28 Februari 2009

"Bu, Aku Payu KR Siji!"


Siang itu saya sedang terburu-buru mengendarai motor menuju kantor. 8.. 7.. 6.. countdown lampu hijau di perempatan Galleria Mall membuat saya semakin buas demi tak tertahan lampu merah. Tiba-tiba motor di depan saya ngerem mendadak. Beruntung, saya juga sigap, segera mengerem, dengan dongkol dalam hati. Geram rasanya karena saya akan ketinggalan lampu hijau dan siap-siap nongkrong di lampu merah dengan sengatan matahari. Sial. 

Rasa kesal saya segera sirna begitu tahu alasan si pengendara motor depan saya itu ngerem mendadak. Seorang anak kecil, berusia kira-kira 4 tahun, tiba-tiba nongol di depan motornya sambil membawa beberapa lembar koran, sambil berkata pada seorang ibu yang sedang duduk di trotoar.

"Bu, aku payu KR siji!" (Bu, aku berhasil ngejual KR -koran di Jogja- satu!)

Deg. Beruntung saya tidak jadi mengumpat-umpat. Beruntung saya berhasil ngerem. Beruntung saya dulu tidak harus bertelanjang kaki berjualan koran di jalanan saat matahari sedang terik-teriknya.
Bagi si anak, berhasil menjual satu koran saja mungkin sudah menjadi hal yang membahagiakan.

Enak sekali si ibu (entah ibu kandungnya atau ibu apanya), tinggal menyuruh anaknya jualan koran, dia ambil untungnya. Eh, tapi bagaimana kalau sebenarnya si ibu yang jualan koran cuma karena tiba-tiba kakinya pegal, si anak lalu merasa mendapat "mainan baru" jualan koran? Atau bagaimana jika ternyata si ibu itu pelaku trafficking? Bagaimana jika ia adalah seorang ibu yang tidak tahu soal hak anak, yang penting bisa nyari duit buat makan sambil bawa anak, syukur-syukur anaknya bantu...

Saya mendukung ketika hidup di jalanan adalah pilihan, bagi mereka yang sudah bisa memilih. Remaja dan orang dewasa saya asumsikan sudah memiliki kemampuan ini. Kesalahan Negara adalah pada perlindungan bagi mereka yang memang memutuskan untuk hidup di jalanan. Yang terjadi kan justru mereka dianggap mengganggu ketertiban atau apalah.. yang katanya itu dipermasalahkan oleh masyarakat (masyarakat yang mana?) Lalu mereka ramai-ramai ditangkap, katanya mau dibina segala macam, tapi yang terjadi justru kekerasan.

Ketika saya melihat anak-anak hidup dan bekerja di jalanan, kekesalan saya terhadap Negara makin menjadi-jadi. Awalnya, seperti kebanyakan orang, saya salahkan orang tua mereka. Kok ya ada orang tua yang tega membiarkan anaknya bekerja di jalanan saat teman-teman sebayanya asik menggambar di kelas terus main ayunan saat istirahat? Kok ya ada orang tua yang tega minjemin anaknya buat digendong kemana-mana demi mengetuk hati para pemakai jalanan? Tapi kemudian, saya sadar bahwa ada sistem sosial (mulai nih...) yang membentuk pola seperti ini. Pemiskinan yang dilakukan oleh Negara telah membuat individu-individu mengambil jalan pintas penuh resiko, bekerja dan mempekerjakan anak-anak mereka di jalanan. Pemiskinan ini ya bisa dilihat dari bagaimana Negara tidak bisa menyediakan lapangan kerja, Negara tidak bisa menyediakan pendidikan gratis yang adil dan merata. Parahnya, mungkin tidak sadar bahwa kondisi ini hasil karya mereka,  selain mengebiri hak-hak mereka yang lainnya (hak layanan kesehatan misalnya), Negara malah dengan angkuhnya membuat serangkaian aturan yang mendiskriminasi mereka, yang tidak mengijinkan mereka menjejakan kaki di jalanan lagi. Misalnya dalam KUHAP Pasal 505, ada  ancaman kurungan maksimal 3 bulan untuk orang yang melakukan penggelandangan di tempat-tempat umum.

Lha.. kalau mengutip kata-kata dalam Untitled (Video Komunitas Remaja Jalanan Minority, 2008),

"Negara miskin kok ngelarang rakyatnya miskin?!"

Kalau Negara pinter, para orang tua yang mencari nafkah di jalan ya gak cuma dikasih ceramah ini itu, tapi coba deh dikasih keterampilan. Tidak berhenti sampai di sana, ajarin juga cara pemasaran, cara memutar modal, mengelola keuangan. Nah, anak-anaknya disekolahin pakai uang Negara yang banyak dikorup itu. Katanya "Fakir miskin dan anak terlantar dipelihara oleh Negara (UUD 45 Pasal 34 ayat 1)" ? Kalau saya sih pengalamannya melihara kucing, saya kasih makan rutin pagi siang malam (untungnya saya nggak budek, jadi kalau saya lupa ngasih makan saya bisa dengar kucing saya mengeong-ngeong kelaparan), saya belai-belai (dijewer sedikit kalau maling ikan), saya kejar kucing lain yang suka ganggu kucing saya (bukan saya kejar kucing saya sendiri, kecuali lagi kalau kucing saya berhasil maling ikan), pernah suatu kali punggungnya robek gara-gara berantem, saya juga yang bawa dia ke dokter, ngobatin lukanya tiap hari sampai si kucing bisa main-main lagi. Senakal apapun kucing saya, karena biasanya saya melihara kucing anaknya kucing-kucing saya sebelumnya, atau saya ambil kucing lain, dua-duanya jelas bukan keinginan si kucing, jadi ya saya merasa bertanggung jawab atas kehidupan peliharaan saya
baca selengkapnya

26 Februari 2009

Apa Jenis Kelamin Anda?


Pertanyaan status jenis kelamin kita biasa kita temukan saat mengisi hampir semua formulir yang harus kita isi. Tentu yang dimaksud ya berdasarkan alat kelamin alias organ reproduksi kita. Yang berpenis, bertestis ya berarti laki-laki, yang bervagina, berovarium, ya silakan menuliskan Perempuan atau melingkari huruf "P".
Sesederhana itukah? Bagi sebagian besar orang, iya. Tapi tidak bagi yang lainnya. Ada yang berpenis dan bertestis tapi merasa dirinya perempuan, demikian sebaliknya. Ujung-ujungnya, "ya sebutkan saja sesuai dengan alat kelamin yang dimiliki!" Eits, ternyata bagi sebagian yang lain hal ini juga masih menjadi sesuatu yang membingungkan ketika tidak disediakan pilihan yang sesuai dengan kondisi fisiknya.

Kita mengenal istilah hermaphrodite. Walaupun sering kali istilah ini lebih banyak dibahas dalam pembahasan dunia fauna, hermaphrodite juga berlaku bagi manusia.

Secara sederhana, hermaphrodite berarti memiliki dua alat kelamin. Bisa jadi salah satunya tidak berkembang secara sempurna, atau mungkin keduanya. Baru sore tadi saya dapat informasi kalau istilah hermaphrodite terdiri dari 3 jenis, pertama Herma, yang digunakan untuk mereka yang memiliki testis dan ovarium. Kedua (istilah lain yang baru saya dengar), adalah Verma, yang digunakan untuk mereka yang memiliki ovarium dan organ reproduksi laki-laki selain testis. Ketiga (istilah yang juga baru saya dengar) adalah Merma, yang digunakan untuk mereka yang memiliki testis dan organ reproduksi perempuan selain ovarium. Yang menjadi pertimbangan adalah adanya testis dan ovarium, bukan penis atau vagina (saya sendiri masih mencari informasi yang akurat mengenai hal ini, karena sepengetahuan saya, istilah hermaphrodite sudah diganti dengan istilah Intersex yang selain bermakna lebih positif, juga melingkupi keunikan seksualitas manusia secara fisik, baik itu yang tampak dari organ reproduksi maupun keunikan kromosom. Bagi yang punya informasi lebih dalam, jangan sungkan berbagi hehe..)

Saya lalu berkata pada kawan saya, "Wah, kalau istilah itu besok diterima universal, berarti pilihannya: P/V/H/M/L, gak cuma P/L ya? Seru tuh!" (Atau mungkin P/I/L jika istilah Intersex dianggap cukup mewakili keberagaman lain seperti yang sudah saya sebutkan di atas) Kawan saya tersenyum geli. Ia lalu mengomentari pencantuman identitas Waria dalam pilihan jenis kelamin di KTP. Istilah Waria yang dianggap sebagai kelompok Transgender ini diakui sebagai sebuah identitas di Papua pada tahun 1998 dengan dicantumkannya "Waria" dalam kolom di KTP. Transgender bukanlah isu tentang jenis kelaminmu apa, tapi apa identitas gendermu. Gender tidak sama dengan Seks, walaupun kedua istilah itu sering dipertukarkan secara salah kaprah . Jika yang dimaksud di KTP dengan Jenis Kelamin adalah Seks, pengakuan identitas Waria jadi nggak nyambung donk? "Berarti di KTP ditambahin lagi: Identitas Gender, ada P/L/W.. dan.. transgender FtoM." Saya lalu berkomentar, "jadinya KTP kita penuh banget! Kalau kayak gitu mending di KTP nggak usah pake jenis kelamin aja kali ya.."

Tanpa menafikan bahwa perjuangan pengakuan identitas Waria di KTP adalah untuk menunjukkan pengakuan Negara terhadap eksistensi waria dan menunjukkan seksualitas itu tidak biner laki-laki dan perempuan, saya pribadi jadinya memang menganggap pencantuman jenis kelamin di KTP menjadi tidak penting karena begitu beragamnya seksualitas manusia, sementara KTP (dan otak di baliknya) tidak bisa mengakomodir keberagaman tersebut. Hal yang sama juga terjadi pada pencantuman agama, di Indonesia jelas hanya dibatasi agama-agama tertentu. Agama lain? Silakan pilih yang mendekati, suka-suka deh, atau sebut saja aliran kepercayaan. Pokoknya pilih yang sudah-kami-cantumkan-di-formulir! Di negara lain yang lebih maju seperti apa sih KTP nya? Apa jenis kelamin dan agama juga masih dicantumkan?

"KTP? Di negaraku tidak ada kartu identitas seperti itu," kata kawan saya dari New Zealand, Emily, saat saya dan kawan-kawan dulu juga pernah mendiskusikan hal ini.
baca selengkapnya

16 Februari 2009

Saat Hujan...


Saya masih di kantor..


Biasa, jadi penghuni terakhir.


Tiba-tiba hujan deras sekali dan saya repot mesti tutup pintu dan jendela takut ruangan kecipratan air. Eh, ternyata, di parkiran samping ruangan saya ada seorang ibu yang sedang berteduh bersama sepeda tuanya. Deg.. entah, setiap melihat perempuan paruh baya seperti itu, saya lalu teringat perempuan yang sudah melahirkan dan membesarkan saya yang saya panggil "mama".


Tidak, mama saya tidak bersepeda tua kemana-mana.


Tapi mungkin ia pernah berteduh entah dimana saat hujan deras di perjalanan.


Yang pasti ia yang selalu saya cari saat hujan deras disertai sambaran petir.


Yang selalu saya cari saat listrik tiba-tiba mati dan saya menangis ketakutan.


Yang membawakan lilin kecil walaupun tanpa nyanyian nina bobo.


Kok saya kangen?


Saat saya silau dengan keadaan orang lain, Ia  selalu mengingatkan... "Jangan lihat ke atas, lihat ke bawah kamu.. sekeliling kamu.."


Saat saya berkeluh kesah tentang nasib,  Ia selalu mengatakan, "Hidup itu selalu berputar.. Kalau sudah pernah di atas, ya sekarang saatnya di bawah.."


Saat saya menentukan nasib, Ia selalu memberi semangat, "Ya, Mama cuma bisa mendoakan..."


Biasa menjadi tak biasa karena orang yang mengucapkannya bukan orang biasa-biasa, setidaknya bagi saya, Ia adalah orang yang luar biasa.
(lho kok lama-lama blog saya isinya curhat...)
baca selengkapnya

14 Februari 2009

Kerja di LSM (?)


"Kerja dimana?"


"LSM."


"Kerja kok di LSM?"


Beberapa kali pertanyaan tersebut dilontarkan kepada saya. Dari teman, keluarga, atau orang yang baru saya kenal di dalam kereta. Biasanya saya jawab, ya karena saya juga harus masuk tiap hari (meskipun gampang buat bolos), ada yang saya kerjakan (kadang lembur, kadang hanya becanda dengan kawan-kawan di kantor), dan ada pendapatan juga (walaupun sering merasa iri dengan teman yang kerja dengan gaji berjuta-juta).


Pertanyaan selanjutnya, "Kenapa kerja di LSM?" Untuk menghemat perbincangan, saya jawab saja, "Malas kerja kantoran." Hehe.. Saya dulu pernah membuat list enaknya kerja di kantoran, salah satunya adalah kelenturan kerja di LSM. Mana bisa kerja kantoran (eh, saya juga kantoran dink.. maksudnya kantoran di pemerintah atau perusahaan) masuk kerja jam 11 siang, pake kaos oblong dan sendal jepit? Haha..


Idealisme. Sebenarnya, mungkin itu yang mendorong saya untuk kerja di LSM (saya tegaskan, "mungkin", karena saya sendiri kadang masih menempatkan alasan "malas kerja kantoran" di urutan pertama). Di sini, mata saya terbuka begitu banyak orang yang tertindas karena sistem (stop! malah jadi diskusi berat). Bagi saya, yang ideal adalah, semua orang mendapatkan haknya. Dan cara mewujudkan idealisme tersebut ya dengan bekerja di LSM.


Baru kemarin-kemarin saya berpikir, kalaupun saya ingin melakukan sesuatu yang berguna bagi masyarakat, apa iya saya harus kerja di LSM? Bisa juga tho saya bekerja di tempat lain, sambil menyebarkan isme saya, dan melakukan sesuatu yang ada gunanya buat masyarakat? Saya coba membayangkan, saya bekerja kantoran, berangkat jam 8 pagi, pulang jam 4-5 an.. mungkin masih lembur.. apa saya masih sempat?


Beberapa hari lalu saya SMS an dengan relawan baru, soal idealisme dan amanah (hah??).  Kami berbeda pendapat soal "amanah".  Saya bilang, kalau ideologi itu ya berhubungan juga dengan cara kita melihat amanah tuh seperti apa. Bagi saya, menjalankan amanah ya melakukan apa yang bisa saya lakukan untuk menolong orang lain yang masih tertindas. Kalau tidak salah, yang saya pelajari dulu, amanah bagi manusia adalah menebarkan kebajikan dan kebenaran di muka bumi. Bajik dan benar menurut siapa? Kalau kata kaum fundamental mungkin ya, "Menurut Tuhan, seperti ada dalam Kitab!" 


Nah, saya balik lagi.. Memangnya, kitabmu berbicara tentang apa? Benarkah penafsirannya selama ini? Apakah memang itu yang Tuhan inginkan? Belum lagi kalau urusannya sama kaum Agnostik dan Atheis.. walah.. tambah repot. Maka, bajik dan benar menurut saya ya yang tidak saling menyakiti, merugikan satu sama lain, semua orang dapat hidup dengan nyaman.
baca selengkapnya

Twinkle Little Star

….I was sitting on the grass when the star came to me.

“I’ve been waiting for you for one hour! Where have you been?”

The star didn’t answer my question, he jumped to the top of tree and began to sing. I was so annoyed, but on the other hand, I adored his shining. It was so bright and I feel warm and comfort.

He said, “So, what’s going on? You look so terrible…”

I sighed, “It’s happen again. I’ve lost a lot of friends.”

“Have you ever counted how many friends you’ve lost?” the star said.

“No, it doesn’t matter, does it?” I answered.

“Yeah, it doesn’t matter. So, what’s the problem?” the star smiled at me.

“I feel so empty. I don’t have a friend that I can share with anymore…”

“Hoo… so what am I?” the star acted like a child.

I laughed, “You are a star. We are different, right? I mean.. I don’t have a human - friends anymore. It’s impossible to ask you hang out in a coffee shop or discuss some movie that we have watched together, isn’t it?” I saw his face. He was thinking about something. Suddenly I realized that he didn’t know what coffee shop and movie are, but I didn’t care.

“I want to be like you, to be a star. There are many stars in the dark of night. You are never alone…” I continued.

“Let me tell you something and look at the sky. We seem together, but actually we are separated so far away. I know that I will never meet again with a star that I’ve ever met. For example, when I was going to this Earth, I met a beautiful star from Jupiter. We talked much about Mars, Saturn, and Black Hole. He was a great friend. But I realized that even I could get the same way to turn back, that beautiful star perhaps have crushed to some planets or some asteroids, or perhaps he banged because he got older. There is no mortality in this world. Something may and have to disappear, and a new one will come to you. It’s so natural. I think, you knew about this kind of universal law…” the star finished his words with a hard sigh.

“Yea… I know. But the hard thing is how to let your friend away from you… We have done many things together.” I remembered the last friend that gone. The star didn’t give a responsive word. He continued to sing his song… 


“twinkle… twinkle little star…”
…..

baca selengkapnya