31 Agustus 2018

Nepotisme?

Saya sudah menerima hasil basisexamen inburgering. Hasilnya? Memuaskan donk. Yang penting sih lulus jadi nggak harus tes ulang. Maka perjuangan untuk pindah Belanda pun berlanjut. Selain formulir dari IND yang harus diisi, saya juga harus menyiapkan beberapa dokumen yang harus diterjemahkan dan dilegalisir. Dokumen pertama adalah akte lahir, yang akan saya butuhkan saat saya lapor diri di gementee di Belanda. Tapi pengalaman saya saat kuliah di sana, pihak gementee di Diemen tidak meminta akte lahir. Nyesek juga sih soalnya udah bayar translasi dan legalisir eh taunya gak dipake. Untunglah untuk legalisir dokumen yang satu ini masih bisa dipakai tanpa ada validity period, tidak seperti surat keterangan belum kawin yang legalisirnya hanya diakui jika dibuat tidak lebih dari 6 bulan.

Nah, ngomong-ngomong soal surat keterangan belum kawin, hari Senin kemarin saya ngurus dokumen ini. Karena Kartu Keluarga saya masih jadi satu dengan orang tua, maka saya harus pulang kampung. Hasil browsing di internet memberikan saya informasi kalau surat ini bisa didapatkan dengan mengajukan permintaan dulu ke RT/RW lalu diproses di Kantor Kelurahan dan dilegalisir di Kantor Urusan Agama, jika pemohon tercatat beragama Islam (untuk agama lain bisa diurus di Kantor Catatan Sipil). Dari pengalaman beberapa orang yang bisa langsung ke Kantor Kelurahan, saya juga memutuskan untuk langsung ke Kantor Kelurahan yang hanya berjarak 300 meter dari rumah. Ibu saya ikut menemani. Bener, bukan saya yang minta lho! (gak mau banget dianggap anak mami). Alasan beliau, biar urusannya cepet, yang terbukti benar.

Sampai di Kantor Kelurahan, ibu saya langsung disapa oleh beberapa pegawai, tampaknya ibu saya cukup dikenal. Lalu ditanyakan ada keperluan apa. Salah satu pegawainya mengonfirmasi bahwa surat keterangan belum kawin bisa dibuatkan di sana, tanpa harus melewati RT/RW. Dengan sigap, sang pegawai langsung mengerjakan surat tersebut, dengan sebelumnya meminta fotokopi Kartu Keluarga. Saya dan ibu saya menunggu sekitar 10 menitan. Tidak ada biaya sama sekali untuk mengurus surat ini, tapi ibu saya merasa harus memberikan amplop terima kasih kepada pegawai yang telah membantu. Mungkin kebiasaan dari jaman dulu ya. 

Dari Kantor Kelurahan, kami meluncur ke Kantor Urusan Agama (lebih tepat disebut Kantor Urusan Agama Islam, nggak sih?). Di ruang depan kantor tersebut, seorang warga sedang berbincang dengan petugas perempuan, dalam Bahasa Sunda, tentu saja. Saya terjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia, kira-kira seperti ini:

“Jadi gimana? Gimana?” tanya sang petugas.

“Saya udah mendaftar untuk menikah bulan depan. Tapi saya mau pinjam dulu dokumennya untuk difotokopi karena tempat kerja saya minta,” terang si warga.

“Jadi udah daftar? Tapi mau fotokopi?” sang petugas sepertinya belum yakin dengan apa yang diinginkan si warga.

“Iya, surat keterangannya mau saya pinjam untuk difotokopi,” kata si warga.

Saya dan ibu saya hanya berpandang-pandangan. Walaupun saya tidak terlalu paham dengan apa yang mereka bicarakan, dan saya yakin ibu saya juga demikian, tapi sepertinya kami sama-sama merasakan kalau urusan di KUA ini akan sedikit ribet.

“Iya, Ibu ada urusannya apa?” kata sang pegawai kepada ibu saya, setelah menyuruh si warga untuk menunggu hingga ada pegawai lain yang bisa memahami maksudnya.

“Ini anak saya butuh legalisir surat,” jawab ibu saya sambal menyerahkan map yang tidak pernah lepas dari genggamannya. Sang petugas menerima map tersebut dan membaca sekilas isinya.

“Memangnya ini harus dilegalisir di sini ya, Bu?” tanya si petugas.

Lha…

Kemudian datang petugas lain, seorang laki-laki, menghampiri kami. Si petugas perempuan bertanya kepada si petugas laki-laki soal legalisir surat tersebut. Yang ditanya tampaknya juga tidak punya jawaban dan memberikan solusi agar kami menunggu sampai kepala KUA-nya datang, yang saat itu sedang ke luar kantor untuk menikahkan warga. Si petugas laki-laki lalu mengajak ibu saya berbincang, rasa-rasa pernah kenal sebelumnya. Eh ternyata iya, petugas ini saudaranya temannya bla bla... ibu saya. Dan dimulailah percakapan si A dimana sekarang, si B dimana, sampai HIJKLMN. Si petugas pamit untuk urusan lain sambil mengatakan kalau legalisir surat aja bisa cepat kok.

Kini tinggal saya dan ibu saya duduk di ruang depan mengamati petugas yang hilir mudik dan serombongan orang yang akan melakukan akad nikah di KUA. Ibu saya tiba-tiba bilang, 

“Tenang aja, mama tau kok kepalanya ini. Dia itu saudaranya saudara mama dari bla… bla… bla…” Yang sekarang saya tidak bisa ingat lagi simpul-simpul keluarga mana yang mempertemukan ibu saya dengan sang kepala KUA.

Setelah sekitar setengah jam kami menunggu, sang kepala KUA akhirnya datang. Dengan gesit, ibu saya langsung menghampiri dan tak lupa mengeluarkan jurus ‘ingat-gak-sama-saya’. Sang kepala KUA mengenali ibu saya, menanyakan kabar dan maksudnya datang ke KUA. Setelah membaca surat dari Kantor Kelurahan, dia menggangguk,

“Ah ya, ini dilegalisir di sini,” katanya sambal menyerahkan suratnya ke bawahannya. Beberapa petugas yang ada di sana mengangguk-angguk ‘Oh-I-see’ yang membuat saya semakin yakin kalau mereka mungkin tidak pernah menerima permintaan untuk melegalisir surat keterangan belum kawin sebelumnnya.

Lega rasanya karena urusan selesai. Jasa besar lagi diberikan oleh ibu untuk saya. Membuat urusan perbirokrasian ini menjadi lebih cepat. Eh, tapi cara-cara seperti ini termasuk nepotisme nggak sih? Hahaha… 

Saya coba cek di KBBI, hasilnya:

nepotisme/ne·po·tis·me/ /népotisme/ n 1 perilaku yang memperlihatkan kesukaan yang berlebihan kepada kerabat dekat; 2 kecenderungan untuk mengutamakan (menguntungkan) sanak saudara sendiri, terutama dalam jabatan, pangkat di lingkungan pemerintah; 3 tindakan memilih kerabat atau sanak saudara sendiri untuk memegang pemerintahan.

So, mungkin saya dan ibu saya mengambil keuntungan dari koneksi ibu saya di kantor-kantor pemerintahan untuk urusan surat ini. Kalau yang minta legalisir itu misalnya orang yang sama sekali tidak punya kenalan di KUA, apakah akan semudah kami mendapatkan legalisir? Tapi kok saya punya pembenaran ya. Toh para pegawai kantornya aja pada nggak paham apa yang diperlukan warganya. Jadi ya kita maen tembak aja prosedurnya gimana. Ya nggak? 
baca selengkapnya

9 Juli 2018

Saya dan Belanda

September 2016 saya ke Belanda. Itu memang bukan kali pertama saya menjejakkan kaki di negeri kincir angin tersebut. Tapi kali itu berbeda dengan perjalanan saya sebelumnya. Saya akan tinggal selama 1 tahun untuk kuliah. Akhirnya mimpi saya sejak kecil terwujud juga.

Adalah sepupu ibu saya yang pertama kali mengilhami saya untuk bisa ke Belanda. Saya lupa tepatnya, kira-kira saat saya masih kelas 2 atau 3 SD, ibu mengajak saya ke rumah salah satu tantenya yang anak pertamanya baru pulang dari Belanda. Saya tak yakin apakah sepupu ibu saya itu kuliah di sana untuk S1, S2 atau untuk short course, yang pasti saya terkesima dengan ceritanya tentang negeri di Eropa sana itu, dengan oleh-oleh keramik Blue Delft (ini baru saya tahu namanya bertahun-tahun kemudian). 

Cita-cita saya untuk kuliah ke Belanda sempat “terganggu” karena kecintaan saya terhadap manga dan anime. Ya saya pernah kepikiran untuk kuliah di Jepang. Bahkan, pilihan ketiga UMPTN (adek-adek, google lah apa itu UMPTN - saya ambil IPC yang 3 opsi) saya ambil Sastra Jepang. Gak jelas juga sebetulnya mimpi saya dulu itu apa. ‘Jepang kayaknya seru tuh’. Udah. Eh yang jebol justru pilihan pertama di Psikologi UGM. Tahun kedua saya kuliah di Jogja, saya bahkan ikut les Bahasa Jepang. Lumayan satu level doang, habis itu nyerah seiring dengan melunturnya hobi saya baca manga dan nonton anime. Plus, sepertinya psikologi dan isu-isu sosial yang semakin saya tekuni, agak kurang pas ya kalo dipelajari di Jepang. Mulai kembalilah saya pada mimpi saya dulu: Belanda. Lulus S1 tahun 2007, saya langsung hunting beasiswa sana-sini karena hal yang mustahil bagi saya untuk membiayai sendiri, atau minta orang tua. Beberapa kali saya ditolak, akhirnya males mau lanjut usaha. Ketahuilah saudara-saudara, buat apply beasiswa itu butuh energi dan waktu. Plus dana buat perbarui hasil IELTS atau TOEFL.

Sepupu saya dari pihak ayah, yang dari jaman sekolah selalu juara kelas, aktif di kegiatan sekolah, dan bahkan dapet jalur khusus kuliah di UI, berangkat ke Belanda, kalau tidak salah tahun 2009, dengan beasiswa StuNed. Terbit kembalilah hasrat saya untuk melanjutkan kuliah. Saya mulai persiapan lagi. Kali ini jauh lebih serius. Apalagi mengingat prestasi saya itu ibarat remahan rengginang jika dibandingkan setoples rengginang sepupu saya. Bertambah pula motivasi saya untuk ke Belanda karena tahun 2010 saya bertemu dengan seorang Belanda.

Tahun 2011, saya dapat dua LoA dari dua universitas di Belanda. Saya juga ambil les Bahasa Belanda di Erasmus Taalcentruum di Kedutaan Belanda di Jakarta. Saya lulus level 1. Sayangnya, beasiswa untuk kuliah belum saya dapatkan. Tahun 2012 saya coba lagi. Dewi Fortuna belum juga mau nyapa saya. Kendor lagi lah semangatnya. Gitu ya saya mah hahaha… Tapi masih lanjut kursus lagi. Kali ini di Karta Pustaka Yogyakarta karena saya memutuskan untuk balik ke Jogja. Karena sistem belajarnya agak berbeda dengan di ETC, meskipun menggunakan bahan ajar yang sama, saya tidak bisa benar-benar lanjut ke level 2. Jadi kalau ditanya, udah level berapa Bahasa Belanda saya, saya selalu jawab: 1,5. Hehehe…

Tahun 2014 saya pindah ke Jakarta lagi dan saya memutuskan untuk fokus kerja aja dulu lah, merapikan CV biar lebih mantap kalau mau daftar beasiswa lagi.

Well, akhirnya aplikasi StuNed saya tahun 2016 diterima juga. Saya beruntung karena di fase baru mereka sedang coba saring penerima beasiswa hanya melalui satu tahap seleksi: administrasi saja. Gila juga. Tapi mereka mengurangi hampir separuh kuotanya, jadinya ya boleh dibilang sama aja ketatnya. Oya, setelah saya coba ambil psikologi beberapa kali dan gagal, kemudian menyadari kalau jalur karir saya gak ada psikologi-psikologinya (ada sih, tapi dikit), lalu tiba-tiba dapet email blast dari seorang rekan dari jaringan kerja tentang Koninklijk Instituut voor de Tropen (KIT) yang punya program master’s degree in public health yang spesifik di isu sexual and reproductive health and rights dan saya daftar dan keterima, akhirnya saya masukkan KIT dalam aplikasi StuNed saya. Dan ya, berhasil! Keberuntungan saya yang lain adalah isu kesehatan sebetulnya bukan lagi prioritas untuk StuNed. Dan saat StuNed Day di Kedutaan Besar Indonesia tahun 2017, saya ngobrol dengan orang StuNed yang bilang kalau StuNed akan menghentikan kerja samanya dengan KIT karena, again, isu kesehatan tidak lagi menjadi prioritas mereka. Tapi jangan khawatir, handai taulan yang pengen kuliah di KIT dengan beasiswa, masih bisa coba curi kesempatan dari Orange Knowledge Programme (dulu bernama Netherlands Fellowship Programme) atau beasiswa dari KIT.

Satu tahun di Belanda saya tidak hanya belajar materi kuliah. Hmm… terdengar seperti promosi beasiswa-beasiswa luar negeri: Anda juga akan belajar untuk beradaptasi dengan lingkungan yang baru, belajar bekerja sama dengan orang-orang dari latar belakang dan pengalaman yang berbeda, belajar mengembangkan sayap dan menempatkan diri dalam kancah internasional, bla bla… Ya itu memang benar, saya rasakan sendiri saat saya kuliah. Tapi yang paling saya rasakan saat saya kembali ke Indonesia adalah… sepertinya Belanda memang lebih cocok dengan pilihan hidup saya. Ayah saya sepertinya sudah mencium niat saya ini. Saat saya pulang ke rumah orang tua setelah menyelesaikan kuliah saya di Belanda, dia bilang, “Lho, kirain kamu nggak akan pulang ke Indonesia…” Saya cuma nyengir.

Kalau kuliah ke Belanda sudah nongkrong di otak saya sejak kecil, pindah ke Belanda mungkin relatif baru. Seringnya juga keinginan itu datang dan pergi. Mungkin karena sebelum-sebelumnya otak saya masih mengategorikan rencana itu sebagai mimpi, perasaan yang muncul lebih ke excitement gak jelas. Sekarang saat saya benar-benar (ingin) membulatkan tekad untuk pindah ke sana, justru muncul keragu-raguan: siapkah saya meninggalkan Indonesia? Keluarga, teman, pekerjaan, gorengan pinggir jalan, ojek online? Sebetulnya saya ini kepedean terlalu dini. Sebelum bisa pindah ke sana, jalannya gak gampang. Pertama saya harus lulus inburgeringsexamen, alias tes Bahasa Belanda dasar (level A1) dan pengetahuan seputar Belanda. Untuk tes ini, saya masih sedang mempersiapkan sejak saya kembali ke tanah air. Walaupun belum pede, saya nekad aja daftar dulu untuk tes. Lima hari kemudian saya dapat konfirmasi, dan saya diminta untuk mengontak Kedutaan Belanda untuk membuat janji kapan akan tes. Dan keluarlah tanggal 9 Juli 2018! Dag dig dug kan…(**) Jika hasil tesnya memenuhi syarat, barulah saya bisa apply visa MVV untuk resident permit. Tentu saja ada sekian dokumen yang harus saya urus terlebih dulu, tidak seperti saat saya apply MVV untuk kuliah yang jauh lebih mudah. Setelah mendapatkan MVV dan terbang ke Belanda, saya harus ambil inburgeringsexamen A2 dalam waktu 3 tahun agar saya benar-benar bisa dianggap terintegrasi dengan masyarakat Belanda. Dan, tentu saja, saya harus cari pekerjaan di sana. Well, it is still hard to believe that in a few months, if I pass the exam and the visa is granted, I will start my new journey. It won’t be easy, indeed. But I’m preparing myself to be ready.


(**) Kabar gembira datangnya tidak hanya dari mastin. Saya baru aja selesai inburgeringsexamen! Cukup pede sih dengan ujiannya (ga tau juga hasilnya gimana tar haha…), berkat rajin latihan dan minum milo setiap hari. Buat kalian yang mau ikut ujian ini dan mau latihan, cek blog satu ini. Berguna banget, dan Mbak Geraldine-nya ramah dan suka menolong. Pengalaman saya pribadi tentang inburgeringsexamen ini? Tar aja deh kalo hasilnya udah keluar, gak enak sama tetangga.

baca selengkapnya

6 Februari 2018

Maaf dan Terima Kasih

Hari Minggu kemarin saya belanja untuk keperluan harian di supermarket yang ada di mall yang jaraknya hanya lima menit jalan kaki dari tempat saya tinggal (Ya Tuhan, berikan hamba-Mu ini kekuatan…). Salahnya saya sendiri tidak mempertimbangkan kalau hari Minggu itu pusat-pusat perbelanjaan pasti ramai, jadilah acara belanja yang harusnya singkat dan padat, acara kali ini tidak hanya memakan waktu lama tapi juga menguji mental. Ya elah, masak beli pisang, roti, sama susu aja pake ujian mental segala? Begini ceritanya.

Kejadian pertama, saat saya ngantri untuk minta ditimbangkan pisang, di depan saya adalah seorang ibu yang menerima buah yang sudah ditimbangkan dan diberi label harga oleh petugas supermarketnya. Sambil tersenyum, si petugas mengucapkan terima kasih. Yang diberi ucapan justru melengos aja gitu dengan muka judes. Kok saya agak gimana gitu ya?

Saya lalu ke bagian camilan. Saat saya sedang mempertimbangkan dengan penuh seksama wafer mana yang akan saya beli, jari kelingking kaki saya digilas roda baby stroller. Sadar kalau baby strollernya sudah tidak berada di jalan yang benar, saya rasakan si stroller ditarik balik. Otomatis saya lihat siapa oknumnya. Yang dipandang balik melihat saya dengan muka datar. Sungguh datar. Saya coba mengernyitkan dahi dan memberi kode, “Ada sesuatu yang seharusnya kamu katakan, bukan?” Tidak ada suara apapun, saudara-saudara. Santai aja gitu belokin strollernya.

Kejadian selanjutnya adalah saat saya antri di kasir. Di depan saya adalah seorang bapak usia paruh baya dengan kereta dorongan penuh belanjaan. Kemudian datang seorang perempuan usia SMA, menambahkan belanjaan ke dalam kereta, berbicara sesuatu kepada si bapak yang membuat saya mengambil kesimpulan kalau dia anaknya, lalu si perempuan itu pergi. Si bapak sudah berada di depan petugas kasir ketika si anak perempuan kembali dengan barang lain, lalu ia bergabung dengan perempuan lain, yang mungkin ibunya, yang menunggu di pintu masuk supermarket. Lalu mereka pergi entah kemana.

Si bapak sibuk sendiri memindahkan belanjaan ke counter kasir. Petugas kasir memberikan sehelai nota yang baru saja dia cap, “Pak, ini barangnya diambil lagi di counternya ya.”

“Ini barang apa ya, Mbak?”

“Ini kosmetik, Pak. Diambil di counter (menyebut merek).”

Saat si bapak itu membayar dengan kartu debitnya, seorang laki-laki muda, kira-kira usia SMA juga, muncul dari balik komputer kasir, menyodorkan deodorant roll-on kepada si bapak,

“Ini. Eh, masih bisa kan, Pak?” Tanpa melihat adanya beberapa orang yang sedang mengantri. Si bapak mengatakan kalau belanjaannya baru dibayar dengan kartu. Laki-laki muda itu lalu merangsek mendekati si bapak, “Jadi harus cash ya? Mama kemana?”

Ya, saudara-saudara, antrian harus terhenti karena si anak sibuk dengan hapenya mencoba menghubungi sang mama demi bisa membayar deodorant roll-on nya, sang mama nggak ngangkat-ngangkat telpon, dan akhirnya si bapak berkata kepada petugas kasir, “Dibatalkan saja, Mbak.” Dua orang yang mengantri di belakang saya tidak bisa menutup tawa nyinyir mereka. Sementara bapak-anak itu berlalu begitu saja dengan belanjaan mereka, tanpa rasa bersalah sudah membuat kami menunggu.

Ini orang-orang kok susah amat sih bilang maaf dan terima kasih?

*

Beberapa minggu lalu, saya bertemu dengan seorang sahabat di Jogja. Sambil makan bakso yang pernah jadi idola banget karena dekat dengan kantor saya dulu, kami mengobrol ngalor-ngidul, sampai ke topik soal minta maaf dan mengucapkan terima kasih. Saya bilang kalau saya dulu sebetulnya orang yang cukup kesulitan untuk minta maaf dan tidak terbiasa juga mengucapkan terima kasih untuk hal-hal yang saya anggap kecil, seperti saat tidak sengaja menabrakkan baby stroller, saat menerima buah yang baru ditimbangkan, atau membuat orang lain menunggu. Paling banter ya saya nyengir aja kalau bikin salah. Baru beberapa tahun belakangan saja kebiasaan minta maaf dan berterima kasih saya lakukan karena melihat orang yang paling dekat dengan saya melakukan hal tersebut dan saya melihatnya sebagai sesuatu yang memang layak untuk dicontoh.

Jujur, bukan hal yang mudah untuk mengubah kebiasaan ini. Di awal-awal, beberapa kali saya harusnya bilang terima kasih, yang keluar malah maaf. Serius lho! Sampai akhirnya saya sadar kalau saya harus melakukannya karena memang saya benar-benar ingin meminta maaf dan ingin mengatakan terima kasih. Bukan karena basa-basi. Saat saya minta maaf, saya mencoba memposisikan diri saya pada pihak yang dirugikan atas apa yang sudah saya lakukan. Nggak enak ‘kan kalau nunggu orang pake ATM lama banget kayak ATM punya dia sendiri? (Note: Tolong jangan dipraktekkan bayar gaji pekerja via ATM yang ada di lokasi dan waktu yang ramai ya).

Juga saat kita mengucapkan terima kasih. Kecuali Anda sudah mati rasa, ada perasaan senang ‘kan saat orang lain mengucapkan terima kasih kepada kita dengan ekspresi muka yang tidak dibuat-buat? Mungkin kita merasa kalau yang kita lakukan hanyalah hal yang kecil, tapi mungkin bagi orang lain perbuatan kita itu memberikan manfaat yang tidak sedikit.

Karena saya tidak percaya dengan konsep dosa dan pahala, bagi saya meminta maaf dan mengucapkan terima kasih melatih saya untuk lebih reflektif, sekaligus menyambung kembali rasa keterhubungan antara sesama. Jangan kemana-mana, tetap di…..!
baca selengkapnya