8 Juli 2012

Akar


Meskipun saya adalah salah satu pengikut Supernovanya Dee, tulisan saya ini tidak ada hubungannya dengan buku Dee walaupun judulnya sama dengan Supernova bagian duanya. Beberapa hari lalu, teman sekantor saya tiba-tiba bertanya,


“Akarmu dimana, Ling?”


Saya butuh mengerutkan kening member sinyal saya tak paham maksud pertanyaannya.


“Ya, tempat atau kota yang kamu pikir di sana kamu akan menghabiskan sisa hidup.”


Kali ini saya tak perlu berpikir lama untuk menjawab.


Agak kebetulan karena beberapa hari sebelumnya, di pesawat yang membawa saya kembali ke Jakarta, saya buka-buka majalah terbitan sang maskapai. Satu artikel, saya lupa namanya, yang mengulas lima kota di dunia favorit para orang terkenal. Di edisi tersebut, Dian Sastro yang kebagian diwawancara. Salah satu kota yang disebutkan adalah: Yogyakarta. Dia bilang alasannya,


“Karena di sana akar saya.”


Akar yang ia maksud di sini adalah tempat dimana leluhurnya, ia sebut eyang, berasal (ini juga menjawab pertanyaan saya soal keberadaan Griya Sastrowardoyo di Jalan A.M. Sangaji yang dulu biasa saya lalui menuju kantor, ternyata memang benar milik keluarganya). Jawabannya mirip dengan jawaban teman saya yang lain yang menyebutkan Semarang sebagai akarnya. Ia lahir dan besar di sana, merasa nyaman di sana.


Nah, saya ini memang ajaib. Alih-alih menjawab kota tempat saya dilahirkan dan dibesarkan, juga orang tua saya masih tinggal di sana sampai sekarang, Majalengka, saya justru memilih Yogyakarta sebagai akar saya. Bukan karena saya merasa Jogja jauh lebih bergengsi, tidak. Apalagi karena ingin dimirip-miripkan dengan Dian Sastro. Tidak seperti kebanyakan orang yang merasa akarnya adalah dimana mereka dilahirkan dan dibesarkan, saya memilih yang lain. Saya telah memilih dimana saya ingin menghunjamkan akar saya.


Terserah kalau orang bilang saya ini Sunda Murtad. Saya toh tidak merasa kehilangan kesundaan saya. Saya bangga sebagai orang Sunda. Ngomong-ngomong soal Sunda Murtad lagi, uniknya justru saat saya di Jogjalah saya merasa diri saya Sunda. Ironis memang. Mungkin karena lingkungan saya kebanyakan berasal dari suku Jawa, mereka melihat saya ‘berbeda’, Sunda. Saya sendiri memang menolak untuk berkegiatan di perkumpulan mahasiswa Jawa Barat. Bukan apa-apa, saya merasa buat apa saya kuliah jauh-jauh di Jogja kalau hanya membuat lingkaran dengan orang-orang yang sesuku dengan saya lagi? Toh, teman-teman Jawa saya juga tidak pernah melihat diri saya hanya sebagai orang Sunda dan membeda-bedakan perlakuan hanya karena saya berbeda suku. Saya justru sangat menyesal saya tidak pernah benar-benar belajar budaya Sunda sehingga bisa saya perkenalkan pada teman-teman saya.


Kesundaan saya tidak ada hubungannya dengan dimana saya ingin menanam akar saya. Ibarat pohon, ditanam dimanapun, namanya tetap pohon itu (walaupun berbeda bahasa, tentu saja). Saya memang masih belum bisa menerima konsep kalau tanaman juga bisa tidak nyaman hidupnya meskipun ditanam di tanah yang subur, disiram dan dipupuk secara rutin dan mendapatkan sinar matahari dan oksigen yang cukup. Karena itu beberapa botanis atau penggemar tanaman, tak jarang bercakap-cakap juga dengan tanaman kesayangan mereka. Tujuannya agar ada ikatan emosi yang akan membuat si tanaman merasa lebih nyaman. Ini mengingatkan saya pada pohon-pohon kelengkeng di rumah orang tua saya. Tinggi dan rimbun. Tapi tak pernah berbuah. Padahal di sekitarnya, pohon-pohon jambu biji selalu berbuah. Mungkin karena saya dan kakak saya dulu lebih sering bergelayutan di pohon jambu biji karena lebih mudah dipanjat? Entahlah.


Saya memilih Jogja sebagai tempat dimana saya telah menanamkan akar saya karena saya merasa di sanalah hidup saya benar-benar dimulai. Sebagai mahasiswa kost-kostan yang harus berjuang mempertahankan dompet dan rekening agar tidak cepat ludes, adalah satu pelajaran tersendiri. Pertemanan saya jalin dengan banyak orang, terutama dengan rekan kerja yang kemudian menjadi seperti keluarga sendiri. Saya bisa menceritakan apapun kepada mereka, begitupun sebaliknya. Kegiatan saya di luar kampus juga memungkinkan saya untuk berinteraksi dengan banyak orang yang membuat saya tidak bisa tidak harus mensyukuri apa yang saya miliki. Hal yang sebelumnya tidak saya temukan karena saat sekolah, saya termasuk anak kuper yang hanya tahu rumah-sekolah-rumah. Saya bisa memaksimalkan potensi yang saya miliki dan menjadi diri saya sendiri. Dan tentu saja, di kota itu juga saya bertemu dengan orang yang saya cintai dan beruntungnya dia juga sepakat bahwa Jogja adalah kota yang nyaman untuk ditinggali, meskipun hanya enam minggu saja dia pernah tinggal di sana.


Bagi saya, keputusan saya untuk menanam akar dengan cara sendiri itu membuktikan saya ini manusia, bukan pohon. Pohon tidak bisa memilih dimana ia akan menanamkan akarnya. Selain tak punya kaki untuk berjalan, tentu saja, juga karena ia memang diciptakan untuk tidak berkeinginan. Jika tak ada tangan manusia yang memindahkan atau tubuh binatang yang tak sengaja membawa benih tanaman itu ke tempat lain, benih-benih muda itu akan menancapkan akar di tanah tak jauh dari induknya. Tempat mereka jatuh dari buah-buah pohon inangnya. Manusia tidak. Kita bisa bergerak dan, lebih penting, bisa berpikir dan memilih. Beruntung saya mendapatkan kesempatan untuk bisa memilih. Itu bagi saya. Bagi orang lain bisa jadi berbeda, apa yang membuat bisa atau tidak bisa memilih, dan apa yang membuat kita merasa menjadi lebih 'manusia'.


Well, mengulang pertanyaan teman saya, saya juga ingin bertanya,


“Dimana akarmu?”





Tidak ada komentar:

Posting Komentar