12 Juli 2012

Pada Akhirnya, Kita Ini Makhluk Egois


Awal bulan ini saya mengumumkan kepada teman satu tim saya kalau saya tidak akan memperpanjang kontrak kerja. Artinya, di akhir bulan saya resmi cabut dari pekerjaan saya sekarang. Ada sekian alasan kenapa saya melakukan hal tersebut, termasuk ingin segera hengkang dari hiruk pikuk ibu kota. Teman-teman satu kantor, dan juga atasan saya tentu saja, menanyakan apakah saya sudah diterima bekerja di tempat lain sehingga memutuskan tidak memperpanjang kontrak. Saya bilang jujur: tidak. Jadilah beberapa dari mereka mendesak saya untuk memperpanjang kontrak lagi ya minimal tiga atau enam bulan. Tidak tahu mungkin kalau kepala saya ini agak mirip batu.


Ada yang kemudian mengatakan apa tidak kasihan dengan tim saya, yang memang sedang kekurangan personil. Saya bilang, pasti ada yang bisa menggantikan posisi saya, dan mungkin jauh lebih baik. Saya sebenarnya ingin mengatakan, apa tidak kasihan pada saya yang sudah ingin keluar tapi “dipaksa” tetap lanjut. Hehehe… Tapi tidak saya utarakan karena takutnya terkesan egois. Setelah dipikir-pikir, memang apa yang saya lakukan sekarang ini adalah demi memenuhi ego saya. Tapi bukankah kita ini makhluk egois?


Di luar kisah saya yang segera akan menjadi pengangguran (mungkin), saya ingat beberapa minggu lalu seorang teman yang baru saya kenal tiba-tiba mengirim direct message di twitter. Isinya:


“Pacar matre enaknya diapain?”


Saya jawab:


“Putusin *anda orang kedua dalam minggu ini yang saya kasih saran yang sama*”


Jawaban saya itu serius. Sama saat saya memberikan saran pada kawan baik saya yang sedang bimbang (alias galau) dengan hubungan yang ia miliki sekarang. Ia merasa sudah tidak nyaman dengan pacarnya dengan sekian alasan. Saat saya tanya kenapa lantas masih saja dipertahankan lalu dia jawab karena kasihan, maka saya dengan nada sedikit dibijak-bijakan, menyarankan untuk segera memutuskan hubungannya. Ya, untuk hal ini, saya bukan konselor yang baik. Terlalu berkaca juga dari pengalaman pribadi. 


Saya melanjutkan direct message saya dengan teman di twitter, seperti ini:


Well, saya mungkin terdengar jahat, tapi inti pacaran kan ‘saling’. Kalau kamu nyaman dengan kematreannya, silakan dilanjut.” 


Menurut saya, suatu hubungan itu harus didasari kenyamanan satu dengan yang lain. Ini bukan soal ‘pacar saya matre, pacar saya malu-maluin, pacar saya nggak perhatian dan bla bla bla’. Mau seperti apapun orang yang kita pilih sebagai pasangan kita, kalau kita merasa nyaman dengannya, tak perlu lagi dipersoalkan. Ya tentu saja tidak lantas asal main putus, toh dalam suatu hubungan ada yang namanya komunikasi. Dan menurut kesoktahuan saya, kalau ada teman yang bertanya pada saya, “sebaiknya apa yang dilakukan untuk hubungan kami?”, biasanya mereka sudah melewati fase mengkomunikasikan dengan pasangan. Jadi bertanya kepada saya adalah seperti meminta pertimbangan lebih lanjut. Hahaha… sesat pikir saya ini.


Begitupun juga dengan pekerjaan. Saya heran pada orang yang terus menerus mengeluh dengan pekerjaannya tapi tetap saja mengerjakan hal tersebut. Komitmen? Bukan saya rasa. Bagi saya, kalau sudah ada hal-hal yang kurang sreg dengan apa yang saya yakini, ya saya pertimbangkan untuk lanjut atau tidak. Kalau kira-kira kondisinya tidak memungkinkan bagi saya untuk mengubah hal-hal yang tidak sreg tersebut, naruni jiwa bebas saya langsung berteriak: KELUAR! Terserah mau saya dianggap cemen, tidak mau berusaha atau egois. Kalau sudah begitu, saya lalu berpikir soal orang-orang yang mengabdikan dirinya pada kehidupan orang banyak. Saya ambil contoh saja Mahatma Gandhi.


Tak perlu diragukan lagi bagaimana Mahatma Gandhi membaktikan seluruh hidupnya untuk mengangkat derajat orang-orang yang dimiskinkan, memperjuangkan kesetaraan dan perdamaian. Dimasukkanlah ia pada kriteria orang-orang yang tidak egois. Tapi tunggu dulu. Dia dianggap tidak egois oleh siapa? Bagaimana dengan keluarganya yang menginginkan Gandhi muda menjadi barrister yang bisa menolong karir ayahnya?


Kita, manusia, tidak akan pernan bisa memenuhi semua tuntutan orang-orang di sekitar kita. Bisa jadi alasannya karena keterbatasan kita atau memang kita memilih untuk tidak mengikuti keinginan-keinginan orang lain tersebut. Yang terakhir ini apa tidak bisa disebut egois? Ya betul, kata “egois” sudah kadung negatif, tapi bukan berarti melulu tidak positif. Karena apapun yang kita lakukan itu sedikit banyak akan berdampak pada orang di sekitar kita, baik dan buruk, maka bagi saya, egois yang negatif itu ya yang jauh lebih banyak dampak buruknya bagi sekeliling kita. 


Pada akhirnya, kita akan memilih sesuatu yang bisa membuat kita nyaman, entah pekerjaan, pasangan, bentuk hubungan, partai, pertemanan, bisnis, pakaian, makanan, keyakinan. Pada akhirnya kita sadar bahwa tuntutan-tuntutan orang itu adalah demi memenuhi keinginan atau kebutuhan mereka dan tak ada jaminan mereka juga akan mampu memenuhi keinginan dan kebutuhan kita. Pada akhirnya, kita ini adalah makhluk egois yang di setiap waktunya bernegosiasi dengan ego-ego orang di sekitar kita.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar