10 September 2012

Segara Anakan, Laguna Cantik di Sempu Malang


Belum setengah perjalanan, kami sudah kehabisan nafas. Jalan setapak menaik bukanlah medan yang mudah bagi kaki-kaki kami yang sudah termanjakan jaman. Bagaimanapun, kami berusaha menikmati perjalanan di tengah hutan tersebut dengan iming-iming air laut yang jernih dan pasir pantai yang bersih, Segara Anakan. Hmmm...

Ya, beberapa hari lalu, saya dan lima orang kawan pergi ke Pulau Sempu, selatan Kabupaten Malang. Kami memutuskan akan menghabiskan malam di sebuah pantai (atau tepatnya laguna) di salah satu sudut pulau tersebut, yang kata orang dan foto-foto di internet, memang luar biasa cantiknya. Jumat, 31 Agustus 2012, kereta api Malabar memberangkatkan saya dan empat orang kawan, Uki, Ajeng, Ayu dan Dewi, di jam dua belas malam kurang sedikit, agak telat dari jadwal. Kami beruntung karena hanya dua hari sebelumnya kami memesan tiket dan tinggal 5 tiket yang tersisa, kelas bisnis. Mempersiapkan energi, alias tidur, adalah agenda kami di kereta.

Jam 6.30 pagi, kami sudah disambut udara segar Kota Malang. Itu kali pertama saya ke kota ini. Suasananya mengingatkan saya pada Kota Bandung bertahun-tahun lampau saat saya biasa menghabiskan liburan sekolah di rumah oom dan tante saya. Kawan saya segera menghubungi satu kawan lain yang akan bergabung bersama kami, Oyo namanya. Ia berangkat dari Surabaya. Oyo lalu menawarkan kami untuk bersih-bersih di kantor lamanya, kantor Kompas, yang jaraknya tidak lebih dari sepuluh menit berjalan kaki dari stasiun. Bersih-bersih yang dimaksud adalah sikat gigi dan cuci muka saja. Entah, malas saja rasanya untuk mandi hehehe... Kopi panas dan roti menjadi sarapan kami sebelum memulai perjalanan selanjutnya. Beruntung sekali kami karena teman Oyo menawarkan diri untuk mengantar kami dengan mobilnya menuju Gadang. Tentu saja, daripada harus naik angkot dengan barang bawaaan kami yang tidak sedikit, diyakinkan dengan pernyataan Uki,

"Menjadi backpacker kan bukan berarti menyiksa diri."

Sepakat. Kawan saya mengomentarinya dengan menyebut kami sebagai backpacker abal-abal. Hahaha... terserah. Tak ada niat menjadi backpacker juga.

Jam 10.00 kami sudah sampai di Gadang, setelah sebelumnya mampir ke sebuah toko untuk membeli perbekalan (belakangan baru kami sadar, terlalu banyak yang kami bawa!). Penampilan kami dengan tas-tas punggung besar segera menarik para supir, kernet (dan juga preman) mendekat dan tak butuh waktu lama untuk mendapatkan bis kecil (bison) yang akan membawa kami ke Dampit. Perjalanan sekitar 1 jam hanya perlu kami bayar tujuh ribu rupiah, itupun kami masing-masing menjajah dua bangku, satu untuk badan dan satu untuk tas.

Dari Dampit, barulah petualangan dimulai. Kami membutuhkan transportasi menuju Pantai Sendang Biru, dan hanya satu alat transportasi umum yang bisa mengantar kami ke sana: angkot mini (kawan saya bilang: Kaleng Sarden) yang beroperasi setiap dua jam sekali. Sudah ada satu angkot yang siap berangkat, tapi kami tengok, di dalamnya sudah cukup penuh penumpang. Kalau saja bapak penjual rokok tidak memberitahu kami, mungkin kami harus terdampar dulu di Dampit menunggu angkot selanjutnya. Akhirnya kami rela naik angkot yang akan berangkat tersebut, berdesakan dengan penumpang lain. Oh, maaf, kurang penekanan: BERDESAKAN. Ya, delapan belas orang penumpang dalam satu mobil untuk perjalanan sekitar 2 jam dengan rute bebukitan. Kami cukup membayar lima belas ribu rupiah untuk perjalanan bak ikan sarden naik roller coaster.

Tiba di Sendang Biru, kami segera meminta nomor handphone supir angkot. Yup, kami memutuskan untuk menyewa angkotnya untuk perjalanan pulang. Dua ratus ribu rupiah untuk enam penumpang dan sang sopir bersedia mengantar kami sampai ke Gadang, cukup adil bagi kami mengingat kami tidak tahu akan selelah apa kami nanti sepulang dari pulau. Kantor Jagawana adalah tempat yang pertama kami datangi di Sendang Biru. Meminta ijin. Well, Pulau Sempu dengan luas 877 hektar tersebut sebetulnya bukan taman wisata. Ia adalah taman konservasi dimana hanya peneliti atau jurnalis yang bisa masuk dengan surat ijin khusus (simaksi) yang dibuat di Surabaya. Namun, keberadaan pulau ini semakin menarik minat banyak orang sehingga kedatangan para penikmat alam ini tak bisa dibendung. Sang petugas Jagawana mengatakan sebetulnya sudah ada ide untuk menurunkan status Pulau Sempu menjadi taman wisata agar setiap orang bisa masuk, dengan catatan hanya di lokasi tertentu dan lokasi lainnya tetap dipertahankan menjadi wilayah konservasi. Tapi, proses penurunan status ini bukan hal mudah. Petugas Jagawana tersebut juga mengatakan karena statusnya tersebut, kami sebaiknya ditemani oleh guide.

Setelah mengisi formulir, kami mencari tempat yang bisa mengisi perut kosong kami. Heran juga, di daerah pantai sulit sekali mendapatkan rumah makan seafood. Justru nasi rawon dan nasi ayam yang mendominasi. Kalaupun ada, menu ikan goreng dan bakar. Sikat saja, kelaparan sekali kami itu. Tak lupa, kami juga membungkus nasi dan lauknya untuk makan malam di pulau. Kami lalu kembali ke kantor Jagawana, menitipkan beberapa barang yang tidak akan kami butuhkan selama di pulau, dan meminjam sepatu karet anti licin (hanya saya dan Ayu yang menyewa, yang lain cukup pede dengan alas kakinya).

Dari Sendang Biru, Pulau Sempu terlihat sangat dekat, mungkin tidak sampai satu kilometer. Tapi berenang tentu saja bukan pilihan (apalagi buat saya yang berenang ala kadarnya). Selain berat dengan barang bawaan, memutuskan berenang menuju sempu adalah bersiap "mencium" perahu-perahu nelayan, salah satunya yang kami sewa dengan harga seratus ribu untuk perjalanan pergi dan pulang. Ditemani Rahmat, guide kami, dan si empunya perahu, kami menuju Sempu. Udara segar laut tak henti-hentinya menyapa kulit kami. Segar!


Di sebuah hutan bakau, perahu kami berlabuh. Beberapa orang tampak sibuk mendorong perahunya menuju laut, terperangkap surut rupanya. Beberapa orang lain tampak duduk-duduk kelelahan, mungkin baru pulang dari lokasi yang akan kami tuju. Dan segeralah kami menembus hutan Sempu sebelum matahari tenggelam. Untuk perjalanan normal, dibutuhkan 1,5 sampai 2 jam menuju Segara Anakan. Lain halnya dengan saat musim hujan, saat jalurnya menjadi licin. Saya menghitung ada sekitar 15 sepatu atau sandal yang akan memfosil di pulau itu, sisa-sisa para pengunjung yang mungkin terjebak tanah becek. Sebetulnya tracknya tidak terlalu sulit bagi saya yang berkaki panjang. Namun, terhalang akar-akar pohon atau batu, juga tanjakan yang tidak terlalu curam, cukup menyulitkan beberapa kawan saya. Tapi toh, kami bisa menepumpuhnya dalam satu setengah jam. Masih wajar.



Surga adalah saat setelah perjalanan panjang yang melelahkan kemudian disapa senja matahari, tiupan angin laut dan panorama yang menggairahkan mata. Itu yang kami rasakan saat melihat Segara Anakan dari balik rimbunan pohon. Seolah ada pompa energi yang mendorong kami lebih bersemangat dan sedikit mengacuhkan kerumunan kera yang mendekati kami, salah satunya melempari Oyo dengan kaleng minuman yang sudah rusak.

Semangat kami tiba-tiba runtuh setelah mendapati pantai laguna yang sudah dipenuhi belasan tenda! Oh, keliru waktu kami rupanya. Akhir pekan seperti ini, banyak orang juga yang berniat bermalam di laguna ini. Berniat. Ya. Benar-benar niat. Apa bukan niat namanya kalau bawa ikan segar dari Sendang Biru, cobek, bumbu dapur bahkan ada yang bawa galon air dan tempat nasi. Dari puluhan pengunjung, hanya tim kami yang bermodal nasi bungkus dan sleepng bag. Bagus. 

Ah, sudahlah, toh keindahan pantai ini masih bisa dinikmati. Plus, tentu saja, alunan gitar dengan suara-suara lantang kurang ramah telinga.

Segara Anakan ini terlingkupi oleh dinding-dinding karang. Di seberang karang, adalah Samudera Hindia yang kalau anda nekad berenang, bisa sampai ke Australia. Terjawab sudah kenapa perahu yang membawa kami dari Sendang Biru tidak berlabuh di sisi pulau yang lebih dekat dengan lokasi ini. Terjangan ombak samudera bisa dengan mudah melempar perahu nelayan ke tebing-tebing karang dan mengubahnya menjadi serpihan kayu. Di salah satu sisi tebing, ada lubang besar yang menjadi perantara Samudera Hindia dengan Segara Anakan. 

Saat air pasang, ombak-ombak menyisakan airnya untuk bisa menyelusup ke lubang tersebut. Imajinasi kami adalah Segara Anakan ini merupakan bak mandi di rumah-rumah tua yang harus diisi oleh berember-ember air yang ditimba dari sumur yang terpisahkan oleh dinding. 


Pagi hari adalah waktu yang selalu mengasyikan untuk dihabiskan di pantai. Apalagi di Segara Anakan ini yang airnya sangat jernih. Segeralah kami berganti kostum pantai, yang bagi sebagian besar pengunjung sepertinya tidak terlalu biasa, tapi bagi kami justru aneh jika ada orang ke pantai lalu melindungi diri dengan jaket. Sudahlah, yang penting sama-sama menikmati keindahan alam. 



Lelah perjalanan dan kakunya badan akibat meringkuk semalaman dalam sleeping bag, mendadak sirna setelah badan tersentuh air laut. Badan yang seharian kemarin tidak mandi dan harus buang air di sela rimbunan pohon hehehe... Terlupakan sejenak bahwa kami harus segera kembali ke Sendang Biru.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar