31 Juli 2012

Membantu Karena Apa?

Ada satu pemandangan baru di kantor saya hari ini. Saya melihat satu kotak di lobby kantor saya. Kotak besar transparan dengan tulisan  ‘Sumbangan untuk Muslim Rohingya’. Sudah ada satu lembar seratus ribu dan dua lembar lima puluh ribuan. Karyawan front office dengan tersenyum berkata, “Silakan, Mas, kalau mau bantu!” Saya melewatinya sambil tersenyum. Beberapa langkah kemudian saya menggeleng-gelengkan kepala.

Ya. Silakan saja kata-katai saya tidak manusiawi, pelit, tidak punya perasaan, sok-sokan atau apapun karena bukannya buka dompet-ambil uang-masukkan ke kotak, saya malah geleng-geleng kepala dan memutuskan untuk menulis blog ini. Saya punya alasan, tentu saja yang, daripada saya katakan pada petugas front office yang kemudian akan mengganti lengkung senyumnya dengan lengkung cemberut, akan coba saya tuliskan di sini.

Membantu sesama memang tidak ada salahnya. Mulia sekali, justru. Tapi menolong dengan bijaksana itu menurut saya lebih penting. Saya memang bukan orang bijak, bukan cita-cita juga menjadi orang bijak (cita-cita saya adalah punya usaha sendiri, ongkang-ongkang kaki di rumah dan uang mengalir dengan sendirinya, okay, itu mimpi, bukan cita-cita). Untuk kasus Kotak Sumbangan Muslim Rohingya itu, bagi saya akan lebih bijak kalau diganti Kotak Amal Muslim Ahmadiyah Indonesia atau Kotak Sumbangan untuk Anak Jalanan Jatinegara. Kenapa? Apalagi jika kita langsung memberikan pada orangnya, isi kotak-kotak amal yang saya sebutkan belakangan akan sampai di tujuan dengan jumlah yang relatif tetap. Saya bilang relatif karena mungkin di perjalanan kita perlu beli bensin atau membayar orang yang mengangkut uang-uang kita (ya kali, mau nyumbang berapa truk gitu). Ok, sekarang jaman modern, tinggal transfer dan tak perlu truk. Oya, dan tak perlu berburuk sangka juga kalau sekian persen uang-uang itu akan berakhir di kantong siapa, maka saya perlu mengajukan alasan yang lebih logis.

Alasan yang saya maksud ini adalah justru akan diawali dengan sebuah pertanyaan. Kenapa orang harus membantu orang lain? Jawabannya akan sederhana dan cenderung PMP (atau PPKn) banget: karena sebagai manusia berkewajiban untuk menolong sesama manusia! Oh, kurang terasa PMP (atau PPKn)-nya ya? Karena sila kedua Pancasila berbunyi: Kemanusiaan yang Adil dan Beradab. Baik… baik… Itu yang dikatakan oleh orang tua kita di rumah, guru kita di sekolah, pendeta kita di gereja, ustadz kita di mesjid dan teman kita yang sedang merayu dapat pinjaman uang di akhir bulan.

Apa kita membuat prioritas saat akan membantu orang lain? Tentu. Terdengar lebih masuk akal bukan kalau kita memberikan uang kita pada adik tercinta yang mungkin akan menghabiskannya untuk beli pulsa agar bisa bermesra-mesraan dengan pacarnya lewat telepon dibandingkan dengan memberikannya kepada seorang ibu yang tak kita kenal yang kita temui di pasar yang mungkin sedang kebingungan karena uangnya tak cukup untuk beli susu sang anak. Kotak amal yang saya lihat siang tadi pun paham dengan prioritas tersebut. Makanya perlu ditulis: Muslim Rohingya . Lupakan Rohingyanya dan tiba-tiba anda (yang muslim) akan merasa punya ikatan yang sangat kuat sebagai satu umat besar satu agama yang mewajibkan anda untuk menolong sesamanya.

Tidak ada yang salah, (biasanya akan berlanjut dengan kata: tapi…) tapi (nah kan!) karena kotaknya berjudul Muslim Ronghiya maka saya ambil Muslim saja sebagai contohnya, apa anda tidak merasa punya ikatan juga dengan mereka yang tinggal di gubuk-gubuk kardus dan mereka juga sholat dan puasa sebagaimana anda beribadah? Apakah kita tidak merasa punya ikatan saat orang-orang Ahmadiyah itu dibakar rumahnya, diusir, bahkan dihajar dan dibunuh padahal mereka merasa sebagai orang Islam juga? Ataukah memang jika diruntut garis keturunan, kita ternyata masih sepupuan dengan orang-orang muslim di Rohingya sana dan tak ada garis penyambung dengan orang-orang di Kuningan pengikut Ahmadiyah? Buat saya, ini tidak logis.

Apalagi lalu kita berteriak-teriak kalau pemerintah Myanmar tidak becus menegakkan demokrasi, pemerintah Myanmar tidak mampu melindungi warganya dan Pemerintah Republik Indonesia tercinta akan mengangkat isu ini dipertemuan OIC (Organization of Islamic Cooperation), Agustus nanti di Mekkah (Pak Beye, seperti biasa, merasa prihatin dengan situasi di sana). Bravo!! Apa kabar korban lumpur Lapindo? Sorry to say, kalau saya jadi pemerintah Myanmar, saya akan bilang: Talk to my hand! Ngaca! Apalagi kita (kita? gw aja kali) tidak tahu pasti apa yang sebenarnya terjadi, ada yang bilang orang-orang Rohingya itu imigran dari Bangladesh yang masuk ke wilayah Rakhine yang mayoritas Buddha, beberapa sumber menuturkan bahwa korban tidak hanya jatuh dari pihak Rokhingya saja, Rohingya bakar vihara Rakhine, Rakhine hancurkan masjid Rohingya. Agenda untuk menjatuhkan citra pemerintahan Suu Kyi? Atau perang antar etnis berebut wilayah atas nama agama? Terserahlah. Yang pasti, di sana ada anak-anak yang tak berdosa yang ikut-ikutan menderita dan jadi korban (aaah, masih juga pilih-pilih mau bantu anak yang Islam, Buddha atau Kristen?).

Saya jadi bertanya-tanya, memang begitukah yang diajarkan? Mendahulukan membantu orang yang satu agama atau satu etnis dulu dan yang lain belakangan atau kalau perlu kita ikut-ikutan memusuhi?

Well, biar tidak terlalu buta-buta amat soal Rohingya versus Rakhine, saya cari kronologisnya seperti apa. Ada yang tertarik? Silakan buka:

Saya hanya coba sekadar membaca saja untuk menetralkan otak saya dari bombardir foto-foto korban kerusuhan di Myanmar yang menghiasi facebook saya. Terlalu serius juga belum tentu benar. Malu aja kalau udah mati-matian bela salah satu pihak sampai urat leher mau putus, eh ternyata pihak itu justru kompor masalahnya. Lagipula, kalaupun saya merasa terikat dengan orang-orang di Myanmar itu karena saya dan mereka sama-sama manusia. Sama seperti saya merasa terikat dengan orang Ahmadiyah di Kuningan dan anak jalanan di Jatinegara. Perbedaan-perbedaan itu tak lebih dari kotoran mata yang menghalangi penglihatan saya saat bangun tidur. Sekian.
baca selengkapnya

22 Juli 2012

Sok Tahu Saya Soal Membesarkan Anak


Kemarin malam saya nonton Batman the Dark Knight Rises di salah satu mall yang menurut saya paling wah di Jakarta. Alasannya bukan buat gaya-gayaan, apalagi nyambi shopping di sana. Kawan saya merekomendasikan tempat nongkrong yang asyik di lantai 3, café di sebuah toko buku terkenal dengan pemandangan langsung ke Bundaran HI. Saya yang sedang belajar motret, tertarik juga buat menjajal kamera saya (bukan kemampuan saya hehe…). Dan karena saya dan kawan saya itu adalah partner buat ke bioskop, jadilah agenda menonton masuk dalam list weekend kami.


Tak heran kalau malam minggu bioskop pasti penuh. Saya dan kawan saya mendapatkan tempat duduk terpisah. Lebih baik daripada mengambil kursi di deret paling depan, dengan resiko pegal leher. Kebetulan di samping kanan saya adalah pasangan muda istri suami dengan anak mereka yang umurnya belum ada 1 tahun. Ya! Benar sekali. Kenapa tidak sekalian saja si orang tua ngajak anaknya nonton The Raid, Hannibal atau Sex and the City? Di tengah-tengah film yang durasinya seakan menyaingi film Bollywood itu, si anak merengek-rengek, mungkin bosan, sang ayah lalu mengeluarkan handphonenya dan membiarkan si anak bermain-main dengan handphonenya tersebut. Sang orang tua tenang melanjutkan menonton aksi Batman.


Betul, kali ini saya ingin sedikit berbagi tentang isu anak. Saya memang belum punya anak. Niat ada, tapi belum kesampaian. Punya anak itu sepertinya menyenangkan (dan merepotkan ya, bapak dan ibu?). Hanya saja, saya memperhatikan orang-orang di sekitar saya bagaimana mereka mendidik dan memperlakukan mereka. Masih di mall yang sama, saat saya makan malam, di meja depan saya, seorang bapak memarahi anak perempuannya yang berumur 5 atau 6 tahun yang tidak mau membagi rotinya kepada sang adik. Cara memarahinya seperti orang yang berbisik mengajak tinju, sampai si anak dengan diam takut-takut akhirnya merelakan juga rotinya dibagi dengan si adik. Juga, seorang ibu yang tangannya ditarik-tarik oleh anak lelakinya yang meskipun si ibu terus-terusan bilang, “Nggak, jangan ke sana… Nggak, jangan ke sana…” tapi kakinya menurut juga mengikuti kehendak si anak. Juga, saat saya menghentikan niat untuk merokok karena ada anak kecil di sekitar saya, justru seorang bapak dengan giat membakar tembakau di depan anak bayinya. Dan… setiap hari tetangga saya tak pernah alpa membentak anak-anaknya, kadang dengan kata-kata ‘Goblok’, ‘Bego’. Saya cuma bisa elus dada.


Sebagai orang yang belum punya anak, saya tidak bisa memberikan saran bagaimana cara memperlakukan anak. Pelajaran hanya saya dapat dari bagaimana orang tua mengasuh saya dan saat kuliah Psikologi Perkembangan. Saya juga bukan hakim yang bisa menyalahkan perlakuan orang tua di bioskop, di tempat makan dan yang tetangga saya itu. Kalau saya mengharapkan anak saya nanti akan menjadi orang yang cerdas, kritis dan melakukan sesuatu yang bermanfaat bagi orang lain, mungkin harapan orang tua-orang tua itu berbeda dengan saya. 


Akan seperti apa anak kita nanti tergantung dari bagaimana kita membesarkan mereka. Menurut cerita kawan-kawan saya, anak lebih mudah belajar dengan cara melihat dan meniru. Buang-buang waktu jika kita meminta anak kita berbicara pelan kalau tiap kali kita bicara seperti pakai toa. Satu hal lagi, penerapan hukuman dan penghargaan. Hukuman bukan berarti memarahi atau memotong uang jajan anak, ada banyak cara untuk melakukannya seperti mendudukannya di kursi dan mengajaknya bicara, mendiskusikan apa konsekuensi dari perbuatannya. Penghargaan juga bukan berarti permen dan video game terbaru. Anak kita bukan robot. Sentuhan, pelukan dan kata-kata pujian jauh lebih berharga bagi mereka kelak.


Tanggung jawab membesarkan anak memang tanggung jawab orang tua. Tapi prakteknya, lingkungan sosial juga memberikan kontribusi tidak sedikit pada perkembangan anak. Kawan saya di kantor misalnya, menceritakan anak perempuan 5 tahunnya tahu-tahu sudah bergaya bak tokoh antagonis remaja SMA yang suka mengina orang lain. Ya, korban sinetron. Itu baru satu faktor: televisi. Untuk hal-hal seperti televisi, majalah, internet atau sekolah, orang tua memang dituntut untuk selalu melakukan pengawasan. Tapi bagaimana jika yang ‘salah’ adalah program-program yang secara sembrono ditawarkan media massa untuk anak hanya karena filmnya animasi dengan melupakan esensi, atau anak-anak ‘dipaksa’ menonton dan akhirnya hapal lagu-lagu tentang jatuh cinta dan patah hati? Aturan dari pemerintah soal jam tayang televisi dan muatan program, sepertinya belum serius dilakukan. Bagaimana juga jika sistem pendidikan yang ada sekarang justru hanya mendorong siswa-siswanya untuk mampu bersaing dan berprestasi di bidang akademik saja? Banyaknya kasus tawuran yang dilakukan pelajar, misalnya, mungkin bisa menjadi satu pertanyaan besar: siapa/ apa yang bertanggung jawab?


Baiklah, untuk menutup tulisan saya kali ini, saya ingin sedikit berandai-andai jika saya menjadi seorang konsultan untuk orang tua yang menginginkan anak-anaknya seperti apa. Sengaja, tidak saya tuliskan harapan saya pribadi. Saya hanya merefleksikan dan mendramatisir apa yang saya lihat. Kalau yang ingin serius dan betulan, silakan googling, sudah banyak sumber tersedia tentang bagaimana cara mendidik dan membesarkan anak. Sok-sokan saja saya, toh di luar sana juga banyak yang sok-sokan punya anak tapi nyatanya tampak tidak siap secara mental. Berikut saran-saran saya kalau anda ingin anak anda seperti:





  • Giant. Tahu tokoh ini dalam Doraemon kan? Nah, kalau kita ingin anak anda seperti Giant yang tidak bisa mengendalikan amarahnya dan senang mengintimidasi kawan-kawannya, belajarlah dari ibunya yang tidak pernah tersenyum, selalu berteriak dan selalu siaga gagang sapu di tangannya untuk memukul Giant. Masih kurang? Suguhkan film-film dan video game berbau kekerasan.
  • Barbie dan Ken. Siapa yang tak ingin anaknya tumbuh menjadi sosok yang menawan secara fisik dan populer? Kalau memang ‘hanya’ itu yang anda inginkan dari anak anda, segera masukan mereka ke kelas model. Sudah banyak kursus model untuk anak-anak. Ikutsertakan dalam setiap perlombaan. Belikan mereka baju-baju bagus setiap hari dan larang untuk bermain di tanah atau bergaul dengan anak-anak yang menurut anda tidak pantas menjadi teman mereka. Usahakan anda juga selalu tampil modis kapan dan dimanapun.
  • Garfield. Antar jemput anak anda setiap hari, ingat, jangan sampai terlambat. Berikan apapun yang dia inginkan. Pastikan persediaan makanan selalu berlimpah, karena cukup saja tidak cukup. Mungkin perlu juga dua orang babysitter yang mengganti baju dan sepatunya, juga mengerjakan PR sekolah. Jika perlu, pindahkan Timezone ke kamar anak anda sehingga ia tidak perlu capek-capek keluar rumah. Garfield yang bulat dan pemalas memang menggemaskan, tapi dia kucing.


Mau mencoba atau menambahkan berdasarkan pengalaman? Silakan!



baca selengkapnya

20 Juli 2012

Salah Kaprah Soal Anarkisme


Baru kemarin saya pulang dari pertemuan tiga hari di sebuah hotel di Jakarta. Entah karena menjelang Ramadhan atau alasan lain, di lobby hotel ada pemandangan yang tidak biasa (saya beberapa kali ikut acara yang diadakan di hotel yang sama). Banyak buku-buku yang disusun rapih, plus kasir. Ya, ada booth penerbit buku. Kebetulan, buku-buku karya Dee juga dijual di sana, termasuk Supernova, yang setelah ganti cover, saya jadi berniat mengoleksinya (sebelumnya saya hanya mengandalkan rental buku dekat kost-kostan, jaman masih mahasiswa).


Sekarang saya sedang kembali membaca Akar. Tokoh Bong dalam buku itu mengingatkan pada saat saya masih menjadi relawan di sebuah organisasi di Yogyakarta. Pindah-pindah divisi, akhirnya saya menjajal Divisi Radio. Kerjaannya siaran di radio-radio kerjasama, mengusung isu-isu yang sedang diperjuangkan oleh lembaga kami. Tapi ada satu radio yang agak unik. Pihak radio mendesain programnya dengan nama Lifestyle, mencoba menyampaikan isu-isu tersebut dengan fenomena-fenomena sosial yang nyata ada di lingkungan kita. Sialnya, selama beberapa bulan, saya yang ditugaskan mengawal program tersebut. Artinya, tidak seperti program di radio lain yang kalau mentok ide bisa ambil tema beberapa bulan sebelumnya atau menaruh dokter sebagai narasumber, saya ditantang untuk terus menggali fenomena-fenomena sosial, plus mendatangkan narasumber orang-orang yang mencair dalam fenomena tersebut.


Punk. Satu tema yang saya pernah usulkan dan kesanalah Akar membawa memori saya kembali. Sebelum siaran, saya buka-buka internet dulu cari referensi. Penelusuran membawa saya pada satu pengetahuan tentang anarkisme. Paham ini memang erat sekali dengan punk sehingga lahir gerakan punk mengusung ideologi anarkisme, Anarko-punk. Saya tidak akan membicarakan soal anarkisme secara luas atau mendalam, saya hanya ingin membagi hal yang sangat dangkal saja namun justru di situlah titik persoalannya: penggunaan istilah anarkisme. 




Istilah anarkis atau anarkisme yang sering kita dengar, bukanlah kata yang tepat untuk merujuk apa yang disangkakan kebanyakan orang namun terus diproduksi oleh media massa secara salah kaprah yang ujung-ujungnya masyarakat juga ikut tersesat. Saya coba ambil beberapa judul berita dari media online yang cukup sering saya buka: 

  • Ramadan, Kapolri Tindak Tegas Ormas yang Anarkis (tempo.co, 16/07)
  • Aksi Anarkis Buat Distribusi LPG Terhambat (vivanews.com, 19/06) 
  • SBY Minta Polri Tindak Tegas Kelompok Anarkis (kompas.com, 01/07) 

Dari judul beritanya, kita sudah digiring pada pemahaman bahwa anarkis itu satu dua dengan tindakan kekerasan, tindakan sewenang-senang, melanggar aturan hukum, atau dalam bahasanya bapak presiden kita: “yang dapat mengganggu keamanan dan ketertiban masyarakat”. Benarkah demikian nilai-nilai anarkisme?


Saya kutipkan dari http://ind.anarchopedia.org/Anarkisme:


"anarkisme adalah sebuah sistem sosialis tanpa pemerintahan. Ia dimulai di antara manusia, dan akan mempertahankan vitalitas dan kreativitasnya selama merupakan pergerakan dari manusia” (Peter Kropotkin)


Masih sumber yang sama, anarkisme secara keseluruhan dapat diartikan sebagai suatu paham yang mempercayai bahwa segala bentuk negara, pemerintahan, dengan kekuasaannya adalah lembaga-lembaga yang menumbuhsuburkan penindasan terhadap kehidupan, oleh karena itu negara, pemerintahan, beserta perangkatnya harus dihilangkan.


Lihat baik-baik, adakah kekerasan dalam definisi tersebut? Walaupun pada prakteknya, ada beberapa anarkis yang mengijinkan tindakan penyerangan dan kekerasan, namun perlu dicermati bahwa bukan tindakan kekerasan atau penyerangan tersebut yang menjadi titik tekan anarkisme. Penyerangan dan kekerasan diperbolehkan selama sasarannya adalah negara, pemerintahan dan kapitalisme, sebagai sistem yang dipercayai telah melakukan penindasan terhadap manusia. Toh, beberapa anarkis bahkan dengan terang-terangan tidak sepakat dengan metode penyerangan dan kekerasan untuk menyampaikan ide dan meraih tujuannya.


Anarkisme tidak bisa begitu saja dianalogikan sebagai tindakan kekerasan. Jika ya begitu, sama saja dengan menganalogikan Islam dengan kegiatan terorisme. Semua orang tahu, beberapa teroris itu mengatasnamakan Islam. Tapi tidak semua muslim sepakat dengan metode teror itu untuk menegakkan kejayaan Islam, beberapa bahkan mengutuk tindakan terorisme. Plus, tidak semua tindakan penyerangan dan kekerasan dilakukan atas nama anarkisme, sama seperti tidak semua tindakan teror dilakukan melulu oleh orang Islam. Menyebut anarkisme untuk merujuk pada tindakan penyerangan atau kekerasan hanya agar terdengar lebih intelek, justru menunjukkan kurangnya pemahaman tentang anarkisme itu sendiri.


Sebagai penulis, apalagi penulis berita (oya, termasuk juga editor), pengertian anarkisme dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) kiranya bisa menjadi acuan untuk tidak menggunakannya secara salah kaprah lagi:
anar·kis·me n ajaran (paham) yg menentang setiap kekuatan negara; teori politik yg tidak menyukai adanya pemerintahan dan undang-undang
Apa susahnya menulis saja ‘tindakan pengrusakan’, ‘penyerangan’, ‘kekerasan’, atau kalau ingin lebih keren ‘destruktif’ atau ‘vandalisme’. Menarik, istilah vandalisme seringkali direduksi hanya untuk tindakan seperti merusak taman kota, membuat graffiti (karena dianggap merusak, padahal menurut saya justru memperindah –asalkan temanya jelas dan tidak dilakukan di dinding rumah orang- dibandingkan dengan jutaan banner iklan). Vandalisme dalam KBBI diartikan sebagai: 
va·ndal·is·me n 1 perbuatan merusak dan menghancurkan hasil karya seni dan barang berharga lainnya (keindahan alam dsb); 2 perusakan dan penghancuran secara kasar dan ganas
Well, karena saya percaya bahwa media juga dikontrol oleh sebuah sistem yang lebih besar dan mapan, bisa jadi pemahaman salah tentang anarkisme dengan sengaja dibiarkan. Anarkisme dicitrakan sebagai paham dan tindakan yang menakutkan, karena itu harus diberantas. Tujuannya jelas, kita tidak akan membiarkan jika ada sesuatu yang mengancam kita, bukan? 

*Saya tidak sedang mempromosikan anarkisme. Wong ngerti aja cuma setengah-setengah. Namun jika anda tertarik untuk mempelajarinya, alamat-alamat ini mungkin bisa menjadi salah dua referensi: 
http://www.anarchism.net/
http://pustaka.otonomis.org
baca selengkapnya

18 Juli 2012

Kita Pernah Jatuh: Murni Curhat


Tahun ini saya punya rencana untuk melanjutkan studi. Tentu saja dengan mengharapkan beasiswa. Bayar kuliah sendiri terlalu mahal, apalagi saya ingin sekali melanjutkan kuliah tidak di dalam negeri. Persiapan sudah saya lakukan dari tahun kemarin, mulai dari cari-cari universitas yang punya pogram yang saya incar, tes bahasa inggris yang menjadi syarat untuk melamar ke universitas dan mengontak ini itu untuk mau memberikan referensi untuk saya. Hasil tes IELTS saya lumayan, tidak wow tapi cukup sebagai syarat. Itupun setelah ikut kursus intensifnya selama seminggu. Dekan saya di S1 dan dosen saya di summer school juga bersedia memberikan referensi. Girang bukan main saat dua universitas yang saya lamar, Groningen dan Tilburg, menerima aplikasi saya. Saya lalu memilih admission letter dari Tilburg untuk kelengkapan aplikasi beasiswa. Selang beberapa minggu, datang email yang menyatakan saya belum bisa menerima beasiswa.


Belum patah arang, saya cari lagi universitas lain yang masih buka lowongan. Ketemu satu, walaupun dengan jurusan yang tidak terlalu saya minati, tapi karena ada embel-embel beasiswa, maka melamarlah lagi saya. Baru beberapa hari kemarin, karena lama tak ada kabar, saya tanyakan pada universitas tersebut soal tanggal pengumuman dan jawabannya singkat sekali:


>>Dear Lingga Tri Utama
>>You have been admitted, a letter was sent.


Bukannya senang, saya malah bingung. Pasalnya, untuk melamar beasiswa, menurut informasi via email beberapa bulan lalu, saya cukup menuliskan di motivation letter soal beasiswa itu. Prosesnya sama seperti proses tanpa melamar beasiswa. Saya tanyakan soal ini dan mendapatkan jawaban bahwa tenggat waktu beasiswa sudah habis. Nah lho. Saya cari informasi lagi ke alamat email lain dan jawabannya adalah, ternyata saya harus mengirimkan motivation letter tersebut bersama beberapa dokumen kepada seorang profesor yang bertanggung jawab pada proses seleksi beasiswa tersebut. Kesal.


Pelajaran pertama untuk saya adalah cari informasi sebanyak dan sedetail mungkin tentang universitas dan program beasiswa. Saat saya mendaftar ke Tilburg, hampir saja saya tidak mengirimkan research proposal karena tidak ada informasi tersebut di websitenya, tapi belakangan saya temukan di form pendaftaran. Ok lah, ini tahun pertama saya serius sekali daftar kuliah. Sebelum-sebelumnya saya asal daftar saja. Tapi itu bukan alibi yang baik tentu saja.


Pelajaran kedua, saya merasa gagal. Saya tahu beberapa orang yang mendapatkan beasiswa karena pengalaman-pengalaman mereka yang seabrek atau prestasi mereka yang menjulang (ah ya, saya lupa, kawan saya mengingatkan ada juga yang dapat karena faktor “keberuntungan” sampai akhirnya kawan saya memutuskan untuk rehat sejenak dari pencarian beasiswa, tapi saya tidak mau mendiskusikannya di sini). Dari mereka-mereka saya seperti berhadapan dengan cermin, ya ya… pengalaman dan prestasi saya tidak banyak. Di situlah saya merasa gagal. Merasa jatuh. Merasa ingin bisa memutar waktu mengembalikan ke masa dimana saya bisa meraup pengalaman dan prestasi sebanyak mungkin yang saya yakin sebetulnya saya bisa kalau saya mau. 


Saya pernah jatuh sebelumnya. Semua orang pernah. Mungkin jatuh dari pohon atau sepeda. Sakit. Ya terasa sakit. Luka di lutut atau memar di lengan mungkin tak sebanding dengan perasaan ternyata kita tidak berhasil memanjat pohon atau mengendarai sepeda dengan baik. Tapi itu tidak pernah menyurutkan kita untuk terus memanjat pohon dan bersepeda keliling kampung, bukan? Tak ada juga bayi yang tiba-tiba lancar berdiri, berjalan dan berlari-lari tanpa pernah jatuh (sayang saya tidak bisa mengingat, orangtua saya juga tidak pernah menceritakan proses jatuh bangun saat saya belajar berjalan).


Jika kita gagal, berarti kita tidak benar-benar berusaha. Saya lupa kalimat itu ada dalam film apa. Tapi saya mengamini, untuk kepentingan saya pribadi. Dengan begitu, saya terpacu untuk berusaha lebih keras lagi. Praktiknya memang tidak sesederhana itu karena ada hal-hal di luar kuasa kita yang sulit atau bahkan mungkin tidak mungkin kita ubah (menjadikan bumi ini tidak lagi bulat tapi prisma, misalnya). Toh sampai sejauh ini, keinginan saya masih masuk akal. Saya memang sesekali ingin punya sayap yang bisa membuat saya terbang lintas benua, ingin bisa membelah diri layaknya amoeba saat merasa terlalu banyak yang harus saya kerjakan atau ingin bisa menghilang dalam sekejap dari rapat-rapat membosankan. Selain itu, saya rasa saya masih waras. Ingin bisa kuliah, memiliki pekerjaan yang saya cintai dan hidup bersama pasangan yang saling mengisi.


Jika kita gagal, berarti kita tidak benar-benar berusaha. Bukan berarti akhir dunia atau lantas menghalalkan segala cara untuk mensukseskan keinginan kita. Saya melihat kehidupan saya seperti hamparan kertas dan saya tidak sedang membuat satu garis linier. Saya yakin saya bisa membuat banyak garis, juga kurva berkelok, menentukan tidak hanya satu titik tujuan dan bahkan mewarnainya. Itu cara saya memaknai kegagalan. Berhenti meneruskan satu garis karena sudah mentok bukan lantas menjadikan kita sebagai pengecut, tapi justru berpikir lebih realistis. Saya perlu membuat garis lain. Masih terlalu luas kertas yang saya miliki kalau hanya fokus hanya pada satu garis saja. Plan B, mungkin itu bahasa lainnya. Rencana kedua bukan hanya sebagai cadangan kalau rencana pertama kita tidak berhasil mendapatkan X, tapi juga rencana kedua untuk memungkinkan kita mendapatkan Y, Z dan yang lainnya.


Kita pernah jatuh. Saat belajar berjalan, naik sepeda, memanjat pohon. Dalam karir, akademik, mimpi, cinta. Tapi itu bukan akhir dunia. Ada tantangan baru. Ada kesempatan lain. Ada orang tua kita yang membantu kita kembali berdiri. Ada sahabat-sahabat baik yang memberikan dukungan. Dan terpenting bagi saya, ada orang yang saya sayangi yang memberikan energi luar biasa untuk saya. Thanks, honey! 


*Ini murni curhatan ngalor ngidul. Membacanya dengan terlalu bersungguh-sungguh sangat tidak disarankan hehehe..*


baca selengkapnya

12 Juli 2012

Pada Akhirnya, Kita Ini Makhluk Egois


Awal bulan ini saya mengumumkan kepada teman satu tim saya kalau saya tidak akan memperpanjang kontrak kerja. Artinya, di akhir bulan saya resmi cabut dari pekerjaan saya sekarang. Ada sekian alasan kenapa saya melakukan hal tersebut, termasuk ingin segera hengkang dari hiruk pikuk ibu kota. Teman-teman satu kantor, dan juga atasan saya tentu saja, menanyakan apakah saya sudah diterima bekerja di tempat lain sehingga memutuskan tidak memperpanjang kontrak. Saya bilang jujur: tidak. Jadilah beberapa dari mereka mendesak saya untuk memperpanjang kontrak lagi ya minimal tiga atau enam bulan. Tidak tahu mungkin kalau kepala saya ini agak mirip batu.


Ada yang kemudian mengatakan apa tidak kasihan dengan tim saya, yang memang sedang kekurangan personil. Saya bilang, pasti ada yang bisa menggantikan posisi saya, dan mungkin jauh lebih baik. Saya sebenarnya ingin mengatakan, apa tidak kasihan pada saya yang sudah ingin keluar tapi “dipaksa” tetap lanjut. Hehehe… Tapi tidak saya utarakan karena takutnya terkesan egois. Setelah dipikir-pikir, memang apa yang saya lakukan sekarang ini adalah demi memenuhi ego saya. Tapi bukankah kita ini makhluk egois?


Di luar kisah saya yang segera akan menjadi pengangguran (mungkin), saya ingat beberapa minggu lalu seorang teman yang baru saya kenal tiba-tiba mengirim direct message di twitter. Isinya:


“Pacar matre enaknya diapain?”


Saya jawab:


“Putusin *anda orang kedua dalam minggu ini yang saya kasih saran yang sama*”


Jawaban saya itu serius. Sama saat saya memberikan saran pada kawan baik saya yang sedang bimbang (alias galau) dengan hubungan yang ia miliki sekarang. Ia merasa sudah tidak nyaman dengan pacarnya dengan sekian alasan. Saat saya tanya kenapa lantas masih saja dipertahankan lalu dia jawab karena kasihan, maka saya dengan nada sedikit dibijak-bijakan, menyarankan untuk segera memutuskan hubungannya. Ya, untuk hal ini, saya bukan konselor yang baik. Terlalu berkaca juga dari pengalaman pribadi. 


Saya melanjutkan direct message saya dengan teman di twitter, seperti ini:


Well, saya mungkin terdengar jahat, tapi inti pacaran kan ‘saling’. Kalau kamu nyaman dengan kematreannya, silakan dilanjut.” 


Menurut saya, suatu hubungan itu harus didasari kenyamanan satu dengan yang lain. Ini bukan soal ‘pacar saya matre, pacar saya malu-maluin, pacar saya nggak perhatian dan bla bla bla’. Mau seperti apapun orang yang kita pilih sebagai pasangan kita, kalau kita merasa nyaman dengannya, tak perlu lagi dipersoalkan. Ya tentu saja tidak lantas asal main putus, toh dalam suatu hubungan ada yang namanya komunikasi. Dan menurut kesoktahuan saya, kalau ada teman yang bertanya pada saya, “sebaiknya apa yang dilakukan untuk hubungan kami?”, biasanya mereka sudah melewati fase mengkomunikasikan dengan pasangan. Jadi bertanya kepada saya adalah seperti meminta pertimbangan lebih lanjut. Hahaha… sesat pikir saya ini.


Begitupun juga dengan pekerjaan. Saya heran pada orang yang terus menerus mengeluh dengan pekerjaannya tapi tetap saja mengerjakan hal tersebut. Komitmen? Bukan saya rasa. Bagi saya, kalau sudah ada hal-hal yang kurang sreg dengan apa yang saya yakini, ya saya pertimbangkan untuk lanjut atau tidak. Kalau kira-kira kondisinya tidak memungkinkan bagi saya untuk mengubah hal-hal yang tidak sreg tersebut, naruni jiwa bebas saya langsung berteriak: KELUAR! Terserah mau saya dianggap cemen, tidak mau berusaha atau egois. Kalau sudah begitu, saya lalu berpikir soal orang-orang yang mengabdikan dirinya pada kehidupan orang banyak. Saya ambil contoh saja Mahatma Gandhi.


Tak perlu diragukan lagi bagaimana Mahatma Gandhi membaktikan seluruh hidupnya untuk mengangkat derajat orang-orang yang dimiskinkan, memperjuangkan kesetaraan dan perdamaian. Dimasukkanlah ia pada kriteria orang-orang yang tidak egois. Tapi tunggu dulu. Dia dianggap tidak egois oleh siapa? Bagaimana dengan keluarganya yang menginginkan Gandhi muda menjadi barrister yang bisa menolong karir ayahnya?


Kita, manusia, tidak akan pernan bisa memenuhi semua tuntutan orang-orang di sekitar kita. Bisa jadi alasannya karena keterbatasan kita atau memang kita memilih untuk tidak mengikuti keinginan-keinginan orang lain tersebut. Yang terakhir ini apa tidak bisa disebut egois? Ya betul, kata “egois” sudah kadung negatif, tapi bukan berarti melulu tidak positif. Karena apapun yang kita lakukan itu sedikit banyak akan berdampak pada orang di sekitar kita, baik dan buruk, maka bagi saya, egois yang negatif itu ya yang jauh lebih banyak dampak buruknya bagi sekeliling kita. 


Pada akhirnya, kita akan memilih sesuatu yang bisa membuat kita nyaman, entah pekerjaan, pasangan, bentuk hubungan, partai, pertemanan, bisnis, pakaian, makanan, keyakinan. Pada akhirnya kita sadar bahwa tuntutan-tuntutan orang itu adalah demi memenuhi keinginan atau kebutuhan mereka dan tak ada jaminan mereka juga akan mampu memenuhi keinginan dan kebutuhan kita. Pada akhirnya, kita ini adalah makhluk egois yang di setiap waktunya bernegosiasi dengan ego-ego orang di sekitar kita.

baca selengkapnya

10 Juli 2012

Mengintip Masa Lalu Lewat Djam Malam




Orang yang tidak bisa melupakan kelampauan, maka akan hancur orang itu


Kalimat yang diucapkan Gafar, salah satu tokoh dalam film Lewat Djam Malam, muncul di penggalan menuju akhir film, saat sang tokoh utama, Iskandar, datang ke rumahnya setelah membunuh Gunawan. Di mata Gafar, apa yang dilakukan Iskandar adalah karena Iskandar selalu dibayang-bayangi masa lalu, masa revolusi, saat Iskandar yang masih menjadi pejuang diperintahkan oleh Gunawan, atasannya, untuk membunuh satu keluarga yang dituduh sebagai pengkhianat revolusi, meskipun tak ada bukti.


Alur filmnya lambat. Dengan durasi 106 menit, cerita berputar hanya dalam dua hari kehidupan Iskandar, hubungannya dengan sang tunangan, Norma, keluarga Norma, pekerjaan baru yang ditawarkan ayah Norma, pertemuannya dengan kawan-kawan seperjuangannya dulu dan paling penting adalah bagaimana ia harus menghadapi perasaan bersalahnya di tengah proses adaptasinya dengan masa berakhirnya perjuangan.


Well, saya bukan kritikus film dan sinematografer, jadi saya tidak akan membahas bagaimana film yang diproduksi pada 1954 itu dari sisi perfilman. Yang menarik bagi saya adalah bagaimana film tersebut memotret kehidupan di masa-masa awal kemerdekaan Indonesia. Bagaimanapun, film, dan juga seni karya yang lain, pastilah mewakili jamannya masing-masing. Maka kalimat Gafar yang saya tulis di awal itu, saya simpulkan hanya berlaku bagi kelampauan-kelampauan yang pahit. Masih banyak hal-hal lain dari masa lalu yang bisa, dan seharusnya bisa, dijadikan pembelajaran bagi kita.


Pertama, yang menarik bagi saya adalah para pemain film tersebut, terutama para pemain perempuan. Kenapa mereka menjadi sorotan saya? Jika saya berasumsi mereka hidup di masa kini dan tetap menjadi pemain film, kemungkinan besar mereka tidak akan mendapatkan peran penting. Alasannya karena mereka tidak memenuhi kriteria ‘perempuan ideal’ masa kini. Ini menunjukkan bahwa konsep ‘ideal’ tidak pernah kekal. Ia selalu berubah-ubah sepanjang masa. Lalu siapa yang mengubah konsep-konsep tersebut? Kita. Kita yang mana?


Selalu ada orang-orang yang memulai mengubah konsep cantik pada setiap eranya yang lalu dijadikan konsensus oleh banyak orang. Berkat teknologi media yang luar biasa dan, tentu saja, motif keuntungan, konsep cantik tersebut diproduksi berulang-ulang. Ya, bisa jadi Lewat Djam Malam telah juga mereproduksi konsep cantik bagi perempuan di masa itu yaitu perempuan yang lembut, bertubuh sintal, rambut gelungan. Film menangkap apa yang sedang disenangi oleh masyarakat dan kembali menunjukkannya kepada masyarakat sehingga munculah trend. Trend 70-an tentu berbeda berbeda dengan trend di tahun 20-an dan 1800-an. Beberapa kelompok masyarakat mempertahankan konsep-konsep kecantikan yang bagi sebagian orang yang merasa modern justru terlihat aneh. Misalnya, di Mauritania perempuan yang cantik adalah yang berbadan besar, di Mursi (Afrika) perempuan cantik adalah yang berbibir dengan liang besar. Suku Kayan di Thailand menganggap semakin tinggi leher, semakin cantiklah perempuan, serupa seperti yang ditemukan pada suku Dayak di Kalimantan yang menganggap perempuan cantik adalah perempuan dengan telinga paling menjuntai.


Contoh-contoh tersebut menunjukkan dua hal, pertama, karena absennya media modern dalam komunitas mereka, konsep kecantikan yang mereka yakini tidak banyak berubah. Bedakan dengan masyarakat yang tiap hari diterjang media yang hampir setiap dekade berubah konsep kecantikannya. Saya masih ingat waktu adik saya masih SD dulu, dia merajuk-rajuk minta di-reboonding rambut keritingnya. Padahal sekarang, model iklan shampoo tidak semuanya berambut lurus (meskipun yang lurus panjang masih mendominasi). Contoh-contoh di atas juga menunjukkan bahwa konsep kecantikan hamper selalu dilekatkan pada perempuan yang ujung-ujungnya perempuan yang harus ‘mati-matian’ agar bisa memenuhi standar ideal. Saya tidak bisa bayangkan kalau saya ini perempuan Mursi yang harus mengganjal bibir saya dengan piring agar tampil menarik!


Ok, selesai dulu bicara soal konsep kecantikan. Ada hal lain yang juga menarik dari kehidupan di era 50-an. Meskipun di masanya pesta dan gaun cantik yang dikenakan perempuan-perempuan sudah dikategorikan sebagai kemewahan, di mata saya justru tampak sederhana. Ya, konsep mewah dan sederhana juga agaknya berubah-ubah dan sangat subjektif. Pada pesta yang digelar Norma untuk menyambut kedatangan kekasihnya, Iskandar, tampak muda-mudi dengan riang bernyanyi, berbalas pantun dan menari bersama. Coba saja sekarang anda undang teman-teman ke rumah untuk pesta, apa masih bisa hanya mengandalkan lagu dan dansa dalam daftar acara pesta? Oh, maaf, mengundang pesta ke rumah? Lebih baik reservasi di restoran, hotel atau café!




baca selengkapnya

8 Juli 2012

Akar


Meskipun saya adalah salah satu pengikut Supernovanya Dee, tulisan saya ini tidak ada hubungannya dengan buku Dee walaupun judulnya sama dengan Supernova bagian duanya. Beberapa hari lalu, teman sekantor saya tiba-tiba bertanya,


“Akarmu dimana, Ling?”


Saya butuh mengerutkan kening member sinyal saya tak paham maksud pertanyaannya.


“Ya, tempat atau kota yang kamu pikir di sana kamu akan menghabiskan sisa hidup.”


Kali ini saya tak perlu berpikir lama untuk menjawab.


Agak kebetulan karena beberapa hari sebelumnya, di pesawat yang membawa saya kembali ke Jakarta, saya buka-buka majalah terbitan sang maskapai. Satu artikel, saya lupa namanya, yang mengulas lima kota di dunia favorit para orang terkenal. Di edisi tersebut, Dian Sastro yang kebagian diwawancara. Salah satu kota yang disebutkan adalah: Yogyakarta. Dia bilang alasannya,


“Karena di sana akar saya.”


Akar yang ia maksud di sini adalah tempat dimana leluhurnya, ia sebut eyang, berasal (ini juga menjawab pertanyaan saya soal keberadaan Griya Sastrowardoyo di Jalan A.M. Sangaji yang dulu biasa saya lalui menuju kantor, ternyata memang benar milik keluarganya). Jawabannya mirip dengan jawaban teman saya yang lain yang menyebutkan Semarang sebagai akarnya. Ia lahir dan besar di sana, merasa nyaman di sana.


Nah, saya ini memang ajaib. Alih-alih menjawab kota tempat saya dilahirkan dan dibesarkan, juga orang tua saya masih tinggal di sana sampai sekarang, Majalengka, saya justru memilih Yogyakarta sebagai akar saya. Bukan karena saya merasa Jogja jauh lebih bergengsi, tidak. Apalagi karena ingin dimirip-miripkan dengan Dian Sastro. Tidak seperti kebanyakan orang yang merasa akarnya adalah dimana mereka dilahirkan dan dibesarkan, saya memilih yang lain. Saya telah memilih dimana saya ingin menghunjamkan akar saya.


Terserah kalau orang bilang saya ini Sunda Murtad. Saya toh tidak merasa kehilangan kesundaan saya. Saya bangga sebagai orang Sunda. Ngomong-ngomong soal Sunda Murtad lagi, uniknya justru saat saya di Jogjalah saya merasa diri saya Sunda. Ironis memang. Mungkin karena lingkungan saya kebanyakan berasal dari suku Jawa, mereka melihat saya ‘berbeda’, Sunda. Saya sendiri memang menolak untuk berkegiatan di perkumpulan mahasiswa Jawa Barat. Bukan apa-apa, saya merasa buat apa saya kuliah jauh-jauh di Jogja kalau hanya membuat lingkaran dengan orang-orang yang sesuku dengan saya lagi? Toh, teman-teman Jawa saya juga tidak pernah melihat diri saya hanya sebagai orang Sunda dan membeda-bedakan perlakuan hanya karena saya berbeda suku. Saya justru sangat menyesal saya tidak pernah benar-benar belajar budaya Sunda sehingga bisa saya perkenalkan pada teman-teman saya.


Kesundaan saya tidak ada hubungannya dengan dimana saya ingin menanam akar saya. Ibarat pohon, ditanam dimanapun, namanya tetap pohon itu (walaupun berbeda bahasa, tentu saja). Saya memang masih belum bisa menerima konsep kalau tanaman juga bisa tidak nyaman hidupnya meskipun ditanam di tanah yang subur, disiram dan dipupuk secara rutin dan mendapatkan sinar matahari dan oksigen yang cukup. Karena itu beberapa botanis atau penggemar tanaman, tak jarang bercakap-cakap juga dengan tanaman kesayangan mereka. Tujuannya agar ada ikatan emosi yang akan membuat si tanaman merasa lebih nyaman. Ini mengingatkan saya pada pohon-pohon kelengkeng di rumah orang tua saya. Tinggi dan rimbun. Tapi tak pernah berbuah. Padahal di sekitarnya, pohon-pohon jambu biji selalu berbuah. Mungkin karena saya dan kakak saya dulu lebih sering bergelayutan di pohon jambu biji karena lebih mudah dipanjat? Entahlah.


Saya memilih Jogja sebagai tempat dimana saya telah menanamkan akar saya karena saya merasa di sanalah hidup saya benar-benar dimulai. Sebagai mahasiswa kost-kostan yang harus berjuang mempertahankan dompet dan rekening agar tidak cepat ludes, adalah satu pelajaran tersendiri. Pertemanan saya jalin dengan banyak orang, terutama dengan rekan kerja yang kemudian menjadi seperti keluarga sendiri. Saya bisa menceritakan apapun kepada mereka, begitupun sebaliknya. Kegiatan saya di luar kampus juga memungkinkan saya untuk berinteraksi dengan banyak orang yang membuat saya tidak bisa tidak harus mensyukuri apa yang saya miliki. Hal yang sebelumnya tidak saya temukan karena saat sekolah, saya termasuk anak kuper yang hanya tahu rumah-sekolah-rumah. Saya bisa memaksimalkan potensi yang saya miliki dan menjadi diri saya sendiri. Dan tentu saja, di kota itu juga saya bertemu dengan orang yang saya cintai dan beruntungnya dia juga sepakat bahwa Jogja adalah kota yang nyaman untuk ditinggali, meskipun hanya enam minggu saja dia pernah tinggal di sana.


Bagi saya, keputusan saya untuk menanam akar dengan cara sendiri itu membuktikan saya ini manusia, bukan pohon. Pohon tidak bisa memilih dimana ia akan menanamkan akarnya. Selain tak punya kaki untuk berjalan, tentu saja, juga karena ia memang diciptakan untuk tidak berkeinginan. Jika tak ada tangan manusia yang memindahkan atau tubuh binatang yang tak sengaja membawa benih tanaman itu ke tempat lain, benih-benih muda itu akan menancapkan akar di tanah tak jauh dari induknya. Tempat mereka jatuh dari buah-buah pohon inangnya. Manusia tidak. Kita bisa bergerak dan, lebih penting, bisa berpikir dan memilih. Beruntung saya mendapatkan kesempatan untuk bisa memilih. Itu bagi saya. Bagi orang lain bisa jadi berbeda, apa yang membuat bisa atau tidak bisa memilih, dan apa yang membuat kita merasa menjadi lebih 'manusia'.


Well, mengulang pertanyaan teman saya, saya juga ingin bertanya,


“Dimana akarmu?”





baca selengkapnya