22 September 2012

"Sayang, Password FB Kamu Apa?"

Kemarin sore saya bertemu seorang mahasiswa S2 yang akan bikin workshop untuk guru-guru SMP dan meminta bantuan saya untuk menjadi salah satu fasilitator di workshop tersebut. Ada satu materi yang akan diberikan dalam workshop, tentang ruang personal, yang mengingatkan saya pada status seorang kawan di Facebook yang saya tengok pagi harinya. Saya lupa pasti kata-katanya (malas juga mau nyari-nyari lagi), tapi intinya tentang password semua akun yang bagi beberapa pasangan penting buat saling mengetahui. Saya komentari singkat,

"Fenomena yang menarik"

Fenomena karena terjadi belakangan ini saja, bukan? Ya tentu saja, saat ibu dan ayah saya pacaran dulu, tidak mungkin mereka tuker-tukeran password facebook, twitter, skype dan sebagainya. Oh... sederhananya hidup...

Menarik buat saya karena mengetahui password pasangan bukan sesuatu yang gue banget. Mungkin ada yang tujuannya hanya untuk fun. Okelah kalau yang itu. Tapi kalau tujuannya untuk memata-matai pasangan? Walah... mau berpasangan atau main intel-intelan? Bukannya dasar sebuah hubungan adalah saling percaya? Kalau sudah tidak ada kepercayaan lagi, kenapa juga hubungannya mesti dilanjutkan sih? Lagipula, dan ini diakui kawan lain yang dalam hubungan sebelumnya berbagi password dengan pasangannya (untunglah mereka sudah putus), kalau memang mau niat nakal, selingkuh dan sebagainya, cuma orang yang otaknya dari dodol yang mengekspresikannya lewat jejaring sosial mereka. Itu pendapat saya. Kenapa soal ruang personal mengingatkan saya pada fenomena berbagi password ini adalah karena ada beragam tipe orang dalam menjalin hubungan. Berbedanya 'zona nyaman individu' setiap manusia bisa jadi punya sumbangan untuk menentukan mau memberikan password kita ke pasangan, 'memaksa' pasangan memberikan passwordnya kepada kita, atau sebodo amat pasangan kita mau jungkir balik di akun mereka.

Dalam psikologi, ruang personal diperkenalkan pertama kali oleh Edward T. Hall (1966), meskipun pemakaian istilah tersebut digunakan juga dalam bidang lain seperti arsitektur. Ruang personal adalah ruang ilusi soal privasi dan kenyamanan, satu di antara konsep-konsep ruang lain dalam konteks hubungan interpersonal manusia. Ruang lain adalah ruang intim, ruang sosial dan ruang publik. Secara teori, ruang-ruang itu meskipun tak kasat mata, ada ukurannya masing-masing yang berbeda untuk setiap individu yang dipengaruhi oleh banyak faktor dan bisa jadi berubah pada kondisi tertentu atau pada orang-orang tertentu. Saya misalnya, saya bukan orang yang cukup nyaman ketika harus melakukan kontak fisik dengan orang lain, kecuali orang tersebut sudah saya anggap sangat dekat. Berbeda dengan kawan saya yang jalan-jalan di mall dengan teman saja bisa sambil pegang tangan.

Kalau teori tentang ruang personal tersebut berbicara tentang ukuran fisik soal kenyamanan, perkara berbagi password itu adalah hal yang ukurannya tidak lagi dalam inchi atau sentimeter. Lebih ilusioner, mungkin. Atau lebih tepat itu adalah perkara privasi? Keduanya bicara soal zona nyaman individu. Di ruang intim, kita bisa dengan leluasa membuka privasi kita, menceritakan kisah yang terlalu memalukan untuk diberitahukan pada orang lain, bahkan sampai (mungkin) tidak segan menunjukkan isi celana dalam kita. Beberapa dari kita tidak memberikan password akun-akunnya kepada pasangan bukan soal privasi ini. Toh, justru ada banyak hal yang tidak dibagi dalam akun-akun kita yang malah kita ceritakan dengan pada pasangan. 

Lagi, itu soal kenyamanan. Kalau memang keduanya sepakat dan sama-sama nyaman dengan berbagi password, ya silakan saja. Kadarnya juga mungkin berbeda ya. Ada yang boleh cuma nengok saja, ada yang bisa sampai upload foto dan berbalas komentar dengan temannya pasangan. Demikian juga dengan ruang personal. Agak gegabah rasanya kalau kita menganggap semua teman kita punya ruang personal yang sama. Atau parahnya, punya ruang personal yang sama dengan kita. Terus terang, sangat menganggu bagi saya kalau saat ruang personal saya melebar untuk satu orang karena suatu alasan, eh orang itu ruang personalnya cuma selebar kuku jempol kaki. Haduh! Kita bisa saja kok mengidentifikasi mana teman-teman kita yang ruang personalnya lebar dan mana yang sempit. Bahasa tubuh adalah hal yang bisa jadikan salah satu indikasi. Misalnya seperti saya tadi, saya yang tidak suka gelendotan atau pegang-pegang tangan teman, bisa jadi sinyal kalau ruang personal dan ruang intim saya tidak selebar daun kelor. Tapi tenang, kawan, ruang tersebut ibarat karet gelang, semakin sering direndam minyak tanah, semakin lentur. Dan tulisan saya semakin ngawur. Selamat malam.


baca selengkapnya

17 September 2012

Menghilangkan Noda Luntur [Bukan Tips]

Pakaian kesayangan anda terkena noda luntur dari pakaian lain? Saya punya tips untuk agar noda tersebut hilang:

1. Keringkan pakaian anda sampai benar-benar kering.
2. Ambil bensin secukupnya, siramkan ke pakaian anda.
3. Nyalakan api, bakar pakaian anda.
4. Noda luntur di pakaian anda hilang. Pakaian anda juga.

Ya begitulah. Judul blog saya memang menyesatkan. Terserah. Saya sedang kesal. Celana jeans kesayangan saya terkena noda luntur yang lumayan parah. Saya sudah coba mengikuti satu tips yang saya temukan di internet. Saya campur asam cuka dan deterjen dalam ember yang diisi air hangat, lalu pakaian yang terkena noda luntur tersebut saya rendam semalaman (katanya sih cukup setengah jam saja, tapi saya merasa karena noda lunturnya lumayan parah, akan dibutuhkan waktu lebih lama). Ya, saya berhasil. Berhasil mengubah kamar mandi saya menjadi beraroma bak dapur tukang bakso. Noda lunturnya masih setia menempel. (Saya menduga, tips tersebut mungkin bisa berlaku untuk noda luntur yang tidak terlalu parah, tidak di pakaian berbahan jeans dan tindakan dilakukan sesegera mungkin).

Yang bikin saya kesal adalah juga keteledoran saya saat menerima pakaian dari laundry. Saya tidak langsung mengeceknya. Sudah menjadi kebiasaan saya, pakaian yang saya ambil dari laundry tidak langsung saya buka. Tidak ada alasan apa-apa. Malas saja. Kesal lainnya adalah, si tukang laundry sama sekali tidak memberi tahu kalau celana saya kelunturan (dari sekian pakaian yang saya laundry, cuma celana itu yang terkena noda luntur). Setidaknya ya, minta maaf deh. Saya tidak akan nuntut, percuma juga nuntut laundry rumahan. Karena sudah terlanjur seperti ini, saya memutuskan tidak akan menggunakan jasa laundry tersebut lagi.

Ibaratnya, nila setitik rusak susu sebelanga. Kesalahan-kesalahan kecil seringkali merusak sesuatu yang lebih besar. Saya bayangkan ada beberapa orang yang juga kesal karena pakaiannya terkena noda luntur dari laundry yang sama di waktu yang bersamaan juga. Beberapa di antaranya lalu memutuskan tidak akan menggunakan jasanya lagi karena toh, di Jogja ini mencari jasa laundry seperti mencari warung burjo. Mudah, terutama di area kost-kostan. Berapa banyak kerugian si tukang laundry setelah ditinggal beberapa pelanggannya karena masalah sepele itu? Andaikan si tukang laundry lebih teliti. Andaikan si tukang laundry mau mengakui kesalahannya.

Mengakui kekeliruan kita seringkali bukan perkara semudah mengambil kotoran hidung dan menempelkannya di bawah meja. Tapi percayalah, itu adalah hal pertama yang harus dilakukan jika kita masih ingin dipercaya oleh orang lain. Kekecewaan atau bahkan rasa tersakiti orang lain memang tidak akan hilang begitu saja, namun setidaknya itu menunjukkan bahwa kita sangat menyesal dengan kekeliruan yang telah kita buat dan meyakinkan orang lain bahwa kita akan berusaha untuk tidak mengulang kekeliruan yang sama. Seperti pakaian yang terkena noda luntur, nodanya mungkin hilang, tapi si pakaian tidak akan pernah sama seperti saat pakaian tersebut masih baru, bukan?

Selamat ber-Senin ria!


PS: bagi yang punya saran bagaimana menghilangkan noda luntur yang lumayan parah pada celana jeans, silakan lho...




baca selengkapnya

14 September 2012

Menjadi Pekerja Lepas itu Pilihan


Menjadi pekerja lepas adalah sebuah pilihan. Saya sedang memilihnya saat ini. Ya, saat ini. Belum tahu bulan-bulan ke depan. Jika ada tawaran pekerjaan yang sesuai dengan minat (dan kebutuhan saya hehe...) tentu akan saya pertimbangkan masak-masak. Baru sebulan saya menjadi pekerja lepas. Sepintas memang tampak menyenangkan, bebas, tapi tetap saja ada beberapa hal yang harus saya perhatikan. Setidaknya mencoba untuk menjadi sedikit profesional.

Pekerja lepas tidak bisa begitu saja disamakan dengan wiraswasta, walaupun keduanya memang sama-sama mandiri. Tidak terikat dalam satu aturan lembaga dalam waktu lama. Bedanya, wiraswasta biasanya punya usaha sendiri, membuat "lembaga" sendiri entah dalam bentuk perusahaan, organisasi atau warung kaki lima. Pada akhirnya, terbentuk pola relasi baik dalam "lembaga" tersebut maupun dengan pihak lain secara lebih permanen. Misalnya, saya bikin perusahaan, saya akan merekrut orang-orang yang akan bekerja dengan saya. Tentu tidak dalam hitungan hari. Demikian juga bila saya punya warung kaki lima, saya akan cari supplier beras dan ikan dengan harga terjangkau dan kualitas terbaik, menjadikannya rekanan, juga bukan dalam waktu seminggu dua minggu.

Hubungan yang dibangun dalam dunia pekerja lepas tidak se-"lama" itu.  Hitungannya bisa jadi hanya dua tiga hari, bisa jadi ada klien yang senang dengan hasil kerja kita dan menawarkan kita pekerjaan lain di kemudian hari atau ada jenis orderan yang bisa makan waktu satu dua bulan pengerjaan.  Contohnya saya. Saya bisa mendapatkan job mengerjakan lay out dan ilustrasi buku yang bisa memakan waktu lebih dari satu bulan. Tapi saya juga bisa tiba-tiba mendapatkan job via pesan singkat seperti ini:

"Sibuk nggak, Ling? Bisa bikinin ilustrasi? Tapi butuh cepet nih, empat hari, bisa?"

Sesaat, tawaran-tawaran tersebut tentu menarik. Terutama jika ada bumbu-bumbu rupiah di belakangnya. Jujur sajalah, siapa yang tak butuh uang. Apalagi atas kerja yang sudah kita lakukan. Saya memang baru belajar menjadi pekerja lepas, tapi seperti saya katakan di atas, saya mencoba untuk lebih profesional, sedikit. Caranya? Ini yang saya coba lakukan.

Pertama, tentukan prioritas. Bukan tidak mungkin dalam satu waktu ada beberapa tawaran kerjaan dari orang yang berbeda. Kecuali kita punya empat pasang tangan, mata yang mampu melek enam hari enam malam atau mampu membelah diri layaknya amoeba,akan lebih bijaksana jika kita menggunakan hak kita untuk memilih mana pekerjaan yang akan kita ambil. Bisa karena faktor kedekatan, daya tarik pekerjaannya (isu dan tema), rupiah, atau hal lain. Itu semua tergantung diri kita. Buat apa menjadi pekerja lepas kalau semua pekerjaan kita ambil lantas kita tak punya waktu untuk diri kita sendiri? Tentu saja tidak lupa mengatakan maaf pada orang-orang yang belum bisa kita bantu pada saat itu dan menawarkan waktu lain, jika memang membutuhkan.

Kedua, komitmen. Dulu sekali saya punya buku agenda untuk menuliskan rencana-rencana kegiatan saya. Tapi saya hanya mampu bertahan beberapa bulan saja. Alasannya, malas dan fleksibilitas orang-orang di sekitar saya yang luar biasa dan seringkali menghancurkan apa yang sudah saya rencanakan. Intinya, saya tidak punya komitmen pada agenda saya sendiri. Menjadi pekerja lepas justru memaksa saya untuk mengubah buku catatan saya menjadi buku agenda sederhana. Selain sebagai alat bantu untuk mengobati kepikunan, agenda tersebut membantu saya untuk menentukan kapan saya harus menyelesaikan satu pekerjaan dan berani untuk menerima pekerjaan lain. Komitmen ini jelas bukan hanya untuk kebutuhan saya, tapi juga menjaga kepercayaan orang-orang yang memberikan kita pekerjaan. Saya sendiri biasanya memundurkan satu dua hari tenggat waktu untuk saya menyelesaikan suatu pekerjaan dari jadwal yang sudah disepakati dengan si pemberi pekerjaan.

Ketiga, tentukan harga. Ya. Menjadi pekerja lepas adalah memberikan kesempatan (dan keharusan) untuk menentukan harga pada karya saya. Bukan hal yang mudah jika, apalagi, berhubungan dengan teman. Faktor enak tidak enak. Well, karena pekerja lepas, sah-sah saja memberikan diskon khusus bagi mereka. "Harga" di sini juga bisa berarti posisi tawar kita dengan pemberi order. Minggu pertama saya tiba di Jogja, saya sudah ditawari mengerjakan ilustrasi untuk buku PAUD. Saya tidak bertemu muka dengan tim penulis yang setelah saya pelajari isinya, bikin saya geleng-geleng kepala. Masak iya anak kecil diajari: Singa tempatnya di kandang, ikan tempatnya di akuarium? Kemana hutan dan kolam alam? Sialnya, saya terlanjur mengiyakan menerima pekerjaan tersebut. Pelajaran bagi saya adalah 'mbok ya jangan asal ambil, pelajari dulu'.

Keempat, mandiri. Ini bukan nama bank. Ada yang bilang bahwa menjadi pekerja lepas adalah menjadi bos bagi diri sendiri. Ada benarnya. Karena kita tidak harus manut dengan aturan yang dibuat atasan. Karena kita bisa mengatur jadwal kerja kita sendiri. Tapi, bos betulan bisa mendelagasikan (red: menyuruh) bawahan untuk menyelesaikan pekerjaannya. Pekerja lepas tidak. Pekerja lepas adalah bos dan bawahan dalam satu waktu. Supervisi dilakukan oleh diri sendiri, juga monitoring dan evaluasi.

Kelima, membuka jejaring seluas-luasnya. Modalnya sederhana, empat hal yang di atas tadi kita pegang benar-benar. Dari pengamatan saya, pekerja lepas dipasarkan lebih banyak dari mulut ke mulut. Tidak perlu pasang iklan di mana-mana. Satu klien puas, bisa menjadi promotor ulung bagi kita. Kontak teman-teman dekat yang sudah tahu keahlian kita dan memberi tahu mereka bahwa kita siap menerima pekerjaan jenis ini, jenis itu. Tentu, ada teknologi yang sangat berguna. Handphone, internet dan jejaring sosial sekarang menjadi alat bantu saya untuk berkomunikasi dengan orang-orang yang membutuhkan jasa saya.

Terakhir, tanamkan dalam hati kita bahwa apapun bentuk pekerjaan itu tidak ada yang selalu mulus. Ya memang membosankan duduk di belakang meja 8 jam sehari dan hanya bisa istirahat di Sabtu dan Minggu. Tapi, kebebasan yang dijanjikan tipe pekerjaan lepas juga sebetulnya hanya slogan penuh janji layaknya politisi bakal maju pemilihan. Bisa jadi janji tersebut benar, bisa juga tidak. Bayangkan saja jika anda dikejar deadline lebih dari satu orderan plus harus mengatur janji bertemu dengan klien sana sini. Tapi ya, ada juga pekerja lepas yang bisa lebih sering ongkang-ongkang kaki di angkringan ketimbang bekerjanya. Setiap pekerjaan punya resikonya masing-masing. Kalau anda berharap dapat uang banyak dengan bersantai-santai saja, bisa. Jika orang tua anda benar-benar kaya raya atau anda memutuskan mencari jodoh seorang milyarder dan tidak menuntut anda untuk bekerja. Sekali lagi, pekerja lepas itu pilihan, termasuk pilihan untuk menjadi pekerja lepas tipe seperti apa atau pilihan sampai kapan kita akan menjadi pekerja lepas.
baca selengkapnya

10 September 2012

Segara Anakan, Laguna Cantik di Sempu Malang


Belum setengah perjalanan, kami sudah kehabisan nafas. Jalan setapak menaik bukanlah medan yang mudah bagi kaki-kaki kami yang sudah termanjakan jaman. Bagaimanapun, kami berusaha menikmati perjalanan di tengah hutan tersebut dengan iming-iming air laut yang jernih dan pasir pantai yang bersih, Segara Anakan. Hmmm...

Ya, beberapa hari lalu, saya dan lima orang kawan pergi ke Pulau Sempu, selatan Kabupaten Malang. Kami memutuskan akan menghabiskan malam di sebuah pantai (atau tepatnya laguna) di salah satu sudut pulau tersebut, yang kata orang dan foto-foto di internet, memang luar biasa cantiknya. Jumat, 31 Agustus 2012, kereta api Malabar memberangkatkan saya dan empat orang kawan, Uki, Ajeng, Ayu dan Dewi, di jam dua belas malam kurang sedikit, agak telat dari jadwal. Kami beruntung karena hanya dua hari sebelumnya kami memesan tiket dan tinggal 5 tiket yang tersisa, kelas bisnis. Mempersiapkan energi, alias tidur, adalah agenda kami di kereta.

Jam 6.30 pagi, kami sudah disambut udara segar Kota Malang. Itu kali pertama saya ke kota ini. Suasananya mengingatkan saya pada Kota Bandung bertahun-tahun lampau saat saya biasa menghabiskan liburan sekolah di rumah oom dan tante saya. Kawan saya segera menghubungi satu kawan lain yang akan bergabung bersama kami, Oyo namanya. Ia berangkat dari Surabaya. Oyo lalu menawarkan kami untuk bersih-bersih di kantor lamanya, kantor Kompas, yang jaraknya tidak lebih dari sepuluh menit berjalan kaki dari stasiun. Bersih-bersih yang dimaksud adalah sikat gigi dan cuci muka saja. Entah, malas saja rasanya untuk mandi hehehe... Kopi panas dan roti menjadi sarapan kami sebelum memulai perjalanan selanjutnya. Beruntung sekali kami karena teman Oyo menawarkan diri untuk mengantar kami dengan mobilnya menuju Gadang. Tentu saja, daripada harus naik angkot dengan barang bawaaan kami yang tidak sedikit, diyakinkan dengan pernyataan Uki,

"Menjadi backpacker kan bukan berarti menyiksa diri."

Sepakat. Kawan saya mengomentarinya dengan menyebut kami sebagai backpacker abal-abal. Hahaha... terserah. Tak ada niat menjadi backpacker juga.

Jam 10.00 kami sudah sampai di Gadang, setelah sebelumnya mampir ke sebuah toko untuk membeli perbekalan (belakangan baru kami sadar, terlalu banyak yang kami bawa!). Penampilan kami dengan tas-tas punggung besar segera menarik para supir, kernet (dan juga preman) mendekat dan tak butuh waktu lama untuk mendapatkan bis kecil (bison) yang akan membawa kami ke Dampit. Perjalanan sekitar 1 jam hanya perlu kami bayar tujuh ribu rupiah, itupun kami masing-masing menjajah dua bangku, satu untuk badan dan satu untuk tas.

Dari Dampit, barulah petualangan dimulai. Kami membutuhkan transportasi menuju Pantai Sendang Biru, dan hanya satu alat transportasi umum yang bisa mengantar kami ke sana: angkot mini (kawan saya bilang: Kaleng Sarden) yang beroperasi setiap dua jam sekali. Sudah ada satu angkot yang siap berangkat, tapi kami tengok, di dalamnya sudah cukup penuh penumpang. Kalau saja bapak penjual rokok tidak memberitahu kami, mungkin kami harus terdampar dulu di Dampit menunggu angkot selanjutnya. Akhirnya kami rela naik angkot yang akan berangkat tersebut, berdesakan dengan penumpang lain. Oh, maaf, kurang penekanan: BERDESAKAN. Ya, delapan belas orang penumpang dalam satu mobil untuk perjalanan sekitar 2 jam dengan rute bebukitan. Kami cukup membayar lima belas ribu rupiah untuk perjalanan bak ikan sarden naik roller coaster.

Tiba di Sendang Biru, kami segera meminta nomor handphone supir angkot. Yup, kami memutuskan untuk menyewa angkotnya untuk perjalanan pulang. Dua ratus ribu rupiah untuk enam penumpang dan sang sopir bersedia mengantar kami sampai ke Gadang, cukup adil bagi kami mengingat kami tidak tahu akan selelah apa kami nanti sepulang dari pulau. Kantor Jagawana adalah tempat yang pertama kami datangi di Sendang Biru. Meminta ijin. Well, Pulau Sempu dengan luas 877 hektar tersebut sebetulnya bukan taman wisata. Ia adalah taman konservasi dimana hanya peneliti atau jurnalis yang bisa masuk dengan surat ijin khusus (simaksi) yang dibuat di Surabaya. Namun, keberadaan pulau ini semakin menarik minat banyak orang sehingga kedatangan para penikmat alam ini tak bisa dibendung. Sang petugas Jagawana mengatakan sebetulnya sudah ada ide untuk menurunkan status Pulau Sempu menjadi taman wisata agar setiap orang bisa masuk, dengan catatan hanya di lokasi tertentu dan lokasi lainnya tetap dipertahankan menjadi wilayah konservasi. Tapi, proses penurunan status ini bukan hal mudah. Petugas Jagawana tersebut juga mengatakan karena statusnya tersebut, kami sebaiknya ditemani oleh guide.

Setelah mengisi formulir, kami mencari tempat yang bisa mengisi perut kosong kami. Heran juga, di daerah pantai sulit sekali mendapatkan rumah makan seafood. Justru nasi rawon dan nasi ayam yang mendominasi. Kalaupun ada, menu ikan goreng dan bakar. Sikat saja, kelaparan sekali kami itu. Tak lupa, kami juga membungkus nasi dan lauknya untuk makan malam di pulau. Kami lalu kembali ke kantor Jagawana, menitipkan beberapa barang yang tidak akan kami butuhkan selama di pulau, dan meminjam sepatu karet anti licin (hanya saya dan Ayu yang menyewa, yang lain cukup pede dengan alas kakinya).

Dari Sendang Biru, Pulau Sempu terlihat sangat dekat, mungkin tidak sampai satu kilometer. Tapi berenang tentu saja bukan pilihan (apalagi buat saya yang berenang ala kadarnya). Selain berat dengan barang bawaan, memutuskan berenang menuju sempu adalah bersiap "mencium" perahu-perahu nelayan, salah satunya yang kami sewa dengan harga seratus ribu untuk perjalanan pergi dan pulang. Ditemani Rahmat, guide kami, dan si empunya perahu, kami menuju Sempu. Udara segar laut tak henti-hentinya menyapa kulit kami. Segar!


Di sebuah hutan bakau, perahu kami berlabuh. Beberapa orang tampak sibuk mendorong perahunya menuju laut, terperangkap surut rupanya. Beberapa orang lain tampak duduk-duduk kelelahan, mungkin baru pulang dari lokasi yang akan kami tuju. Dan segeralah kami menembus hutan Sempu sebelum matahari tenggelam. Untuk perjalanan normal, dibutuhkan 1,5 sampai 2 jam menuju Segara Anakan. Lain halnya dengan saat musim hujan, saat jalurnya menjadi licin. Saya menghitung ada sekitar 15 sepatu atau sandal yang akan memfosil di pulau itu, sisa-sisa para pengunjung yang mungkin terjebak tanah becek. Sebetulnya tracknya tidak terlalu sulit bagi saya yang berkaki panjang. Namun, terhalang akar-akar pohon atau batu, juga tanjakan yang tidak terlalu curam, cukup menyulitkan beberapa kawan saya. Tapi toh, kami bisa menepumpuhnya dalam satu setengah jam. Masih wajar.



Surga adalah saat setelah perjalanan panjang yang melelahkan kemudian disapa senja matahari, tiupan angin laut dan panorama yang menggairahkan mata. Itu yang kami rasakan saat melihat Segara Anakan dari balik rimbunan pohon. Seolah ada pompa energi yang mendorong kami lebih bersemangat dan sedikit mengacuhkan kerumunan kera yang mendekati kami, salah satunya melempari Oyo dengan kaleng minuman yang sudah rusak.

Semangat kami tiba-tiba runtuh setelah mendapati pantai laguna yang sudah dipenuhi belasan tenda! Oh, keliru waktu kami rupanya. Akhir pekan seperti ini, banyak orang juga yang berniat bermalam di laguna ini. Berniat. Ya. Benar-benar niat. Apa bukan niat namanya kalau bawa ikan segar dari Sendang Biru, cobek, bumbu dapur bahkan ada yang bawa galon air dan tempat nasi. Dari puluhan pengunjung, hanya tim kami yang bermodal nasi bungkus dan sleepng bag. Bagus. 

Ah, sudahlah, toh keindahan pantai ini masih bisa dinikmati. Plus, tentu saja, alunan gitar dengan suara-suara lantang kurang ramah telinga.

Segara Anakan ini terlingkupi oleh dinding-dinding karang. Di seberang karang, adalah Samudera Hindia yang kalau anda nekad berenang, bisa sampai ke Australia. Terjawab sudah kenapa perahu yang membawa kami dari Sendang Biru tidak berlabuh di sisi pulau yang lebih dekat dengan lokasi ini. Terjangan ombak samudera bisa dengan mudah melempar perahu nelayan ke tebing-tebing karang dan mengubahnya menjadi serpihan kayu. Di salah satu sisi tebing, ada lubang besar yang menjadi perantara Samudera Hindia dengan Segara Anakan. 

Saat air pasang, ombak-ombak menyisakan airnya untuk bisa menyelusup ke lubang tersebut. Imajinasi kami adalah Segara Anakan ini merupakan bak mandi di rumah-rumah tua yang harus diisi oleh berember-ember air yang ditimba dari sumur yang terpisahkan oleh dinding. 


Pagi hari adalah waktu yang selalu mengasyikan untuk dihabiskan di pantai. Apalagi di Segara Anakan ini yang airnya sangat jernih. Segeralah kami berganti kostum pantai, yang bagi sebagian besar pengunjung sepertinya tidak terlalu biasa, tapi bagi kami justru aneh jika ada orang ke pantai lalu melindungi diri dengan jaket. Sudahlah, yang penting sama-sama menikmati keindahan alam. 



Lelah perjalanan dan kakunya badan akibat meringkuk semalaman dalam sleeping bag, mendadak sirna setelah badan tersentuh air laut. Badan yang seharian kemarin tidak mandi dan harus buang air di sela rimbunan pohon hehehe... Terlupakan sejenak bahwa kami harus segera kembali ke Sendang Biru.
baca selengkapnya