8 Mei 2013

Lang Leve de Liefde: Pendidikan Seks Model Belanda


Masa depan suatu bangsa ada di pundak generasi muda. 

Ok, saya minta maaf kalau kalimat pembuka tulisan ini lebih mirip pidato Pak Camat. Tapi saya serius ingin menunjukkan kalau kata-kata itu bukan cuma basa-basi di upacara bendera atau sambutan untuk mahasiswa KKN. 

Beberapa negara, terutama negara maju, telah menunjukkan komitmen untuk mewujudkan slogan tersebut dengan menyediakan sistem pendidikan yang baik, lingkungan yang mendukung, ruang kreatif bagi orang-orang muda, bahkan hal-hal lain yang bagi sebagian orang masih dianggap tidak penting. Pendidikan seksualitas bagi remaja, misalnya. Alih-alih dianggap mampu menopang kualitas generasi muda, banyak orang yang justru masih berpandangan miring terhadap pendidikan macam ini. Pendidikan seks dituduh akan menjerumuskan remaja pada perilaku seks lebih dini. Benarkah?

Negara-negara yang berpikiran terbuka dan menganggap pendidikan seks itu penting, menyadari tidak mungkin negaranya bisa maju jika generasi mudanya disibukkan dengan dampak-dampak perilaku seksual yang tidak sehat seperti kehamilan di usia dini, infeksi HIV dan sebagainya. 

Belanda, salah satunya. Negeri kincir angin ini bahkan menjadi pionir dalam pendidikan seks karena telah memulainya sejak tahun 80-an. Tidak tanggung-tanggung, program yang diberi nama Lang Leve de Liefde (Long Live Love) ini bahkan diapresiasi oleh UNESCO sehingga muncul istilah pendidikan seks dengan model Belanda (Dutch model). Artinya, model pendidikan ini telah menjadi rujukan banyak negara lain di dunia!


Homepage Lang Leve de Liefde
http://www.langlevedeliefde.nl/
Kenapa program ini begitu menarik perhatian? Keberhasilan adalah jawabannya. Angka kehamilan pada remaja di Belanda paling rendah se-Eropa, yaitu 8,4/1000. Bandingkan dengan di Inggris, yang masih tabu soal seksualitas, angkanya 63/1000. Menariknya, remaja Belanda melakukan hubungan seks pertama kali rata-rata pada usia 17 tahun, setahun di atas rata-rata remaja Inggris. So, anggapan kalau pendidikan seks akan mendorong remaja untuk mencoba berhubungan seks, menjadi tidak terbukti.

Meskipun bukan kewajiban, Lang Leve de Liefde ini telah diterapkan di hampir seluruh sekolah menengah dan lebih dari separuh sekolah dasar di Belanda. Beberapa murid bahkan telah mendapatkan pendidikan ini sejak usia 6 tahun. Selain bahasan biologis, pendidikan ini juga membahas hal-hal lain yang justru terpenting dan sangat dibutuhkan remaja terkait seksualitasnya, seperti nilai-nilai, sikap, kemampuan komunikasi, pengambilan keputusan dan bernegosiasi.

Pemerintah memberikan dukungan dengan mengadakan penelitian-penelitian mengenai perencanaan keluarga, termasuk pendidikan seks. Buku-buku pelajaran direvisi dan sekarang telah dirancang sehingga memiliki pendekatan yang lebih komprehensif terkait seksualitas.

Dukungan pun diberikan oleh orang tua yang secara aktif mendiskusikan isu ini dengan anak-anak mereka sejak dini agar mereka lebih bertanggung jawab. Media juga memainkan peran besar. Di awal 90-an, acara-acara talk show menyajikan diskusi tentang seksualitas dan menghadirkan selebriti-selebriti terkenal. Organisasi-organisasi memberikan dukungan dengan mengadakan pelatihan bagi guru-guru serta menyediakan materi-materi pendukung. Program-program lain di luar sekolah juga dikembangkan, misalnya dengan memasukkan isu ini dalam layanan remaja atau ruang publik lainnya.

Keterbukaan pola pikir adalah salah satu kunci yang dipegang oleh orang-orang Belanda untuk memastikan masyarakatnya hidup sehat dan sejahtera, tidak hanya untuk generasi kini tapi juga generasi yang akan datang. Sejalan dengan teori Maslow, kebutuhan seseorang untuk mengaktualisasikan dirinya, termasuk mengoptimalkan potensi yang dimiliki dan memberikan kontribusi bagi bangsanya, bisa dicapai setelah kebutuhan-kebutuhan dasar lainnya terpenuhi. Seksualitas juga kebutuhan dasar manusia, bukan?


Remaja Indonesia menuntut hak mendapatkan pendidikan seks
(foto koleksi PKBI DIY)


Referensi:




Tidak ada komentar:

Posting Komentar