30 Januari 2013

Jam Biologis Acakadut dan Balas Dendam


Saya bangun kesiangan lagi hari ini. Kelewat siang malah, menjelang tengah hari. Gara-garanya kemarin-kemarin, karena harus menyelesaikan pekerjaan, saya terpaksa tidur dekat-dekat subuh, itupun hanya 3-4 jam. Bangun lagi melanjutkan kerjaan sampai pagi lagi. Untung rutinitas tidak sehat itu cuma semingguan, nggak kebayang deh kalau sampai ada berita: 'Tukang grafis ditemukan tinggal kulit membungkus tulang di depan laptopnya' (by the way, emang sekarang di balik kulit saya ada isinya?)

Soal saya yang sekarang sulit memejamkan mata di waktunya tidur dan akhirnya bangun kesiangan, mungkin itu adalah mekanisme balas dendam badan dan mata saya yang pengen istirahat tapi belakangan nggak kesampaian. Tapi, apakah dengan mekanisme itu badan saya terus jadi segar? Jreng.. jreng.. ternyata tidak, sodara-sodara. Bangun siang itu dampaknya nggak enak di kepala, pusing-pusing nggak jelas. Udah gitu seharian bawaannya ngantuk terus. Lemes. Makan nggak selera. Kopi yang biasanya nambah semangat, tidak ada lagi efeknya. Ibarat orang patah hati lah (lho?)

Saya lalu dapat saran untuk mengatasi ini, yaitu: jangan ikuti maunya mata. Alias, saya harus melawan dia datang di waktu-waktu yang saya seharusnya bisa produktif, dan memaksanya untuk datang kepada saya saat saya seharusnya beristirahat (alamak, bisa pakai jelangkung nggak?). Dengan cara ini, saya akan bisa mengembalikan jam biologis saya yang belakangan acakadut. Berhasil? Jangan tanya itu dulu. Ini baru hari pertama saya mencoba. Susah juga. Saya tetap ambruk di sore hari, terbangun dengan tidak hanya kepala pusing (lagi) tapi juga perasaan yang tidak mengenakkan. Entah, apa cuma saya atau dialami oleh orang lain juga ya, tertidur saat matahari akan tenggelam dan bangun saat hari mulai malam, terdengar burung hantu suaranya.. (halaaah) itu rasanya nggak enak, macam depresi.

Saya memang masih mencoba trik mengembalikan waktu tidur saya, tapi saya belajar satu hal dari itu. Bahwa balas dendam macam apapun itu efeknya nggak enak. Saya sendiri bukan orang yang senang mendendam. Tidak melupakan apa yang pernah orang lakukan pada saya yang sifatnya negatif  sih iya, tapi kalau sampai kebayang-kebayang terus bahkan ingin melakukan sesuatu yang setimpal pada mereka, hmmm... sepertinya tidak (sepertinya lho...). Mungkin karena saya orangnya nggak mau ribet ya. Lha ya iyalah, nggak ribet apa mikirin enaknya orang yang udah nyakitin kita ini dibikin rujak atau dijadiin oseng-oseng padahal ngurusin hidup sekarang aja loncat sana sini? Pernah juga sih saya benci pada seseorang sampai bertahun-tahun, dan rasanya tidak enak. Sampai di satu titik, saya merasa harus melepaskan perasaan itu, saya merasa bebas.

Balas dendam itu butuh energi. Memikirkan strategi yang efektif untuk membalaskan dendam kita mungkin menyerap energi lebih banyak dibandingkan dengan saat mengeksekusinya. Hasilnya apa? Selain rasa puas kalau rencana kita berhasil, ya kita juga sudah menyalurkan energi dan mengisi waktu luang kita haha... Duh! Sama seperti urusan jam biologis itu, kalau saya teruskan keinginan mendendam badan saya, mungkin si mata merasa senang ya. Ooo... itu cuma sementara, jangan terperdaya nafsumu, duhai Mata... Gimana dengan pusing dan lemasnya? Badan saya sedang tidak sadar kalau kebiasaan barunya ini, dalam jangka panjang, justru bakal memberikan lebih banyak lagi kerugian bagi dirinya.

Jadi ingat saya pada episode Oprah dimana dia menceritakan kalau dia juga pernah membenci seseorang dalam waktu lama dan sosok orang itu terus membayanginya. Suatu saat, Oprah bertemu lagi dengan orang tersebut yang menyapanya dengan santai tanpa beban, dan pastinya itu bikin Oprah gondok. Iyalah, Oprah sudah meluangkan waktu dan pikirannya untuk membenci orang itu, eh si oknum boro-boro inget apa yang sudah dia lakukan, mikirin Oprah juga mungkin nggak! Tambah akutlah kekesalan Oprah. Tapi, Oprah belajar dari kejadian itu. Dia sadar, lha ya apa untungnya pikiran kita tersedot untuk seseorang yang bahkan sudah tidak punya pengaruhnya lagi pada kehidupan kita?

Well, tipe orang memang berbeda-beda. Kadang justru ada orang yang senang dengan kebiasaan memendam dan mendendam ini. Walaupun drama kehidupan bisa datang tanpa skenario dan sementara orang-orang tertentu menghindari drama ini, tapi bagi orang-orang tertentu, hidup rasanya hampa kalau nggak ada drama. Cocoklah buat yang punya banyak waktu luang. Sama seperti meluangkan waktu ngikutin sinetron sampai tamat. Padahal, Tersanjung atau Cinta Fitri saja sampai sekuel berapa tau.

baca selengkapnya

29 Januari 2013

Facebookan Sehat


Hari-hari (dan juga malam) bercinta dengan corel dan photoshop akhirnya menghasilkan anak juga. Empat anak dalam waktu berdekatan. Pekerjaan saya yang satu itu akhirnya selesai. Dengan deadline yang kemunculannya bak kuntilanak, menyita waktu saya beberapa hari ini, termasuk menenggelamkan ide-ide yang ingin saya tulis. Beberapa benar-benar tenggelam, tapi yang satu ini yang terus mondar-mandir di kepala saya.

Pemantiknya adalah gara-gara saya iseng ngasih komentar di status salah satu akun di jejaring sosial. Saya terima saja permintaan pertemanannya karena mutual friends-nya cukup banyak. Lagipula, nama yang dipakai di akun adalah nama perkumpulan atau organisasi, jadi saya confirm saja.

Nah, di hari Daming Sunusi harus mempertanggungjawabkan leluconnya saat dia diwawancarai sebagai calon hakim MA, yang sama sekali tidak lucu dan sangat melecehkan perempuan, beberapa orang langsung nulis status, ngetwit, ngeblog atau goblok-goblokin sang calon hakim lewat media lain. Termasuk akun tersebut. Statusnya berisi cacian pada sang calon hakim. Biasanya saya tidak ambil pusing orang mau bikin status atau ngetwit apa, toh itu akun mereka pribadi, dan kalau saya tidak suka, saya bisa hide. Jika sudah sangat mengganggu, bisa saya unfollow atau remove dari pertemanan. Yang jadi masalah buat saya adalah, akun tersebut tidak menunjukkan identitas pribadi si pemilik, tapi identitas kelompoknya, termasuk kelompok remaja yang tercantum di akhir nama akun tersebut. Saya khawatir saja kalau status tersebut tidak mewakili si kelompok, tapi hanya opini sang admin.

Saling komentar pun terjadi antara saya dan si admin akun tersebut (admin atau bukan, terserah, intinya ya orang yang memakai akun itu hehe...), termasuk temannya yang lain yang manas-manasi. Hahaha... sudah lewat masa-masa emosi saya mudah terpancing ya. Saya tanggapi santai saja. Semakin santai karena belakangan mereka tahu saya ternyata satu suku dengan mereka (agak sukuisme juga nih hehe...). Interaksi saya dengan si akun tersebut memang selesai dalam satu malam, tapi ternyata masih ada buntutnya. Seorang kawan yang saya temui esok harinya bilang kalau dia baru chatting dengan admin akun itu. Si admin bertanya tentang saya, dan kawan saya mengambil kesempatan itu untuk memberikan masukan tentang status-status akun tersebut yang ternyata memang sering kali lebih bersifat personal, tidak mewakili kelompok yang tertera sebagai nama akunnya. Tidak terima, si admin bilang ya itu hak nya dia mau pakai nama akun apa, nulis status apa. Toh tidak ada aturannya, katanya. Belakangan, nama akunnya diganti. Hmmm... Lagi, bukan sekali ini urusan etis tidak etis di dunia jejaring sosial jadi masalah.

Ya, berapa kali kita pernah kesal saat berseluncur di jejaring sosial? Berapa kali kita pernah bergumam dalam hati 'kok gitu sih?' saat melihat status atau postingan teman maya? Berapa orang yang pernah kita unfollow postingannya? Berapa orang yang pernah kita remove dari pertemanan? Atau bahkan, berapa orang yang pernah kita block? (yang terakhir sih saya belum pernah me- tapi sudah pernah di- hahaha..). Pengelola jejaring sosial macam Facebook atau Twitter, memang menuliskan (seringnya tidak kita baca), soal aturan atau etika berkomunikasi dalam situs mereka. Tidak spesifik memang, tapi bukan berarti kita bisa bebas-bebas saja melakukan apa yang tidak tercantum di sana. Masak iya Facebook mesti bikin poin: "Jangan menggunakan tulisan alay karena tidak ramah mata", atau "Jangan curhat terus karena teman-teman anda bosan lihatnya".

Sama saja sih seperti kita berinteraksi dengan orang di dunia nyata. Tidak ada kan aturan macam "Jangan bertanya sesuatu pada orang kalau anda tidak mendengarkan apa jawabannya",  "Jangan mengepulkan asap rokok anda ke depan muka orang lain", atau "Jangan kentut saat anda di kerumunan". Tapi kita tahu kalau kita 'melanggarnya' kita bisa bikin orang lain kesal, marah atau sedih dan ujung-ujungnya jadi bahan gosip. Etika ini soal kesepakatan mana yang baik atau tidak. Baik atau tidaknya ini memang bisa saja berbeda di setiap tempat dan waktu, tapi ada juga yang bersifat universal macam mengatakan maaf kalau kita berbuat salah dan mengucapkan terima kasih pada orang yang berbuat sesuatu untuk kita. Baik atau tidaknya ini bukan didasari motif apakah berdosa atau berpahala, mendatangkan profit atau membuat pailit, tapi lebih kepada bagaimana agar hubungan antar manusia bisa berjalan mulus.

Nah, soal etika berjejaring sosial ini, ada beberapa hal yang sering jadi bahan omongan teman-teman saya (baca: gosip) karena kebiasaan-kebiasaan orang di Facebook yang bikin gerah, 'zoooong', bahkan ada yang berujung konflik. Nah, kalau kita tidak ingin jadi bahan gosip tak sedap, mungkin poin-poin ini bisa membantu:


  • First of all, nama akun kita menggambarkan siapa kita. Memang tidak seratus persen sih. Banyak juga yang  nama akunnya ke-alay-alay-an (alias nama kelewat panjang tanpa spasi dengan ramuan ajaib antara huruf kapital, angka dan suasana hati), tapi statusnya mengkritisi kebijakan atau berfilosofi. Ada juga yang nama akunnya sangat resmi lengkap dengan gelar, statusnya curhat-curhatan. Nah, kalau kita memakai atau menyelipkan nama kelompok atau organisasi tertentu, orang lain otomatis akan melihat akun tersebut 'bernyawa' kelompok atau organisasi tersebut. Nanti kasusnya seperti contoh saya di atas. Kalau memang kita ingin lebih personal, ya pakai nama sendiri atau nama panggilan. Kalau memang harus mengurus akun kelompok atau organisasi, ya buat baru saja.
  • Kirim permintaan pertemanan pada orang yang kita kenal atau memang kita benar-benar ingin mengenalnya, bukan untuk mencapai target jumlah teman. Kalau yang kita kirim itu belum kenal dengan kita, kita bisa kirim pesan terlebih dulu 'kan? Semudah membuat teman, gampang juga untuk memutus pertemanan. Kalau kita terganggu dengan postingan-postingan teman kita, kenapa harus dilanjutkan pertemanannya? Tapi ya, kita juga mesti siap kalau ada orang yang melakukan hal yang sama pada kita.
  • Setiap orang punya kebiasaan sendiri-sendiri dalam nulis status. Ada yang nulis status seminggu sekali, setiap hari, ada juga yang tiap menit. Ada yang nulis tentang kondisi sosial yang dilihat, kasih tahu sedang ada di mana, dengan siapa dan berbuat apa, ada juga yang meluapkan ekspresinya: senang pas gajian atau sedih karena pacarnya nggak ada kabar, atau cuma colek teman-temannya. Sah-sah saja. Itu hak kita. Tapi ingat, teman-teman kita juga punya hak untuk tidak ketularan aura negatif yang kita pampang di status. Teman-teman kita juga seringnya tidak butuh tahu kita sedang apa, dimana dan apa yang sedang kita rasakan, apalagi kalau kita  sedang ada di kamar dan memandang bintang dari balik jendela. Kecuali kita selebritis dengan ribuan fans yang haus informasi detail tentang kita. Soal status yang melecehkan pihak tertentu, itu tidak hanya di Facebook kali ya ada kesepakatan bersama kalau hal itu tidak pantas.
  • Saya pernah kesal karena saat saya upload foto terus ada teman yang komentar, eh ada temannya ikut-ikutan menulis di kolom comment. Mending kalau isinya ikutan ngasih komentar foto saya, ini malah reunian. Tolong ya, bisa bikin lapak baru kan? Intinya, kalau mau komentar itu ya yang nyambung sama konteksnya, walaupun sering juga kita punya status apa, teman-teman kita komentarnya nggak nyambung, tapi toh masih bisa kita lacak atau paham dengan ketidaknyambungannya. Berantem dengan saling lempar komentar juga nggak jelas maksudnya apa. Kalau mau adu argumen personal, ya pakailah fasilitas chatting. Kecuali memang topiknya sengaja dilempar untuk jadi bahan diskusi rame-rame.
  • Meng-upload foto korban kecelakaan, bencana atau perang sama sekali tidak etis. Saya pernah nulis status tentang ini. Dan ini juga berlaku dalam dunia jurnalisme. Apa gunanya coba nunjukkin foto mayat berjejer atau anak yang berdarah-darah? Dan tak perlu sungkan bagi kita untuk melaporkan akun-akun yang kerap berbau SARA atau pornografi.
  • Beriklan lewat jejaring sosial memang diperbolehkan. Tapi men-tag semua teman di foto produk kita kadang bisa bikin teman kita sebal, belum lagi setelah itu komentar bermunculan. Notifikasi jadi kayak pasar malam, rame nggak jelas. Juga kalau kita mengundang mereka ke grup yang tidak ada hubungannya dengan mereka atau mengajak mereka untuk main games. Bikin sajalah page khusus untuk produk-produk kita, undang teman-teman tertentu saja ke dalam grup dan percayalah, kalau teman kita memang suka nge-game, nggak perlu diajak juga dia bisa main sendiri.

Jejaring sosial memang menawarkan banyak hal: komunikasi dengan orang dari tempat bermil-mil jauhnya dalam waktu hitungan detik, menemukan teman lama yang terpisahkan oleh jalan hidup dan memberi ruang untuk berkespresi. Tapi seringkali, kita lupa bahwa di balik foto profil, status dan kicauan adalah juga orang-orang seperti kita, yang bisa terusik dan mengernyitkan dahi karena sesuatu yang dianggap tidak pantas, tidak etis dan semacamnya.
baca selengkapnya

14 Januari 2013

Indoktrinasi

Beberapa hari lalu, saya bersama dua orang teman makan di restoran vegetarian. Bagi pecinta daging seperti saya, restoran tersebut cukup membawa angin surga karena kehadiran 'daging-dagingan' dari kedelai atau jamur, bisa membantu saya menyuapkan lebih banyak sayuran untuk tubuh saya.

Walaupun saya belum merasa pengen jadi seorang vegetarian (atau gak bakal pernah), saya mengagumi beberapa orang vegetarian, bahkan vegan, yang saya tahu. Entah mungkin memang bawaannya sudah seperti itu, atau karena bawaannya seperti itu yang membuat mereka memutuskan menjadi vegetarian atau vegan, atau memang benar teori yang mengatakan daging merah itu juga punya pengaruh besar pada emosi seseorang, saya menemukan orang-orang vegetarian dan vegan itu lebih tenang dan kalem (atau karena perbandingannya saya? Entah). Ya, konsep vegetarian dan vegan mau tak mau membawa saya pada pandangan terhadap agama tertentu yang salah satu ajarannya adalah berpantang makan daging dan melihat para pemuka agama tersebut tampak lebih tenang dan lebih halus dibandingkan pemuka agama lain.

Sayang, jembatan keledai yang sudah terbangun di otak saya soal vegetarian dan kedamaian runtuh saat saya makan di restoran tersebut dan menonton film dokumenter (atau propaganda?) yang setiap saat diputar di sana. Sebelum-sebelumnya saya tidak pernah terlalu memperhatikan video tersebut. Tapi, terakhir saya ke sana, saya menyimak cukup lama dan sampailah pada satu tayangan dimana ada seorang perempuan yang menjadi Supreme Master dari entah ajaran apa yang sedang memberikan wejangan. Caranya dia berceramah memang menarik, tenang tapi tegas. Namun ada satu hal yang mengganggu pikiran saya. Yaitu saat dia menceritakan kisah jaman dulu dimana (katanya) Tuhan pernah memberikan hukuman bagi orang-orang yang memakan daging dengan cara menjatuhkan daging-daging dari langit kepada orang-orang tersebut! Maka, terkutuklah saya!

Kenapa pikiran saya terganggu oleh cerita si Supreme Master? Apa karena posisi saya sebagai omnivor? Bukan. Bukan tentang itu. Toh saya fine-fine saja dengan para herbivor. Saya terusik dengan caranya menyampaikan pesan dan mengajak pendengar untuk tidak makan daging. Terlalu... mengindoktrinasi. Lucunya, dua hari setelah itu, saat saya pindah-pindah channel TV, saya berhenti pada satu acara FTV yang menampilkan sekelompok laki-laki yang sedang mendengarkan ceramah yang berapi-api dari seseorang, kira-kira begini isinya:

"...kita jangan sampai terpengaruh oleh doktrin-doktrin karena bla bla..."

Untung itu cuma film. Kalau nyata, mungkin orang-orang yang mendengarkan itu langsung bubar jalan sambil bilang, "Ok, fine, saya pergi saja kalau begitu!" Lha yang dilakukan si penceramah bukannya juga indoktrinasi?

Doktrin. Dalam KBBI artinya adalah ajaran tentang asas suatu aliran politik atau agama. Terdengar netral. Awalnya saya pikir kalau diubah menjadi kata kerja cukup ditambahkan awalan me- jadi mendoktrin, tapi karena kata ini serapan dari bahasa asing, kata kerjanya diambil dari kata benda lain yang masih satu akar, indoktrinasi, jadilah mengindoktrinasi. (Lalu kenapa saya mengindoktrinasi dengan asas bahasa ini hahaha... belajar bersama lah ya). Indoktrinasi sendiri diartikan sebagai 'pemberian ajaran secara mendalam (tanpa kritik) atau penggemblengan mengenai suatu paham atau doktrin tertentu dengan melihat suatu kebenaran dari arah tertentu saja'.

Urusan doktrin indoktrinasi ini bikin saya gerah. Sesuatu yang tidak saya sukai. Ow ow... tidak berkaca, Mas? Ya, saya ngakulah. Selain pernah diindoktrinasi pastinya (siapa manusia yang tidak pernah), saya juga pernah mengindoktrinasi nilai-nilai yang saya anggap ideal. Orang yang berlawanan pahamnya dengan saya, tidak saya anggap teman apalagi karib. Nah, apa bedanya dengan fundamentalis yang identik bersenjatakan doktrin?

Saya pernah berbincang dengan seorang teman yang dulu sama-sama tumbuh di sebuah organisasi. Setelah lepas dari organisasi tersebut, dengan cara berbeda (ia kemudian semakin larut dalam dunia akademisi, namun tetap bergelut dalam bidang sosial), kami sampai di satu titik kesadaran bahwa fundamentalis tidak hanya monopoli orang-orang berjubah agama atau berjas politik. Fundamentalis juga sedang akan, atau mungkin sudah, tumbuh dalam gerakan-gerakan sosial yang ironisnya sering berteriak soal kesetaraan, penghargaan atas keberagaman dan semacamnya. Pendidikan orang dewasa, pendidikan kritis, pendidikan partisipatif kemudian hanya menjadi buih. Entah karena alasan target atau kejemuan, indoktrinasi menjadi alat yang dianggap efektif untuk mempercepat perubahan. Kenyataan ini membuat saya dan teman saya pusing sendiri.

Sebagai manusia, kita memang dituntut untuk berada pada satu sisi saja. Berpihak. Berada di tengah-tengah bisa dianggap gak jelas, lemah, klemak-klemek. Kenyataan bahwa lebih banyak orang yang berdiri di tengah, bahwa kebenaran itu relatif, dihiraukan begitu saja. Biseksualitas adalah contoh dari bagaimana wilayah abu-abu tersebut lebih sering dilihat sebelah mata. Agnostisisme adalah contoh dari bagaimana area semu tersebut lebih sering dianggap tak berpendirian, bukan sebagai pilihan.

Well, memang tidak ada salahnya, bahkan diyakini oleh sebagian orang bahwa ini adalah keharusan, untuk menyiarkan kebenaran. Tapi indoktrinasi, menurut saya, bukan hal yang bijak untuk dilakukan, apalagi dengan cara ditakut-takuti macam hujan daging itu. Indoktrinasi seolah-olah menganggap otak manusia hanyalah gelas-gelas kosong yang harus terus diisi. Mengenyahkan kenyataan bahwa manusia punya potensi, untuk berpikir dan berproses.

Kenapa minggu-minggu begini saya jadi sok serius ya? Ah, sudahlah... Selamat menyambut Senin!

baca selengkapnya

7 Januari 2013

Belajar dari Mami

Masih berhubungan dengan urusan proyek buku gotong royong, kemarin sore saya mendapatkan SMS dari seseorang yang ingin ikut dalam proyek tersebut dan tulisannya sudah selesai. Sayangnya, dia sedang bermasalah dengan akun email dan facebook, mungkin kena hack atau semacamnya, yang tidak memungkinkan baginya untuk mengirim tulisan via internet. Beruntung, sang penulisa berdomisili di Jogja. Maka saya katakan kalau saya akan menjemput tulisannya langsung dari tangan empunya.

Jam setengah dua belas, meluncurlah saya menuju daerah Gowongan, tempat dia tinggal merangkap dimana dia menjalankan organisasi yang dia pimpin. Organisasi yang beranggotakan teman-teman waria di Jogja. Dia sendiri adalah waria yang dianggap senior di kota ini. Dulu kami bekerja di organisasi yang sama. Mungkin sudah hampir setahun saya tidak bertemu dengannya. Saya memanggilnya Mami.

Sampai di rumah yang saya tuju, saya parkir sepeda saya dan melenggang masuk ke ruang tamu yang pintunya selalu terbuka. Sekelebat saya lihat Mami, masih dengan dasternya, menuju area belakang rumah. Saya hendak memanggilnya ketika saya sadar ada seseorang yang sedang tidur-tiduran di sofa sederhana yang ada di ruang tamu. Mendengar kedatangan saya, orang tersebut bangkit, namun dengan tatapan kosong. Saya segera mengenali siapa orang tersebut.

"Hey, ini Galink! Apa kabar?" sapa saya sambil menepuk pundaknya. Ya, saya tahu teman saya tersebut sudah hilang penglihatannya karena suatu penyakit. Dan pertanyaan saya soal kabar, tidak hanya basa-basi. Sudah lama saya mendengar kalau dia sakit dan karena beberapa alasan, akhirnya dia tinggal di tempat ini, di rumah Mami. Saya mengenalnya sebelum dia sakit. Dan hari ini saat saya melihatnya, kecuali penglihatannya yang hilang, di mata saya dia terlihat lebih bugar.

"Oh kamu ya! Kok ada di Jogja?" katanya ramah. Kami pun berbincang-bincang singkat, sebelum terpotong oleh kedatangan Mami yang langsung menyambut saya dan nyerocos soal tulisan dan kesulitannya untuk mengirim tulisan tersebut. Saya dan Mami lalu masuk ke ruang kerjanya, mengambil file yang tersimpan di komputer.

Selesai dengan urusan tulisan, saya pun mengobrol dengan Mami. Menanyakan kabar beberapa teman yang saya kenal di sana. Sambil berbisik, saya juga menanyakan kabar teman saya yang sakit itu. Mami menjawab dengan bisikan juga, sambil tersenyum penuh keibuan,

"Ya, Mami yang merawatnya sekarang..."

Ah, saya serasa ditampar. Apalagi setelah saya kemudian membuka dan membaca file tulisan Mami. Tulisan sederhana namun membuat diri saya malu. Malu karena saya tidak bisa melakukan apa yang sudah Mami lakukan.

Mami dikenal sebagai ibunya anak-anak jalanan. Mereka memanggilnya simbok. Dulu saat saya masih satu kantor dengan Mami, beberapa anak jalanan yang masih kecil sering ikut dengannya ke kantor. Satu orang yang kemudian cukup dekat dengan saya, tapi sudah bertahun-tahun tak nampak lagi batang hidungnya. Teman-teman kantor saya bilang anak itu adik saya, karena selain kedekatan, katanya wajah kami mirip hahaha... Tapi kedekatan saya dengan si anak jalanan hanya di kantor saja, teman becanda dan teman ribut. Jauh sekali berbeda dengan kedekatan yang dimiliki Mami terhadap anak-anak jalanan.

Hidup sebagai waria bukan perkara mudah. Tahu sendiri bagaimana masyarakat melihat keberadaan mereka. Meskipun bukan satu-satunya, Mami adalah waria yang tidak hanya mampu melewati pandangan-pandangan miring tentangnya, tapi juga melakukan sesuatu untuk komunitas lain yang juga termarjinalkan. Setelah membangun organisasinya kini, interaksi Mami dengan anak-anak jalanan memang tidak seintens dulu. Tapi sekarang dia menjadi pendamping bagi orang-orang yang HIV positif. Terkutuklah orang-orang yang sering menghina waria tapi mereka sendiri tidak melakukan apapun untuk orang di sekitarnya.

Kalau saya termasuk yang dikutuk, mungkin cuma kena separuhnya. Menghina waria bagi saya adalah menghina martabat saya sendiri sebagai manusia. Tapi saya juga merasa belum melakukan banyak hal untuk orang lain. Lebih seringnya saya sibuk ngurusin diri sendiri. Boro-boro mau dengerin orang lain yang sebenarnya sedang butuh didengarkan. Giliran saya punya masalah, pusing sendiri. Berasa cuma saya yang sedang punya masalah. Menjadi pendamping bagi orang yang HIV positif atau orang yang memiliki penyakit adalah hal yang saya tidak bisa membayangkan saya akan mampu melakukannya. Saya tidak punya cukup kesabaran. Saya tidak punya ketelatenan. Apalagi ngomongin keikhlasan. Ah, mungkin benar kata salah seorang teman yang mengingatkan saya untuk lebih mendarat lagi di bumi. 
baca selengkapnya

Kehidupan Jalanan: Karena Dunia Tak Sepenuhnya Terbuka untuk Kita

Minggu. Saya bangun telat sekali. Bukan karena efek begadang, tapi salahkan cuaca Jogja yang akhir-akhir ini sangat mendukung untuk bermalas-malasan, termasuk tidur banyak hehehe... Sialnya, begitu bangun, listrik di kost saya mati. Meskipun baterai laptop saya penuh, saya adalah pengguna laptop yang tidak tahu diri. Maksudnya, saya tidak mau keasyikan saya di depan laptop harus terganggu baterai yang habis tanpa tahu kapan bisa diisi ulang. Tidak mau mati gaya, akhirnya saya putuskan keluar dengan niat hunting foto. Wah, tumben-tumbenan... 

Mendung sudah menggelayut di langit Jogja, tapi tidak menghentikan niat saya meskipun mantel hujan tertinggal menggantung di kawat jemuran. Sebenarnya sudah lama saya ingin mengambil beberapa foto sudut-sudut kota Jogja yang dipenuhi karya pekerja seni jalanan: mural, grafiti atau apapun namanya. Beberapa pernah saya ambil pas jalan dan pas bawa kamera, tak pernah sengaja. Kali ini tidak.

Dari kos saya di daerah Samirono Baru menuju Tugu tidak banyak 'pemandangan' menarik. Tujuan saya adalah depan Stasiun Tugu. Di seng-seng yang menutupi bangunan yang sedang direnovasi, ada poster yang menarik saya. Tapi sebelum sampai di tujuan, mata saya terhenti pada deretan seng lain yang berjajar hampir 20 meter di Jalan Mangkubumi, tepat setelah gedung salah satu provider seluler. Ini yang saya temukan:




Hanya butuh beberapa kayuhan sepeda untuk sampai ke tujuan saya. Beruntung, poster itu masih ada. Poster sederhana berbunyi "Butuh Badut Lucu? Hubungi Senayan", bagi saya benar-benar lucu. Satir yang tidak bertele-tele dan tepat sasaran hehehe... Kita semua tahu apa maksudnya, 'kan?



Di kanan kirinya ada juga seni visual jalanan lain, yang, terus terang, agak sulit saya pahami apa maksudnya. Bekas tempelan poster-poster lain yang saya duga poster iklan produk atau promo acara yang disponsori produk ditutupi oleh karya-karya dengan warna kontras. Beberapa memanfaatkan ruang yang masih kosong.


 

Saya lalu bergerak menuju Jalan Abu Bakar Ali dan menemukan satu mural yang luar biasa. Wajah seorang pemikir hebat yang menemukan rumus E=mc². Ya, saya melihat Einstein terpampang dengan ukuran yang cukup besar dan matanya menatap langsung pada kereta-kereta yang akan segera tiba ke dan baru saja berangkat dari Stasiun Tugu.


Tak berlama-lama, karena sudah mulai gerimis, saya segera beranjak menuju Jembatan Abu Bakar Ali dengan suasana baru. Baru sekitar satu bulanan ada tambahan jembatan di titik ini lengkap dengan lampu bangjo yang membuat pengendara dari Jalan Mangkubumi tidak bisa langsung berbelok ke kanan jika ingin ke Malioboro, tapi harus melewati jembatan baru terlebih dulu. Rel kereta api masih tetap di jalurnya, melintang di atas jembatan tersebut.


Tiang penyangga jembatan kereta tersebut juga tidak luput dari sapuan para pekerja seni. Sayang, yang satu ini ada sponsornya. Selain ada logo sang sponsor, warna yang digunakan pun langsung mengingatkan kita pada produk mereka. Saya baru ngeh kalau di samping jembatan baru ada tangga menurun, menuju bantaran Kali Code. Saat itu saya akan mengambil foto  yang berada di dinding dalam ini:


Hujan pun turun. Naluri untuk menyelamatkan diri agar tetap kering dan rasa penasaran, membawa saya menuruni tangga di samping jembatan. Di ujung tangga, ada pagar besi berwarna biru yang menghubungkan pada satu ruangan lapang tepat di bawah jembatan, dengan paving block dan empat deret papan kaca untuk menempel koran. Hmmm... Ini bukan hanya sekedar kolong jembatan. Sekitar empat orang sudah ada di sana, disusul empat orang lainnya yang datang dengan tujuan sama dengan saya, berlindung dari hujan. Seorang laki-laki yang sudah berada di sana sebelum saya, mendekat,

"Mas Angga?"

Saya yang dipanggil kebingungan.

"Ah, pasti nggak ingat aku...," kata si penyapa, membaca raut wajah saya. Kebingungan saya dobel. Pertama, bingung karena dipanggil Angga. Kedua, bingung mengingat-ingat nama si penyapa. Maafkan memori otak saya yang cekak. Saya lebih mudah menghafal wajah daripada nama orang. Saya ingat kalau beberapa kali pernah berjumpa dengannya. Saya juga ingat dia adalah remaja jalanan yang ngamen di Abu Bakar Ali ini. Saya jujur saja,

"Wah, maaf, aku lali tenan jenengmu...," sambil melayangkan senjata maut, senyum penuh rasa bersalah, dan mengulurkan tangan mengajak berjabat tangan.

Beruntung si penyapa lalu menyebut namanya. Sambil menunggu hujan, kami lantas mengobrol. Tentang kondisi teman-teman remaja jalanan di sana, tentang organisasi yang dulu dia pernah bergabung, tentang orang-orang di dalamnya, tentang kawan-kawan saya di LSM yang bekerja bersama teman-teman remaja jalanan di daerah tersebut. Saya memang bukan orang lapangan (karena itu wajar juga kalau dia tidak begitu hafal nama saya), tapi beberapa kegiatan memungkinkan saya untuk berinteraksi dengan teman-teman komunitas, termasuk komunitas remaja jalanan.

Jalanan. Yang saya tahu itu adalah daerah yang keras. Sekeras aspal dan kerikil. Saya yang dulu anak rumahan (emang sekarang nggak?) hampir tidak pernah bersentuhan langsung dengan orang-orang yang mengais rupiah di jalanan, bahkan menjadikan jalanan sebagai rumah bagi mereka. Bagi saya dulu, 'hidup kok di jalan?', termasuk dalam memandang seni jalanan, masih berpikir, 'ngotor-ngotori saja!' Sekarang saya berubah. Persentuhan saya dengan remaja jalanan, walaupun tidak intens, membuat saya lebih bisa menghargai pilihan hidup mereka. Membuat saya beranggapan bahwa setiap manusia punya caranya masing-masing untuk mengekspresikan diri, termasuk para pekerja seni jalanan, pengamen atau pekerja seni mural dan grafiti. 

Di jalanan, kita bisa mengekspresikan apapun, termasuk kekecewaan kita pada sistem yang tidak berpihak pada yang dilemahkan. 


Di jalanan, kita bisa bebas mengutarakan ideologi kita.

Di jalanan, ekspresi tidak dibatasi oleh banyaknya penggemar atau siapa produsernya. Jalanan adalah milik semua orang.

 

Dan, seperti poster sederhana di bawah ini, dunia tak sepenuhnya terbuka untuk kita. Jalanan seringkali menawarkan solusi untuk itu.













baca selengkapnya

6 Januari 2013

Saya Si Manusia-Sentris


Alkisah saya akan pergi sarapan tadi pagi. Ya tumben-tumbenan saya sarapan. Baru beberapa kayuhan sepeda, saya berjumpa dengan seekor pacet alias lintah darat. Kami pun berpelukan melepas rindu. Lho? Tidak... Tidak seperti itu. Pacet sebesar ibu jari anak kecil itu hampir saya gilas. Untung saja, kulit hitamnya yang mengkilat cukup kontras dengan kerikil abu-abu di jalan depan rumah.

Saya lalu teringat dengan novel yang sedang saya baca, Buddha, karya Deepak Chopra. Dalam buku tersebut, Suddodhana, ayah Siddharta, menjalani terapi yang dianggap baru pada masa itu, yaitu terapi dengan menempelkan lintah pada beberapa titik tubuh manusia dan membiarkan binatang tersebut menghisap darah, sekaligus racun-racun yang mengganggu tubuh. Suddodhana yang seorang raja pun merasa jijik, walaupun tetap menyerahkan tubuhnya, ditempeli beberapa ekor lintah. Apalagi saya! (parno saya muncul, jangan-jangan saya sempat menggilas pacet di jalan itu, nempel di roda sepeda saya dan terpental ke tubuh saya. Hiiiiy!)

Pacet dan lintah tersebut membuat saya tak henti berpikir selama saya mengayuh sepeda. Untung saja, saat bubur ayam terhidang di hadapan saya, bayangan lintah dan pacet sudah hilang. Apa yang saya pikirkan? Awalnya, saya berpikir bahwa binatang kecil yang bentuknya saja sudah bisa membuat bulu kuduk berdiri dan warnanya yang sama sekali tidak menarik, ternyata masih ada gunanya untuk manusia. Ya itu, untuk terapi tadi. Lalu saya berpikir, apa semua binatang itu ada gunanya ya buat manusia? Seketika saya ingat dua serangga yang sangat tidak saya sukai: kecoa dan nyamuk. Apa coba gunanya buat manusia? Nggak ada mereka juga kita nggak rugi! Kayaknya cuma para pengusaha obat anti nyamuk dan kecoa saja yang diuntungkan. Tapi, keyakinan saya yang lain mengingatkan saya bahwa segala sesuatu yang ada di dunia ini pasti ada gunanya.

Bertekadlah saya untuk berkonsultasi dengan Mbah Google. Walaupun pada akhirnya, untuk keperluan tulisan ini, saya tetap searching juga dan menemukan ternyata kecoa juga bermanfaat bagi kehidupan manusia (silakan search sendiri deh), saya sebelumnya tersadarkan akan satu hal. Saat saya berpikir, 'Oh, lintah dan pacet juga ada gunanya ya buat manusia!' kemudian bertanya, 'Lalu apa ya gunanya nyamuk dan kecoa bagi manusia?', saya sadar bahwa saya sedang menjadi makhluk yang sangat egois. Mengapa semua saya ukur dengan ada atau tidaknya manfaat bagi saya, bagian dari spesies bernama manusia? Manusia-sentris sekali saya ini!

Saya melupakan satu hal. Spesies saya hanyalah satu dari ribuan spesies lain yang berbagi ruang di planet ini. Spesies saya hanya diuntungkan oleh dua hal, kecerdasan dan ambisi, yang membawa kami menjadi makhluk dominan di antara makhluk lainnya. Lantas semuanya dilihat sebagai mana yang bisa mendukung keberlangsungan eksistensi kami dan mana yang tidak, tanpa menghiraukan bahwa makhluk-makhluk lain pun memiliki kebutuhan yang sama, untuk tetap eksis. Karena itu mereka juga, seperti kita, punya sistem reproduksi dan mekanisme untuk menarik pasangan lawan jenis agar bisa meneruskan keturunan. Mereka juga, seperti kita, punya kebutuhan untuk mendapatkan makanan dan hidup tenang, jauh dari hal-hal yang bisa menganggu keselamatannya.

Bedanya, penting bagi kami mana makanan yang bisa dikonsumsi dan mana yang tidak, bukan hanya karena tubuh kami begitu lemahnya, tapi juga karena soal tradisi kami membolehkannya atau tidak dan cukup atau tidaknya uang kami. Untuk urusan beranak pinak juga kami berbeda, karena melibatkan pandangan orang-orang terdekat dan budaya.

Kembali ke soal nyamuk dan kecoa. Jentik-jentik nyamuk adalah makanan bagi beberapa spesies lain, termasuk beberapa tumbuhan. Nyamuk dewasa adalah santapan yang lezat bagi cicak dan beberapa reptil lainnya. Jadi itu gunanya? Menjadi bagian dari rantai makanan? Ya. Mungkin ada, tapi saya sendiri merasa tidak perlu ribet-ribet cari guna lainnya yang lebih njlimet seperti apakah jentik nyamuk memiliki senyawa kimia yang bisa menetralisir karbondioksida dan sebagainya hehe... Kita juga memelihara ratusan ayam dan sapi untuk kemudian berakhir di atas piring tanpa memikirkan lagi apa ayam dan sapi itu punya manfaat lain selain diambil bagian-bagian tubuhnya? Karena posisi manusia yang mendominasi sajalah yang menempatkan dirinya sendiri di atas puncak rantai makanan. Coba saja taruh manusia di hutan belantara, siapa yang akan berada di puncaknya nanti? Hehehe...

Keegoisan saya sebagai manusia yang hanya mengukur ada tidaknya manfaat makhluk lain bagi keberlangsungan hidup spesies saya menjadi berlipat-lipat karena saya sendiri tidak berkaca. Jika pacet, lintah, nyamuk dan kecoa mendatangkan manfaat bagi makhluk-makhluk lain, termasuk manusia, sudah sejauh mana ya manusia juga bermanfaat bagi kehidupan makhluk-makhluk lainnya? Apakah yang saya lakukan sudah memberi manfaat atau justru seringnya menggiring makhluk-makhluk lain menuju kepunahan? Let's think about it! And act soon...





baca selengkapnya

4 Januari 2013

Saat Ngangkang Jadi Urusan Negara

Ada berita yang sedang mengusik kuping saya belakangan ini. Datangnya dari bumi kita tercinta, dari sebuah kota di provinsi paling barat Indonesia, Nanggroe Aceh Darussalam. Di Kota Lhokseumawe, sang walikota dengan dukungan DPRD, mengeluarkan surat edaran yang menghimbau perempuan untuk duduk tidak mengangkang saat dibonceng di atas sepeda motor. Rencananya, himbauan ini akan  dibakukan menjadi aturan walikota dalam sebulan ke depan. Alasan dari munculnya surat edaran ini adalah, katanya, untuk melindungi perempuan. Perempuan yang duduk mengangkang saat dibonceng dianggap dapat memprovokasi syahwat para laki-laki heteroseksual. Juga alasan kalau duduk mengangkang itu sangat tidak perempuan dan bukan budaya Aceh.

Sejenak kita pindah channel ke India. Di sana sedang marak dengan kasus perkosaan dan penganiayaan terhadap seorang mahasiswi yang dilakukan oleh sekelompok laki-laki yang berakhir pada meninggalnya sang mahasiswi akibat luka serius. Kasus ini telah memicu gelombang protes besar-besaran di India, bahkan asosiasi pengacara di negara tersebut menyatakan tidak akan membela enam orang pelaku yang sudah ditangkap oleh polisi setempat.

Sasaran dari aksi demonstrasi di Negeri Bollywood tersebut adalah sikap pemerintah lewat tangan kepolisian yang dianggap sering mengabaikan para korban. Mereka menuntut pemerintah lebih serius menangani kasus-kasus perkosaan dan kekerasan terhadap perempuan. Perlindungan terhadap perempuan adalah hal yang sangat mendesak.

Walikota Lhokseumawe mungkin tersenyum-senyum bangga karena merasa dirinya sudah mengeluarkan edaran yang berusaha melindungi perempuan di kotanya. Aturan berpakaian tertutup sudah diterapkan di provinsi yang memberlakukan syariat Islam, pasti termasuk juga Kota Lhokseumawe di dalamnya. Sekarang ditambah lagi dengan aturan dilarang mengangkang saat dibonceng motor. Ckckck... Pak Walikota dan Pak Marzuki Ali yang dulu komentar soal rok mini ternyata selain sama-sama pejabat, juga masih cetek dalam melihat isu seperti ini.

Coba kita kembali terbang ke Hindustan, kita bisa melihat bagaimana masyarakat di sana sudah mulai terbuka cara berpikirnya. Bahwa kasus perkosaan, dan kekerasan terhadap perempuan lainnya, tidak datang dari bagaimana perempuan-perempuan ini bersikap atau berpakaian. Tidak. Toh, banyak kasus perkosaan yang menimpa perempuan berpakaian sangat tertutup. Banyak kasus perkosaan yang dilakukan oleh orang-orang yang dikenal. Jadi, aturan macam 'tutup seluruh badan kecuali muka' dan 'bonceng motor duduk nyamping ya' itu nggak akan ngaruh untuk nasib perempuan selama otak laki-laki heteroseksnya nggak dicuci bersih.

Niat Pak Walikota mungkin mulia ya. Cuma agak keliru saja. Beribu maaf kalau saya bilang agama yang dinarasikan seperti sekarang ini tidak berhasil membawa manusia menuju kehidupan yang lebih baik. Jadi lain mungkin kondisinya jika agama yang seringkali dibawa-bawa Pak Walikota dan jajarannya tersebut, ditelaah lebih dalam, kenapa aturan-aturan lawas yang katanya melindungi perempuan itu ada, tidakkah aturan-aturan itu bersifat afirmatif untuk kondisi di masa dulu? Relevankah diterapkan di masa kini? Ups! Ngerti apa saya soal agama. Stop ngomongin agama deh.

Kekeliruan cara pikir itu tampak dari perkara bagaimana per-ngaceng-an para laki-laki dilihat. Apakah ngacengnya laki-laki heteroseks itu karena hanya melihat perempuan berposisi tertentu, seperti mengangkang? Atau karena perempuan berpakaian mini? Oke, memang betul, dorongan seksual bisa muncul karena adanya rangsangan dari luar. Tapi ya kalo setiap ngaceng terus bawaannya harus disalurkan tanpa pandang siapa, kapan dan dimana, nggak malu masih mengaku sebagai makhluk dengan tingkat kecerdasan paling tinggi di muka bumi? Tidak bisa mengelola dorongan seksual? Makanya, belajar pendidikan seks donk!

Lalu soal mengangkangnya. Jika ya memang duduk mengangkang perempuan yang dibonceng di atas motor itu dapat mengundang hasrat seksual laki-laki heteroseksual yang melihatnya, apakah tidak berlaku bagi perempuan yang duduk mengangkang yang mengemudikan motor, atau duduk mengangkang karena alasan lain, naik kuda? Beda ngangkangnya itu dimana? Perempuan yang duduk menyamping juga bisa saja dianggap menggoda bagi beberapa laki-laki heteroseks yang lebih senang melihat perempuan feminin. Makin feminin perempuan, makin bernafsu laki-laki. Matilah aturan itu.

Kekeliruan lainnya adalah soal keselamatan perempuan. Untuk hal ini, YLKI angkat bicara. beritanya bisa disimak di sini. Intinya, dibonceng menyamping itu tidak aman bagi keselamatan saat berkendara. Menariknya, Malaysia yang juga menerapkan syariat Islam, justru mewajibkan duduk mengangkang saat dibonceng. Alasannya ya keselamatan itu tadi. Ya iyalah, ngapain nyelametin laki-laki dari godaan syahwat kalau keselamatan perempuan menjadi taruhannya? 

Yuk, ibu bapak pejabat, coba cermati lagi sebelum bikin surat edaran atau bikin aturan a-i-u-e-o, apakah niat baik kita akan berdampak baik bagi orang-orang yang dikenai aturan tersebut atau tidak? Apakah sudah menyentuh akar permasalahannya? Mirip-miriplah seperti berita-berita di televisi yang menayangkan kasus-kasus perkosaan kemudian ditutup dengan saran kepada para perempuan untuk lebih menjaga diri, lengkap dengah tips ini itu. Bukannya meminta para laki-laki untuk menghentikan aksi umbar syahwatnya, bisa juga lho dikasih tips.

Mengutip slogan yang sering digaungkan para feminis di penjuru dunia terhadap kekeliruan kebijakan macam ini:








baca selengkapnya

3 Januari 2013

Saya Harus Nulis

Gara-gara ikut workshop tulis menulis, saya kembali buka blog yang sudah cukup lama tak tersentuh ini (oh, maafkan saya, galinkholic, lebih sering menelantarkanmu!). Pasalnya, di workshop itu, juga di workshop yang sebelumnya pernah saya ikuti, wejangan dari para narasumber selalu sama: menulislah setiap hari dan jadikan itu kebutuhan! Bah, ngurusi kebutuhan yang lain saja masih keteteran hehehe... Ujung-ujungnya saya curhat di Facebook seperti ini:


           'lima ratus kata sehari buat situ sih gampang, situ kan penulis.
           buat saya bisa update status aja udah syukur'


Ya, itu excuse saya. Berdalih sok sibuk lah, mentok ide lah. Padahal, para narasumber, lagi, mengingatkan bahwa ide tulisan itu bisa didapatkan dari hal-hal sederhana dari kehidupan kita sehari-hari. Bahwa tidak perlulah menulis berurai kata-kata puitis, bolak-balik irama dan semacamnya. Nulis ya nulis saja. Bah!

Baiklah, beruntung sekali dapat momen tahun baru yang identik dengan resolusi. Padahal saya lebih kenal resolusi dalam bentuk pixel. Tahun baru ini memang tidak saya sambut dengan resolusi. Percuma buat saya yang moody dan kepengenannya seabrek tapi nggak ngukur diri. Nah, tapi... gara-gara urusan tulis menulis ini, dapat juga saya satu resolusi: menulis. Nggak usah muluk-muluk jadi buku atau naskah FTV. Cukup di blog ini saja dulu. Tidak harus juga lima ratus kata, yang penting bisa nulis setiap hari. Sanggupkah saya?  Sanggup! (siap-siap aja besok nemu satu postingan yang isinya cuma tiga baris kalimat hehehe...)

Omong-omong soal tulis menulis, saat ini sebenarnya saya sedang disibukkan dengan urusan menulis juga. Gotong royong dengan beberapa teman. Teman? Hmmm... Ya, beberapa saya kenal, beberapa saya cuma tahu namanya, beberapa saya baru kenal setelah ada proyek ini. Singkat cerita, gara-gara lempar-lemparan komentar di status seorang kawan, saya dapat ide buat bikin buku tentang pengalaman orang-orang yang pernah aktif di organisasi yang saya juga pernah bekerja di dalamnya. Satu budaya yang saya lupakan di organisasi tersebut adalah: 'kau yang beride, kau yang tanggung jawab!' Hahaha... Jadilah saya menumbalkan diri untuk proyek ini. Terima kasih untuk para kawan yang jadi teman diskusi konsep. Tanpa kalian apalah artinya saya. Halaaah...

Pengantar editor sudah selesai saya susun. Dan dengan sangat menyesal, ada beberapa bagian yang tidak jadi saya muat karena isinya lebih banyak soal curhatan saya. Jadi, galinkholic, terima kasih sudah akan (kembali) menjadi tong sampah saya kali ini. Nah, ceritanya, organisasi saya sudah berhasil membuka tidak cuma wawasan tapi juga perspektif dan sikap ratusan anak muda di Yogyakarta dalam kurun waktu hampir dua puluh tahun. Bayangkan bagaimana saya harus mengontak orang-orang yang kini tersebar tidak hanya di seantero Nusantara tapi juga sampai ada yang nyangkut di benua lain! Stop. Tidak harus membayangkan saya gedor-gedor pintu atau kirim ratusan surat kepada mereka. Kali ini saya berterima kasih kepada Facebook. Ya, cukup posting satu kali di group, responpun berbanjiran.

Banjir respon tidak berarti banjir tindak lanjut. Memang ada yang betulan mengirim tulisan di detik-detik akhir deadline. Tapi ada yang pelan-pelan hilang setelah heboh komentar pengen ikut nulis. Yang nge-like tidak saya hitung. Masa tenggat bahkan sampai harus saya perpanjang tiga kali. Formalnya. Informalnya, entah. Awalnya, saya merencanakan buku tersebut bisa terbit bersamaan dengan ulang tahun organisasi di penghujung tahun. Tapi ya, manusia berkehendak, manusia lain juga punya kehendak. Target saya tidak berhasil. Sampai menjelang akhir tahun, saya hanya berhasil mengumpulkan dua belas tulisan. Akhirnya, atas saran dari kawan saya yang paling setia menjadi tandem diskusi sekaligus konsultan saya untuk proyek ini, saya cetak saja tulisan yang sudah ada, dijadikan dua eksemplar buku dan menjadi kado pada perayaan ulang tahun organisasi. Sayang, di saat bersamaan, saya harus ke luar kota. Jadilah sang kawan merangkap konsultan saya itu yang menyerahkannya kepada para pimpinan organisasi, sekaligus membacakan kata pengantar yang ditulis oleh pengurus di level nasional. Katanya, katanya nih, adegan pembacaan dan penyerahan ini sampai menguras air mata para pimpinan. Wah!

Setelah itu (itu artinya minggu ini), beberapa orang lain menyusulkan tulisan-tulisan mereka. Tidak. Saya tidak mutung. Saya justru semakin bersemangat. Semangat itu saya coba tularkan ke teman-teman saya. Ada yang sudah menulis tapi tidak pede mengirimkannya, saya katakan saya akan bantu mempercantik. Ada yang tulisannya seiprit-seiprit, saya kasih beberapa masukan pemancing ide. Ada yang tulisannya amburadul, saya ngamuk-ngamuk hehehe... Nggaklah, saya minum kopi banyak-banyak biar tahan. Ada juga yang ngaku nggak bisa nulis tapi pengen berkontribusi dan saya yakin dia punya cerita yang menarik, saya sampai bela-belain akan lebih intens mengawalnya (eh? bodyguard?).

Proyek ini membawa banyak pelajaran bagi saya pribadi. Membaca setiap kisah mereka membuat saya merasa sangat sangat sangat (sengaja saya ulang tiga kali biar mantap, bukan typo) beruntung telah menjadi bagian dari organisasi tersebut. Komitmen dan transferan energi teman-teman saya luar biasa, menggiring ide kecil yang sederhana menjadi sebuah karya besar. Kesabaran saya juga diuji dalam mengerjakan proyek ini. Salah satu teman saya bilang saya cocok jadi debt collector karena 'kegigihan' saya nagih tulisan. Salahnya udah janji, ya saya kejar hahaha... (Beribu maaf bagi yang wall Facebook-nya dikotori emoticon manis tapi mengandung efek teror. Ya, saya cukup bilang halo dengan embel-embel senyum dan teman-teman saya langsung kabur)

Pelajaran lainnya ya soal tulis menulis itu. Dari ratusan orang yang berkumpul di group, hanya segelintir yang mau menulis. Yang beralasan sibuk, saya tahu beberapa yang mengirimkan tulisan itu juga adalah orang-orang yang kesibukannya mengalahkan Putri Indonesia. Tapi mereka tetap menulis. Yang beralasan tidak bisa menulis, saya tahu itu bohong besar. Tidak mungkin lulus SMA kalau tidak bisa nulis. Yang beralasan malas, saya tahu itu benar. Hehehe... Entah karena malas mengingat-ingat lagi memori yang sudah lama tersimpan, malas duduk berjam-jam di depan monitor, malas mengikatkan kembali dengan sesuatu di masa lalu, atau malas-malas lainnya. Sama seperti saya juga yang sering malas untuk buka dan ketak-ketik di blog ini, rasa malas itu adalah senyata-nyatanya musuh. Sungguh! Waspadalah! Karena itu saya sekarang sedang membulatkan tekad: saya harus nulis!
baca selengkapnya