14 November 2011

Oeroeg

Saya tak sengaja menemukan buku ini saat saya hendak mencari buku gambar. Dia tidak dipajang di deretan best-seller, bahkan nyaris tak terlihat karena terhalang buku-buku lain yang ukurannya lebih besar dan warna-warna yang mencolok. Tapi justru, sampulnya yang sederhana, sketsa dua anak lak-laki di tengah hujan, memikat saya. Judulnya pun agak janggal "Oeroeg".

"...lebih tinggi atau lebih rendah karena warna kulit wajahmu atau karena siapa ayahmu -itu omong kosong. Oeroeg kawanmu, kan? Kalau memang ia kawanmu -bagaimana bisa ia lebih rendah dibanding kau atau yang lain?

Penggalannya yang ada di sampul belakang inilah yang memantapkan saya, ya ini buku yang harus saya baca. Belakangan saya tahu, itu adalah kalimat yang diucapkan Gerard Stockman kepada sang tokoh "aku" saat sang tokoh yang berdarah Belanda mengalami konflik batin melihat sahabat Indonesianya diperlakukan kurang baik oleh teman-teman Belandanya yang lain. Gerard Stockman, laki-laki eksentrik yang jatuh cinta pada Indonesia, adalah guru berpetualang bagi tokoh "aku" dan Oeroeg.

"Oeroeg" berkisah tentang si "aku" -namanya tak pernah disebutkan hingga akhir cerita- yang menghabiskan masa kecil dan remajanya bersama Oeroeg, seorang Sunda, anak mandor dari administrateur -ayah si "aku"- sebuah perkebunan di Kebon Jati, Priangan tahun 40-an. Keduanya bahkan telah bersama-sama sejak masih dalam rahim karena kedekatan kedua ibu mereka. Persahabatan mereka diwarnai petualangan-petualangan khas masa kecil, termasuk kekhawatiran orang tua si "aku" pada kadar keeropaan anak mereka yang lebih fasih berbicara bahasa Sunda dibandingkan bahasa orangtuanya.

Persahabatan mereka harus berakhir, yang juga akhir dari cerita ini, saat Oeroeg memutuskan tidak akan bekerja di dinas pemerintahan karena tidak mau menerima bantuan bangsa Eropa. Nasionalisme dalam darah muda Oeroeg telah membuat tembok besar yang nyata antara dirinya dengan sahabat masa kecilnya.

Terus terang, saya tidak menemukan klimaks saat membaca buku ini. Namun ia tetap menarik karena dua hal. Pertama, saya suka dengan gaya penulis dalam menggambarkan hal-hal dengan sangat detail, baik itu tempat, manusia dan terutama citra alam yang membawa kita berada pada suasana dan masa lalu.

Hal yang menarik lainnya adalah karakter dua tokoh utamanya, "aku" dan Oeroeg, yang harus menghadapi dunia mereka yang sama dengan permasalahan yang berbeda, digambarkan dengan sangat baik seakan-akan mereka memang benar ada dan hidup pada masa itu. "Aku" yang lebih tenang, mungkin karena didikan orang tua, selalu berusaha mati-matian untuk menjaga persahabatannya dengan Oeroeg meskipun hal ini tidak terlalu disukai orang tua dan teman-temannya yang lain. Sementara Oeroeg, karakternya lebih keras. Tidak peduli pada apa kata orang dan terkesan tidak butuh teman. Beranjak dewasa, sebelum nilai-nilai kebangsaan tertanam kuat dalam dirinya, ia berusaha sekuat tenaga menampilkan citra sebagai orang berpendidikan dari kelas atas dengan menggunakan pakaian berkelas, lebih banyak bicara Belanda bahkan menolak jika harus membuka siapa orangtuanya. Di sisi lain, si "aku" tampak menikmati saat ia bisa bersama keluarga Oeroeg dan merasakan kerinduan luar biasa pada suasana Kebon Jati yang ia anggap sebagai kampung halamannya.

Konflik-konflik identitas yang mereka alami adalah buah dari pergolakan sebuah bangsa pada masa itu. Saat bangsa pribumi sudah mendapatkan pendidikan yang cukup, beberapa sadar pada kondisinya dan ingin berjuang atas nama bangsa. Walaupun beberapa yang lain, demi kepentingan pribadi, mengabaikan nasib orang-orang sedarahnya. Di sisi lain, ada bangsa Belanda yang enggan melepaskan kegemilangan yang mereka dapatkan di Hindia, masih merasa diri mereka yang paling santun dan beradab karena warna kulit mereka. Meskipun, beberapa di antaranya menaruh empati yang sangat besar pada kehidupan rakyat tertindas dan bersedia menanggalkan keeropaannya demi dunia yang lebih adil. Jangan dilupakan juga kemelut para Indo, blasteran yang berada di area abu-abu, berusaha mati-matian menjadi Eropa namun seringkali terganjal oleh setengah darah pribumi yang mengalir di tubuh mereka yang juga tidak bisa begitu saja diterima oleh bangsa pribumi.

Saya percaya bahwa identitas seseorang tidak melulu, bahkan mungkin lebih banyak tidaknya, dipengaruhi oleh siapa orang tua kita dan darimana kita berasal. Identitas ditentukan oleh dimana kita ingin mengakar, kita merasa nyaman untuk tumbuh, bukan oleh tanda yang dikenali apalagi hanya secarik kartu. Saya pernah berdiskusi soal pindah kewarganegaraan. Buat saya, itu bukan hal yang tidak mungkin bisa saya lakukan. Menjadi Indonesia bukan berarti harus menjadi warga negara Indonesia. Sekalipun misalnya saya tiba-tiba menjadi warga negara Afrika Selatan, saya akan tetap Indonesia. Bukan karena warna kulit saya sawo matang dan bola mata saya hitam, tapi karena saya sudah berakar di sini. Oya, dan siapa yang tahu pasti kalau leluhur kita berdarah murni Indonesia?

Saya tidak akan berpanjang lebar soal isu ini, mungkin di tulisan lain. Kembali ke Oeroeg, ternyata cerita ini sudah pernah diangkat ke layar perak pada 1993, kerjasama Belanda, Belgia dan Indonesia. Ada dua nama yang saya kenal turut bermain di film itu, Adi Kurdi dan Ayu Azhari. Sepertinya saya harus cari filmnya untuk melengkapi buku yang sudah saya baca ini.

Adalah Hella S. Haasse yang menulis kisah Oeroeg. Tulisan-tulisannya banyak berlatar belakang Hindia-Belanda, tempat ia lahir dan dibesarkan. Ia tutup usia pada September 2011 di umur 93 tahun dan telah menerima banyak penghargaan di bidangnya serta dalam dunia literasi Belanda mendapatkan julukan "The Grand Old Lady".

Data buku 
Judul: Oeroeg 
Penulis: Hella S. Haasse
Penerbit:Gramedia Pustaka Utama
Cetakan: I, Oktober 2009 (naskah asli 1948)
Tebal: 144 hlm

Tidak ada komentar:

Posting Komentar