9 Juli 2018

Saya dan Belanda

September 2016 saya ke Belanda. Itu memang bukan kali pertama saya menjejakkan kaki di negeri kincir angin tersebut. Tapi kali itu berbeda dengan perjalanan saya sebelumnya. Saya akan tinggal selama 1 tahun untuk kuliah. Akhirnya mimpi saya sejak kecil terwujud juga.

Adalah sepupu ibu saya yang pertama kali mengilhami saya untuk bisa ke Belanda. Saya lupa tepatnya, kira-kira saat saya masih kelas 2 atau 3 SD, ibu mengajak saya ke rumah salah satu tantenya yang anak pertamanya baru pulang dari Belanda. Saya tak yakin apakah sepupu ibu saya itu kuliah di sana untuk S1, S2 atau untuk short course, yang pasti saya terkesima dengan ceritanya tentang negeri di Eropa sana itu, dengan oleh-oleh keramik Blue Delft (ini baru saya tahu namanya bertahun-tahun kemudian). 

Cita-cita saya untuk kuliah ke Belanda sempat “terganggu” karena kecintaan saya terhadap manga dan anime. Ya saya pernah kepikiran untuk kuliah di Jepang. Bahkan, pilihan ketiga UMPTN (adek-adek, google lah apa itu UMPTN - saya ambil IPC yang 3 opsi) saya ambil Sastra Jepang. Gak jelas juga sebetulnya mimpi saya dulu itu apa. ‘Jepang kayaknya seru tuh’. Udah. Eh yang jebol justru pilihan pertama di Psikologi UGM. Tahun kedua saya kuliah di Jogja, saya bahkan ikut les Bahasa Jepang. Lumayan satu level doang, habis itu nyerah seiring dengan melunturnya hobi saya baca manga dan nonton anime. Plus, sepertinya psikologi dan isu-isu sosial yang semakin saya tekuni, agak kurang pas ya kalo dipelajari di Jepang. Mulai kembalilah saya pada mimpi saya dulu: Belanda. Lulus S1 tahun 2007, saya langsung hunting beasiswa sana-sini karena hal yang mustahil bagi saya untuk membiayai sendiri, atau minta orang tua. Beberapa kali saya ditolak, akhirnya males mau lanjut usaha. Ketahuilah saudara-saudara, buat apply beasiswa itu butuh energi dan waktu. Plus dana buat perbarui hasil IELTS atau TOEFL.

Sepupu saya dari pihak ayah, yang dari jaman sekolah selalu juara kelas, aktif di kegiatan sekolah, dan bahkan dapet jalur khusus kuliah di UI, berangkat ke Belanda, kalau tidak salah tahun 2009, dengan beasiswa StuNed. Terbit kembalilah hasrat saya untuk melanjutkan kuliah. Saya mulai persiapan lagi. Kali ini jauh lebih serius. Apalagi mengingat prestasi saya itu ibarat remahan rengginang jika dibandingkan setoples rengginang sepupu saya. Bertambah pula motivasi saya untuk ke Belanda karena tahun 2010 saya bertemu dengan seorang Belanda.

Tahun 2011, saya dapat dua LoA dari dua universitas di Belanda. Saya juga ambil les Bahasa Belanda di Erasmus Taalcentruum di Kedutaan Belanda di Jakarta. Saya lulus level 1. Sayangnya, beasiswa untuk kuliah belum saya dapatkan. Tahun 2012 saya coba lagi. Dewi Fortuna belum juga mau nyapa saya. Kendor lagi lah semangatnya. Gitu ya saya mah hahaha… Tapi masih lanjut kursus lagi. Kali ini di Karta Pustaka Yogyakarta karena saya memutuskan untuk balik ke Jogja. Karena sistem belajarnya agak berbeda dengan di ETC, meskipun menggunakan bahan ajar yang sama, saya tidak bisa benar-benar lanjut ke level 2. Jadi kalau ditanya, udah level berapa Bahasa Belanda saya, saya selalu jawab: 1,5. Hehehe…

Tahun 2014 saya pindah ke Jakarta lagi dan saya memutuskan untuk fokus kerja aja dulu lah, merapikan CV biar lebih mantap kalau mau daftar beasiswa lagi.

Well, akhirnya aplikasi StuNed saya tahun 2016 diterima juga. Saya beruntung karena di fase baru mereka sedang coba saring penerima beasiswa hanya melalui satu tahap seleksi: administrasi saja. Gila juga. Tapi mereka mengurangi hampir separuh kuotanya, jadinya ya boleh dibilang sama aja ketatnya. Oya, setelah saya coba ambil psikologi beberapa kali dan gagal, kemudian menyadari kalau jalur karir saya gak ada psikologi-psikologinya (ada sih, tapi dikit), lalu tiba-tiba dapet email blast dari seorang rekan dari jaringan kerja tentang Koninklijk Instituut voor de Tropen (KIT) yang punya program master’s degree in public health yang spesifik di isu sexual and reproductive health and rights dan saya daftar dan keterima, akhirnya saya masukkan KIT dalam aplikasi StuNed saya. Dan ya, berhasil! Keberuntungan saya yang lain adalah isu kesehatan sebetulnya bukan lagi prioritas untuk StuNed. Dan saat StuNed Day di Kedutaan Besar Indonesia tahun 2017, saya ngobrol dengan orang StuNed yang bilang kalau StuNed akan menghentikan kerja samanya dengan KIT karena, again, isu kesehatan tidak lagi menjadi prioritas mereka. Tapi jangan khawatir, handai taulan yang pengen kuliah di KIT dengan beasiswa, masih bisa coba curi kesempatan dari Orange Knowledge Programme (dulu bernama Netherlands Fellowship Programme) atau beasiswa dari KIT.

Satu tahun di Belanda saya tidak hanya belajar materi kuliah. Hmm… terdengar seperti promosi beasiswa-beasiswa luar negeri: Anda juga akan belajar untuk beradaptasi dengan lingkungan yang baru, belajar bekerja sama dengan orang-orang dari latar belakang dan pengalaman yang berbeda, belajar mengembangkan sayap dan menempatkan diri dalam kancah internasional, bla bla… Ya itu memang benar, saya rasakan sendiri saat saya kuliah. Tapi yang paling saya rasakan saat saya kembali ke Indonesia adalah… sepertinya Belanda memang lebih cocok dengan pilihan hidup saya. Ayah saya sepertinya sudah mencium niat saya ini. Saat saya pulang ke rumah orang tua setelah menyelesaikan kuliah saya di Belanda, dia bilang, “Lho, kirain kamu nggak akan pulang ke Indonesia…” Saya cuma nyengir.

Kalau kuliah ke Belanda sudah nongkrong di otak saya sejak kecil, pindah ke Belanda mungkin relatif baru. Seringnya juga keinginan itu datang dan pergi. Mungkin karena sebelum-sebelumnya otak saya masih mengategorikan rencana itu sebagai mimpi, perasaan yang muncul lebih ke excitement gak jelas. Sekarang saat saya benar-benar (ingin) membulatkan tekad untuk pindah ke sana, justru muncul keragu-raguan: siapkah saya meninggalkan Indonesia? Keluarga, teman, pekerjaan, gorengan pinggir jalan, ojek online? Sebetulnya saya ini kepedean terlalu dini. Sebelum bisa pindah ke sana, jalannya gak gampang. Pertama saya harus lulus inburgeringsexamen, alias tes Bahasa Belanda dasar (level A1) dan pengetahuan seputar Belanda. Untuk tes ini, saya masih sedang mempersiapkan sejak saya kembali ke tanah air. Walaupun belum pede, saya nekad aja daftar dulu untuk tes. Lima hari kemudian saya dapat konfirmasi, dan saya diminta untuk mengontak Kedutaan Belanda untuk membuat janji kapan akan tes. Dan keluarlah tanggal 9 Juli 2018! Dag dig dug kan…(**) Jika hasil tesnya memenuhi syarat, barulah saya bisa apply visa MVV untuk resident permit. Tentu saja ada sekian dokumen yang harus saya urus terlebih dulu, tidak seperti saat saya apply MVV untuk kuliah yang jauh lebih mudah. Setelah mendapatkan MVV dan terbang ke Belanda, saya harus ambil inburgeringsexamen A2 dalam waktu 3 tahun agar saya benar-benar bisa dianggap terintegrasi dengan masyarakat Belanda. Dan, tentu saja, saya harus cari pekerjaan di sana. Well, it is still hard to believe that in a few months, if I pass the exam and the visa is granted, I will start my new journey. It won’t be easy, indeed. But I’m preparing myself to be ready.


(**) Kabar gembira datangnya tidak hanya dari mastin. Saya baru aja selesai inburgeringsexamen! Cukup pede sih dengan ujiannya (ga tau juga hasilnya gimana tar haha…), berkat rajin latihan dan minum milo setiap hari. Buat kalian yang mau ikut ujian ini dan mau latihan, cek blog satu ini. Berguna banget, dan Mbak Geraldine-nya ramah dan suka menolong. Pengalaman saya pribadi tentang inburgeringsexamen ini? Tar aja deh kalo hasilnya udah keluar, gak enak sama tetangga.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar