7 November 2013

"Permisi..."

Kaki-kaki saya sedang sibuk mengayuh pedal sepeda di daerah Klitren, menuju rumah, ketika lampu motor di belakang saya mengisyaratkan sang pengendara sedang berusaha mendekati saya. Mengurangi laju motornya dan lebih menepi. Tenang dulu, ini bukan berita kriminal apalagi cerita horor. Saya pikir, si pengendara adalah orang yang saya kenal yang mungkin hendak menyapa. Saya tengok, tak saya kenali wajahnya.

“Pameran buku dimana?” tanya sang pengendara motor, tanpa basa-basi. Ia laki-laki muda yang dari logatnya saya perkirakan bukan orang Jogja.

“Hah?” respon saya. Gelagapan juga tiba-tiba ada orang asing di jalan yang tanpa ba-bi-bu main tanya saja. Saya juga tidak tahu sedang ada pameran buku di Jogja. Kalaupun ada, pameran buku yang mana, yang dimana? Saya berhentikan sepeda saya yang segera ia ikuti. Saya bilang, kalau pameran buku saya tidak tahu, tapi kalau sebut nama gedungnya mungkin saya paham dan bisa bantu. Yang ditanya malah bingung. Untunglah, otak saya yang tidak seberapa segera memberi sinyal, ‘sebutkan saja nama gedung-gedung yang biasa dijadikan tempat pameran, mungkin dia bisa sedikit tercerahkan’. Dan berhasil.

Kejadian ini mengingatkan saya pada saat saya dan seorang kawan tersesat di daerah Kulon Progo. Waktu itu kami bermaksud mendatangi kader-kader desa yang akan bekerja sama membuat fotonovela. Niat hati mencari jalan dengan pemandangan alam yang lebih indah, maklum, kawan saya fotografer, kami malah tersesat di jalanan kecil di antara rerimbunan pohon-pohon tua yang, memang, indah. Beruntung kami menemukan sebuah warung dimana beberapa orang bapak sedang duduk-duduk santai. Kawan saya segera menghentikan motornya dan menanyakan arah tujuan kami. Jawab salah satu bapak,

“Mas, kalau mau nanya, mbok ya turun dulu dari motor.”

Entah seperti apa muka kami berdua ditampar kalimat itu. Turun dari motor, kawan saya mengulang pertanyaannya dan kali ini si bapak memberikan jawaban nyambung.

Adat istiadat. Tata krama. Etika. Entah apalagi namanya. Menjadi hal penting dalam pergaulan sehari-hari manusia. Ia yang menentukan apakah kita termasuk orang yang cukup punya adab atau malah tidak tahu aturan. Pada kasus saya tersesat di hutan Kulon Progo, “cara” bertanya akan menentukan nasib kami. Beruntung, si bapak yang menegur kami masih berbaik hati. Tidak seperti tokoh antagonis dalam sinetron yang api dendamnya mudah dinyalakan. Setelah saya tahu, begitulah cara bertanya di sini, lalu kenapa saya tidak melakukan hal yang sama dengan si bapak saat pengendara motor, memintanya turun dulu dari motor?

Alasannya sederhana, kami berdua sedang berada di jalan. Saya tidak ada waktu juga menunggunya turun dari motor, menurunkan standar motor, membungkukkan sedikit badannya, memasang senyum, baru bertanya. Saya juga mungkin akan kikuk. 

Kawan saya yang lain beberapa hari lalu baru curhat colongan soal persiapan pernikahannya. Bisa terbayang bukan akan seperti apa jadinya dia yang disebut orang tuanya sebagai ‘anak jaman sekarang’ harus  berhadapan dengan adat kebiasaan pernikahan ‘jaman baheula’ yang dipegang orang tuanya? Ribet pastinya. 

Perkara etika, adat, tata krama ini pada beberapa kasus kadang malah jadi biang masalah. Yaitu saat ada pihak yang mulai mempertanyakan apa maksud di balik adat dan kebiasaan tersebut dan melihat lebih banyak tidak manfaatnya jika kebiasaan atau adat tersebut tetap dilakukan. Contohnya ya kasus numpang tanya dan pernikahan tadi. Kawan saya yang tidak turun dari motor berpikir akan lebih efektif jika numpang tanya tanpa harus turun dari motor. Kawan saya yang akan menikah inginnya bikin acara sesederhana mungkin, tapi sang orang tua keukeuh menggenggam apa yang mereka yakini sebagai budaya.

Atau contoh lain, karena saya bertahun-tahun bekerja di isu seksualitas, adalah ketika membicarakan seksualitas di depan banyak orang. Adanya tabu untuk mendiskusikan seksualitas justru membuat lebih banyak orang yang mencari informasi dari sumber entah berantah: mulut teman yang dapatnya juga entah dari berantah mana, situs di internet yang entah mengutip dari berantah mana, atau malah video dan majalah porno, atau malah pasrah mengikuti naluri badan. Hasilnya? Bukannya tambah pinter malah keblinger

Tapi ya, untuk beberapa hal, kebiasaan dan adat memang sebaiknya tetap kita jaga, terutama yang bisa mempererat persaudaraan, mengangkat martabat manusia. Bertanya alamat dan mengawalinya dengan kalimat, “Permisi, saya mau tanya.” adalah salah satunya. Selain diterima universal, akan dianggap tidak sopan jika orang tahu-tahu menembakkan pertanyaan pada orang asing yang ditemui di jalan tanpa bilang permisi, kalimat pembuka ini juga bisa mengkondisikan calon penjawab kalau yang mendatanginya bukan akan menagih utang atau malak receh.
baca selengkapnya

5 November 2013

Satu Siang di Amersfoort

Perut saya yang keroncongan menggiring saya ke De Blauw Engel, Malaikat Biru. Satu restoran di pojok sebuah square di pusat Amersfoort. Tak perlu waktu lama bagi segelas Heineken dan setumpuk roti dengan keju dan ham tersaji di meja saya, di teras restoran. Tiga perempuan dan satu lelaki paruh baya serta dua perempuan muda duduk di sisi lain teras. Hampir semua pengunjung restoran memilih menyantap makan siangnya di luar. Meskipun angin di Belanda sedang kurang ramah, usaha keras matahari menyelinap dari balik awan dimanfaatkan betul oleh pengunjung restoran ini.

Ini musim gugur pertama yang saya alami. Saya yang besar di negeri tropis berlimpah sinar matahari sepanjang tahun. Sejauh ini saya masih bisa menikmatinya. Jauh lebih baik dibandingkan tumpukan salju yang menyulap landscape negeri kincir angin ini menjadi putih. Semua putih. Sekarang saya masih bisa menikmati alam yang lebih indah. Pepohonan mewarnai daun-daunnya dengan warna-warni menakjubkan. Kuning kecoklatan. Beberapa merah. Sebagian telah menjatuhkan dedaunannya dan menjadi sarana bermain bocah-bocah. 

Dari teras di samping sebuah Gereja Protestan, sambil menikmati makan siang, mata saya disuguhi bangunan-bangunan tua yang difungsikan menjadi restoran-restoran, kebanyakan masih tertidur karena hanya menyediakan menu makan malam. Dari kejauhan, menjulang menara gereja lain dengan jam dan lonceng di atasnya. Gumpalan awan besar berarak di belakangnya. Tampak buncit, siap menurunkan air hujan sore ini. Begitu kata ramalan cuaca. Bagi orang Belanda, ramalan cuaca sangat penting, terutama di musim yang kurang jelas seperti ini. Bisa jadi siang hari kau rasakan hangatnya matahari, namun menjelang sore awan-awan hitam menendang begitu saja sang raja siang, menyerbu daratan dengan jutaan kubik air.

Beberapa pasangan usia senja tampak berjalan santai di antara bangunan-bangunan itu. Dari cara mereka memperhatikan dengan penuh seksama setiap bangunan dan tentengan kameranya, bisa saya pastikan mereka turis juga. Seperti saya. 

Tiba-tiba saya didera rasa cemburu. Cemburu pada kemesraan yang mereka tunjukkan. Saya ingin seperti mereka. Ah, betapa menyenangkannya jika kau bisa bersama orang yang kau kasihi dan juga mengasihimu, bahkan sampai bersama-sama menghabiskan masa tua. Tentu saja itu bukan hal yang tidak mungkin bagi saya. Tapi membayangkan langkah demi langkah yang harus saya lalui untuk sampai pada kebersamaan itu kadang membuat saya menciut. Bagaimana tidak, ada sekian banyak proses administrasi yang harus kami terjang. Belum lagi urusan pribadi soal biaya hidup bersama dan sebagainya.

Ah tunggu... mereka, pasangan-pasangan usia senja itu, yang mungkin telah bertahun-tahun bersama, pasti juga sudah mencecap tidak hanya manisnya sebuah relasi, tapi juga asam dan pahitnya. Siapa yang tahu, salah satunya mungkin dulu tidak direstui oleh orang tuanya menjalin komitmen dengan orang yang ia pilih sendiri. Siapa yang bisa mengira, salah satunya mungkin juga harus urus pindah negara plus kewarganegaraannya. Siapa yang tahu dan siapa yang bisa mengira?

Sama saja seperti orang yang sedang kesepian melihat orang lain yang berpasangan itu mengasyikan. Tidak pernahkah terpikirkan bahwa terkadang ada insting merasa diri ingin bebas bisa mengusik sebuah hubungan? Bahwa indahnya hubungan itu tak akan nyata tanpa dialog terus menerus yang mungkin saja melelahkan? Bahwa kompromi itu bisa berarti mengubur ego sedalam-dalamnya?

Segelas Heineken sudah berpindah ke dalam perut saya. Saya jelajahi sekali lagi sajian bangunan tua dan meresapi dengan penuh ikhlas angin kencang yang menerpa tubuh tipis ini. Sudah saatnya saya mulai belajar dengan alam baru. Karena besar kemungkinkan, angin dan pemandangan ini yang akan menjadi kawan masa depan saya. Bersama orang yang saya kasihi, yang saya tinggal di kamarnya di Havikshorts.

Amersfoort, 17 Oktober 2013
baca selengkapnya