25 Februari 2013

Imlek Jogja: Kita Bisa Hidup Bersama


Tahun baru Cina kali ini saya berniat mengambil beberapa foto di titik-titik perayaan. Agak telat memang karena mestinya saya sudah siap sejak tiga hari sebelum pergantian tahun, saat masyarakat keturunan Tionghoa mendatangi klenteng untuk sembahyang, mengucap syukur dan meminta berkah di tahun yang baru. Saya baru sempat keliling tepat di tahun baru Imlek, 10 Februari 2013.

Kauw Lang Teng to Kauw Lang Teng

Saya mulai dengan mendatangi dua klenteng besar di Kota Yogyakarta. Klenteng pertama terletak di daerah Poncowinatan, utara Tugu Jogja. Segera saya menemui petugas di sana yang lalu menyambut saya dengan ramah dan sepertinya sudah tahu maksud kedatangan saya (menenteng kamera dan tidak berciri fisik keturunan),

"Mau ambil foto ya, Mas? Silakan! Dari kemarin juga ramai wartawan ke sini," katanya.

Saya merasa perlu menjelaskan kalau saya bukan jurnalis, tapi hanya untuk koleksi dan blog. Dia tetap mempersilakan dan sedikit memberikan penjelasan tentang denah klenteng tersebut.

Klenteng Poncowinatan adalah klenteng tertua di Jogja yang berdiri pada 1881. Klenteng dengan nama asli Zhen Ling Gong berdiri di atas area yang diberikan Sultan Hamengkubuwono VII kepada penduduk Tionghoa. Mungkin inilah yang bisa disebut China Town di Yogyakarta. Bedanya, jika di negara-negara lain kawasan seperti ini bisa berkembang dengan identitas orientalnya tak peduli dimana ia berada, di Indonesia kondisinya berbeda, terkait dengan sejarah politik bangsa ini yang boleh dikata cukup pahit bagi warga keturunan Tionghoa.

Di bangunan utama, wangi dupa menyambut setiap pengunjung yang hari itu tidak begitu ramai. Belakangan saya baru tahu kalau kebanyakan umat datang ke klenteng pada malam tahun barunya. Yang menarik dari klenteng yang telah ditetapkan sebagai cagar budaya ini adalah, selain lampion dan ornamen merah-emas, adalah dupa yang melingkar mirip obat nyamuk yang digantung di langit-langit. Di belakang bangunan utama, terdapat bangunan lain, yang dari lantai duanya kita bisa menikmati indahnya atap klenteng yang kaya ornamen, kontras dengan langit yang saat itu cukup cerah.

Dupa Melingkar
Dupa Altar
Atap Klenteng Poncowinatan

Perjalanan saya lanjutkan ke klenteng lain yang terletak di daerah Gondomanan. Imlek tahun lalu saya sempat ke klenteng yang berdiri sejak 1900 ini, tapi tidak sempat foto-foto.  Berbeda dengan klenteng Poncowinatan, klenteng bernama asli Hok Tik BIo ini lebih banyak dikunjungi warga untuk memohon berkah. Mungkin itu juga yang membuat saya menemukan satu pemandangan yang tidak saya temukan di klenteng sebelumnya: beberapa orang pengemis tampak duduk-duduk di undakan depan dan lampion-lampion yang digantungi label-label perusahaan yang mengharapkan rejeki lebih banyak di tahun baru.

Lampion "Titipan Berkah"
Meskipun ukurannya lebih kecil dibandingkan klenteng Poncowinatan, saya lebih menyukai  klenteng Gondomanan ini. Detail-detailnya lebih banyak dan menarik. Sayangnya, di pelataran depan, tenda besar masih berdiri yang digunakan untuk umat yang ingin bersembahyang bersama tapi tidak mendapatkan ruang di dalam klenteng, membuat landscape indah klenteng tertutupi. Tapi tak masalah, pemandangan di dalam klenteng tetap sedap memanjakan mata.

Atap Altar Utama
Lampion dan  Beduk
Sembahyang

Selamat Datang di Kampoeng Ketandan!


Jogja: Pertemuan Tradisi dan Modernitas,
Perjumpaan Budaya-budaya
Perayaan Imlek belum rampung. Masih ada puncaknya Cap Go Meh yang justru lebih meriah. Ya, pada hari kelima belas di tahun yang baru adalah perayaan yang sebenarnya dari Tahun Baru Cina. Cap Go Meh sendiri berarti Sepuluh (Cap), Lima (Go) dan Malam (Meh) dalam bahasa Hokkien. Di Yogyakarta, perayaan ini biasa dilakukan selama lima hari atau seminggu menjelang Cap Go Meh dan dipusatkan di daerah sekitar Malioboro, sentra dan ikon Kota Jogja yang dihuni oleh banyak warga keturunan Cina. Ketandan adalah salah satu kampung yang berada di sana.

Tahun 2013 ini menjadi lebih istimewa bagi warga Jogja karena tepat di pintu masuk Jalan Ketandan berdiri gerbang megah dengan gaya oriental tentu saja. Gapura yang diresmikan Sultan Hamengkubuwono X pada pembukaan Pekan Budaya Tionghoa Yogyakarta ini semakin mengukuhkan pengakuan Yogyakarta terhadap keberagaman warganya.

Selama lima hari, warga Jogja bisa mengunjungi Festival yang diadakan Kampung Ketandan. Aneka panganan, aksesoris dan hiburan khas Tionghoa bisa ditemukan di sana. Saya dan beberapa kawan datang di hari kedua. Luar biasa ramainya! Beruntung, pas di malam itu ada pemilihan Cici dan Koko Jogja dengan pembuka sebuah tarian menarik dari Mongol, salah satu suku bangsa yang ada di Cina. 


Dipilih-dipilih...

Kue Keranjang
Wayang Poo Tee Hie
Tarian Menunggang Kuda dari Mongol

Kue Keranjang dan Naga Raksasa

Sejak pukul 4 sore, ribuan warga Jogja sudah memadati Malioboro, mencari tempat strategis. Ya, ini dia malam yang ditunggu-tunggu oleh seluruh warga Jogja. Tepat di malam Cap Go Meh, karnaval naga dan barongsai diadakan di sepanjang jalan terpadat di kota gudeg ini. Banyaknya penonton yang datang ini membuat saya semakin yakin bahwa perbedaan-perbedaan yang nyata dalam kehidupan sehari-hari sejatinya tak akan berujung pada konflik jika kita bisa menyikapinya dengan lebih positif.

Iring-iringan karnaval dikawal oleh pasukan berbeskap, menunjukkan bahwa Kasultanan memberikan perlindungan bagi setiap aktivitas yang dilakukan oleh warganya yang keturunan Tionghoa. 

Pasukan Pengawal
Kue Keranjang Raksas
Kemudian muncul sebuah mobil bak terbuka mengangkut tumpukan besar kue keranjang yang disusun menyerupai tumpeng. Betul, ini dia kue keranjang raksasa setinggi dua setengah meter yang tercatat di MURI. Tumpeng dan kue keranjang. Ide keren untuk menyatukan dua budaya, bukan?

Pengunjung kemudian dihibur dengan atraksi naga dan barongsai yang rupa-rupa warna dan ukuran, juga penampilan dari peserta karnaval yang memakai dan membawa atribut-atribut oriental.




Iring-iringan terakhir adalah yang paling ditunggu-tunggu. Bagaimana tidak, pasukan AU, lengkap dengan drumb band nya, mengusung naga terpanjang di Asia! Ya, naga liong sepanjang 134 meter tersebut harus dibawa oleh 150 an personil!


Well, perayaan Imlek dan Cap Go Meh 2013 memang telah usai. Tapi semangat kebersamaan warga Jogja akan terus terpelihara. Semoga Tahun Ular Air membawa berkah dan kedamaian bagi kita semua! 

2 komentar: