5 Januari 2014

Bahasa, Target Pasar dan Pengakuan Dosa

Saya sedang asyik berselancar di dunia maya, ketika saya menemukan satu Fanpage Facebook. Dari deskripsinya cukup menarik karena si empunya sepertinya hendak menyediakan wadah diskusi dan informasi tentang seksualitas. Sayangnya, deskripsi tersebut ditulis dalam Bahasa Inggris. Sayang bagi saya karena embel-embel ‘Indonesia’ di belakang nama fanpage itu ternyata hanya perkara geografi. Padahal jelas dituliskan kepada orang Indonesialah fanpage tersebut ditujukan. Saya tengok isinya, kebanyakan adalah kata-kata mutiara yang, lagi-lagi, berbahasa internasional tersebut.

Saya tak hendak mengatakan kalau nasionalisme mengalir deras dalam darah saya sampai-sampai saya anti Bahasa Inggris. Nyatanya toh tidak demikian. Saya lebih percaya humanisme daripada nasionalisme. Setiap hari saya juga ada masa harus berkomunikasi dalam Bahasa Inggris, walaupun kemampuan saya berbahasa yang secara resmi dipakai di lebih dari 50 negara itu masih saja Senin-Kamis.

Ini soal kampanye. Soal pesan yang hendak disampaikan kepada ratusan, ribuan mungkin jutaan kepala di luar sana. Saya lalu teringat kejadian sekitar satu bulan lalu.

Suatu saat, saya dan teman-teman sedang mempersiapkan kampanye viral di sosial media soal kekerasan terhadap perempuan. Setiap dari kami membuat papan pesan untuk diunggah di akun sosial media masing-masing. Salah satu teman saya meminta saya menuliskan pesan di papannya. Kurang pede dengan tulisan tangannya sendiri, katanya. 

“Oh pakai Bahasa Inggris?” tanya saya saat dia menyebutkan pesannya. Kepalanya mengangguk mantap, lalu dia melihat papan saya.

“Kamu kok pakai Bahasa Indonesia?”

“Karena teman-teman saya di Facebook dan Twitter kebanyakan orang Indonesia,” kata saya jujur. 

“Tapi kan ini bisa buat international exposure…” kata teman saya. Sukses membuat jantung saya berhenti sekian detik. Ingin protes tapi segera saya sadar kalau tujuan kami berkampanye ternyata bak bumi dan langit.

Oh silakan cap saya berlebihan dengan perandaian itu. Tapi menurut saya memang demikian adanya. Teman saya memilih berkampanye dengan berbahasa Inggris agar pesannya sampai bahkan ke penduduk Alaska. Dia mengharapkan komitmen global dari isu yang sedang diperjuangkan karena isu tersebut faktanya memang terjadi di belahan Bumi manapun.

Sedangkan saya berkampanye agar orang-orang terdekat saya punya pemahaman seperti saya. Syukur-syukur kalau sampai berubah sikap dan perilakunya. Saya tidak bermaksud merendahkan kemampuan teman-teman saya di jejaring sosial dalam hal cas cis cus berbahasa Inggris. Kebanyakan bahkan jauh di atas saya. Namun dari pengalaman saya pribadi, saya percaya ada emosi dalam setiap kata yang kadang menjadi 'nggak-dapet' saat diterjemahkan ke bahasa lain. Kedekatan emosi itu yang coba saya bangun dengan target pasar saya. Nah, sasaran saya dan teman saya nyata berbeda, bukan? Itu kenapa saya bilang bagai langit dan bumi.

Kesadaran yang muncul akibat saya menemukan fanpage, memori kampanye viral dan menuliskan ulang pengalaman saya itu di sini malah menggiring saya untuk segera mencari tembok ratapan. Astaga, apa yang sudah saya lakukan di masa lalu? Membuat media kampanye seragam untuk beraneka komunitas karena alasan efisiensi anggaran dan bla bla bla? Bagaimana dengan mereka yang emosinya lebih dekat dengan bahasa daerah alih-alih Bahasa Indonesia? Itu baru perkara bahasa, bagaimana soal struktur kalimat, banyaknya kata dalam kalimat, istilah yang dipakai? Duh!

baca selengkapnya

2 Januari 2014

Tahun Baru dan Dugaan Kebahagiaan

Kaki saya menghentikan kayuhan sepeda di depan mini market. Hujan yang mengguyur Jogja di hari pertama 2014, membuat saya kerepotan melepas mantel hujan demi mendapatkan sekaleng susu murni untuk menghilangkan sisa-sisa alkohol yang tertinggal dari pesta tahun baru semalam.

Sudut mata saya menangkap pemandangan di undak-undakan dekat pintu masuk toko. Sepasang istri suami duduk mengapit sepasang anak perempuan laki-laki. Oh sial, saya sudah berpraduga saja ya. Bagaimana kalau mereka itu tante, oom dan keponakan? Bagaimana kalau mereka itu tak punya hubungan darah? Ah sudahlah, anggap saja demikian. Si ibu dan kedua anaknya sedang sibuk menjilati es krim yang saya pastikan baru mereka beli dari toko. Sedangkan sang ayah hanya duduk-duduk saja menatap langit. 

Setelah sekaleng susu plus beberapa camilan masuk dalam tas saya, saya raih mantel hujan sambil kembali mengarahkan pandangan pada keluarga kecil yang sedang menunggu hujan reda itu. Kali ini si ayah bangkit dari duduknya, berdiri berjarak dan menyalakan rokok. Ah, cukup mengerti juga kalau anak-anak tak pantas terkena imbas asap rokok. Si ibu dan kedua anaknya masih sibuk menjilati es krim. Melihat pancaran wajah mereka yang bahagia dan tanpa beban, tiba-tiba saya berdesir. 

Dugaan saya, mereka mungkin terjebak hujan saat akan pergi ke suatu tempat untuk, atau akan pulang ke rumah dari, merayakan, katakanlah hari libur, kalau saya beranggapan tidak semua orang ingin merayakan tahun baru. Kebetulan si ibu dan ayah libur bekerja, anak-anakpun tak perlu berangkat sekolah. Alih-alih sampai tujuan dengan kondisi basah kuyup karena berkendara motor, mereka memilih duduk-duduk di undakan sebuah mini market dan membeli es krim. Tentu saja, selain permen, es krim punya daya majis meredam kerewelan anak. Ini juga cuma dugaan saya saja.

Saya bayangkan saya yang harus terjebak hujan. Menjilati es krim tak akan membuat saya senang. Apalagi hanya duduk-duduk di undakan sebuah mini market! Desir hati saya mungkin mengisyaratkan iri pada mereka, keluarga kecil itu yang masih bisa menemukan sepotong kebahagiaan dalam kondisi yang, bagi saya, tidak menyenangkan. Kebahagiaan seringkali sederhana, bukan melulu soal pekerjaan yang diincar banyak orang, tabungan membengkak, pasangan yang sempurna atau cuaca yang menyesuaikan kehendak hati. 

Pada kayuhan pertama, sambil tersenyum saya sempatkan lagi menengok pada keluarga itu. Kali ini si anak laki-laki, yang paling kecil, balik menatap saya sambil terus menjilat es krim cokelatnya yang tinggal separuh. Tatapannya… Ah, apakah dia sebetulnya kesal dan tak tahan menanti sinar matahari menyeruak dari balik awan dan justru berpikir bisa bersepeda sambil hujan-hujanan itu adalah hal yang membahagiakan?

Well, kadang kita menduga orang lain bisa bahagia dengan cara-cara kita mendapatkan kebahagiaan. Nyatanya tidak selalu. Pun tidak selalu apa yang membuat orang lain bahagia bisa juga mendatangkan kebahagiakan bagi kita. Setiap orang punya porsi kebahagiaan masing-masing. Saya paksakan nyambung dengan gegap gempita pesta kembang api yang baru usai, Selamat Tahun Baru 2014, Temukan Kebahagiaanmu!

baca selengkapnya