26 Desember 2011

Resolusi, Hanya Bagi yang Membutuhkan

Tik tok tik tok... Sedetik yang lalu. Lima menit kebelakang. Tadi pagi. Kemarin malam. Setahun silam.

Dunia berputar, menyapa kita sejenak lalu kita sebut ia dengan masa lalu. Canda tawa menimbulkan rindu. Tak sedikit pula tangis pilu. Darinya kita belajar. Menjadikan diri kita sekarang. Sekarang. Sekarang?
Tik tok tik tok... Sekarang. Detik ini. Menit ini. Jam ini. Malam ini. Hari ini. Minggu ini. Bulan ini. Tahun ini.

Masa yang sedetik kemudian, semenit kemudian, sejam kemudian, seminggu dan setahun kemudian akan menjadi memori.


Seminggu lagi, kita bersiap mengganti kalender kita dan membiasakan diri menulis angka 2 alih-alih angka 1 setelah 201. Semuanya memang hanya masalah angka, yang memudahkan kita beraktivitas dan menyamakan persepsi soal dimensi waktu. Namun, tak bisa disangkal, pergantian tersebut sering dijadikan momen berharga bagi banyak orang. Harga yang bisa dirupiahkan oleh para pemilik bisnis hiburan. Atau harga yang tak bisa dihitung nilainya seperti menikmati liburan dan menghabiskan waktu bersama keluarga, atau membuat resolusi, mencoba menjadi pribadi yang lebih baik dari tahun-tahun yang sudah terlewati.

Resolusi. Terdengar indah dan menjanjikan namun tak jarang hanya berujung di coretan di atas kertas yang pada pertengahan tahun mungkin kita sudah melupakan dimana kita simpan atau bahkan sudah terbuang bersama tumpukan dokumen yang sudah tak berguna. Saya, termasuk yang rapi menyimpan, tapi juga rapi melupakan. Maka resolusi saya yang pertama kali di tahun depan adalah: berkomitmen pada resolusi saya. 

Beberapa kawan saya menganggap resolusi tidak penting, karena ada yang berfalsafah hidup mengikuti kemana air mengalir, atau karena ada yang memang setiap waktunya mereka beresolusi. Bagi orang seperti saya yang keinginannya macam-macam dan rupa-rupa, membuat resolusi adalah hal yang cukup membantu kemana arah yang akan saya tuju. Anda yang tidak merasa membutuhkan resolusi, silakan stop membaca sampai di sini. Anda yang tertarik membuat resolusi, silakan lanjut. 


Evaluasi: Melihat Resolusi Tahun Lalu
Dari 11 item yang menjadi resolusi saya di tahun 2011, hanya 6 yang saya rasa sudah saya raih. Tiga di antaranya sudah gagal di awal tahun karena salah perhitungan (soal beasiswa dan persiapan pendaftaran). Dari enam item yang berhasil saya raih, saya baru sadar kalau tiga item diantaranya sulit sekali dinilai keberhasilannya karena saya hanya menuliskan: kurangi rokok, kurangi limbah plastik dan perbanyak makan buah. Saya mungkin saja membela diri mengapa ada resolusi yang tidak bisa saya wujudkan, tapi fokus pada apa yang akan saya lakukan jauh lebih penting.

Melihat kembali resolusi yang pernah kita susun akan membuat kita bisa mengukur kemampuan (dan kemauan) diri kita. Jangan-jangan memang resolusi yang kita buat terlalu tinggi untuk diraih? Melihat kembali resolusi kita juga menjadi ajang belajar bagaimana membuat perencanaan yang lebih matang. Tentu juga kita bisa masukkan hal-hal yang sudah kita capai di luar resolusi, yang bisa kita gunakan sebagai acuan menyusun resolusi baru. Bukan tidak mungkin dalam waktu setahun kita bertemu seseorang yang mampu mengubah visi kita, mendapatkan promosi di tempat kerja, atau hal lainnya. 


Fokus: Mulai Menyusun Resolusi
Nah, ini dia. Saatnya menyusun apa-apa saja yang hendak kita capai tahun depan. Ada banyak teori soal bagaimana membuat perencanaan yang baik dan efektif. Saya coba sarikan dari beberapa sumber sambil berkaca dari apa yang sudah saya lakukan. Bagi beberapa orang, menyusun resolusi ini membutuhkan waktu tersendiri, sambil mengevaluasi apa yang sudah kita lakukan dan telah kita raih. Bagaimanapun caranya, fokus menjadi hal yang penting karena apa yang akan kita pikirkan adalah perkara masa depan kita sendiri.

  • Prioritas. Tahu apa yang kita inginkan adalah modal pertama dalam membuat resolusi. Menulis sampai 30 item resolusi mungkin bisa jadi persoalan jika ketigapuluhnya itu tidak berada dalam satu rel. Yang saya lakukan di tahun lalu adalah membuat prioritas untuk pekerjaan dan studi. Ada item-item lain yang lebih mengarah pada gaya hidup saya catat di bagian lain. Awalnya mungkin ada banyak ide yang ingin kita lakukan, namun lebih bijak jika kita menyaringnya berdasarkan mana yang lebih penting dan segera.
  • Bernilai. Masukkan hanya hal-hal penting dalam hidup kita sebagai resolusi. Sejauh mana itu penting bisa kita lihat dari seberapa besar pengaruhnya pada masa depan kita, yang bagi setiap orang bisa jadi berbeda. Lulus kuliah misalnya, bisa saja prioritas bagi seseorang karena merasa harus cepat lulus, bisa kerja dan menyenangkan orang tua. Tapi bagi orang lain, lulus kuliah mungkin tidak menjadi prioritas karena prestasi di organisasi jauh lebih penting, misalnya. Bernilai atau tidaknya sesuatu bisa juga ditentukan dari bagaimana perasaan kita jika kita berhasil mendapatkannya.
  • Detail. Tujuan yang terlalu 'besar' mungkin bisa menjerumuskan kita. Alih-alih semangat, kita justru merasa terbebani oleh target yang kita buat sendiri. Lebih mudah jika kita pecah mimpi yang 'besar' itu menjadi bagian-bagian kecil, dan kepada bagian-bagian kecil itulah kita akan berusaha mencapainya. Contoh saya, tujuan besar saya bisa kuliah di luar negeri, mungkin terdengar besar. Namun jika saya pecah berdasarkan proses yang harus saya lalui: lulus tes bahasa inggris dengan skor X, lulus aplikasi di universitas X dan lulus beasiswa X, akan terasa tidak terlalu membebani.
  • Terukur. Resolusi 2011 saya soal pengurangan limbah plastik mungkin adalah contoh yang kurang baik. Saya melakukan pengurangan itu iya, tapi kadang-kadang saya tidak bisa menghindari karena lupa bawa tas atau barang belanjaan terlalu besar. Akan lebih tepat jika saya menulis: cukup tiga-empat kantong plastik dalam satu bulan, dan sebagainya.
  • Realistis. Resolusi bisa terbang ke bulan pada tahun 2012 mungkin akan jadi bahan tertawaan kawan-kawan kita. Tapi jika kita rasa itu adalah hal yang tingkat kemungkinan untuk dicapainya tinggi, kenapa tidak? Ukuran realistis atau tidak sangat subjektif. Di sini kita dituntut untuk jujur pada kemampuan yang kita miliki juga jeli pada kondisi di sekitar kita yang bisa memberikan dukungan. Realistis juga bukan berarti hal-hal yang yang akan kita lakukan adalah hal yang "mudah". Bagi orang yang senang membaca, menamatkan 1 judul buku dalam sebulan mungkin bukan masalah. Tapi untuk apa kita jadikan itu sebagai resolusi?
  • Jadwal. Ini adalah kesalahan fatal saya saat membuat resolusi 2011. Tidak ada jadwal! Beberapa hal sudah bisa kita jadwalkan karena ada jadwal lain yang mengatur. Misalnya, wisuda pada November 2012. Kita tidak bisa menjadwalkan untuk wisuda pada bulan Agustus jika kampus kita tidak punya agenda di bulan itu! Cari tahu soal jadwal-jadwal seperti ini, termasuk juga misalnya jadwal cuti bersama bagi yang akan mengagendakan liburan panjang ke lokasi yang kita impikan. Untuk resolusi yang nir-jadwal, kita lebih bebas menentukan, tentu dengan pertimbangan realistis untuk dicapai.
 
Komitmen: Siapkan Diri Kita
Evaluasi sudah dilakukan dan resolusi sudah tercatat rapi dalam agenda kita. Lalu apa yang harus kita lakukan? Mulai menjalankan resolusi kita tentu saja. Antisipasi perlu dipersiapkan kalau-kalau di tengah jalan mesin kita mogok. Ada banyak cara untuk memotivasi diri sendiri agar komit pada janji kita pada diri sendiri. Pertama, berbagi resolusi dengan orang-orang terdekat agar bisa saling mengingatkan dan memberikan dukungan. Saya lakukan ini dengan kawan dekat saya dan cukup berhasil mencambuk semangat saya saat saya sudah mulai kehilangan fokus dan ia mengingatkan saya. Orang-orang ini juga yang akan memberikan reward saat kita berhasil mencapai resolusi kita. Ucapan selamat adalah penghargaan besar atas apa yang sudah kita raih. Jika itu tidak cukup, kita bisa memberikan reward pada diri kita sendiri.

Kita juga bisa mencatat resolusi kita pada kertas yang cukup besar dan menempelkannya di dinding kamar. Anggaplah ia sebagai alarm. Membuatnya tampil menarik, dengan menambahkan gambar dan warna, mungkin bisa membantu agar tidak terlihat sebagai hantu yang selalu mengikuti. Namun, jika perasaan terhantui itu terus menerus kita rasakan, agaknya kita perlu melihat kembali resolusi yang sudah kita susun. Sudah tepatkah? Merevisinya sehingga terasa lebih tidak membebani jauh lebih baik dibandingkan dengan kemudian berusaha mati-matian menggapai target tapi kita sendiri tidak menginginkannya. Resolusi tahunan, seperti halnya tahun baru, hanya perkara momen. Kita bisa membuat resolusi kapanpun kita butuhkan dan kita inginkan. Kita bisa menjadi diri yang baru tanpa harus menunggu pergantian kalender dan pergantian satu angka paling akhir di penanggalan.
baca selengkapnya

14 Desember 2011

Prison


Prison and criminalism are actually not my concern. But since I had to write a short essay about prison, I could not run away to think about the prison. It is not a big secret anymore that prisons in Indonesia have a bad management. Fortunately, I didn’t have to make an essay about that. Thinking of the fact that the law institution has turned out to be a place for many crimes is so irritating.

Every country has its own regulations on how to reduce the crime rate of their  countries. The regulations may be different, but they have a similar way to put people who are sued to be criminal in the prison. Some people think that it is an effective tool. But others think, it isn’t.

It seems that prisons are effective to make people not do any crimes. Prisons are built to make people scared. Living in the prison is absolutely not a choice. No one want to live without any fun, get trapped in a small room and have to share your life with someone that you don’t expect. People also need punishment for what they did –if they did a crime. This behavioral theory of human is well understood by many people and is applied to control human behavior. In this point of view, prisons are an effective tool in reducing the crime. And of course, we can imagine that if all of the criminals are put in prison, they will not be able to harm, or do something bad to other people who live outside of the prison.

Some people who think that prisons are not effective in reducing the crime probably assumed that crime doesn’t naturally run in the human’s blood. They believe that there are many other factors that lead people to do a bad thing. For example, the violence that is showed by the television day by day has influenced people to do the same thing as they watched. Prison is not the answer for this issue. The social pathology can only be cured by respecting humanity, taking care of our children and society with love. The critics are also addressed to what do the prison give to the prisoners? Do they give some soft skills that can be used when the prisoners back to the society? Or does the environment and atmosphere of the prisons not change them into a better person?

In my opinion, prisons may be an effective tool in reducing the crime. But to prevent the crime is much more important. Prisons are the last thing that we can give to people who cannot accept the rule of humanity. However, they, the criminals, are still a human, have to be treated as human even when they have to spend their life in prison. Treating them with no respect will only result another problem: they go back to the society and repeat to do crime or even worse. That is my opinion, what about yours?
baca selengkapnya

11 Desember 2011

Melawan Mitos HIV & AIDS

Dua orang perempuan masuk ke dalam ruangan dimana saya dan beberapa teman sedang mendengarkan pengalaman sebuah organisasi yang bergelut di isu HIV & AIDS di Bali. Seorang staf organisasi tersebut lantas meminta keduanya untuk duduk di bangku depan dan memperkenalkan diri mereka, termasuk statusnya sebagai orang yang terinfeksi HIV. Sang staf lalu mempersilakan kami untuk mengajukan pertanyaan-pertanyaan kepada mereka. Saya salah tingkah. Tak bertanya satu pun, hanya kening berkerut-kerut.

Bukan hanya sekali dua saya bertemu orang yang terinfeksi HIV. Beberapa kawan saya juga HIV positif, sebagian perempuan. Namun bukan itu yang menjadi alasan saya memilih bungkam. Jika kawan-kawan saya yang positif HIV bisa dengan tenang dan percaya diri menceritakan statusnya di depan umum karena sudah terbiasa, saya menangkap ketidaknyamanan pada wajah dua perempuan ini. Wajah yang mengajak memori saya kembali ke beberapa tahun lalu, saat saya pertama kali bertemu dengan perempuan yang HIV positif yang bukan berasal dari komunitas pengguna napza suntik dan pekerja seks, komunitas-komunitas yang selama ini dianggap beresiko tinggi dalam penularan HIV. Saat itu saya sedang membantu memfasilitasi pertemuan orang-orang yang terinfeksi HIV dari berbagai komunitas. Ia adalah salah satu pesertanya.

“Aku dapat dari suamiku.” Kalimat itu begitu saja keluar dari mulutnya tanpa saya tanya. Saya masih ingat, saat itu kami sedang menikmati kopi di sela acara. Saya langsung paham yang dia maksud ‘dapat’ artinya adalah terinfeksi HIV. Yang membuat saya agak terkejut adalah karena selama sesi pertemuan, dia tidak banyak bicara. Lebih sering duduk diam dan mendengarkan. Wajahnya yang lugu sangat serius mencerna setiap informasi yang didapat dan saat berbicara terdengar agak ragu karena masih harus bergelut dengan emosinya sendiri. Saya mungkin terdengar mendramatisir, tapi anda mungkin juga akan menyimpulkan hal yang sama jika melihat genangan air matanya nyaris tumpah saat dia melanjutkan kisahnya, “Suamiku sudah meninggal. Saat itulah aku baru tahu ia meninggal karena AIDS. Dan pada hari itu juga aku tahu aku HIV positif”.

Kejadian itu baru dia alami beberapa bulan sebelum kami bertemu. Wajar rasanya jika saat itu kondisinya belum stabil, apalagi usianya hanya terpaut beberapa tahun di bawah saya. Harus menerima sekian kenyataan yang mungkin tak pernah ia bayangkan sebelumnya. Apalagi dengan bayi yang belum genap setahun, kekhawatiran akan masa depan masih terbayang di wajahnya kala itu. “Syukurlah, anakku negatif,” katanya sambil tersenyum.

Sikap dan cara bicaranya sangat berbeda saat dia berbicara dengan saya dan saat dia berada dalam forum. Mungkin itu juga yang dirasakan oleh dua perempuan yang saya lihat siang itu. Sayang, saya kehilangan kesempatan untuk mengobrol santai dengan mereka. Walaupun saya juga tidak tahu apa yang akan saya tanyakan, tapi saya merasa lebih nyaman berbicara secara personal. Dalam hal ini, saya memposisikan bagaimana jika saya adalah mereka. Saya tidak akan melakukan hal yang saya tidak suka orang lain memperlakukan saya. Jika saya adalah mereka, mungkin saya akan merasa khawatir orang-orang akan mencap saya ini itu saat saya memberi tahu status saya, menganggap saya yang tidak-tidak karena bicara HIV & AIDS seringkali sulit bebas nilai.

Sejak ditemukannya, HIV & AIDS tak pernah lepas dari mitos dan isu moralitas. Ini juga yang dialami oleh kawan saya itu. Keluarganya sendiri menolak dia setelah diketahui statusnya. Tak disebutkan apa alasannya kepada saya, tapi saya duga itu karena keluarganya tak punya informasi yang benar soal HIV & AIDS. Tak sedikit keluarga yang melalukan tindakan seperti ini kepada mereka yang terinfeksi HIV, takut tertularlah atau karena mereka yang HIV positif itu dianggap telah melakukan perbuatan-perbuatan melanggar nilai dan norma. Bahkan, orang yang meninggal karena AIDS pun masih saja mendapatkan perlakuan seperti ini. Di Bali misalnya, beberapa kali terjadi jenazah orang yang meninggal karena AIDS ditolak olah warga adat. Padahal menurut kepercayaan Hindu Bali, jenazah harus dimandikan oleh seluruh warga.

Selain mitos bagaimana mudahnya HIV ditularkan, mitos lain yang berkembang juga misalnya HIV & AIDS adalah wabah orang asing, yang padahal, sebagai contoh saja di Bali, turis-turis asing memiliki informasi dan kesadaran yang lebih tinggi tentang HIV & AIDS, terbukti dari kondom yang senantiasa mereka siapkan dan tidak ragu-ragu mengakses layanan terapi rumatan metadhon yang disediakan layanan-layanan kesehatan di Bali. Selain sebagai wabah orang asing, masyarakat masih juga memandang HIV & AIDS sebagai wabah para pekerja seks, terutama pekerja seks perempuan. Perempuan yang terinfeksi HIV, apapun penyebabnya, kemudian mendapatkan cap negatif sebagai perempuan ‘nakal’, sementara perempuan yang dianggap ‘baik-baik’ tidak mungkin tertular HIV. Padahal menurut data Komisi Penanggulangan AIDS Nasional tahun 2010, dari 5.210 kasus AIDS kumulatif pada perempuan, sebanyak 41,4 persennya adalah ibu rumah tangga, sedangkan jumlah kasus pada perempuan pekerja seks sebesar 8,7 persen. Tentu saja, perempuan yang terpaksa menjadi pekerja seks jumlahnya lebih sedikit dibandingkan dengan yang menjadi ibu rumah tangga. Namun, perlu juga diperhatikan bahwa jumlah laki-laki yang menjadi pelanggan pekerja seks jauh lebih banyak dibandingkan jumlah pekerja seksnya sendiri, yang justru jarang sekali mendapatkan cap negatif karena perilakunya itu dianggap lebih ‘lumrah’ dalam masyarakat.

Mitos-mitos seperti ini juga acapkali diperkuat oleh pemberitaan yang kurang berimbang dan penyajian data tanpa penjelasan lebih dalam. Misalnya saja, banyaknya kasus HIV di kalangan orang muda yang disajikan ‘seadanya’ tanpa keterangan lebih jelas, dapat membentuk opini masyarakat bahwa HIV & AIDS adalah hanya masalah orang muda, yang seringkali dianggap berjiwa ‘pemberontak’, suka mendobrak tabu-tabu sosial. Padahal jika kita telusuri, angka tersebut mungkin justru menggambarkan kesadaran orang-orang muda ini untuk melakukan tes HIV dan bagaimana program-program HIV & AIDS yang ada selama ini lebih banyak menyasar kelompok usia ini.

Usia muda, perempuan dan HIV positif. Secara parsial saja sudah dipenuhi label-label tak mengenakkan. Bayangkan jika ketiganya tersandang pada diri kita. Kawan saya, ia perempuan dan terinfeksi HIV pada usia yang masih sangat muda, lalu mendedikasikan dirinya pada isu HIV & AIDS dengan mengaktifkan kelompok dukungan sebaya bagi perempuan-perempuan yang terinfeksi HIV bersama kawan-kawan lain. Ada rasa bahagia saat saya melihat banyaknya kelompok-kelompok dukungan sebaya seperti itu, apalagi ada pula yang diinisiasi justru oleh keluarga orang yang terinfeksi HIV seperti yang ada di Singaraja, dan ada yang mendapatkan dukungan penuh dari masyarakat sekitar seperti yang ada di Jembrana. Meskipun keduanya berada di Bali, saya percaya masih ada dan akan lebih banyak lagi kelompok-kelompok seperti itu dari Sabang hingga Merauke. Juga hal yang sangat menggembirakan ketika lebih banyak anak muda yang peduli pada isu HIV & AIDS, tidak menelan mentah-mentah mitos yang beredar di masyarakat dan tak ragu berkawan dengan orang-orang yang terinfeksi HIV.

Kita tak mungkin hanya menunggu waktu untuk menjawab persoalan HIV & AIDS sekarang ini. Membutuhkan proses dan usaha keras agar masyarakat terbebas dari mitos-mitos menyesatkan, mendapatkan informasi yang benar dan bersikap serta berperilaku dengan tepat. Proses dan usaha keras telah dilakukan kawan saya itu, yang perempuan dan terinfeksi HIV pada usia muda, yang berhasil melawan mitos yang terinternalisasi dalam dirinya, yang menjadikannya seperti sekarang. Proses yang mungkin masih sedang dilalui oleh dua perempuan yang masuk ke ruangan di siang itu.

baca selengkapnya

1 Desember 2011

Semua Bisa Kena HIV Bukan Sekedar Angin Lalu

Campur aduk rasanya saat saya membaca berita tentang penolakan seorang siswa yang diketahui ayahnya positif HIV. Sang anak, yang negatif, sebetulnya sudah diterima di sekolah tersebut namun tiba-tiba orang tuanya mendapatkan pesan singkat dari salah satu guru yang menyatakan bahwa anak tersebut tidak jadi diterima karena adanya kekhawatiran dari beberapa orang tua murid. 

Perasaan pertama yang saya rasakan adalah geram pada pihak sekolah dan kasihan pada si anak. Perasaan saya lalu berubah menjadi kekhawatiran mungkin masih banyak –semoga tidak- anak-anak yang mendapatkan perlakuan serupa. Saya bertanya-tanya, apakah para guru dan orang tua akan melakukan hal yang sama pada anak yang ibu atau ayahnya terkena hepatitis atau TBC? Apakah mereka tidak pernah mendapatkan informasi tentang HIV & AIDS yang benar?

Dalam hal ini, tentu pihak sekolah tidak bisa disalahkan seratus persen. Saya sedikit paham cara pikir pihak sekolah tersebut mengingat masih minimnya pengetahuan yang dimiliki masyarakat umum terkait HIV & AIDS. Program-program yang sudah bertahun-tahun dijalankan secara tidak langsung sudah melabel kelompok tertentu sebagai beresiko tinggi dan yang lainnya tidak. Bagi yang terakhir ini, selain kurangnya akses informasi bagi mereka, mereka juga telah ditumbuhkan untuk tidak mencari informasi tersebut karena merasa diri berada di area ‘aman’. Hasilnya ya seperti sekarang ini, slogan “Semua Bisa Kena” seakan angin lalu bagi sebagian orang.

Data yang dikeluarkan oleh Komisi Penanggulangan AIDS Nasional pada 2010 bisa dijadikan gambaran bagaimana kelompok masyarakat yang tidak terimbas program penanggulangan justru kini berada di posisi beresiko. Dari 5210 kasus AIDS kumulatif pada perempuan, sebesar 41.4% nya adalah ibu rumah tangga. Sedangkan jumlah kasus pada perempuan pekerja seks sebesar 8.7%. Pertanyaannya adalah tentu saja, apakah para ibu rumah tangga tersebut sebelumnya tahu bahwa mereka punya potensi terinfeksi HIV?

Beberapa tahun lalu, kali pertama saya bertemu dengan perempuan yang terinfeksi HIV tanpa sebelumnya ia tahu ia beresiko. Cara pandang saya dulu yang masih sangat bias membuat saya terkejut bukan main saat ia mengatakan terus terang kalau dirinya positif HIV. Di antara teman-temannya, saya pikir dia adalah mahasiswa yang sedang mencoba-coba berkegiatan sosial, masih terlihat keluguannya. Sampai dia bercerita bagaimana HIV bisa bersarang di tubuhnya.

Ia menikah di usia yang masih muda. Dia tak pernah tahu sang suami ternyata positif HIV sampai suaminya meninggal di rumah sakit dan dokter kemudian memanggilnya. Sang dokter menganjurkannya untuk tes agar segera diketahui statusnya sehingga langkah selanjutnya bisa segera diambil. Pun demikian pada bayi hasil pernikahan mereka. Hasilnya, ia dan anaknya positif. Saya tidak bisa membayangkan bagaimana rasanya jika saya jadi dia. Bingung, frustrasi, sedih, takut dia rasakan. Beruntung, keluarga sang suami memberikan dukungan dan motivasi yang besar sehingga dia bisa melanjutkan kehidupannya dengan semangat. Bahkan, saat saya undang untuk menceritakan kisahnya di sebuah program radio, dia sangat berantusias membagi pengalamannya dengan tujuan agar tidak ada lagi perempuan-perempuan yang mengalami kisah serupa.

Maka saat saya membaca berita penolakan sebuah sekolah pada siswa yang ayahnya positif HIV membuat saya sangat khawatir, lantas apa yang akan dilakukan sekolah pada siswa yang diketahui statusnya HIV positif seperti anak teman saya itu? Ini adalah bahan renungan kita bersama di Hari AIDS Sedunia ini, apakah program penanggulangan HIV & AIDS yang selama ini telah dilakukan sudah menyentuh semua lapisan masyarakat? Apakah program dan tanggung jawab harus selalu difokuskan kepada kelompok tertentu yang dianggap beresiko tinggi saja?
baca selengkapnya