18 Juli 2012

Kita Pernah Jatuh: Murni Curhat


Tahun ini saya punya rencana untuk melanjutkan studi. Tentu saja dengan mengharapkan beasiswa. Bayar kuliah sendiri terlalu mahal, apalagi saya ingin sekali melanjutkan kuliah tidak di dalam negeri. Persiapan sudah saya lakukan dari tahun kemarin, mulai dari cari-cari universitas yang punya pogram yang saya incar, tes bahasa inggris yang menjadi syarat untuk melamar ke universitas dan mengontak ini itu untuk mau memberikan referensi untuk saya. Hasil tes IELTS saya lumayan, tidak wow tapi cukup sebagai syarat. Itupun setelah ikut kursus intensifnya selama seminggu. Dekan saya di S1 dan dosen saya di summer school juga bersedia memberikan referensi. Girang bukan main saat dua universitas yang saya lamar, Groningen dan Tilburg, menerima aplikasi saya. Saya lalu memilih admission letter dari Tilburg untuk kelengkapan aplikasi beasiswa. Selang beberapa minggu, datang email yang menyatakan saya belum bisa menerima beasiswa.


Belum patah arang, saya cari lagi universitas lain yang masih buka lowongan. Ketemu satu, walaupun dengan jurusan yang tidak terlalu saya minati, tapi karena ada embel-embel beasiswa, maka melamarlah lagi saya. Baru beberapa hari kemarin, karena lama tak ada kabar, saya tanyakan pada universitas tersebut soal tanggal pengumuman dan jawabannya singkat sekali:


>>Dear Lingga Tri Utama
>>You have been admitted, a letter was sent.


Bukannya senang, saya malah bingung. Pasalnya, untuk melamar beasiswa, menurut informasi via email beberapa bulan lalu, saya cukup menuliskan di motivation letter soal beasiswa itu. Prosesnya sama seperti proses tanpa melamar beasiswa. Saya tanyakan soal ini dan mendapatkan jawaban bahwa tenggat waktu beasiswa sudah habis. Nah lho. Saya cari informasi lagi ke alamat email lain dan jawabannya adalah, ternyata saya harus mengirimkan motivation letter tersebut bersama beberapa dokumen kepada seorang profesor yang bertanggung jawab pada proses seleksi beasiswa tersebut. Kesal.


Pelajaran pertama untuk saya adalah cari informasi sebanyak dan sedetail mungkin tentang universitas dan program beasiswa. Saat saya mendaftar ke Tilburg, hampir saja saya tidak mengirimkan research proposal karena tidak ada informasi tersebut di websitenya, tapi belakangan saya temukan di form pendaftaran. Ok lah, ini tahun pertama saya serius sekali daftar kuliah. Sebelum-sebelumnya saya asal daftar saja. Tapi itu bukan alibi yang baik tentu saja.


Pelajaran kedua, saya merasa gagal. Saya tahu beberapa orang yang mendapatkan beasiswa karena pengalaman-pengalaman mereka yang seabrek atau prestasi mereka yang menjulang (ah ya, saya lupa, kawan saya mengingatkan ada juga yang dapat karena faktor “keberuntungan” sampai akhirnya kawan saya memutuskan untuk rehat sejenak dari pencarian beasiswa, tapi saya tidak mau mendiskusikannya di sini). Dari mereka-mereka saya seperti berhadapan dengan cermin, ya ya… pengalaman dan prestasi saya tidak banyak. Di situlah saya merasa gagal. Merasa jatuh. Merasa ingin bisa memutar waktu mengembalikan ke masa dimana saya bisa meraup pengalaman dan prestasi sebanyak mungkin yang saya yakin sebetulnya saya bisa kalau saya mau. 


Saya pernah jatuh sebelumnya. Semua orang pernah. Mungkin jatuh dari pohon atau sepeda. Sakit. Ya terasa sakit. Luka di lutut atau memar di lengan mungkin tak sebanding dengan perasaan ternyata kita tidak berhasil memanjat pohon atau mengendarai sepeda dengan baik. Tapi itu tidak pernah menyurutkan kita untuk terus memanjat pohon dan bersepeda keliling kampung, bukan? Tak ada juga bayi yang tiba-tiba lancar berdiri, berjalan dan berlari-lari tanpa pernah jatuh (sayang saya tidak bisa mengingat, orangtua saya juga tidak pernah menceritakan proses jatuh bangun saat saya belajar berjalan).


Jika kita gagal, berarti kita tidak benar-benar berusaha. Saya lupa kalimat itu ada dalam film apa. Tapi saya mengamini, untuk kepentingan saya pribadi. Dengan begitu, saya terpacu untuk berusaha lebih keras lagi. Praktiknya memang tidak sesederhana itu karena ada hal-hal di luar kuasa kita yang sulit atau bahkan mungkin tidak mungkin kita ubah (menjadikan bumi ini tidak lagi bulat tapi prisma, misalnya). Toh sampai sejauh ini, keinginan saya masih masuk akal. Saya memang sesekali ingin punya sayap yang bisa membuat saya terbang lintas benua, ingin bisa membelah diri layaknya amoeba saat merasa terlalu banyak yang harus saya kerjakan atau ingin bisa menghilang dalam sekejap dari rapat-rapat membosankan. Selain itu, saya rasa saya masih waras. Ingin bisa kuliah, memiliki pekerjaan yang saya cintai dan hidup bersama pasangan yang saling mengisi.


Jika kita gagal, berarti kita tidak benar-benar berusaha. Bukan berarti akhir dunia atau lantas menghalalkan segala cara untuk mensukseskan keinginan kita. Saya melihat kehidupan saya seperti hamparan kertas dan saya tidak sedang membuat satu garis linier. Saya yakin saya bisa membuat banyak garis, juga kurva berkelok, menentukan tidak hanya satu titik tujuan dan bahkan mewarnainya. Itu cara saya memaknai kegagalan. Berhenti meneruskan satu garis karena sudah mentok bukan lantas menjadikan kita sebagai pengecut, tapi justru berpikir lebih realistis. Saya perlu membuat garis lain. Masih terlalu luas kertas yang saya miliki kalau hanya fokus hanya pada satu garis saja. Plan B, mungkin itu bahasa lainnya. Rencana kedua bukan hanya sebagai cadangan kalau rencana pertama kita tidak berhasil mendapatkan X, tapi juga rencana kedua untuk memungkinkan kita mendapatkan Y, Z dan yang lainnya.


Kita pernah jatuh. Saat belajar berjalan, naik sepeda, memanjat pohon. Dalam karir, akademik, mimpi, cinta. Tapi itu bukan akhir dunia. Ada tantangan baru. Ada kesempatan lain. Ada orang tua kita yang membantu kita kembali berdiri. Ada sahabat-sahabat baik yang memberikan dukungan. Dan terpenting bagi saya, ada orang yang saya sayangi yang memberikan energi luar biasa untuk saya. Thanks, honey! 


*Ini murni curhatan ngalor ngidul. Membacanya dengan terlalu bersungguh-sungguh sangat tidak disarankan hehehe..*


Tidak ada komentar:

Posting Komentar