1 Desember 2011

Semua Bisa Kena HIV Bukan Sekedar Angin Lalu

Campur aduk rasanya saat saya membaca berita tentang penolakan seorang siswa yang diketahui ayahnya positif HIV. Sang anak, yang negatif, sebetulnya sudah diterima di sekolah tersebut namun tiba-tiba orang tuanya mendapatkan pesan singkat dari salah satu guru yang menyatakan bahwa anak tersebut tidak jadi diterima karena adanya kekhawatiran dari beberapa orang tua murid. 

Perasaan pertama yang saya rasakan adalah geram pada pihak sekolah dan kasihan pada si anak. Perasaan saya lalu berubah menjadi kekhawatiran mungkin masih banyak –semoga tidak- anak-anak yang mendapatkan perlakuan serupa. Saya bertanya-tanya, apakah para guru dan orang tua akan melakukan hal yang sama pada anak yang ibu atau ayahnya terkena hepatitis atau TBC? Apakah mereka tidak pernah mendapatkan informasi tentang HIV & AIDS yang benar?

Dalam hal ini, tentu pihak sekolah tidak bisa disalahkan seratus persen. Saya sedikit paham cara pikir pihak sekolah tersebut mengingat masih minimnya pengetahuan yang dimiliki masyarakat umum terkait HIV & AIDS. Program-program yang sudah bertahun-tahun dijalankan secara tidak langsung sudah melabel kelompok tertentu sebagai beresiko tinggi dan yang lainnya tidak. Bagi yang terakhir ini, selain kurangnya akses informasi bagi mereka, mereka juga telah ditumbuhkan untuk tidak mencari informasi tersebut karena merasa diri berada di area ‘aman’. Hasilnya ya seperti sekarang ini, slogan “Semua Bisa Kena” seakan angin lalu bagi sebagian orang.

Data yang dikeluarkan oleh Komisi Penanggulangan AIDS Nasional pada 2010 bisa dijadikan gambaran bagaimana kelompok masyarakat yang tidak terimbas program penanggulangan justru kini berada di posisi beresiko. Dari 5210 kasus AIDS kumulatif pada perempuan, sebesar 41.4% nya adalah ibu rumah tangga. Sedangkan jumlah kasus pada perempuan pekerja seks sebesar 8.7%. Pertanyaannya adalah tentu saja, apakah para ibu rumah tangga tersebut sebelumnya tahu bahwa mereka punya potensi terinfeksi HIV?

Beberapa tahun lalu, kali pertama saya bertemu dengan perempuan yang terinfeksi HIV tanpa sebelumnya ia tahu ia beresiko. Cara pandang saya dulu yang masih sangat bias membuat saya terkejut bukan main saat ia mengatakan terus terang kalau dirinya positif HIV. Di antara teman-temannya, saya pikir dia adalah mahasiswa yang sedang mencoba-coba berkegiatan sosial, masih terlihat keluguannya. Sampai dia bercerita bagaimana HIV bisa bersarang di tubuhnya.

Ia menikah di usia yang masih muda. Dia tak pernah tahu sang suami ternyata positif HIV sampai suaminya meninggal di rumah sakit dan dokter kemudian memanggilnya. Sang dokter menganjurkannya untuk tes agar segera diketahui statusnya sehingga langkah selanjutnya bisa segera diambil. Pun demikian pada bayi hasil pernikahan mereka. Hasilnya, ia dan anaknya positif. Saya tidak bisa membayangkan bagaimana rasanya jika saya jadi dia. Bingung, frustrasi, sedih, takut dia rasakan. Beruntung, keluarga sang suami memberikan dukungan dan motivasi yang besar sehingga dia bisa melanjutkan kehidupannya dengan semangat. Bahkan, saat saya undang untuk menceritakan kisahnya di sebuah program radio, dia sangat berantusias membagi pengalamannya dengan tujuan agar tidak ada lagi perempuan-perempuan yang mengalami kisah serupa.

Maka saat saya membaca berita penolakan sebuah sekolah pada siswa yang ayahnya positif HIV membuat saya sangat khawatir, lantas apa yang akan dilakukan sekolah pada siswa yang diketahui statusnya HIV positif seperti anak teman saya itu? Ini adalah bahan renungan kita bersama di Hari AIDS Sedunia ini, apakah program penanggulangan HIV & AIDS yang selama ini telah dilakukan sudah menyentuh semua lapisan masyarakat? Apakah program dan tanggung jawab harus selalu difokuskan kepada kelompok tertentu yang dianggap beresiko tinggi saja?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar