4 Januari 2013

Saat Ngangkang Jadi Urusan Negara

Ada berita yang sedang mengusik kuping saya belakangan ini. Datangnya dari bumi kita tercinta, dari sebuah kota di provinsi paling barat Indonesia, Nanggroe Aceh Darussalam. Di Kota Lhokseumawe, sang walikota dengan dukungan DPRD, mengeluarkan surat edaran yang menghimbau perempuan untuk duduk tidak mengangkang saat dibonceng di atas sepeda motor. Rencananya, himbauan ini akan  dibakukan menjadi aturan walikota dalam sebulan ke depan. Alasan dari munculnya surat edaran ini adalah, katanya, untuk melindungi perempuan. Perempuan yang duduk mengangkang saat dibonceng dianggap dapat memprovokasi syahwat para laki-laki heteroseksual. Juga alasan kalau duduk mengangkang itu sangat tidak perempuan dan bukan budaya Aceh.

Sejenak kita pindah channel ke India. Di sana sedang marak dengan kasus perkosaan dan penganiayaan terhadap seorang mahasiswi yang dilakukan oleh sekelompok laki-laki yang berakhir pada meninggalnya sang mahasiswi akibat luka serius. Kasus ini telah memicu gelombang protes besar-besaran di India, bahkan asosiasi pengacara di negara tersebut menyatakan tidak akan membela enam orang pelaku yang sudah ditangkap oleh polisi setempat.

Sasaran dari aksi demonstrasi di Negeri Bollywood tersebut adalah sikap pemerintah lewat tangan kepolisian yang dianggap sering mengabaikan para korban. Mereka menuntut pemerintah lebih serius menangani kasus-kasus perkosaan dan kekerasan terhadap perempuan. Perlindungan terhadap perempuan adalah hal yang sangat mendesak.

Walikota Lhokseumawe mungkin tersenyum-senyum bangga karena merasa dirinya sudah mengeluarkan edaran yang berusaha melindungi perempuan di kotanya. Aturan berpakaian tertutup sudah diterapkan di provinsi yang memberlakukan syariat Islam, pasti termasuk juga Kota Lhokseumawe di dalamnya. Sekarang ditambah lagi dengan aturan dilarang mengangkang saat dibonceng motor. Ckckck... Pak Walikota dan Pak Marzuki Ali yang dulu komentar soal rok mini ternyata selain sama-sama pejabat, juga masih cetek dalam melihat isu seperti ini.

Coba kita kembali terbang ke Hindustan, kita bisa melihat bagaimana masyarakat di sana sudah mulai terbuka cara berpikirnya. Bahwa kasus perkosaan, dan kekerasan terhadap perempuan lainnya, tidak datang dari bagaimana perempuan-perempuan ini bersikap atau berpakaian. Tidak. Toh, banyak kasus perkosaan yang menimpa perempuan berpakaian sangat tertutup. Banyak kasus perkosaan yang dilakukan oleh orang-orang yang dikenal. Jadi, aturan macam 'tutup seluruh badan kecuali muka' dan 'bonceng motor duduk nyamping ya' itu nggak akan ngaruh untuk nasib perempuan selama otak laki-laki heteroseksnya nggak dicuci bersih.

Niat Pak Walikota mungkin mulia ya. Cuma agak keliru saja. Beribu maaf kalau saya bilang agama yang dinarasikan seperti sekarang ini tidak berhasil membawa manusia menuju kehidupan yang lebih baik. Jadi lain mungkin kondisinya jika agama yang seringkali dibawa-bawa Pak Walikota dan jajarannya tersebut, ditelaah lebih dalam, kenapa aturan-aturan lawas yang katanya melindungi perempuan itu ada, tidakkah aturan-aturan itu bersifat afirmatif untuk kondisi di masa dulu? Relevankah diterapkan di masa kini? Ups! Ngerti apa saya soal agama. Stop ngomongin agama deh.

Kekeliruan cara pikir itu tampak dari perkara bagaimana per-ngaceng-an para laki-laki dilihat. Apakah ngacengnya laki-laki heteroseks itu karena hanya melihat perempuan berposisi tertentu, seperti mengangkang? Atau karena perempuan berpakaian mini? Oke, memang betul, dorongan seksual bisa muncul karena adanya rangsangan dari luar. Tapi ya kalo setiap ngaceng terus bawaannya harus disalurkan tanpa pandang siapa, kapan dan dimana, nggak malu masih mengaku sebagai makhluk dengan tingkat kecerdasan paling tinggi di muka bumi? Tidak bisa mengelola dorongan seksual? Makanya, belajar pendidikan seks donk!

Lalu soal mengangkangnya. Jika ya memang duduk mengangkang perempuan yang dibonceng di atas motor itu dapat mengundang hasrat seksual laki-laki heteroseksual yang melihatnya, apakah tidak berlaku bagi perempuan yang duduk mengangkang yang mengemudikan motor, atau duduk mengangkang karena alasan lain, naik kuda? Beda ngangkangnya itu dimana? Perempuan yang duduk menyamping juga bisa saja dianggap menggoda bagi beberapa laki-laki heteroseks yang lebih senang melihat perempuan feminin. Makin feminin perempuan, makin bernafsu laki-laki. Matilah aturan itu.

Kekeliruan lainnya adalah soal keselamatan perempuan. Untuk hal ini, YLKI angkat bicara. beritanya bisa disimak di sini. Intinya, dibonceng menyamping itu tidak aman bagi keselamatan saat berkendara. Menariknya, Malaysia yang juga menerapkan syariat Islam, justru mewajibkan duduk mengangkang saat dibonceng. Alasannya ya keselamatan itu tadi. Ya iyalah, ngapain nyelametin laki-laki dari godaan syahwat kalau keselamatan perempuan menjadi taruhannya? 

Yuk, ibu bapak pejabat, coba cermati lagi sebelum bikin surat edaran atau bikin aturan a-i-u-e-o, apakah niat baik kita akan berdampak baik bagi orang-orang yang dikenai aturan tersebut atau tidak? Apakah sudah menyentuh akar permasalahannya? Mirip-miriplah seperti berita-berita di televisi yang menayangkan kasus-kasus perkosaan kemudian ditutup dengan saran kepada para perempuan untuk lebih menjaga diri, lengkap dengah tips ini itu. Bukannya meminta para laki-laki untuk menghentikan aksi umbar syahwatnya, bisa juga lho dikasih tips.

Mengutip slogan yang sering digaungkan para feminis di penjuru dunia terhadap kekeliruan kebijakan macam ini:








Tidak ada komentar:

Posting Komentar