliskan (seringnya tidak kita baca), soal aturan atau etika berkomunikasi dalam situs mereka. Tidak spesifik memang, tapi bukan berarti kita bisa bebas-bebas saja melakukan apa yang tidak tercantum di sana. Masak iya Facebook mesti bikin poin: "Jangan menggunakan tulisan alay karena tidak ramah mata", atau "Jangan curhat terus karena teman-teman anda bosan lihatnya".

Sama saja sih seperti kita berinteraksi dengan orang di dunia nyata. Tidak ada kan aturan macam "Jangan bertanya sesuatu pada orang kalau anda tidak mendengarkan apa jawabannya",  "Jangan mengepulkan asap rokok anda ke depan muka orang lain", atau "Jangan kentut saat anda di kerumunan". Tapi kita tahu kalau kita 'melanggarnya' kita bisa bikin orang lain kesal, marah atau sedih dan ujung-ujungnya jadi bahan gosip. Etika ini soal kesepakatan mana yang baik atau tidak. Baik atau tidaknya ini memang bisa saja berbeda di setiap tempat dan waktu, tapi ada juga yang bersifat universal macam mengatakan maaf kalau kita berbuat salah dan mengucapkan terima kasih pada orang yang berbuat sesuatu untuk kita. Baik atau tidaknya ini bukan didasari motif apakah berdosa atau berpahala, mendatangkan profit atau membuat pailit, tapi lebih kepada bagaimana agar hubungan antar manusia bisa berjalan mulus.

Nah, soal etika berjejaring sosial ini, ada beberapa hal yang sering jadi bahan omongan teman-teman saya (baca: gosip) karena kebiasaan-kebiasaan orang di Facebook yang bikin gerah, 'zoooong', bahkan ada yang berujung konflik. Nah, kalau kita tidak ingin jadi bahan gosip tak sedap, mungkin poin-poin ini bisa membantu:


  • First of all, nama akun kita menggambarkan siapa kita. Memang tidak seratus persen sih. Banyak juga yang  nama akunnya ke-alay-alay-an (alias nama kelewat panjang tanpa spasi dengan ramuan ajaib antara huruf kapital, angka dan suasana hati), tapi statusnya mengkritisi kebijakan atau berfilosofi. Ada juga yang nama akunnya sangat resmi lengkap dengan gelar, statusnya curhat-curhatan. Nah, kalau kita memakai atau menyelipkan nama kelompok atau organisasi tertentu, orang lain otomatis akan melihat akun tersebut 'bernyawa' kelompok atau organisasi tersebut. Nanti kasusnya seperti contoh saya di atas. Kalau memang kita ingin lebih personal, ya pakai nama sendiri atau nama panggilan. Kalau memang harus mengurus akun kelompok atau organisasi, ya buat baru saja.
  • Kirim permintaan pertemanan pada orang yang kita kenal atau memang kita benar-benar ingin mengenalnya, bukan untuk mencapai target jumlah teman. Kalau yang kita kirim itu belum kenal dengan kita, kita bisa kirim pesan terlebih dulu 'kan? Semudah membuat teman, gampang juga untuk memutus pertemanan. Kalau kita terganggu dengan postingan-postingan teman kita, kenapa harus dilanjutkan pertemanannya? Tapi ya, kita juga mesti siap kalau ada orang yang melakukan hal yang sama pada kita.
  • Setiap orang punya kebiasaan sendiri-sendiri dalam nulis status. Ada yang nulis status seminggu sekali, setiap hari, ada juga yang tiap menit. Ada yang nulis tentang kondisi sosial yang dilihat, kasih tahu sedang ada di mana, dengan siapa dan berbuat apa, ada juga yang meluapkan ekspresinya: senang pas gajian atau sedih karena pacarnya nggak ada kabar, atau cuma colek teman-temannya. Sah-sah saja. Itu hak kita. Tapi ingat, teman-teman kita juga punya hak untuk tidak ketularan aura negatif yang kita pampang di status. Teman-teman kita juga seringnya tidak butuh tahu kita sedang apa, dimana dan apa yang sedang kita rasakan, apalagi kalau kita  sedang ada di kamar dan memandang bintang dari balik jendela. Kecuali kita selebritis dengan ribuan fans yang haus informasi detail tentang kita. Soal status yang melecehkan pihak tertentu, itu tidak hanya di Facebook kali ya ada kesepakatan bersama kalau hal itu tidak pantas.
  • Saya pernah kesal karena saat saya upload foto terus ada teman yang komentar, eh ada temannya ikut-ikutan menulis di kolom comment. Mending kalau isinya ikutan ngasih komentar foto saya, ini malah reunian. Tolong ya, bisa bikin lapak baru kan? Intinya, kalau mau komentar itu ya yang nyambung sama konteksnya, walaupun sering juga kita punya status apa, teman-teman kita komentarnya nggak nyambung, tapi toh masih bisa kita lacak atau paham dengan ketidaknyambungannya. Berantem dengan saling lempar komentar juga nggak jelas maksudnya apa. Kalau mau adu argumen personal, ya pakailah fasilitas chatting. Kecuali memang topiknya sengaja dilempar untuk jadi bahan diskusi rame-rame.
  • Meng-upload foto korban kecelakaan, bencana atau perang sama sekali tidak etis. Saya pernah nulis status tentang ini. Dan ini juga berlaku dalam dunia jurnalisme. Apa gunanya coba nunjukkin foto mayat berjejer atau anak yang berdarah-darah? Dan tak perlu sungkan bagi kita untuk melaporkan akun-akun yang kerap berbau SARA atau pornografi.
  • Beriklan lewat jejaring sosial memang diperbolehkan. Tapi men-tag semua teman di foto produk kita kadang bisa bikin teman kita sebal, belum lagi setelah itu komentar bermunculan. Notifikasi jadi kayak pasar malam, rame nggak jelas. Juga kalau kita mengundang mereka ke grup yang tidak ada hubungannya dengan mereka atau mengajak mereka untuk main games. Bikin sajalah page khusus untuk produk-produk kita, undang teman-teman tertentu saja ke dalam grup dan percayalah, kalau teman kita memang suka nge-game, nggak perlu diajak juga dia bisa main sendiri.

Jejaring sosial memang menawarkan banyak hal: komunikasi dengan orang dari tempat bermil-mil jauhnya dalam waktu hitungan detik, menemukan teman lama yang terpisahkan oleh jalan hidup dan memberi ruang untuk berkespresi. Tapi seringkali, kita lupa bahwa di balik foto profil, status dan kicauan adalah juga orang-orang seperti kita, yang bisa terusik dan mengernyitkan dahi karena sesuatu yang dianggap tidak pantas, tidak etis dan semacamnya.
baca selengkapnya

14 Januari 2013

Indoktrinasi

Beberapa hari lalu, saya bersama dua orang teman makan di restoran vegetarian. Bagi pecinta daging seperti saya, restoran tersebut cukup membawa angin surga karena kehadiran 'daging-dagingan' dari kedelai atau jamur, bisa membantu saya menyuapkan lebih banyak sayuran untuk tubuh saya.

Walaupun saya belum merasa pengen jadi seorang vegetarian (atau gak bakal pernah), saya mengagumi beberapa orang vegetarian, bahkan vegan, yang saya tahu. Entah mungkin memang bawaannya sudah seperti itu, atau karena bawaannya seperti itu yang membuat mereka memutuskan menjadi vegetarian atau vegan, atau memang benar teori yang mengatakan daging merah itu juga punya pengaruh besar pada emosi seseorang, saya menemukan orang-orang vegetarian dan vegan itu lebih tenang dan kalem (atau karena perbandingannya saya? Entah). Ya, konsep vegetarian dan vegan mau tak mau membawa saya pada pandangan terhadap agama tertentu yang salah satu ajarannya adalah berpantang makan daging dan melihat para pemuka agama tersebut tampak lebih tenang dan lebih halus dibandingkan pemuka agama lain.

Sayang, jembatan keledai yang sudah terbangun di otak saya soal vegetarian dan kedamaian runtuh saat saya makan di restoran tersebut dan menonton film dokumenter (atau propaganda?) yang setiap saat diputar di sana. Sebelum-sebelumnya saya tidak pernah terlalu memperhatikan video tersebut. Tapi, terakhir saya ke sana, saya menyimak cukup lama dan sampailah pada satu tayangan dimana ada seorang perempuan yang menjadi Supreme Master dari entah ajaran apa yang sedang memberikan wejangan. Caranya dia berceramah memang menarik, tenang tapi tegas. Namun ada satu hal yang mengganggu pikiran saya. Yaitu saat dia menceritakan kisah jaman dulu dimana (katanya) Tuhan pernah memberikan hukuman bagi orang-orang yang memakan daging dengan cara menjatuhkan daging-daging dari langit kepada orang-orang tersebut! Maka, terkutuklah saya!

Kenapa pikiran saya terganggu oleh cerita si Supreme Master? Apa karena posisi saya sebagai omnivor? Bukan. Bukan tentang itu. Toh saya fine-fine saja dengan para herbivor. Saya terusik dengan caranya menyampaikan pesan dan mengajak pendengar untuk tidak makan daging. Terlalu... mengindoktrinasi. Lucunya, dua hari setelah itu, saat saya pindah-pindah channel TV, saya berhenti pada satu acara FTV yang menampilkan sekelompok laki-laki yang sedang mendengarkan ceramah yang berapi-api dari seseorang, kira-kira begini isinya:

"...kita jangan sampai terpengaruh oleh doktrin-doktrin karena bla bla..."

Untung itu cuma film. Kalau nyata, mungkin orang-orang yang mendengarkan itu langsung bubar jalan sambil bilang, "Ok, fine, saya pergi saja kalau begitu!" Lha yang dilakukan si penceramah bukannya juga indoktrinasi?

Doktrin. Dalam KBBI artinya adalah ajaran tentang asas suatu aliran politik atau agama. Terdengar netral. Awalnya saya pikir kalau diubah menjadi kata kerja cukup ditambahkan awalan me- jadi mendoktrin, tapi karena kata ini serapan dari bahasa asing, kata kerjanya diambil dari kata benda lain yang masih satu akar, indoktrinasi, jadilah mengindoktrinasi. (Lalu kenapa saya mengindoktrinasi dengan asas bahasa ini hahaha... belajar bersama lah ya). Indoktrinasi sendiri diartikan sebagai 'pemberian ajaran secara mendalam (tanpa kritik) atau penggemblengan mengenai suatu paham atau doktrin tertentu dengan melihat suatu kebenaran dari arah tertentu saja'.

Urusan doktrin indoktrinasi ini bikin saya gerah. Sesuatu yang tidak saya sukai. Ow ow... tidak berkaca, Mas? Ya, saya ngakulah. Selain pernah diindoktrinasi pastinya (siapa manusia yang tidak pernah), saya juga pernah mengindoktrinasi nilai-nilai yang saya anggap ideal. Orang yang berlawanan pahamnya dengan saya, tidak saya anggap teman apalagi karib. Nah, apa bedanya dengan fundamentalis yang identik bersenjatakan doktrin?

Saya pernah berbincang dengan seorang teman yang dulu sama-sama tumbuh di sebuah organisasi. Setelah lepas dari organisasi tersebut, dengan cara berbeda (ia kemudian semakin larut dalam dunia akademisi, namun tetap bergelut dalam bidang sosial), kami sampai di satu titik kesadaran bahwa fundamentalis tidak hanya monopoli orang-orang berjubah agama atau berjas politik. Fundamentalis juga sedang akan, atau mungkin sudah, tumbuh dalam gerakan-gerakan sosial yang ironisnya sering berteriak soal kesetaraan, penghargaan atas keberagaman dan semacamnya. Pendidikan orang dewasa, pendidikan kritis, pendidikan partisipatif kemudian hanya menjadi buih. Entah karena alasan target atau kejemuan, indoktrinasi menjadi alat yang dianggap efektif untuk mempercepat perubahan. Kenyataan ini membuat saya dan teman saya pusing sendiri.

Sebagai manusia, kita memang dituntut untuk berada pada satu sisi saja. Berpihak. Berada di tengah-tengah bisa dianggap gak jelas, lemah, klemak-klemek. Kenyataan bahwa lebih banyak orang yang berdiri di tengah, bahwa kebenaran itu relatif, dihiraukan begitu saja. Biseksualitas adalah contoh dari bagaimana wilayah abu-abu tersebut lebih sering dilihat sebelah mata. Agnostisisme adalah contoh dari bagaimana area semu tersebut lebih sering dianggap tak berpendirian, bukan sebagai pilihan.

Well, memang tidak ada salahnya, bahkan diyakini oleh sebagian orang bahwa ini adalah keharusan, untuk menyiarkan kebenaran. Tapi indoktrinasi, menurut saya, bukan hal yang bijak untuk dilakukan, apalagi dengan cara ditakut-takuti macam hujan daging itu. Indoktrinasi seolah-olah menganggap otak manusia hanyalah gelas-gelas kosong yang harus terus diisi. Mengenyahkan kenyataan bahwa manusia punya potensi, untuk berpikir dan berproses.

Kenapa minggu-minggu begini saya jadi sok serius ya? Ah, sudahlah... Selamat menyambut Senin!

baca selengkapnya