7 Januari 2013

Belajar dari Mami

Masih berhubungan dengan urusan proyek buku gotong royong, kemarin sore saya mendapatkan SMS dari seseorang yang ingin ikut dalam proyek tersebut dan tulisannya sudah selesai. Sayangnya, dia sedang bermasalah dengan akun email dan facebook, mungkin kena hack atau semacamnya, yang tidak memungkinkan baginya untuk mengirim tulisan via internet. Beruntung, sang penulisa berdomisili di Jogja. Maka saya katakan kalau saya akan menjemput tulisannya langsung dari tangan empunya.

Jam setengah dua belas, meluncurlah saya menuju daerah Gowongan, tempat dia tinggal merangkap dimana dia menjalankan organisasi yang dia pimpin. Organisasi yang beranggotakan teman-teman waria di Jogja. Dia sendiri adalah waria yang dianggap senior di kota ini. Dulu kami bekerja di organisasi yang sama. Mungkin sudah hampir setahun saya tidak bertemu dengannya. Saya memanggilnya Mami.

Sampai di rumah yang saya tuju, saya parkir sepeda saya dan melenggang masuk ke ruang tamu yang pintunya selalu terbuka. Sekelebat saya lihat Mami, masih dengan dasternya, menuju area belakang rumah. Saya hendak memanggilnya ketika saya sadar ada seseorang yang sedang tidur-tiduran di sofa sederhana yang ada di ruang tamu. Mendengar kedatangan saya, orang tersebut bangkit, namun dengan tatapan kosong. Saya segera mengenali siapa orang tersebut.

"Hey, ini Galink! Apa kabar?" sapa saya sambil menepuk pundaknya. Ya, saya tahu teman saya tersebut sudah hilang penglihatannya karena suatu penyakit. Dan pertanyaan saya soal kabar, tidak hanya basa-basi. Sudah lama saya mendengar kalau dia sakit dan karena beberapa alasan, akhirnya dia tinggal di tempat ini, di rumah Mami. Saya mengenalnya sebelum dia sakit. Dan hari ini saat saya melihatnya, kecuali penglihatannya yang hilang, di mata saya dia terlihat lebih bugar.

"Oh kamu ya! Kok ada di Jogja?" katanya ramah. Kami pun berbincang-bincang singkat, sebelum terpotong oleh kedatangan Mami yang langsung menyambut saya dan nyerocos soal tulisan dan kesulitannya untuk mengirim tulisan tersebut. Saya dan Mami lalu masuk ke ruang kerjanya, mengambil file yang tersimpan di komputer.

Selesai dengan urusan tulisan, saya pun mengobrol dengan Mami. Menanyakan kabar beberapa teman yang saya kenal di sana. Sambil berbisik, saya juga menanyakan kabar teman saya yang sakit itu. Mami menjawab dengan bisikan juga, sambil tersenyum penuh keibuan,

"Ya, Mami yang merawatnya sekarang..."

Ah, saya serasa ditampar. Apalagi setelah saya kemudian membuka dan membaca file tulisan Mami. Tulisan sederhana namun membuat diri saya malu. Malu karena saya tidak bisa melakukan apa yang sudah Mami lakukan.

Mami dikenal sebagai ibunya anak-anak jalanan. Mereka memanggilnya simbok. Dulu saat saya masih satu kantor dengan Mami, beberapa anak jalanan yang masih kecil sering ikut dengannya ke kantor. Satu orang yang kemudian cukup dekat dengan saya, tapi sudah bertahun-tahun tak nampak lagi batang hidungnya. Teman-teman kantor saya bilang anak itu adik saya, karena selain kedekatan, katanya wajah kami mirip hahaha... Tapi kedekatan saya dengan si anak jalanan hanya di kantor saja, teman becanda dan teman ribut. Jauh sekali berbeda dengan kedekatan yang dimiliki Mami terhadap anak-anak jalanan.

Hidup sebagai waria bukan perkara mudah. Tahu sendiri bagaimana masyarakat melihat keberadaan mereka. Meskipun bukan satu-satunya, Mami adalah waria yang tidak hanya mampu melewati pandangan-pandangan miring tentangnya, tapi juga melakukan sesuatu untuk komunitas lain yang juga termarjinalkan. Setelah membangun organisasinya kini, interaksi Mami dengan anak-anak jalanan memang tidak seintens dulu. Tapi sekarang dia menjadi pendamping bagi orang-orang yang HIV positif. Terkutuklah orang-orang yang sering menghina waria tapi mereka sendiri tidak melakukan apapun untuk orang di sekitarnya.

Kalau saya termasuk yang dikutuk, mungkin cuma kena separuhnya. Menghina waria bagi saya adalah menghina martabat saya sendiri sebagai manusia. Tapi saya juga merasa belum melakukan banyak hal untuk orang lain. Lebih seringnya saya sibuk ngurusin diri sendiri. Boro-boro mau dengerin orang lain yang sebenarnya sedang butuh didengarkan. Giliran saya punya masalah, pusing sendiri. Berasa cuma saya yang sedang punya masalah. Menjadi pendamping bagi orang yang HIV positif atau orang yang memiliki penyakit adalah hal yang saya tidak bisa membayangkan saya akan mampu melakukannya. Saya tidak punya cukup kesabaran. Saya tidak punya ketelatenan. Apalagi ngomongin keikhlasan. Ah, mungkin benar kata salah seorang teman yang mengingatkan saya untuk lebih mendarat lagi di bumi. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar