29 Januari 2013

Facebookan Sehat


Hari-hari (dan juga malam) bercinta dengan corel dan photoshop akhirnya menghasilkan anak juga. Empat anak dalam waktu berdekatan. Pekerjaan saya yang satu itu akhirnya selesai. Dengan deadline yang kemunculannya bak kuntilanak, menyita waktu saya beberapa hari ini, termasuk menenggelamkan ide-ide yang ingin saya tulis. Beberapa benar-benar tenggelam, tapi yang satu ini yang terus mondar-mandir di kepala saya.

Pemantiknya adalah gara-gara saya iseng ngasih komentar di status salah satu akun di jejaring sosial. Saya terima saja permintaan pertemanannya karena mutual friends-nya cukup banyak. Lagipula, nama yang dipakai di akun adalah nama perkumpulan atau organisasi, jadi saya confirm saja.

Nah, di hari Daming Sunusi harus mempertanggungjawabkan leluconnya saat dia diwawancarai sebagai calon hakim MA, yang sama sekali tidak lucu dan sangat melecehkan perempuan, beberapa orang langsung nulis status, ngetwit, ngeblog atau goblok-goblokin sang calon hakim lewat media lain. Termasuk akun tersebut. Statusnya berisi cacian pada sang calon hakim. Biasanya saya tidak ambil pusing orang mau bikin status atau ngetwit apa, toh itu akun mereka pribadi, dan kalau saya tidak suka, saya bisa hide. Jika sudah sangat mengganggu, bisa saya unfollow atau remove dari pertemanan. Yang jadi masalah buat saya adalah, akun tersebut tidak menunjukkan identitas pribadi si pemilik, tapi identitas kelompoknya, termasuk kelompok remaja yang tercantum di akhir nama akun tersebut. Saya khawatir saja kalau status tersebut tidak mewakili si kelompok, tapi hanya opini sang admin.

Saling komentar pun terjadi antara saya dan si admin akun tersebut (admin atau bukan, terserah, intinya ya orang yang memakai akun itu hehe...), termasuk temannya yang lain yang manas-manasi. Hahaha... sudah lewat masa-masa emosi saya mudah terpancing ya. Saya tanggapi santai saja. Semakin santai karena belakangan mereka tahu saya ternyata satu suku dengan mereka (agak sukuisme juga nih hehe...). Interaksi saya dengan si akun tersebut memang selesai dalam satu malam, tapi ternyata masih ada buntutnya. Seorang kawan yang saya temui esok harinya bilang kalau dia baru chatting dengan admin akun itu. Si admin bertanya tentang saya, dan kawan saya mengambil kesempatan itu untuk memberikan masukan tentang status-status akun tersebut yang ternyata memang sering kali lebih bersifat personal, tidak mewakili kelompok yang tertera sebagai nama akunnya. Tidak terima, si admin bilang ya itu hak nya dia mau pakai nama akun apa, nulis status apa. Toh tidak ada aturannya, katanya. Belakangan, nama akunnya diganti. Hmmm... Lagi, bukan sekali ini urusan etis tidak etis di dunia jejaring sosial jadi masalah.

Ya, berapa kali kita pernah kesal saat berseluncur di jejaring sosial? Berapa kali kita pernah bergumam dalam hati 'kok gitu sih?' saat melihat status atau postingan teman maya? Berapa orang yang pernah kita unfollow postingannya? Berapa orang yang pernah kita remove dari pertemanan? Atau bahkan, berapa orang yang pernah kita block? (yang terakhir sih saya belum pernah me- tapi sudah pernah di- hahaha..). Pengelola jejaring sosial macam Facebook atau Twitter, memang menuliskan (seringnya tidak kita baca), soal aturan atau etika berkomunikasi dalam situs mereka. Tidak spesifik memang, tapi bukan berarti kita bisa bebas-bebas saja melakukan apa yang tidak tercantum di sana. Masak iya Facebook mesti bikin poin: "Jangan menggunakan tulisan alay karena tidak ramah mata", atau "Jangan curhat terus karena teman-teman anda bosan lihatnya".

Sama saja sih seperti kita berinteraksi dengan orang di dunia nyata. Tidak ada kan aturan macam "Jangan bertanya sesuatu pada orang kalau anda tidak mendengarkan apa jawabannya",  "Jangan mengepulkan asap rokok anda ke depan muka orang lain", atau "Jangan kentut saat anda di kerumunan". Tapi kita tahu kalau kita 'melanggarnya' kita bisa bikin orang lain kesal, marah atau sedih dan ujung-ujungnya jadi bahan gosip. Etika ini soal kesepakatan mana yang baik atau tidak. Baik atau tidaknya ini memang bisa saja berbeda di setiap tempat dan waktu, tapi ada juga yang bersifat universal macam mengatakan maaf kalau kita berbuat salah dan mengucapkan terima kasih pada orang yang berbuat sesuatu untuk kita. Baik atau tidaknya ini bukan didasari motif apakah berdosa atau berpahala, mendatangkan profit atau membuat pailit, tapi lebih kepada bagaimana agar hubungan antar manusia bisa berjalan mulus.

Nah, soal etika berjejaring sosial ini, ada beberapa hal yang sering jadi bahan omongan teman-teman saya (baca: gosip) karena kebiasaan-kebiasaan orang di Facebook yang bikin gerah, 'zoooong', bahkan ada yang berujung konflik. Nah, kalau kita tidak ingin jadi bahan gosip tak sedap, mungkin poin-poin ini bisa membantu:


  • First of all, nama akun kita menggambarkan siapa kita. Memang tidak seratus persen sih. Banyak juga yang  nama akunnya ke-alay-alay-an (alias nama kelewat panjang tanpa spasi dengan ramuan ajaib antara huruf kapital, angka dan suasana hati), tapi statusnya mengkritisi kebijakan atau berfilosofi. Ada juga yang nama akunnya sangat resmi lengkap dengan gelar, statusnya curhat-curhatan. Nah, kalau kita memakai atau menyelipkan nama kelompok atau organisasi tertentu, orang lain otomatis akan melihat akun tersebut 'bernyawa' kelompok atau organisasi tersebut. Nanti kasusnya seperti contoh saya di atas. Kalau memang kita ingin lebih personal, ya pakai nama sendiri atau nama panggilan. Kalau memang harus mengurus akun kelompok atau organisasi, ya buat baru saja.
  • Kirim permintaan pertemanan pada orang yang kita kenal atau memang kita benar-benar ingin mengenalnya, bukan untuk mencapai target jumlah teman. Kalau yang kita kirim itu belum kenal dengan kita, kita bisa kirim pesan terlebih dulu 'kan? Semudah membuat teman, gampang juga untuk memutus pertemanan. Kalau kita terganggu dengan postingan-postingan teman kita, kenapa harus dilanjutkan pertemanannya? Tapi ya, kita juga mesti siap kalau ada orang yang melakukan hal yang sama pada kita.
  • Setiap orang punya kebiasaan sendiri-sendiri dalam nulis status. Ada yang nulis status seminggu sekali, setiap hari, ada juga yang tiap menit. Ada yang nulis tentang kondisi sosial yang dilihat, kasih tahu sedang ada di mana, dengan siapa dan berbuat apa, ada juga yang meluapkan ekspresinya: senang pas gajian atau sedih karena pacarnya nggak ada kabar, atau cuma colek teman-temannya. Sah-sah saja. Itu hak kita. Tapi ingat, teman-teman kita juga punya hak untuk tidak ketularan aura negatif yang kita pampang di status. Teman-teman kita juga seringnya tidak butuh tahu kita sedang apa, dimana dan apa yang sedang kita rasakan, apalagi kalau kita  sedang ada di kamar dan memandang bintang dari balik jendela. Kecuali kita selebritis dengan ribuan fans yang haus informasi detail tentang kita. Soal status yang melecehkan pihak tertentu, itu tidak hanya di Facebook kali ya ada kesepakatan bersama kalau hal itu tidak pantas.
  • Saya pernah kesal karena saat saya upload foto terus ada teman yang komentar, eh ada temannya ikut-ikutan menulis di kolom comment. Mending kalau isinya ikutan ngasih komentar foto saya, ini malah reunian. Tolong ya, bisa bikin lapak baru kan? Intinya, kalau mau komentar itu ya yang nyambung sama konteksnya, walaupun sering juga kita punya status apa, teman-teman kita komentarnya nggak nyambung, tapi toh masih bisa kita lacak atau paham dengan ketidaknyambungannya. Berantem dengan saling lempar komentar juga nggak jelas maksudnya apa. Kalau mau adu argumen personal, ya pakailah fasilitas chatting. Kecuali memang topiknya sengaja dilempar untuk jadi bahan diskusi rame-rame.
  • Meng-upload foto korban kecelakaan, bencana atau perang sama sekali tidak etis. Saya pernah nulis status tentang ini. Dan ini juga berlaku dalam dunia jurnalisme. Apa gunanya coba nunjukkin foto mayat berjejer atau anak yang berdarah-darah? Dan tak perlu sungkan bagi kita untuk melaporkan akun-akun yang kerap berbau SARA atau pornografi.
  • Beriklan lewat jejaring sosial memang diperbolehkan. Tapi men-tag semua teman di foto produk kita kadang bisa bikin teman kita sebal, belum lagi setelah itu komentar bermunculan. Notifikasi jadi kayak pasar malam, rame nggak jelas. Juga kalau kita mengundang mereka ke grup yang tidak ada hubungannya dengan mereka atau mengajak mereka untuk main games. Bikin sajalah page khusus untuk produk-produk kita, undang teman-teman tertentu saja ke dalam grup dan percayalah, kalau teman kita memang suka nge-game, nggak perlu diajak juga dia bisa main sendiri.

Jejaring sosial memang menawarkan banyak hal: komunikasi dengan orang dari tempat bermil-mil jauhnya dalam waktu hitungan detik, menemukan teman lama yang terpisahkan oleh jalan hidup dan memberi ruang untuk berkespresi. Tapi seringkali, kita lupa bahwa di balik foto profil, status dan kicauan adalah juga orang-orang seperti kita, yang bisa terusik dan mengernyitkan dahi karena sesuatu yang dianggap tidak pantas, tidak etis dan semacamnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar